Friday, January 27, 2012

Djeladjah Djaloer Spoor 22 Januari 2012




Selayang Pandang :

Sepur berasal dari bahasa Belanda SPOOR yang berarti kereta api. Karena saking nyamannya diucapkan dengan lidah jawa, jadilah kata SEPUR. 

Magelang, sebagai salah satu kota tertua di Indonesia, tidak lepas dari sejarah tentang perkereta apian. Ya, memang sekarang kereta api hanyalah tinggal kenangan di Magelang dan sekitarnya. 

Dimulainya zaman kereta api di Magelang adalah dengan dibukanya trayek Jogja – Magelang yang dibuka secara resmi pada 1 Juli 1898 yang dioperasikan oleh NIS (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij). Seiring berjalannya waktu, dengan semakin berkembangnya kawasan kota kota di Jawa Tengah, maka pada tahun 1900an, adalah seorang Ho Tjong An yang didaulat menjadi pemborong untuk pembukaan jalur jalur baru setelah aktifnya jalur Semarang – Kedungjati – Ambarawa. Jalur jalur baru yang diborong oleh insinyur kelahiran Tungkwan, Canton pada 1841 tersebut adalah jalur Ambarawa – Secang – Parakan, dan Secang – Magelang. 

Di dalam pengerjaannya, Ho Tjong An begitu menghargai kepercayaan kepercayaan lokal yang dikenal dengan istilah kucing condromowo dan asu belang menyungyang yang kurang lebih artinya bahwa di beberapa kawasan tertentu, masyarakat pribumi masih percaya terhadap batu batu, atau pohon pohon serta makam makam keramat yang tidak boleh di gusur untuk jalur kereta. Sehingga hasilnya, beberapa lajur di daerah Payaman – Secang – Temanggung – Parakan terlihat berkelak kelok. 

Akhirnya jalur jalur baru tersebut beroperasi pada 15 Mei 1903 ( Magelang – Secang ), 3 Januari 1907 (Secang – Temanggung ), 1 Februari 1905 (  Secang – Ambarawa ), dan 1 Juli 1907 ( Temanggung – Parakan)

Sekilas perjalanan lalu :

Oya, sebelumnya, biarkanlah saya bercerita sedikit tentang kegiatan saya yang terlaksana pada tanggal 8 bulan november tahun 2009 yang sempat terekam oleh kamera saya. 

Waktu itu, saya mengajak dua orang rekan saya Fandi dan Arvis, untuk iseng berniat menjelajahi jalur sepur Sleman – Temanggung

Perjalanan kami dimulai dari Eks. Stasiun Mlati Sleman yang sekarang menjadi markas Sub Polsek Mlati. Menurut penuturan seorang polisi yang bertugas di sana, bahwa bentuk asli stasiun ini sudah tidak terdeteksi lagi. Yang tersisa hanyalah satu lajur rel yang kini berada di sebelah belakang Polsek. 

Setelah itu, kami menuju kawasan Jalan PJKA yang berada dekat dengan Lapangan Denggung Sleman. 
Yah, jalan ini dinamai Jl. PJKA karena dulunya merupakan jalur rel yang melengkung. Tidak jauh darisitu, kami menemukan Eks.stasiun Denggung yang kini digunakan sebagai markas koramil. Namun karena sebab yang tidak bisa saya ingat, saya malah tidak memotret bangunan ini *maklum masih amatiran*.

Selepas stasiun Denggung, kami beranjak ke Eks. Jembatan Beran.
Jembatan dengan kontruksi upper beam/ penyangga diatas ini masih terlihat begitu menawan, terutama karena cat nya masih bagus. Mungkin karena habis di cat ulang kali yah.

Dari tempat ini, kami mencari eks. Stasiun Medari, namun kami tidak berhasil menemukannya. Sehingga kami memutuskan untuk menuju eks. Jembatan Krasak. 
 Jembatan Kereta api yang sudah berulangkali diterjang lahar dingin ini terlihat sangat rapuh dan teronggok diantara pepohonan. Untuk menuju kesana kami harus memutar melalui kampong dan beberapa kali tersesat. Hehehe..

Dan sayang sekali waktu itu dua teman saya sudah kehabisan semangat, sedangkan saya merasa tidak mungkin untuk meneruskan penjelajahan ini sendirian.

Sehingga cita cita saya menelusuri jalur kereta sampai di temanggung akhirnya terlaksana lebih dari dua tahun kemudian. *deng deng deng*

Yuk, langsung saja kita menuju djeladjah yang sesungguhnya.

Minggu, 22 Januari 2012

Minggu pagi yang cerah, setelah malam sebelumnya saya harus tidur dini hari jam 2 akibat dari kebanyakan nongkrong, pagi jam 5.30 saya sudah harus dipaksa mendengarkan alarm hape saya dan terbangunlah saya dengan begitu semangat untuk menjalani hari ini dengan acara Djeladjah Djaloer Spoor yang di selenggarakan oleh Komunitas Kota Toea Magelang.
 
Persiapan yang cukup matang dirumah, sama seperti halnya nasi yang telah matang sehingga saya berkesempatan menyantap beberapa suap nasi sebelum berangkat. Pukul 6.20 pagi saya sudah take off dari rumah untuk menghampiri Pak Gubernur KTM, Mas Agung Dragon. Butuh waktu sekitar 20 menit hingga akhirnya saya temukan Pak Gubernur yang sudah stand by di kawasan Pahlawan, Magelang dengan ransel dan beberapa barang bawaan.

