Bulan Juni nanti, saya dan salah satu teman saya, Dimas Daniel akan mengunjungi Kota Ponorogo. Kami memang sama sama penghobi bioskop, sih! Nah, rencana itu untuk meng-uncloked bioskop pendatang baru. Cinemaxx. Bioskop itu adanya di Ponorogo City Center (PCC).
Rencana Perjalanan
Sabtu, 13 Juni 2015
06.00 - 12.00 : Bis Ungaran - Madiun
12.00 - 13.00 : Istirahat, sewa motor di Madiun
13.00 - 14.00 : OTW Ponorogo
14.00 - 16.00 : Istirahat
17.00 - 22.00 : Nonton film, jalan-jalan
Minggu, 14 Juni 2015
06.00 - 07.00 : City Tour
07.00 - 08.00 : OTW Madiun
08.00 - Selesai (Kondisional, Pulang)
Rencananya, saya pengen menginap di Hotel La Tiban. Sebuah hotel klasik nan kuno di Ponorogo.
Cost Estimation
1) Bis Ungaran - Madiun : 50
2) Sewa motor : 60
3) Makan x 3 : 45
4) BBM : 25
5) Tiket : 40
6) Hotel : 100
7) Bis pulang : 50
Total : 370 K
hamidanwar
▼
Tuesday, May 26, 2015
Wednesday, May 20, 2015
Si Beong Yang Legendaris
Siang
ini saya dan Ryan, Gusta, Ake Ru dan Mameth akan mengunjungi sebuah rumah makan
legendaris di Borobudur, Magelang. Tapi sebelum menuju kesana, kami akan
foto-foto dulu di Rumah Dinas Bupati Magelang (regentwoning) dan jembatan lama
Kali Progo (burg over Progo naar Boroboedoer) dan juga meng-unclocked gardu
kuno yang disebut dengan Gardu Diponegoro. Haha! Kami memang suka bercanda
dengan bahasa Belanda sejak bergabung dengan Komunitas Kota Toea Magelang (KTM)
dan hobbi mendiskusikan foto-foto lama dengan caption-nya yang unik-unik. Here
we are!
Siang
yang panas, dan jam di pergelangan tangan saya menunjuk mendekati pukul sebelas
siang. “Nanti keburu ramai” ujar Ake Ru. Dan kami pun secara beriringan menuju
ke tempat tujuan kami. Lokasinya ada di Desa Kembanglimus Kecamatan Borobudur. Dari
arah Borobudur hanya sekira 3 Km saja ke arah Salaman/Purworejo dan warung ini
berada tepat dipinggir jalan bersebelahan dengan SDN Kembanglimus.
Benar
saja, rumah makan kecil ini sesiang ini
sudah tampak ramai. Kami langsung menuju ke meja yang ada di belakang yang
merupakan satu-satunya meja dengan konsep lesehan. “Kepala dua, daging tiga dan
lima es teh” pesan saya kepada ibu penjual. Terlihat sang ibu mengambil daging
beong yang telah dipotong-potong per-ekornya menjadi tiga bagian. kepala, badan
dan ekor. Potongan-potongan itu ditaruh dalam sebuah panci putih besar dengan
kuah yang memerah.
Beong
sejatinya merupakan ikan endemik air tawar yang hidup di Kali Progo. Melihat dari
bentuknya, ikan ini masih satu spesies dengan lele (atau) patin (?). Kabar
baiknya, beong yang menjadi salah satu sajian khas Magelang ini rupanya sudah
mulai dibudidayakan baik dalam skala kecil maupun dibudidayakan dalam
waduk-waduk. Satu ekor beong siap konsumsi besarnya bisa sekitar satu lengan
orang dewasa. Di Rumah Makan Sehati ini, sajian spesialnya adalah ‘ndas’ atau
kepala beong. Saking besarnya, satu kepala beong ini memenuhi hingga sepiring
penuh.
Ikan
beong dimasak dengan bumbu mangut dan memiliki citarasa pedas yang luar biasa. Lihat
saja, lumuran kuah berbahan rempah-rempah yang membanjiri potongan beong itu
bercampur dengan cabai rawit. Rasa-rasanya, mulut ingin segera memakannya.
Begitu masuk mulut, huaaah! rasa pedasnya langsung nendang. Bumbu mangut yang
lezat dengan suasana pedas membuat nasi menjadi cepat habis berubah menjadi
buliran keringat yang mengucur deras. Untuk mengurangi rasa pedas, bisa diselingi
dengan memakan urap yang sudah disediakan.
