Tuesday, December 31, 2013

Magelang, Setitik Surga di Muka Bumi

Sumber : facebook.com/wahyu.utami.12


“Barangkali, diantara kita masih ada beberapa yang bingung dengan istilah saujana?” begitu sapa Dr. Wahyu Utami sesaat setelah membuka acara dan memperkenalkan diri di salah satu even Komunitas Kota Toea Magelang (KTM), siang itu, Minggu (22/12/13).

Siang ini saya dan sekitar 30 teman dari KTM kembali berkumpul di Aula Museum BPK, Kompleks Karesidenan Kedu untuk mengikuti salah satu even indoor yang bertajuk “Konsep Saujana Kota Magelang”. Even kali ini adalah semacam bedah disertasi Dr. Wahyu Utami dari Jurusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada (UGM). Lebih lanjut dipaparkan, saujana – sambung mbak Wahyu, panggilan akrab perempuan kelahiran Magelang ini, merupakan sebuah interaksi antara manusia dengan lingkungan, budaya, dan sosial.

Slide presentasi mulai berjalan, untuk mengetahui lebih jauh tentang konsep saujana ini kami dihadapkan tentang sejarah kondisi alam Magelang. Bahwa, Magelang berdasarkan sejarah yang ada, dulu kemungkinan besar merupakan pusat dari kerajaan Mataram Kuno. Konsep pusat kerajaan tersebut terasa begitu cocok karena pada masa itu, karena mayoritas penduduk menganut kepercayaan Hindu. Kota Magelang sendiri dikelilingi oleh tujuh gunung, yaitu Sumbing – Sindoro – Prahu – Andong – Telomoyo – Merbabu – dan Merapi. Dimana gunung-gunung tersebut dipercaya sebagai tempat tinggal para dewa.

Selain itu, keberadaan tujuh gunung ini menciptakan sebuah cekungan lembah ditengahnya. Bila diambil sebuah titik, rupanya bisa kita tarik titik yang kini berada Prasasti Tuk Mas. Sebuah prasasti tertua di Pulau Jawa dengan tarikh sekitar 500-600 Masehi yang terletak di bilangan Grabag, Kabupaten Magelang. Dengan banyaknya sungai yang mengalir, dan dua sungai besar yaitu Elo dan Progo masing masing disebelah timur dan barat kota, wilayah Magelang menjadi sangat subur. Bisa dibayangkan, bahwa pada saat itu, kota Magelang mempunyai lanskap yang sangat sempurna. Bila cuaca mendukung, tujuh gunung tersebut dapat dilihat oleh mata telanjang dari Magelang. Rupanya hal ini yang mengilhami mbak Wahyu untuk menyusun disertasi tersebut. Luar biasa.

Hingga kemudian pada tahun 1009 Masehi terjadi letusan gunung Merapi yang meluluh lantakkan kota kerajaan Mataram Kuno hingga memilih untuk hijrah ke Jawa Timur. Pada periode kekuasaan Kerajaan Demak, Magelang-Yogyakarta mulai dilirik lagi untuk dibangun menjadi pusat pemerintahan. Legenda legenda tentang Bukit Tidar kemungkinan besar diciptakan pada periode ini. Menurut mbak Wahyu sendiri, Bukit Tidar sebagai pakunya Pulau Jawa lebih dikarenakan dari keinginan untuk menjadikan sebuah titik pusat yang tidak bisa mengambil salah satu gunung dari ketujuh gunung tadi karena traumatis masyarakat akan bencana Merapi. Akhirnya Bukit Tidar semacam dipromosikan sebagai titik pusat pulau Jawa yang akan sangat pantas untuk dijadikan pusat pemerintahan. Selanjutnyta dikisahkan bahwa pada masa setelah terbentuknya kerajaan Mataram Islam hingga ditandatanganinya perjanjian Giyanti pada era 1700an, Magelang yang saat itu terkenal dengan sebutan Kebondalem dikuasai oleh Kasunanan Surakarta. Inggris melihat bahwa Kota Magelang dengan segala keindahannya mampu dijadikan sebuah kota. Akhirnya, berawal dari pemindahan barak tentara dari Surakarta, kota Magelang mulai mempersiapkan diri untuk kembali bangkit. Tidak lama, pada awal 1800an, Inggris harus menyerahkan seluruh daerah kekuasaannya kepada Belanda, tak terkecuali Magelang. Oleh Pemerintah Belanda, Magelang, sebagaimana narasumber ceritakan, dikonsep menjadi kota peristirahatan.
Mbak Wahyu, dua dari kanan bersama teman teman KTM. Sumber : facebook.com/wahyu.utami.12