Baru pukul 06.48, kami sudah sampai di Stasiun Magelang Kotta (sub terminal Kebonpolo) yang akan menjadi titik start kami. Tidak lama menunggu, akhirnya datanglah mas Yudha dengan varionya, kemudian seorang bapak bapak yang selanjutnya saya ketahui bernama Pak Darmawan dengan tingkah humorisnya yang mencengangkan saya karena saya merasa aneh (bapak bapak yang sudah agak tua kok ikut acara ginian?) entah apa maksudnya namun saya buru buru melupakan semua itu dan cairlah sudah pemikiran saya karena tidak lama kemudian satu persatu peserta mulai berdatangan.

Beberapa peserta yang membuat saya heran adalah mas Zuhad yang adalah tetangga saya sendiri, lalu mas Anton Udiyono yang nglegakke dari Wonosobo, dan tidak ketinggalan, mbak Granita sekeluarga dengan mobil yang datang jauh jauh dari Sleman untuk sekedar mengikuti acara ini.

Pukul 07.40, kira kira 20 peserta sudah hadir dan melaksanakan daftar ulang dengan membarter 10K idr dengan sebuah booklet dan penanda pita merah putih untuk begel belakang motor kami. Sesuai dengan petunjuk teknis yang ada di booklet, acara pertama kami adalah perkenalan dan penyampaian materi khususnya tentang Stasiun Magelang Kota.

Perkenalan dan pembukaan dipandu oleh mas Bagus Priyana, sedangkan untuk materi, dipandu oleh mas Tommy Aditya yang merupakan salah satu rail fans Indonesia yang kini tinggal di Bandung.

Stasiun Magelang Kota pada masanya adalah sebuah stasiun besar yang dilengkapi dengan Depo Lokomotif dan memiliki banyak lajur rel. Sekarang ini, stasiun ini sudah tidak ada bekasnya dan saya juga belum pernah melihat foto jaman dulu yang bisa memperlihatkan bangunan asli dari stasiun ini. Di Magelang sendiri, dahulunya ada dua stasiun yang satunya adalah Stasiun Magelang Passar. Yang saat ini lokasinya berdiri Pasar Rejowinangun. Sedangkan, di Alon Alon ada sebuah stopplaast. Yakni sebuah halte pemberhentian dengan tata letak yang unik dimana loket halte berada di bagian timur alon alon (panggung utama) dan kereta berhenti di seberang jalannya (depan MT).

Selepas penyampaian materi, kami semua bersiap siap untuk pemberangkatan dengan diawali doa yang dipimpin oleh Pak Darmawan. 
Kira kira pukul 08.00 kami segera menuju ke eks. Stasiun Secang setelah mampir di SPBU untuk memberi kesempatan kepada peserta yang hendak mengisi BBM sementara pak Gubernur membeli air putih untuk diperbagikan kepada para peserta. Perjalanan dari Magelang ke Stasiun Secang tidaklah sulit.
Dengan mengikuti jalur reguler dan belok kiri di Koramil Secang, disitu akan sudah terlihat sebuah bangunan tua dan itulah Eks. Stasiun Secang.

Pada masa kejayaan kereta api, stasiun ini adalah stasiun yang besar karena merupakan persimpangan antara jalur Ambarawa – Magelang – Parakan. Dilihat dari luasnya area di sini, terlihat bahwa dahulunya stasiun ini memiliki banyak lajur rel. Di main lobby stasiun ini masih tersisa sebuah bangku panjang tempat tunggu penumpang dengan kondisinya yang sangat kotor. Salah satu ruangan di stasiun ini sekarang digunakan sebagai ruang pertemuan.. dan ruang lainnya seperti hasil intipan saya, tampak kumuh dan tidak terawat. Area di belakang stasiun yang luas bahkan dimanfaatkan untuk parkir truk truk besar. 

Selanjutnya peserta menuju ke eks. Stasiun Kranggan. Sebuah stasiun yang belum pernah saya ketahui sebelumnya. Dari Secang, ikuti saja jalan raya ke Temanggung 
dan sesaat dari Pasar Kranggan tinggal belok kiri masuk gang. 
 
Sebuah stasiun yang kini dialihfungsikan menjadi rumah tampak terawat dengan baik. Inilah tempat tinggal Pak Karim yang merupakan mantan pegawai PJKA yang sudah menjalani pekerjaan sebagai pegawai kereta api dalam tiga jaman yakni Belanda, Jepang, dan pasca kemerdekaan Indonesia. Siang ini, kami hendak mendengarkan pak Karim bercerita. 

Memasuki usia yang ke 88, pak Karim nampak masih segar bugar dan ingatannya masih fresh. Pak Karim menuturkan tentang cerita yang kini sangat mengakar di masyarakat Kranggan dan sekitarnya yaitu tentang kecelakaan putusnya gerbong ke arah Temanggung yang akhirnya terjatuh dan memakan banyak korban di sekitar Jembatan Progo – Stasiun Kranggan dan Pak Karim ini adalah salah satu penolong para korban yang mana diceritakan pada waktu itu selain kondisi para korban yang mengenaskan juga tercecernya bahan bahan makanan seperti beras, minyak, gula, dan rokok. Waktu itu bila akan menjadi kaya tinggal ambil saja barang barang itu dan bahkan ada seorang perempuan yang diceritakan memiliki tubuh gendut dan putih dengan banyak kalung berlian. 

Selain itu, cerita tentang saat saat dimana pak Karim menjadi kepala rombongan lori dan menemukan sebuah ranjau yang dipasang di salah satu lajur rel. waktu di cek, eh malah Pak Karim yang menjadi tersangka dan dianggap beliaulah yang memasang ranjau tersebut. Dengan posisi tertangkap dan hampir saja terbunuh, setelah menunjukkan satu dari dua surat yang dibawanya, akhirnya Pak Karim pun bisa selamat. Menurut penuturan Pak Karim pula, bahwa stasiun Kranggan saat ini adalah yang ketiga kalinya karena pernah dipindah dua kali.  

