Friday, April 18, 2014

Dolan Bareng Komunitas Blusukan Solo on Magelang Heritage Walk (30 Maret 2014)





Berdasarkan informasi dari Ryan dan Anglir, saya mengiyakan tawaran mereka untuk menemani teman-teman dari Komunitas Blusukan Solo yang akan mengadakan piknik ke Kota Toea Magelang! Sabtu itu (29/3/2014), kami berhasil mengumpulkan tenaga sebanyak 5 personil yaitu Ryan, Anglir, saya, Mas Novo dan Mas Heru serta ditambah  tuan rumah Tony Kusumahadi di kediaman dan tempat usahanya, Warung Voor de Tidar Jl Gatot Subroto Magelang. Sembari makan gorengan dan minum-minum, kami mengadakan diskusi untuk acara kami besok Minggu.

Sehari kemudian, saya bangun pagi pagi sekali dan karena kamar mandi dirumah sedang tidak bersahabat, saya memutuskan untuk mandi pagi di Pom Bensin Blabak. Setengah jam kemudian saya sampai di start point di rumah mas Tony Kusumahadi. Tidak butuh waktu lama, akhirnya tim kali ini langsung komplit. Sembari menunggu teman-teman dari Blusukan Solo, kami menikmati teh dan mempersiapkan mental untuk mengguide mereka. :D
Tim : Novo, Anglir, Ryan, Ake Ru, dan Hamid

Jam sepuluh pagi, kami bertolak ke alun-alun dengan menumpang Suzuki Karimunnya mas Tony. Proses menunggu Blusukan Solo terasa sangat lama. Seperti yang diberitakan sepanjang kontak kami, mereka berurusan dengan polisi karena bis Mulyo Indah yang mereka sewa tidak ada embel-embel Pariwisata sehingga kesulitan mengakses masuk Kota Magelang. Alhamdulillah, setelah sekitar 1,25 jam menunggu dan kami juga sudah capek foto-foto bis putih dengan corak biru merah itu datang juga. 
Menunggu di Alun alun

Amazing! Dengan bis besar itu, jumlah peserta heritage walk kali ini fantastis! Bisa sampai sekitar 50-an orang. Kamipun dengan diwakili oleh mbak Anglir langsung menyambut mereka setelah bersalaman dan membagi booklet. Siang itu cuaca cukup terik. Untuk menyingkat waktu, kami langsung saja memulai acara siang ini ;
Mb Anglir

Water Toren
Ryan menjelaskan tentang keunikan water toren. Bangunan di pojok alun-alun Magelang yang gagah ini memiliki system pengairan tanpa mesin tapi menggunakan prinsip gravitasi. Mata airnya ada di daerah Bandongan dan Pucang, Secang. Bangunan yang dibangun pada 1918 ini juga merupakan salah satu karya terbaik dari Herman Thomas Karsten di Magelang selain kawasan Gladiool dan kawasan  Kwarasan. Hingga kini bangunan tersebut masih berfungsi baik dan dikelola oleh PDAM Kota Magelang. 
Ryan berceloteh tentang Water Toren

Siang ini, kami tidak bisa memasuki Water Toren karena waktu dan perijinan yang belum memungkinkan. 

Regenthuis
Di seberang Balai Pelatihan Keuangan, masih dibawah Water Toren kami kembali berhenti. Mas Novo gantian berceramah tentang Regenthuis yang kini menjadi gedung Bapelkeu tersebut. Dikisahkan bahwa Regenthuis alias rumah dinas sekaligus kantor Bupati Magelang itu sisa-sisanya kini sudah tidak ada sebagai akibat dari clash Belanda tahun 1949.  Pada waktu itu sebagaian besar bangunan rusak dan kemudian di renovasi menjadi Bapelkeu seiring dengan pemindahan ibukota Kabupaten Magelang ke Kota Mungkid. Menjawab pertanyaan dari seorang kawan dari Blusukan Solo, saya juga sedikit bercerita menyinggung tentang pendirian Negeri Magelang dikaitkan dengan prasasti Mantyasih.