Untuk
harga masih terbilang murah. Satu porsi beong dihargai Rp. 10.000 rupiah belum
termasuk nasi dan minum. Jadi, kamu sedang berada di Magelang? Atau kamu
penyuka pedas yang punya rencana ke Borobudur? Atau kamu sedang punya rencana
berlibur ke Magelang? Jangan lupa mampir, ya!
Warung
Makan Sehati (RM. Beong)
Selera
Pedas
Jl.
Diponegoro Km. 3
Kembanglimus,
Borobudur
Magelang
Tulisan ini direpost untuk meramaikan Lomba Blog Jateng 2015 dengan tema Kuliner Jawa Tengah yang diadakan Dinbudpar Provinsi Jawa Tengah. Yuk, ikutan lombanya, dan menangkan hadiah menarik serta kesempatan trip seperti saya ini Trip Pati, Trip Rembang :). Informasinya silakan dilihat pada gambar dibawah ini.
Tulisan ini direpost untuk meramaikan Lomba Blog Jateng 2015 dengan tema Kuliner Jawa Tengah yang diadakan Dinbudpar Provinsi Jawa Tengah. Yuk, ikutan lombanya, dan menangkan hadiah menarik serta kesempatan trip seperti saya ini Trip Pati, Trip Rembang :). Informasinya silakan dilihat pada gambar dibawah ini.
Tuesday, May 19, 2015
Biarlah Lasem yang Bercerita
Ada banyak cerita di Lasem. Saat pertama berjumpa, kijang
membawa kami menuju selatan kota untuk makan siang. Terletak di Desa Tuyuhan,
ada sentra kuliner yang sudah melegenda. Lontong Tuyuhan namanya. Berjejer
beberapa kios yang menghadap ke persawahan. Bukit Kajar terlihat sedikit
menyembul menambah indah pemandangan.
Lontong Tuyuhan, merupakan sajian lontong sayur yang
merupakan makanan khas dari Lasem, Rembang. Lontongnya dibungkus daun pisang
dan berbentuk segitiga. Beberapa potong lontong, disajikan dengan kuah opor,
dan lauk ayam kampung. Saya sendiri memesan lauk paha ayam dan tempe. Siang-siang
begini, menyantap lontong berkuah rasanya sangat lezat. Gurihnya langsung masuk
mulut seketika. Harga perporsinya relatif murah. Cukup mengeluarkan 12,500
saja.
**
Pak Toro merupakan seorang aktivis sejarah dan budaya
dari Kota Lasem. Siang ini dia dan rekannya, Pak Danang, mengajak kami mengunjungi LZ Lie Thiam Kwie,
sebuah pabrik tegel legendaris yang beroperasi sejak 111 tahun yang lalu. Begitu
masuk, saya langsung terpana dan exciting.
Sebagai penggemar bangunan lawas, saya langsung amazing dan potret-potret.
Setelah memasuki lorong kecil, kami disambut Hadinata, sang penerus perusahaan.
Insinyur yang juga merupakan pensiunan PNS di Bandung
itu, kini juga menjadi dosen. “Mengelola pabrik tegel ini, saya tidak mencari
untung. Pembuatan tegel kini sudah sepi sejak ada keramik. Saya hanya berusaha
meneruskan usaha peninggalan orang tua saja” ujarnya. Dari belakang rumahnya
yang dikonsep menjadi taman, kami memulai penelusuran.
Ada tiga gedung utama yang digunakan sebagai rumah
produksi. Gedung-gedung itu memang tampak sangat tua dan rapuh. Menandakan
bahwa perusahaan ini jelas sudah tidak lagi berjalan mulus. Peralatan yang
digunakan juga sangat tua. Ada mesin pres kuno buatan Jerman, dan mesin tanggem
buatan Inggris. Meski kuno, peralatan itu masih berfungsi baik hingga sekarang.
Disudut-sudut ruangan tampak beberapa koleksi tegel warna warni nan cantik.
Juga ada beberapa kursi yang dibuat dari tegel dengan tulangan dari besi.
Cantik!