Kami juga sempat diajak Pak Karim untuk meninjau lokasi dimana dahulu terjadi kecelakaan gerbong. Jalur ini sekarang ditutup dengan beton untuk mobilitas warga sekitar.
Dan hal hal yang saya takjub adalah saat Pak Karim menuturkan beberapa istilah Belanda tentang tata kelola letak rel ketika melintasi sebuah jalan air melewati atas atau bawah yang masih diingatnya dengan baik seperti ANSLOKAN dan KAPELSLOKAN. Hehehe.. 

Hari semakin siang, akhirnya rombongan berpamitan dengan Pak Karim dan keluarga.
Selanjutnya, rombongan menuju ke Eks. Jembatan Progo – Kranggan. Tidak jauh jaraknya dari stasiun Kranggan. Hanya sekitar 400 meter. Disitu, kami hanya bisa melihat pemandangan ini dari atas. Sebuah jembatan dengan konstruksi under beam/ penyangga bawah terbentang dengan kondisi yang masih terlihat kokoh. 
Rel rel yang bergelimpangan di sekitar jembatan ini juga *saya baru tahu* memiliki catatan tentang tahun pembuatan, yang saya temui adalah KRUPP 1901 N.I.S 28, dan KRUPP 1903 N.I.S 28. Dari pencerahan mas Tommy maksud dari tulisan tersebut adalah pabrik pembuat rel bernama KRUPP, pada tahun 1901/1903, pemesan adalah N.I.S, dan per meter dari rel ini beratnya 28 Kilogram. Wah, usia rel rel ini sudah lebih dari seabad ya.. 

Oke, kemudian kami menuju ke Plengkung Campursari, Bulu, Temanggung yang katanya mas Bagus akan membutuhkan perjalanan sekitar setengah jaman dari jembatan ini. Perjalanan melintasi Kota Temanggung dan sekitar 30 menit kemudian, kami sampai di sebuah Plengkung yang selama ini sudah sering saya lihat dan saya salah sangka. Saya kira plengkung itu adalah bekas jalur air, namun ternyata sebuah bekas rel kereta api. Dengan warna merah, plengkung ini sekarang dialihfungsikan menjadi jembatan penyeberangan. Dibawahnya dengan tiga buah terowongan kecil, bisa dilewati kendaraan kendaraan kecil. Lokasi plengkung yang tinggi mengindikasikan bahwa tanah sekitarnya seharusnya tinggi. Namun berdasarkan pantauan kami, tanah disekitarnya kini sudah di kepras menyesuaikan dengan rendahnya kawasan sekitar. 

Perjalanan dilanjutkan ke eks. Stasiun Parakan yang berada tidak jauh dari plengkung campursari. Berada di pinggiran kota Parakan, stasiun ini memiliki bentuk asli yang sedikit dimodifikasi. Bentuknya sangatlah bagus. Dengan model khas indische, stasiun penghabisan ini kini digunakan sebagai kantor Sub Divisi Properti dan Periklanan PT KAI
Salah satu ruang di stasiun ini digunakan sebagai tempat tinggal oleh Pak Slamet. Tidak banyak sejarah yang kami ketahui dari Pak Slamet ini karena beliau juga belum begitu lama tinggal disitu. Bagian pinggir dari stasiun ini memiliki semacam sayap yang saya sendiri kurang tahu apa maksudnya. 
Di bagian emplasment atau teras dalam tempat menunggu kereta datang, konstruksi lantai tegel dengan warna kekuningan kami jumpai sama dengan di Stasiun Secang. Keramik model belanda ini terlhat tidak berlumut dan kuat sekali. Bahkan kemungkinan memiliki rongga rongga sehingga air yang menggenang bisa meresap. 

Kami juga dibilangi Pak Slamet bahwa tidak jauh dari situ ada sebuah bangunan yang merupakan bekas toilet stasiun. Kini, depannya digunakan sebagai warung makan. Sebagai stasiun penghabisan, stasiun ini seharusnya memiliki turn table (pemutar arah loko) namun sampai sekarang tidak diketahui bekasnya. Pemandangan kumuh juga tercipta di salah satu sudut stasiun dengan bercecernya bermacam macam sampah. 

Puas menikmati eksotisme eks stasiun Parakan, kami menuju ke Stasiun Kedu. Oya, mas Anton yang merupakan peserta dari Wonosobo sekalian berpamitan pulang karena tidak mungkin bolak balik ke Magelang lagi. Hehe. 

Saya juga sempat melihat sebuah bekas jembatan kereta di salah satu sudut kota Parakan yang memotong sungai Parakan. Dengan mengira ira, dari Stasiun Parakan ini jalur rel kereta tampak sangat memutar, dengan melewati Plengkung Campursari, kemudian memotong persawahan kemudian memotong jalan raya Temanggung – Parakan via Kedu, hingga sampailah di Stasiun kedu. 

Sebuah bangunan yang tidak tampak tua teronggok di sebelah rumah mewah. Rel kereta yang terpampang sebagai pagar, dan salah satu alat pemutar kawat pengirim sinyal palang tanda kedatangan kereta yang masih dalam kondisi baik. Gedung bercat kuning ini menurut saya adalah bangunan Indonesia karena bentuknya yang standar sekali. 
Kemungkinan, dahulunya hanya merupakan stasiun kecil dari bambu atau kayu pada masa Belanda yang kemudian direnovasi. Tidak banyak yang bisa kami selidiki di stasiun ini dan kami hendak langsung melanjutkan perjalanan ke Temanggung.