GPIB
Dua puluh lima meteran dari lokasi regenthuis, kami sampai di depan Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat. Dari seberang jalan, Nampak Gereja ini sangat artistik. Di koleksi foto lama milik Komunitas Kota Toea Magelang, Gereja ini sudah sering dipotret sejak akhir 1800-an dan awal 1900an. Bentuknya luar biasa bertahan dan tidak pernah ada perubahan. Beberapa fasilitas seperti kursi jemaat, kursi majelis dan tangga masih dalam bentuk aslinya. “dahulu didalam ada Orgel, sebuah alat music semacam orjen dengan pipa-pipa besar. Sayangnya sekarang sudah tidak ada” sambung Ryan.

Societeit, Roxy Theater dan Hotel Loze
Sampai depan Gardena, kami kembali berhenti dan giliran saya bercerita tentang masa kejayaan bioskop di Magelang khususnya tentang Roxy Theater. Pada masanya bioskop ini adalah bioskop elit yang ada di Magelang selain Alhambra Theater di Jordanlaan. Kegiatan hiburan di Kota Magelang saat itu sudah canggih dengan adanya societeit di sebelah timur laut alun-alun, bioskop serta hotel di timur alun-alun. Membayangkan saja sudah terasa syahdu. :D :D sementara itu, Hotel yang dibangun oleh Th ID Loze kini tidak berbentuk. Hanya satu yang tersisa yaitu kolam renangyang kini entah masih ada fisiknya atau tidak. Penamaan kampong di sekitar situpun nampaknya karena ada Hotel Loze ini sehingga sampai sekarang bernama Losmenan. Pada jamannya, iklan Hotel Loze ini sangat sporadis dengan embel-embel view gunung-gunung. Wajar saja hotel ini memiliki reputasi yang sangat bagus karena juga dilengkapi dengan kolam renang. Pada awal tahun 1900an, hotel ini dapat dikontak di nomor telepon 6.

Tugu Aniem dan Kelenteng Liong Hok Bio
Banyak orang salah menebak bahwa tugu di depan kelenteng Liong Hok Bio itu adalah tugu nol kilometer Magelang. Bukan! Sekali lagi bukan dan salah. Yang ada bukan tugu tapi hanya patok kuning kecil disebelahnya. Sedangkan tugu yang dulu pernah dilengkapi dengan jam tersebut adalah tugu peringatan masuknya listrik di Magelang yaitu pada Maret 1924. Mas Tony Kusumahadi bercerita puanjang lebar tentang system kelistrikan umumnya di Jogja dan Jawa Tengah. Beliau memaparkan juga tentang PLTA Jelok yang kini masuk secara administrative di Tuntang Kabupaten Semarang yang menjadi pasokan utama listrik sejak jaman Belanda. Selain itu, gardu pengoperasian di Magelang dipercaya ada di Kebonpolo. 

Lepas dari Tugu Aniem, Ryan kembali bercerita saat kami sudah memasuki halaman Kelenteng Liong Hok Bio. Dia menceritakan sekilas tentang kelenteng yang dibangun pada 1860-an tersebut. Satu yang unik yaitu cerita tentang pembangunan Tugu Aniem tepat di depan gerbang kelenteng yang dipercaya pihak Belanda sebagai penutup pintu rejeki bagi komunitas Tionghoa. :D
 
Bah Ting Lok dan Dawet Ngasem
Mengitari alun-alun ternyata sudah cukup melelahkan. Dengan sedikit lelah dan kepanasan kami memotong Jalan Pemuda dan saya sedikit bercerita tentang Bioskop Kresna milik Bah Ting Lok. Rumah mewah dibelakangnya dengan teras super luas dengan gaya indisce-jawa itu juga tidak luput dari perhatian kami. Ya, rumah itu dahulunya merupakan kediaman Bah Ting Lok yang juga mempunyai Opelet yang diparkir di sebelah timur rumahnya. :)
Eks. Bioskop Kresna

Mas Tony menambahkan bahwa Jalan Kawatan tempat kami singgah ini berawal dari banyaknya kawat yang melintang. Diperkirakan bahwa dahulu kantor pos dan telegraf menjadi satu dan bentangan kawat-kawat telegraf waktu itu menyesaki jalan ini sehingga lama kelamaan disebut dengan Jalan Kawatan.

Setelah kami berjalan menyusuri gang-gang kecil disebuah titik keramaian pasar tepat di samping kali manggis, telah menunggu kami seorang ibu diantara penjual lainnya. Ya, this is our first check point, bro! kami akan merasakan segarnya dawet Magelangan free hari ini. Yaa, benar saja, dawet dengan harga regular 2,000 rupiaah itu memiliki macam-macam campuran seperti cendol, tape, cenil putih, hingga roti. Rasanya, jangan ditanya. Dijamin maknyus! Apalagi siang begini dengan komposisi es batu yang sedikit dilebihkan. Langsung mengecharge tenaga kami. :D
 
Setelah semua peserta heritage walk terpuaskan dahaganya, kami kembali memacu langkah kaki untuk kembali ke kawasan Alun-alun. 