Terlihat dua orang pegawai tengah sibuk menyelesaikan
pesanan paving. Benar, Hadinata sudah sangat jarang menerima pesanan tegel,
sebagai gantinya, ia mengerjakan pesanan paving/konblock. Di ruang produksinya
yang sangat memprihatinkan, ia mengatakan bahwa pesanan paving ini hanya untuk
menghabiskan stock semen. Setelah itu, ia belum tahu apakah akan melanjutkan
usaha tersebut atau tidak. Sedih mendengarnya..
Tampaknya istri Hadinata sudah mulai melihat prospek lain
dari pabrik tegel kuno yang dikelolanya. Ibarat tak ada rotan akarpun jadi,
produksi tegel jelas tidak mungkin memberikan pemasukan. Maka dari itu,
berdasarkan penuturannya, ia menjelaskan bahwa ia akan menerima siapa saja yang
tertarik dengan sejarah untuk datang berkunjung. Rumah itu juga cantik dengan
arsitektur tahun 1930an, dan kental hiasan tegel warna disana-sini. Adanya taman
dibelakang rumah, menambah kesan klasik indah. “Disini, biasanya sering buat
foto prewedding” akunya.
Wah, menarik, kan? Ingin berkunjung ke Pabrik Tegel LZ
juga? Anda dapat menghubungi langsung Pak Hadinata di 082133166628 untuk
membuat janji. Jangan lupa, siapkan uang 10,000 rupiah per orangnya untuk
membantu biaya kebersihan. ;)
**
Lasem masih bercerita. Sejak kami datang, saya dibuat
terkagum-kagum oleh susana kuno-nya. Bangunan tua bercecer disana-sini. Banyak
diantaranya merupakan bangunan dengan artitektur China. Sebagian berubah fungsi
dan terawat, dan sebagian besar sudah rapuh dimakan zaman. Kedatangan warga
Tionghoa ke Lasem dipercaya sudah ada sejak jaman Majapahit. Aktivitas mereka
turut mewarnai perjalanan Lasem dari era Majapahit, Demak, hingga masa-masa
penjajahan kolonial. Salah satu yang membekas adalah peristiwa Geger Pecinan
pada kisaran tahun 1743.
Pak Toro memandu kami memasuki salah satu gang. Di Gang
Pecinan itu mobil kami berhenti.
“Kawasan ini rencananya akan kami kembangkan. Pecinan ini
memiliki potensi wisata sejarah yang sangat bagus” Pak Toro membuka cerita
tentang Pecinan saat kami memulai perjalanan di gang-gang itu. Bila dilihat,
kawasan ini masih belum begitu rapi dan bersih. Tergolong sepi, malah. Hal ini
dikarenakan deretan rumah itu memiliki bentuk yang khas. Yakni sebuah pintu
depan dengan atap dan halaman serta rumahnya tertutup oleh pagar tinggi
sehingga kehidupan warganya tidak banyak terlihat dari jalan.
Kami mampir ke salah satu rumah. Rumah itu dihuni Mak Lena,
seorang wanita yang sangat ramah. Disana ia tinggal bersama kerabatnya. Begitu
masuk, kami disambut sebuah rumah yang mengadopsi gaya China Belanda.
Pintu-pintu dan jendela yang tinggi, dan tiang-tiang dengan ornamen khas. Rumah
itu tidak terlalu luas. Dan saat sampai pada bagian belakang rumahnya, kami
menjumpai sebuah sumur, serta beberapa kamar gudang dan toilet yang terpisah
dari rumah utama. Detail artistik rumah ini masih asli. “Benar, masih asli
semua. Memang tidak pernah saya rubah. Asli sejak jaman dahulu. Nah kalau meja
kursi, dan peralatan lain itu nggak asli” Mak Lena menunjuk sebuah mesin cuci
sambil terkekeh.
Di Lasem, kehidupan antara etnis Tionghoa dan Jawa
terjalin harmonis. Ada sebuah pos yang menjadi simbol keharmonisan itu. Pos itu
berwarna merah bercorak China, dan pada salah satu sisinya terukir kaligrafi. Penduduk
Jawa identik dengan Muslim, sedangkan penduduk China rata-rata menganut
Konghuchu. “Mereka hidup damai, bila ada hajatan misalnya pengajian, maka
penduduk Tionghoa akan senang hati membantu. Begitu pula misal ada penduduk Tionghoa
yang meninggal, maka orang Jawa akan turut melayat” Ungkap Pak Danang. Toleransi
yang tinggi antar etnis seperti ini barangkali jarang kita temui ditempat lain.