Waktu menunjukkan pukul 12.30 siang dan tim Djeladjah memutuskan untuk ishoma di kawasan alon alon Temanggung. Tidak butuh waktu lama, akhirnya motor motor kami segera terparkir rapi di sebelah barat alon alon. Saya, pak gubernur, mas Yudha, dan mas agus segera menuju masjid untuk menunaikan shalat dhuhur. Kemudian, warung ijo di sebelah tenggara alon alon menjadi pilihan kami selanjutnya tanpa dengan mas Yudha karena sedang puasa. 

Nasi rames dengan lauk ikan pindang dengan segelas esteh serasa cukup masuk akal dengan harga 9K idr siang itu. Habis makan, kami segera berkumpul untuk segera menuju ke eks. Stasiun Temanggung.
 
Bangunan tua yang kini sangat terawat dan digunakan sebagai Gedung Juang 45 ini terletak di sebelas selatan Kantor Bupati Temanggung. 
Dari semua stasiun yang kami kunjungi, hanya ini satu satunya stasiun yang dirawat dengan benar, bahkan sedikit dimodifikasi dengan batu palsu di salah satu pojok temboknya (hehehe) bangunan ini juga telah ditambah dengan sebuah ruang pertemuan yang bila kita lihat keramik terasnya akan tampak perbedaan yang begitu nyata :D
Gedung ini saya sendiri kurang tahu selama ini digunakan untuk apa, namun saya kira, kadang kadang saja gedung ini dibuka. Saya dan rombongan harus puas hanya bisa menikmati bekas stasiun ini dari luar. 

Lepas dari eks Stasiun Temanggung, akhirnya kami harus pulang ke Magelang untuk mengunjungi eks Stasiun Payaman yang merupakan tujuan terakhir kami. Berada tidak jauh dari pasar Payaman, bekas stasiun kecil ini sangat memprihatinkan. Halaman emplasment nya kini dibangun sebuah tembok dan difungsikan sebagai garasi entah oleh siapa. Yang masih tersisa di stasiun ini adalah sebuah bangunan yang dulunya dipercaya sebagai toiletnya stasiun ini. Selain itu juga ada semacam rel yang terpasang melintang yang berhadapan secara frontal dari arah Secang menuju ke stasiun ini. Berdasar info dari mas Tommy, gunanya untuk menghentikan laju lokomotif apabila rem blong biar nggak nabrak stasiunnya.  (hehe, mungkin nggak sih?) namun bila dipikir pikir mungkin betul juga. 

Alhamdulillah Djeladjah Djaloer Spoor ini sukses terlaksana dan beberapa anggota djeladjah berpamitan antara lain mbak Granita dari Jogja dan Pak Darmawan. Tujuan kami selanjutnya adalah menunjungi rumah mbak Nana Listyani yang merupakan member aktif di facebook KTM, dia ini asli Magelang dan tinggal di Jakarta. Dengan keluarganya yang berasal dari kalangan Tionghoa, menjadikan cerita cerita mbak Nana ini sangat berpengaruh terutama  kaitan kaitannya dengan  sejarah kawasan Pecinan Magelang yang juga merupakan kawasan tua Magelang. 

Dirumah mbak Nana ini sedang ada upacara ritual dalam rangka menyambut Imlek. Setelah kami bertemu dan kenalan (karena diantara kami tidak ada yang pernah ketemu dengan mbak Nana), kami segera duduk di kursi yang di sediakan dan tanpa diminta, mbak Nana langsung bercerita tentang ritual yang tujuannya untuk mendoakan arwah arwah leluhur. Dan tentang pemberian angpao yang dimaksudkan untuk menangkal setan. Dan juga masih banyak yang diceritakan tentang ritual ritual orang keturunan Tionghoa ini. 
 
Bagi kami, kunjungan terakhir ini benar benar seperti mengunjungi Stopplaast Kramat yang belum terdeteksi itu karena rumah mbak Nana ini berada di kawasan Kramat. Hehehe..
Oya, dari stasiun stasiun yang kami kunjungi tadi, saya tidak menemukan prasasti yang menandakan kapan dibangunnya stasin stasiun tersebut, namun kuat dugaan saya, mereka dibangun bersamaan dengan dibukanya jalur jalur kereta api tersebut pada akhir 1800 hingga awal 1900an..

Waktu segera sore, dan kami akhirnya barji barbeh alias bubar siji bubar kabeh, saya mengantarkan pak Gubernur ke kawasan Pahlawan untuk kemudian segera melanjutkan perjalanan ke rumah saya. 

Alhamdulillah even kali ini kami tidak bertemu dengan hujan sehingga suasana terasa kondusif.. 
thanks to : Komunitas Kota Toea Magelang dan materi dari Booklet Djeladjah Djaloer Spoor.
 
Read More..

Friday, January 20, 2012

Nu Year 2012 at Purbalingga (A Full Wet Holiday)