MOSVIA dan Masjid Agung Magelang
Berada di sebelah selatan alun-alun, itulah kantor Polisi Resor Magelang Kota. Dilihat dari gaya bangunannya, jelas sekali bangunan itu adalah peninggalan Belanda. Mas Tony menjelaskan bahwa bangunan itu dahulu merupakan sekolah pamong praja/pegawai pemerintahan dari unsure pribumi yang bernama MOSVIA, disingkat dari Middlebare Opeiding School Voor Inlandhsche Ambtenaren. Lebih jauh mas Tony bercerita tentang asal-usul sekolah OSVIA yang juga membuka cabang-cabangnya di Blitar dan Probolinggo. 
Mas Tony bercerita tentang Mosvia

Kunjungan seputar alun-alun kami diakhiri dengan sedikit cerita tentang Masjid Agung Magelang. Masjid yang berawal dari mushola itu dipercaya sudah ada sebelum adanya Pemerintahan Bupati Magelang yang dipugar pertamakali pada kisaran tahun 1870-an oleh Danoekoesoemo. Bupati Magelang yang ketiga pada era Hindia Belanda. Satu yang unik dari masjid ini adalah pada waktu air belum mengalir sampai Kota Magelang, untuk wudhu maka para jamaah harus rela berjalan ke sungai Progo yang jaraknya sekitar 1 km dari masjid.
 
Museum Diponegoro
Pukul duabelas siang lebih sedikit, tim KTM bersama rombongan Blusukan Solo berada dalam satu bis untuk menuju ke eks Kantor Residen Magelang. Sepanjang jalan, kami sebagai tour guide menjelaskan tentang kawasan-kawasan yang dilalui. Tiga menit, kami telah sampai. Kompleks perkantoran ini sekarang digunakan sebagai kantor Bakorwil Kedu Surakarta. Berhubung sudah masuk waktu ISHO tanpa MA, kami segera mengambil air wudhu dan sholat di masjid kompleks Bakorwil sembari menuggu konfirmasi dari pengelola Museum Diponegoro.

Museum ini berada di salah satu ruang tempat dilangsungkannya perundingan dan penjebakan antara Pangeran Diponegoro dan Pemerintah Hindia Belanda yang diwakili oleh Jenderal de Kock. Selesai sholat, kamipun segera berduyun-duyun menuju kesana. Koleksi museum antara lain adalah meja kursi perundingan, balai-balai, kitab taqrib, jubah Pangeran Diponegoro, dan beberapa lukisan. Beberapa diantara kami sibuk foto-foto di spot-spot cantik depan Karesidenan. Memang, siang ini pemandangan begitu ambooi. Terlihat dengan gagah di barat sana Gunung Sumbing ditemani perbukitan Giyanti. Gazebo cantik di pojok taman menambah lengkap suasana siang ini. Kami sebagai tim pemandu pun tidak mau ketinggalan >D
Es Krim Bie Sing Hoo
Puas berfoto-foto, kami segera melanjutkan perjalanan. Perjalanan bis kali ini melewati daerah Pahlawan-Tuguran dan memutar kembali ke Poncol. Sepanjang perjalanan sesekali mas Novo bukannya memberi cerita kepada para peserta, namun malah memandu pak sopir untuk belok kanan/kiri. x_x piss mas Novo! :D tapi ada beberapa cerita menarik dari Mas Novo seputar penyebutan kampung-kampung di kawasan Pahlawan seperti kampung Botton Kopen yang dahulunya merupakan kebun kopi, kebon dalem/kebun raja, kebon polo, dan lain-lain. Selain itu, Mas Novo juga menceritakan tentang tiga bangunan plengkung yang istimewa di Magelang. Bangunan tersebut adalah sebuah viaduk dari saluran air di atasnya.
 