Ada beberapa contoh konsep yang diberlakukan seperti salah satunya di Karesidenan. Di Karesidenan, gedung ini dibuat tidak sama dengan kota kota lain. Biasanya gedung residen akan berdekatan dengan Kantor Bupati dan Alon alon. Tapi tidak di Magelang. Dengan memilih sebuah tempat agak jauh kebarat dari Alun alun, rumah dan kantor residen ini dikonsep menghadap ke barat. Tentunya hal ini membelakangi jalan. Tapi bukan tanpa alasan. Alasan yang paling logis adalah bahwa dari arah itu, karesidenan tepat menghadap ke Gunung Sumbing dan Perbukitan Giyanti, dengan perkampungan dan sungai Progo yang mengalir. Benar benar mennjadi view yang sangat sempurna.

Lepas daripada itu, pada waktu perang Jawa sekitar 1825-1830, tempat ini juga berfungsi sebagai pengintai pergerakan Pangeran Diponegoro yang waktu itu menggunakan sistem gerilya. Dapat dibayangkan, pada masa itu, bila ada arak –arakan api diperbukitan, dipastikan itu adalah pasukan Diponegoro.

Selain Karesidenan, pembangunan Rumah Sakit Jiwa di daerah Kramat juga memperhatikan betul akan kondisi alam. Bila kita masuk dari pintu gerbang utama, kita akan disambut Gunung Sumbing dengan gagahnya tepat didepan mata. Hal ini sangat membantu pemulihan jiwa jiwa yang sakit. Hehehe. Karena untuk sembuhnya penyakit jiwa, dibutuhkan suasana lingkungan yang tenang dan sejuk.

Pada tahun 1930an, di Magelang terjadi wabah pes. Sebuah penyakit yang diakibatkan oleh lingkungan yang buruk dan kotor. Oleh sebab itu, Pemerintah waktu itu mengutus seorang arsitek kenamaan bernama Herman Thomas Karsten, untuk mengkonsep pemukiman sehat. Pemukiman sehat ini disusun dengan memperhatikan kaidah saujana Magelang. Yakni dengan mengambil view gunung-gunung sebagai sumber kesehatan jiwa. Model rumahnya pun ditentukan oleh pemerintah. Jadi untuk warga yang hendak membangun, harus mengikuti modelnya. Bahkan, ditengah tengah kampung yang bernama Kwarasan tersebut, dilengkapi dengan ruang terbuka hijau yakni sebuah lapangan.

Seperti itulah beberapa contoh konsep pembangunan yang dahulu diwariskan oleh Pemerintahan Belanda. Konsep membangun dengan memperhatikan lingkungan karena kota ini didesain untuk menjadi kota peristirahatan yang nyaman, sehat, dan indah. Di salahs satu slide juga ditampilkan bahwa hotel paling mewah pada jaman itu, Hotel Loze namanya, iklan promosi/brosur hotel ini sengaja menggambarkan tiga buah gunung untuk menarik pengunjung. Jadi dapat disimpulkan bahwa potensi alam di Magelang ini sudah dilirik sejak jaman Belanda.

Diakhir acara, mbak Wahyu menyimpulkan bahwa konsep saujana Kota Magelang sendiri, ada empat, yaitu : Suci (kesucian dari gunung-gunung yang merupakan tempat tinggal para dewa), subur (kesuburan lembah Magelang karena dialiri oleh banyak sungai), indah (dengan dikelilingi oleh tujuh gunung dan diapit dua sungai besar) dan strategis (persimpangan antara jalur jalur Jogja-Semarang-Purworejo).

Akhirnya, tidak salah jika Pak Gubernur KTM memberi kata kata penutup sebagai berikut ; beruntunglah kita, lahir, besar dan tinggal di Magelang. Ibarat setitik surga di muka bumi. :)

6 comments:

  1. tetapi kok sepertinya penguasa yang sekarang kurang nguri-uri konsep yang sudah menyejarah itu ya?

    ReplyDelete
  2. @Sang Nanang : iya mas. terbawa arus modernitas tapi mungkin semacem pegangan prinsipnya blm kuat :D

    ReplyDelete
  3. Luar biasa Keren emang Kota Magelang......
    @Dimung Pamungkas

    ReplyDelete
  4. @Dimung Pamungkas : Memang mas. memupuk rasa cinta tanah air kan? hehehe

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...