Setelah lama terbengkelai, semoga saja ingatan saya belum banyak yang terbuang.. tentang tahun baru 2012 yang lalu yang mana saya lalui di Purbalingga. Berbeda dengan cerita tentang Tahun baru 2011 yang lalu di Pekalongan, kali ini kami mengajak Izul untuk ikut menikmati Tahun Baru. Kota yang dikunjungi pun kotanya Rina, Purbalingga. 
Hari pertama # Jumat 30 Desember 2011
Hari jumat yang tidak begitu cerah, beberapa saat setelah pulang kantor, saya pun langsung menjemput rekan rekan saya yaitu Rina, Izul dan Lintang. Sampai di kost saya, saya dan Lintang langsung menuju ke masjid untuk shalat jumat.
Shalat jumat pun selesai dan sebelum berangkat, saya sempatkan makan siang nasi rames yang dibawain sama Rina. Makan selesai, akhirnya setelah sedikit packing, jam 12.45 kami sudah siap untuk go on menuju Purbalingga. Belum apa apa, baru sekitar 500 meter perjalanan, tepatnya di depan Pabrik Karoseri Laksana, hujan mengguyur dengan hebatnya. Kami pun tak kuasa untuk melanjutkan perjalanan dan akhirnya kami ngeyup sejenak sekitar 10 menit. Hujan sedikit reda dan kami melanjutkan perjalanan dengan memakai mantol.
Perjalanan kali ini, kami melalui rute Ungaran – Bandungan – Temanggung – Wonosobo – Banjarnegara – Purbalingga. Beberapa saat sebelum sampai Bandungan, mampir sejenak untuk beli minum. Lanjut perjalanan dan kami Alhamdulillah tidak dihadang dengan hujan. Bahkan sampai di daerah Sumowono. Dan akhirnya kami sepakat untuk melepas mantol. Lanjut … perjalanan melewati jalan dengan panorama yang indah dan hawa yang sejuk tentunya.
Beberapa saat sebelum sampai di Temanggung, hujan kembali datang dengan intensitas yang cukup tinggi. Dan memaksa kami memakai mantol lagi. Kami hanya bisa menerima ini semua dan melewati Kota Temanggung dengan mantol. Huahuahua.. tidak sampai situ saja, bahkan sampai di Parakan. Lalu di Parakan hujan ternyata sudah tidak jatuh, sembari mengisi BBM, kami melepas mantol untuk melanjutkan perjalanan di kawasan cantik Kledung. Ya, memang kawasan ini sangat indah karena berada di antara Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro. Belum sampai perbatasan Temanggung – Wonosobo, hujan kembali mendera. Dan kami terpaksa lagi ngiyup untuk kemudian memakai mantel. Mendekati perbatasan Temanggung – Wonosobo, kami mampir di sebuah warung kopi dengan nama  Sindoro Sumbing Coffee House and Trading yang dibilang sama Rina adalah Rumah Kaca.
Hujan yang begitu deras serasa membuat sendi sendi menjadi kaku dan badan terasa ingin rehat dengan yang hangat hangat. Pesan 4 cangkir kopi dengan beberapa macam menunya, gorengan yang satu bijinya seribu rupiah, dan dua porsi nasi goreng untuk saya dan lintang, satu porsi mie goreng untuk Izul, dan satu porsi mie rebus untuk Rina. Berhenti beberapa saat disitu ternyata Alhamdulillah hujan mereda, setelah membayar 45K idr untuk porsi makan kami tadi, kami lanjutkan perjalanan menurun ke arah Wonosobo. Perjalanan yang dingin sampai di daerah Kretek. Dan lagi lagi hujan, pakai mantol lagi akhirnya…

terus sampai di Kota Wonosobo, kami sempatkan mampir di SPBU untuk menunaikan shalat ashar. Setelah istirahat sejenak untuk shalat ashar, jarum jam menunjuk sekitar pukul setengah lima. Lalu tidak jauh dari situ, Lintang turun karena memang rumahnya dia di Wonosobo dan memang dia sengaja bareng untuk sampai Wonosobo saja. Kemudian, izul memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sendiri sementara Rina berada di jok belakang smash saya.
Perjalanan yang masih di temani dengan rintik hujan sembari beberapa kali bercanda di jalanan, melewati kawasan sepi dan panjang Wonosobo – Banjarnegara, kami lalui dengan badan yang capek dan lelah lebih lebih karena hujan turun terus terusan. Bahkan, baju saya juga sampai basah meski sudah memakai mantol.
Begitu sampai di SPBU Purwonegoro, Banjarnegara, izul mampir untuk beli BBM, disitu ada kolam dengan koleksi ikan raksasa yang kira kira besarnya bisa sama dengan tubuh manusia dewasa.. hiii..  tidak lama kami disitu lalu melanjutkan perjalanan ke Purbalingga. Namun sesampainya di Klampok, ternyata hapenya Rina jatuh.. dan dia langsung panik.. saya berusaha menenangkan dia dan akhirnya Alhamdulillah hape tersebut ditemukan dalam kondisi tidak apa apa hanya lecet sedikit..rupanya dia lupa menaruh di saku mantol.
Dari Klampok ke Purbalingga, memang tidak hujan. Dan rina sesekali memberitahu ke Izul tentang tempat tempat yang (mungkin) pernah diceritakannya sebelum izul kesini. Oiya, ini adalah pertamakalinya izul datang ke Purbalingga. Sedangkan, saya ketigakalinya datang ke rumah Rina.
Belum sampai rumah Rina, ternyata gerimis, dan akhirnya sekitar pukul setengah delapan malam kami sampai di rumah Rina dengan selamat sentosa.

Setelah sedikit mengobrol dengan ibunya Rina, kami lalu langsung mandi dan ganti baju, tentunya setelah itu saya mengganti shalat magrib yang tadi tidak saya jalankan. Saya dipersilakan untuk tidur di kamarnya adiknya Rina yang berada di belakang sementara izul tidur dikamar rina sama rina. Malam itu, kami tidak begitu banyak bercerita karena memang kami merasa sangat capek.
Hanya menghabiskan minuman teh dan makan malam, setelah itu ngobrol ngobrol tidak terasa sudah pukul 22, akhirnya saya pamit undur diri untuk segera tidur..
Hari kedua # Sabtu, 31 Desember 2011  
Pagi yang segar, diawali dengan bangun pagi pukul 5, lalu dengan badan yang pegal pegal saya langsung mengambil air wudhu untuk shalat subuh. Habis shalat subuh, saya kembali tidur tiduran seraya menunggu Rina dan Izul siap siap. Ya, pagi ini kami hendak berjalan jalan ke Pasar Badog, yang ada di Jl. Ahmadi, kawasan Bancar.
Waktu menunjukkan pukul 06.30, kami segera berangkat setelah sebelumnya meminum teh buatan ibunya Rina. Perjalanan pagi melewati perumahan, dan tidak lama langsung sampai di Kota untuk menuju ke pasar pagi tersebut. Hanya sekitar 15 menit, kami sudah sampai di tempat yang dimaksud. Rina membeli beberapa potong mangut , lalu kami membeli makanan makanan ringan ditempat yang dulu juga saya pernah diajak beli.
Selesai berbelanja pagi ini, kami kembali melalui jalan jalan di Kota Purbalingga dengan suasana paginya.