“sepanjang jalan di sebelah kanan kita adalah sebuah saluran air yang dikenal dengan nama boog kotta leiding” buka saya dengan percaya diri saat bis berjalan ke selatan di Jl A. Yani Menowo. Saya bercerita tentang pembangunan dan fungsi dari boog kotta tersebut diantaranya sebagai penggelontor limbah rumah tangga dan pemadam kebakaran alternatif.
Tidak lama kemudian, kami sampai di Toko Mahkota! Yes! Inilah saat-saat yang saya tunggu. Maakaan es krriiiiim. Toko itu tampak seperti rumah biasa dengan menggelar dagangan seadanya. Pak Joni, pemilik toko memang sengaja tidak membuat dekorasi/ornament yang memperlihatkan sebagai toko es krim. 
Beliau lebih konsen ke usaha paket dan roti yang digelutinya. Namun jangan salah, es krim legendaries yang bernama Bie Sing Hoo ini sampai sekarang masih tetap berproduksi kok! Es krim ini menurut penuturan istri Pak Joni, hampir sama dengan es krim tentrem di Solo. Dengan mempertahankan kualitas dan rasa, hingga kini es krim ini masih menjadi klangenan untuk beberapa warga Magelang. Beruntung sekali, siang itu kami juga bias menikmati eskrim yang biasanya berbentuk slice itu namun dalam kemasan cup. Sembari melihat-lihat interior rumah yang tampak masih asli, kami juga dijamu dengan beberapa potong kue di toko yang sudah ada sejak era kemerdekaan tersebut. 

Makam Van der Steur
Tidak terasa, waktu beranjak semakin sore. Bis berhasil merapat parkir tepat di depan Gapura Kerkhoff, Jalan Ikhlas Magelang. Kami segera menyeberang dan memasuki salah satu pintu kios dipusat pertokoan tersebut. Rupanya tanpa diduga, disitu masih ada beberapa makam yang tidak ikut dipindahkan saat ada pemindahan besar-besaran dari Jl Ikhlas ke Giriloyo tahun 80-an lalu. Satu kompleks makam tersebut adalah makam Van der Steur, istri dan beberapa murid-muridnya. Ryan menjelaskan tentang sosok Van der Steur dimana beliau merupakan seorang yang sangat berjasa dalam urusan sosial di Magelang saat itu. Oranje Nassau, adalah panti asuhannya yang berada di sebelah Kompleks Karesidenan Magelang. Hingga kini status pengelolaan makam tersebut masih dikelola oleh yayasan dari Belanda. Dan sampai sekarang, beberapa keturunannya atau muridnya masih acapkali berziarah.

Waktu semakin sore, perut semakin lapar. Kami segera kembali ke bis dan menuju ke final point kita. Yaaa! Makaan di Voor de Tidar. Agenda makan-makan kali ini kami akan dijamu dengan Sup Senerek, sebuah kuliner khas Magelang. Selama perjalanan di sekitar Artos, bus mengalami kemacetan karena bangjo yang sangat ramai. Sembari menikmati macet, kami mendengarkan kisah-kisah amazing dari Mas Novo tentang Gunung Tidar yang saat itu tepat berada di sebelah kanan kami. Salah satu yang menarik adalah perkiraan akan adanya struktur batuan/candi yang terpendam di bukit Tidar yang hingga kini belum diketahui kebenarannya.
 

Akhirnya setelah bis beberapa kali gagal parkir, akhirnya dapat juga tempat parkir di area militer Akmil Magelang. Sembari menunggu persiapan sup senerek, saya terpaksa meninggalkan acara karena harus segera bertolak ke Ungaran tepat saat jam tangan saya menunjukkan pukul lima sore.


more pics :








 
Tim ditambah kekuatan oleh mas Mameth Hidayat yang menyusul kemudian :D


Oke, demikianlah yang dapat saya sampaikan dalam kesempatan ini setelah sekian lama vakum dari dunia perbloggingan karena sibuk dalam dunia per pileg-an . Terimakasih kepada teman-teman dari Komunitas Blusukan Solo. Semoga lain waktu kita bisa berkunjung balik ke Solo dan atau bertemu kembali di lain kesempatan. Salam History and Heritage.

Credit :
Komunitas Blusukan Solo bisa dihubungi di twitter @blusukansolo / Phone : 081228220326
Beberapa foto diambil dari facebook mas Ake Ru. Terimakasih :)

Read More..