**
Matahari mulai bergeser ke barat saat kami memasuki
halaman Kelenteng Cu An Kiong. Kelenteng ini terletak tidak jauh dari jalan
raya Pantura Lasem. Suasana tempat ibadah sore itu relatif sepi. Tidak lama
menunggu, kami dibukakan pintu oleh salah satu pengurus kelenteng.
Cu An Kiong, menurut informasi yang saya dapatkan dari
Pak Danang, dibangun pada tahun 1474 dan konon merupakan kelenteng tertua di
Lasem, bahkan di Jawa. Memasuki ruang utama kelenteng, kami disambut dengan dua
buah tiang besar terbuat dari kayu jati dengan ornamen yang menarik. Lantainya
indah sekali dengan padu-padan tegel-tegel kuno. “Mungkin waktu itu pesan di
LZ” batin saya ngawur. Pada sisi kanan-kiri tembok dalam, kami menemukan motif
lukisan hitam yang digambar pada batuan putih. Gambar-gambar itu dipercaya
sudah ada sejak kelenteng dibangun. Kualitasnya masih bagus dan terlihat jelas.
Hanya ada beberapa yang mulai kusam terutama dibagian bawah.
Dewa utama di kelenteng ini adalah Thian Siang Seng Bo
atau Dewi Samudera. Patungnya diletakkan pada bagian utama altar pemujaan.
Disampingnya, ada Dewa Bumi atau Kongcho Ho Tek Cing Sin. “Biasanya setahun
sekali ada acara semacam festival dalam rangka ulang tahun Makcho (Thian Siang
Seng Bo)” Berbagai pertunjukan digelar. Informasi yang saya dapatkan, biasanya juga digelar wayang kulit yang
lagi-lagi menandakan keharmonisan multi etnis di Lasem.
Satu lagi bukti toleransinya, ada di bagian belakang
kelenteng. Pak Danang memperlihatkan saya sebuah ruangan yang digunakan untuk
menyimpan tandu. Tandu-tandu itu digunakan untuk membawa Dewa-dewi. Satu tandu
yang unik, bertuliskan R. Panji Margono. Menurut cerita Pak Danang, R. Panji
Margono yang merupakan orang Jawa pada saat itu bahu membahu bersama orang
China dalam rangka melawan penjajah Belanda. R. Panji berujar bahwa di Lasem,
orang Jawa dan China selamanya akan hidup rukun.
Serba-Serbi Rembang!
Sate Srepeh, Menyapa
Pagi di Rembang
Selamat
pagi, Rembang! Hari ini (Rabu, 13 Mei 2015) saya berada di salah satu hotel di
kota paling ujung timur laut Jawa Tengah. Sebenarnya saya belum sempat mandi.
Tapi mas Nyoto dengan semangat mengajak saya menjajal salah satu kuliner khas
disini.
Namanya
Sate Ayam Srepeh. Ada disebuah perempatan Jalan Dr Wahidin. Warungnya
tidak terlalu besar. “Ini yang terkenal, mas” kata Mas Nyoto meyakinkan. Kami
pun melangkahkan kaki masuk dan menjumpai beberapa orang tengah menyantap
sarapan mereka. Dilihat dari detail ornamen, warung ini dan juga rumah-rumah
disekitarnya kental arsitektur China.
Penjual sate srepeh itu seorang ibu-ibu yang usianya
tidak lagi muda dan dibantu beberapa pelayannya. “Satene pinten, mas?” sapa seorang pelayan dalam bahasa jawa yang
halus. Bahasanya cocok bila saya bandingkan dengan bahasa di daerah saya,
Magelang. “Emm..” Saya ragu dan tidak
tahu harus menjawab apa :D “biasane
pinten, nggih? Pinten mas?” Tanya saya kepada mas Nyoto. Belum sempat
berpikir, pelayan itu menawarkan 10 tusuk untuk kami berdua. “Ya” Saya iyakan
sembari memesan satu porsi Nasi Tahu dengan porsi separo supaya tidak terlalu
kenyang. Saya masih ingat kalau kami memiliki voucher free breakfast di hotel.