Dan kami juga melihat sebuah pengerjaan panggung di kawasan Stadion Gelora Goentoer Darjono yang merupakan titik pusat perayaan tahun baru nanti malamnya.
Begitu sampai di rumah Rina, kami memakan beberapa makanan ringan yang kami beli tadi, dan kami tidak boleh lupa diri karena kami ada jadwal ke Owabong hari ini.
Sekitar pukul 07.45 kami berangkat ke Owabong. Jaraknya sekitar 6 km dari rumah Rina.


Sesampainya di sana, ternyata tempat parkir masih begitu sepi. Parkir motor lalu segera membayar 60K idr untuk tiket masuk kami bertiga.
 
Begitu masuk, kami disuguhi dengan sebuah akuarium panjang dan jalan paving dengan kanan kiri pepohonan yang rindang. Ternyata kawasan ini adalah sebuah mata air alami, dan nama Owabong adalah kependekan dari Obyek Wisata Air Bojongsari. Daearah situ memang namanya Bojongsari. Rina dan Izul tampak tidak begitu menikmati suasana ini dan buru buru ke ruang ganti. Sementara saya memilih sibuk melihat pemandangan tempat ini. Di dekat kolam renang Olyimpic,

sebutan untuk kolam renang standar internasional, ada sebuah gedung yang berfungsi sebagai ruang ganti, bilas dan loker. Kami harus merogoh uang 5K idr untuk menyewa satu loker yang hanya satu kali kunci-buka. Jadi kami harus salin dulu, baru setelah salin, loker dikunci dan tidak bisa dikunci lagi kalau udah dibuka sekali. Hehehe..
Setelah salin, kami langsung menuju ke sebuah kawasan yang ada kolam arusnya dimana disitu banyak sekali anak anaknya, air disini dingin sekali karena air alami. Lalu kami mendatangi sebuah flying fox yang bertarif 10K idr. Namun setelah nego nego sama Rina, akhirnya kami ditawari bertiga bayar dua. Hehehe.. akhirnya dengan 20K idr, kami bertiga bisa meluncur diatas sebuah kolam. Dan ini adalah pertamakalinya saya naik flying fox.. memang benar benar merasa sebagai rubah terbang. Wkwkw..hanya sekitar 10 detik meluncur, hingga akhirnya kami tercebur dikolam karena memang ujung kawat satunya berakhir di tepian kolam dengan pengaman sebuah bantal angin raksasa.
Sudah meluncur, saatnya kami mencoba sebuah plosotan yang kata Rina, ini lebih curam dari yang di water blaster, meskipun tidak terlalu panjang. Naik, melalui sebuah tangga, akhirnya saya dan Izul memberanikan diri menaiki plosotan ini. Sementara Rina bilangnya sudah kapok. Sampai diatas, saya merasa harus bisa melawan ketakutan saya sendiri. Dan setelah mengambil posisi, wusss.. tubuh serasa meluncur cepat melewati beberapa tikungan dan putaran dengan sedikit goyangan papan plosotan yang menambah ngeri suasana. Sekitar setengah menit kemudian, tercebur di kolam yang segar. Wuih.. ngeri banget.. saya aja cukup kapok juga ini.. wkwkwk..
Setelah menikmati plosotan ngeri ini, kami bertiga menyewa sebuah pelampung yang bisa kami gunakan untuk menikmati kolam arus..  untuk tiga buah pelampung, 15K idr tidak bisa ditawar lagi dan harus kami keluarkan dari saku celana yang basah. Kamipun menikmati permainan kami bertiga yang seakan akan seperti sedang menjinakkan seekor buaya. Hehehe.. cukup lama kami bermain main di kolam arus ini. Wahana wahana lain yang kami coba adalah bantal raksasa yang kalau dinaiki kemudian diloncati kemudian diinjak oranglain maka orang pertama tadi akan terlempar. dan ember tumpah seperti di kebanyakan waterpark.
Selain itu, di Owabong ini juga masih ada wahana lain yakni jet coaster dan gokart.
Lama sekali kami menikmati wisata air ini sampai sekitar pukul 10.00, habis itu kami menuju ke ruang bilas dan ganti pakaian, lalu keluar dari obyek wisata ini.


Rasa puas dan senang rasanya cukup mengekspresikan liburan hari terakhir di tahun 2011 ini. Oya, di Owabong ini juga terdapat sebuah pesawat terpal yang diparkir untuk tujuan edukasi. Seperti di Taman Kyai Langgeng Magelang



Petualangan kami selanjutnya adalahke Taman Reptil yang kini berganti nama menjadi Sanggaluri Park, yang saya ketahui dari bapak penjaga ruang ganti bahwa lokasinya tidak jauh dari Owabong, yaitu hanya sekitar 2 kilometer saja.
Keluar dari owabong, kami jajan ojek dan ternyata Izul tidak doyan sehingga dihabiskan sama saya.. hahaha..

ambil motor, lalu kamipun meluncur ke Sanggaluri Park.
Sesampainya di Sanggaluri Park, kami segera memarkir motor dan membeli tiket 30K idr bertiga.

