Monday, January 21, 2013

Kalau bukan kamu, orang lain pun bisa

Jalan Raya Barat, Januari 2013

Kamu duduk di depanku. Beberapa makanan sudah siap kita santap. Kulihat sekilas di bawah meja sana. Sandal jepitmu yang tidak seperti sandal jepit wanita, ah itu dia. Kakimu yang sudah lama ini tidak pernah kulihat lagi. Ya, aku memang suka itu. Hanya sedikit, hanya sekitaran mata kaki sampai ujung kaki. Kaki yang bersih. Dan juga beberapa bagian di sekitaran siku tanganmu.

Sore itu kita ketemu setelah beberapa waktu aku hanya sanggup menahan rindu. Sembari memulai minum orange squash, pelan pelan ku coba mengurai ada apa di otak ini sehingga aku tak kuasa untuk terlalu lama mengalihkan perhatianku.

“bapak ibu sehat?” tanyaku dengan sedikit pelan
“ya, alhamdulillah”..
Dia memang seperti ini. Sembari melihat meja sebelah, mulutnya terus membicarakan hal – hal yang rasionalistis, tanpa memandang ke arah mataku, katakanlah memandang dahiku, kecuali sedikit saja.

Aku datang bukan untuk sebuah cinta. Cinta itu sudah aku lempar jauh meski kadang tiba tiba benang bersambut dan seakan akan ingin kutarik lagi cinta itu meski sulit dan benang itu tentu mudah putus. Aku datang untuk menjalani proses ini. Proses yang membutuhkan waktu dan membutuhkan hati yang benar benar harus hancur sampai dapat dibentuk kembali. Katakanlah ini terlalu sadis, ya.. inilah aku seorang ekstrovert.
Aku bisa membaca hatimu baru beberapa minggu terakhir ini. Dan, didepanku, kamu bicara dengan sangat tajam, fokus, dan dalam. Itulah kamu yang sebenarnya. Ah, sayang sekali, alasan itu hanya menambah daftar urutan kebaikanmu.

Kuakhiri pertemuan kita hari itu dengan percaya diri. Aku bisa! Kewajibanku sudah selesai dan sekarang aku wajib untuk melanjutkan perjalanan hidup. Melewati jalan pertama romansa kita, dan sekarang (mungkin) untuk terakhir kali adalah sebuah pilihan pahit yang harus ditelan dalam dalam seperti obat yang menyembuhkan. Aku memulainya dengan permainan, aku hanyut, aku jatuh dalam, terlalu dalam ke hatimu.

Aku sadar untuk melepasnya, hanya dengan satu syarat kala itu. Syarat yang terlalu indah untuk pecundang seperti aku. Dan aku mendapatkannya. Yaa.. semestinya itu cukup. Tidak hanya cukup. Bahkan sangat sangat lebih dari cukup. Harusnya, aku kembali menata pijakan tangga ini dengan pikiran itu.

“selamaat pagiii….”
Aku membaca message nya disetiap pagi. Sebuah pesan berjuta semangat yang selama ini aku dambakan.

Kalau bukan kamu, orang lain pun bisa :)



Kost, Januari 2013



2 comments:

  1. nice post kang,,jajal ngeblog ben gaul iki kang,,slam kenal New Bie

    ReplyDelete
  2. @Tiyang Magelang : Oke, terimakasih atas kunjungan dan komentarnya ya

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...