Makan Steak ala Eropa


Jam tangan yang saya lepas beberapa waktu lalu hampir menunjukkan pukul delapan malam. Rupanya warung steak depan kost Tika malah tambah ramai karena ada beberapa puluh jemaat gereja yang habis beribadah dalam rangka Paskah mampir ke tempat makan baru yang berada persis di sebelah Gereja Kristus Raja Ungaran itu.

Akhirnya kami menunggu barang beberapa menit supaya agak sepi. Rumah makan steak yang berawal dari Jogja ini sebenarnya sudah sangat terkenal karena memiliki banyak cabang dan kali ini membuka gerai yang ke sekiannya di Jl Diponegoro Ungaran. Dalam minggu-minggu pertama ini pengunjung selalu ramai. Ya, rumah makan bernama Waroeng Steak and Shake ini memang menyasar kalangan menengah dengan harganya yang terkenal murah namun dengan suasana yang cukup semarak dan cozy. 

Saya sendiri sudah lama sekali tidak makan steak. Jujur saja sih, saya tidak begitu cocok dengan makanan seperti ini. Mending mah rendang di masakan padang. Tu baru nendang! :p tapi malam ini saya mengiyakan ajakan Tika, lagipula worth it juga sih. Buat saya, tempat makan ini spesial karena berada di depan kantor Tika, depan kost Tika, dan kami juga menjadi saksi kelahirannya sejak pembangunannya yang tiap malam ‘mbribeni’ kami :D

Akhirnya dengan melangkahkan kaki, kami segera mencari tempat duduk yang hanya ada satu yang kosong. Karena para pelayan sedang sibuk, saya mengambil sendiri daftar menu dan dibilangin bahwa menu yang tersisa hanya double sirloin dan double tenderloin. Sementara itu saya memilih lemontea dan Tika memutuskan untuk minum jus tomat. Untuk informasi saja, steak di Waroeng Steak (WS) ini menyediakan model steak tepung (digulung pakai tepung) dan original (tanpa tepung) serta beberapa steak lain kayak chicken dan shrimp steak. Harganya, kisaran 15-30ribuan kok! 

Lama sekali pesanan kami datang. Padahal kami telah lapar. Saya sih pengen makan nasi dan kepikiran pesen nasi putih supaya makan steaknya jadi murtad alias keluar ajaran. :D oya, jadi di WS ini uniknya juga menyediakan nasi. Beberapa waktu sebelumnya saya biasa pesen steak + nasi dan itu mengenyangkan kawan! Hahaha :/ akhirnya barang duapuluh menit menunggu, pesanan kami datang! Yey! Oya, kalau makan steak saya sering inget adegan-adegan di film James Bond saat berkencan dengan wanita, dimana biasanya hanya memakan satu-dua potong kemudian mengusap pakai lap yang ditempel di dada, kemudian minum vodka martini + lemon. Shaked not stirred :D kemudian ditinggal begitu saja :D
 
Selain itu, saya juga ingat soal artikel tentang etika makan steak yang pernah saya baca. Saya memutuskan untuk makan steak dengan gaya Eropa. Hahaha. Jadi, sementara tangan kanan memotong-motong daging menggunakan pisau, tangan kiri yang memegang garpu dipakai untuk ngemplok. Cara ngemploknya pun harus benar yakni, dengan posisi garpu menghadap ke bawah (jika keatas dan menggunakan tangan kanan adalah style Amerika). Namun karena steak kali ini adalah steak tepung, jadi ada beberapa guguran tepung yang terpaksa susah diambil menggunakan garpu dengan style eropa ini hingga terpaksa menggunakan style saya sendiri :D alias asal ambil.

Double tenderloin yang saya pesan habis dalam waktu yang cukup singkat saja. Karena memang saya lapar sih. Rupanya, saya cukup kenyang. Untung saja saya tidak jadi pesan nasi. Huehehee.. akhirnya saya tutup kegiatan makan steak ini masih dengan style Eropa yaitu dengan menyandingkan pisau dan garpu berjejer dengan posisi garpu menghadap ke atas. Kemudian saya segera membayar Rp. 53,000,- untuk porsi makan kami tadi. Hebatnya lagi, kami adalah orang terakhir yang membayar dikasir karena memang kami pengunjung yang terakhir :D Okay, sekarang tempat makan di Ungaran sudah lebih bervariasi dan WS ini jadi alternatif kalau anda ingin menikmati steak dengan harga murah!

Credit :
Warong Steak & Shake
Jl. Diponegoro (seberang pegadaian)
Ungaran


Read More..
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...