Begitu masuk, kami menjumpai sebuah ruangan besar dengan koleksi macam macam ular hidup yang dikurung dalam lemari kaca.

Ada juga ular piton besar warna cokelat dan kuning.

Selain ular, kami juga menemui macam macam hewan avertebrata, namun hewan hewan ini tidak ada yang hidup tetapi hanya awetan awetannya saja.

Hewan hewan ini diperoleh dari seluruh penjuru Indonesia. Selain itu, juga kami jumpai bermacam macam awetan kupu kupu.

Menuju ruang kedua, kami temui sebuah kandang besar yang disitu berisikan pohon, ular ular, dan burung burung, seakan akan mengatakan bahwa mereka bisa hidup berdampingan dengan damai.. hehehe.. tidak jauh darisitu kami juga menemui buaya buaya dan macam macam kadal, juga kura kura.
 
Menuju ke ruang lain, kami bertemu dengan seekor burung kakaktua tidak jauh dari sebuah jembatan yang ternyata akhirnya menjadi akrab sama saya. Wkwkwk..


 
Darisitu, kami menuju ke sebuah museum dengan nama Rumah Prestasi Purbalingga yang koleksinya adalah bermacam macam piagam penghargaan yang diperoleh Kabupaten Purbalingga dalam berbagai ajang dan kegiatan.



Disebelah gedung ini, kami jumpai Museum Uang Purbalingga.  

Saya sendiri tidak mengira kalau di Purbalingga ada museum seperti ini. Koleksinya lengkap banget. Mulai dari uang uang kuno jaman majapahit, sampai uang uang seluruh dunia baik koin atau kertas ada disini.



Dijamin nggak rugi kalau anda bisa mengunjungi tempat ini.
Puas dari museum uang, kami terjebak gerimis yang berangsur angsur berubah menjadi hujan deras sehingga kami berpindah pindah berteduh, hujan yang sangat deras ini akhirnya memaksa kami berteduh di depan kantor pemasaran dan berbincang bincang dengan seorang pegawai sana. Hujan memang tidak berhenti sehingga sekitar 1 jam kemudian kami nekat untuk menuju ke pintu utama, darisitu, kami menunggu sejenak hujan reda kemudian memakai mantol untuk pulang ke rumah Rina. Rencana kami untuk makan Soto Bancar yang paling terkenal di Purbalingga pun harus kandas. :(
Perjalanan ini melewati tempat tempat yang belum saya kenal sebelumnya hingga secara tiba tiba sudah berada di kawasan Terminal Purbalingga. Dari situ, sudah dekat dan sesampainya dirumah Rina, kami segera mandi karena dalam perjalanan pulang ini kami lagi lagi kehujanan.
Kira kira pukul 4 sore, setelah kami makan mie instan, duren yang belum begitu matang akhirnya menjadi andalan kami selanjutnya, dengan bantuan bapak Rina, akhirnya dua butir duren berhasil kami santap meski tidak sampai habis. Hehehe..
Sore ini, kegiatan kami tidak begitu padat, dan juga badan kami serasa begitu capek setelah berbasah basah di Owabong ditambah dengan hantaman air hujan menjadikan kami nyaman untuk berada ditempat tidur masing masing.
Malam terakhir di tahun 2011, kami masih saja capek dan sedikit mengobrol di teras depan. Kami juga ditemani oleh seorang keponakannya Rina yang bernama Dea.
 
Hujan rintik rintik membuat kami malas untuk pergi malam ini, akhirnya sekitar pukul 09.00 kami keluar dengan mobil yang dikemudikan oleh bapak Rina. Malam itu kami keliling di seputar kota sembari Rina dan bapak menjelaskan tempat tempat di Kota Purbalingga ini. Salah satunya adalah SMP N 3 Purbalingga tempat bapak mengajar dulu dan tempat Rina menuntut ilmu duduk di bangku SMP. :)
Sekitar satu jam kemudian, jalan jalan pun berakhir dan saya langsung menuju kamar untuk segera tidur.
#hari ketiga, Minggu, 1 Januari 2012
Duer duerrrr… treeeeet……… dor dor..!!
Suara suara kembang api yang terdengar tidak jauh dari rumah membangunkan saya, memang rumah Rina tidak begitu jauh dari stadion, hanya sekitar 1 km, itupun hanya dibatasi hamparan sawah. Badan merasa sangat capek sehingga saya mengurungkan niat saya untuk sekedar melihat kembang api dari kejauhan….
Lagi lagi saya bangun pukul 5 pagi dan shalat subuh lalu kembali tiduran. Pagi ini kami hendak jalan jalan ke Alon Alon.
Jam 6 lebih sedikit, kami sudah siap untuk berangkat jalan jalan pagi dengan motor. Hehehe.. Dea dan Faiq (keponakannya Rina juga) ikut. Tidak jauh memang perjalanan menuju alon alon ini dan akhirnya kami pun sampai di alon alon dengan suasana pagi yang segar bugar.



Jalan jalan memotong alon alon (karena bukan memutar), dan tidak lupa berfoto di depan terompet untuk menguatkan tema perjalanan saya kali ini yaitu Tahun Baru. Hehehe..
Disalah satu sisi Alon alon, lagi lagi saya berhasil memotret peta Kota Purbalingga yang ada di sebuah pos polisi, sama persis kejadiannya seperti di Pekalongan.
Pagi ini, kami selain jalan jalan, juga sekalian akan mencari sarapan pagi. Akhirnya terpilihlan sebuah warung Bubur Ayam yang menjadi langganan bapaknya Rina. Sarapan bubur ayam yang sangat nikmat menurut saya, dengan segelas free air putih, cukup mengisi perut kami pagi ini.
Habis sarapan, kami segera pulang karena pagi ini Izul hendak pulang ke Tegal.
Dirumah, kami segera mandi dan bersiap siap untuk mengantar Izul ke Purwokerto. Izul sendiri ternyata belum pernah ke Purwokerto, apalagi melewati jalan ke arah Tegal. Setelah sarapan (lagi), kami pun berangkat.. baru masuk kota Sokaraja, ditempat sentra oleh oleh getuk goreng, setelah kami membeli beberapa besek getuk goreng untuk oleh oleh, ternyata lagi lagi didera hujan. Kami pun harus rela memakai mantel lagi untuk melanjutkan perjalanan ke Purwokerto. Kota yang lumayan besar ini akhirnya dapat sedikit saya hafal jalannya, tidak lama kemudian, kami sampai di perbatasan Kota. Disitu ada sebuah jembatan dan kami harus berpisah dengan Izul..
Selepas Izul pergi, saat itu pula mantol kami pun ikut kami lepas karena cuaca sudah agak bersahabat. Kami pulang melalui kawasan Unsoed Pabuaran dan ternyata kami sempat kesasar sehingga kami harus tanya dengan seorang bapak bapak. Cukup satu kali tanya, akhirnya kami dapat melanjutkan perjalanan dengan lancar jaya melewati daerah dimana mbaknya Rina dulu pernah ngekost. .
Darisitu, perjalanan melewati sebuah jalan alternatif dan tak berapa lama, sampai juga di Purbalingga via Padamara. Pagi ini, saya hendak sekalian membeli handphone karena charger handphone siemens saya sudah rusak. Rina juga sekalian mencari kado.
Pilihan jatuh di kawasan Jl. A. Yani Purbalingga. Di sebuah swalayan besar bernama Indorizky, akhirnya kado pun didapat, dan tidak jauh darisitu juga, uang 180K idr berhasil saya barter dengan handphone samsung baru.
Hari sudah siang, sampai di rumah lagi sudah pukul 10.30an, kami harus segera bergegas untuk mengepak kado. Suasana siang itu ramai sekali karena sedang ada acara keluarga, jadi mau tidak mau saya harus bertemu dengan saudara saudaranya Rina.
Pukul 11.30 sudah, kami harus segera berangkat. Siang ini saya harus kembali ke Semarang, sementara Rina harus kondangan di daerah Banjarnegara. Akhirnya setelah packing, sayapun berpamitan dengan ibu Rina untuk pulang ke Semarang, Rina bonceng saya dan saat saat kebersamaan ini sangat menyenangkan mengingat kemarin kemarin kami tidak bisa berduaan karena ada Izul :D.. hahahahaha
Perjalanan melewati Bukateja dan melalui sebuah jalan yang bukan merupakan jalan utama. Dikiri kanan jalan masih membentang persawahan, dan jam 12 lebih sedikit, setelah beberapakali ragu ragu, akhirnya kami bertemu dengan Widya, temannya Rina yang sudah pulang kondangan. Kamipun berusaha mencari sendiri tempat nikahan itu. Melalui sebuah jalan akhirnya kami sampailah disebuah Balai Desa, namun ternyata acara resepsi sudah selesai. Dan kami diantar ke rumah yang punya gawe.
Disana, Rina ketemu temen temen kuliahnya dan mengobrol ngobrol sejenak sembari kami menikmati makan siang kami.

Setengah jam kemudian, kami berpamitan hendak pulang, kami melewati sebuah bendungan Mrican dan tidak jauh darisitu, sudah sampai juga jalan Raya Banjarnegara – Purbalingga. Kamipun harus rela untuk berpisah. Tidak lama menunggu, akhirnya datanglah bus yang akan mengantarkan Rina ke Purbalingga. Sayapun masih harus berjibaku dengan medan ini menunggangi smash sampai Semarang.
Baru sampai di Banjarnegara, saya istirahat shalat dhuhur hujan kembali menerjang. Berhubung masih rintik rintik, sayapun memacu smash agak kenceng dan sampai di Kota Banjarnegara, hujan deras mengguyur. Lagi lagi saya harus memakai mantol untuk melanjutkan perjalanan. Di perbatasan Banjarnegara – Wonosobo, hujan yang sangat deras membuat jiwa serasa tersiksa. Saya pun memilih untuk berjalan pelan dibelakang truk untuk memperkecil intensitas serangan hujan dari depan.
Sampai di Wonosobo, saya pun bertemu dengan Lintang, masih dalam kondisi hujan deras. Lintang yang kemarin ikut kami, sekarang ikut saya lagi untuk bareng sampai di Semarang. kami langsung memacu smash ke arah Temanggung. Perjalanan ini terasa begitu ramai karena Lintang tidak henti hentinya mengajak bercerita. Akhirnya sampailah di Parakan dan saya menawari Lintang untuk gantian mengemudi smash. Sementara saya di belakang, kami memilih rute reguler melewati Temanggung, Pringsurat, karena jika melewati Sumowono takut ada kriminal mengingat hari sudah sore dan hampir gelap.
Berada di belakang jok smash membuat saya merasa sedikit lega dan bisa sedikit mengantuk. Perjalanan yang jauh ini akhirnya terhenti di Bawen untuk kembali ganti pengemudi. Saya berada di depan untuk mengantarkan Lintang ke Unnes sementara habis itu saya kembali ke Ungaran. Akhirnya jam 19.00 saya dengan sukses telah kembali ke kost.
Perjalanan yanng melelahkan dan pengetikan yang melelahkan pula… :D
Read More..
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...