Seperti yang tertera pada banner di warung, disini
menyediakan Sate Srepeh yang biasanya dikombinasikan dengan Nasi Tahu. Sebuah
paduan nasi, kuah, beberapa potong tahu goreng, kacang goreng, dan kecambah
mentah. Semuanya
disajikan pada piring dengan alas daun jati. Saya pun tidak sabar untuk segera
menyantapnya. Nyaam! Rasanya pas! Sedikit manis. Sate Srepeh yang disampingnya
pun segera masuk mulut. Sate ayam itu sepertinya dipanggang tidak sampai
kecokelatan dan ditusuk pada biting atau
batangan daun kelapa. Kuahnya berwarna cokelat kekuningan pertanda bahwa ada
unsur kunyit. Terasa sih, bumbu
kacang, tapi kacangnya ditumbuk halus. Enak!
Sayangnya saya lupa tanya berapa harga kuliner ini. Tapi kisarannya tiap satu tusuk sate sekitar 1,500 - 2,000 rupiah.
**
Rumah China itu
Ternyata Restoran
Kami
sampai di Rembang sudah larut, semalam. Badan capek sekali setelah seharian
mengeksplor Pati. Kijang kami berbelok masuk ke pelataran Hotel Antika, Jalan
Erlangga Kota Rembang. Hotel ini cukup berkelas, room ratenya dari kisaran
200-400 ribuan permalam. Menilik bentuk bangunannya, tidak ada yang istimewa dari
hotel ini. Kami pun segera terlelap membayar hutang kelelahan tadi siang.
Sepulangnya dari mencicipi Sate Srepeh, saya
berkesempatan mengambil jatah free
breakfast. Restorannya ada di sebelah hotel. Bangunannya China banget!
Krepus model pelana, jendela kayu nan tebal, dan detail ornamen pada beberapa
sisi. Kusen-kusen serta kayu penopang pun besar-besar. Menjelaskan bahwa
bangunan ini tentu bukan bangunan baru.
Berhubung sudah kenyang, saya hanya mengambil secangkir
kopi dan jenang sagu. Yang
diistilahkan menjadi bubur mutiara. Sembari menyerutup kopi, saya, Mas Nyoto
dan Pak Lis mengobrol sambil menonton berita di LED Samsung yang buesar. Entah
43/60”. Bangunan ini memantik perhatian saya lebih jauh. Saya pun berkeliling
sejenak untuk melihat suasana sekitar. Ada lampion-lampion cantik dan taman.
**
Setelah berkenalan dengan Pak Jamal, seorang pegawai di
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat, kami diajak mengunjungi destinasi
utama di Rembang. Ya, apalagi kalau bukan Museum Kartini dan Pantai Dampo Awang
Beach? Setelah itu, kami bertemu dengan Pak Mulyono. Salah
satu kepala dusun di Desa Punjulharjo timur Kota Rembang.
Siang ini kami akan mengunjungi Pantai Karangjahe. Disini, tidak hanya
pantai yang dijual sebagai tujuan
wisata. “Beberapa waktu lalu, disini diselenggarakan festival arsitektur dari
bambu” buka Pak Mulyono
saat Kijang kami melaju mendekati pantai. Dia
menunjuk beberapa konstruksi unik yang ada di sekitaran pantai. “Mereka dari
komunitas arsitektur Jogjakarta. Bahan-bahan diambil dari sekitar sini, dan mereka
singgah beberapa hari”. Di sekitaran pantai Karangjahe memang kini telah
berkembang dengan dibukanya beberapa homestay untuk pelancong yang ingin
singgah lebih lama. Barangkali ini salah satu yang dimaksud Pak Mulyono
untuk membuat daya tarik wisata disini semakin memikat. Dengan menyediakan
tempat untuk mengadakan festival-festival. Salah satunya festival arsitektur
bambu tersebut.
Masih di seputaran desa setempat, bersemayam sebuah
bangkai kapal tua. Benda tersebut tergeletak diatara petak-petak tambak garam.
Waktu ditemukan salah satu sisi perahu tersebut tersenggol oleh peralatan
warga yang melakukan penggalian lahan. Sayangnya saat kami datang, situs
tersebut sedang ditutup untuk proses penormalan kadar garam.
Situs kapal kuno yang kini sudah terdaftar pada Balai
Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jateng tersebut terdiri dari sebuah rumah
penjaga, sebuah gudang penyimpanan serpih-serpih kapal, dan atap untuk menutupi
situs utama. Seorang penjaga menjelaskan bahwa proses penormalan kadar garam
itu membutuhkan waktu lama. “Sejak Desember kemarin dan akan berakhir akhir Mei
nanti. Nanti diteliti lagi, apakah perlu dilanjutkan atau cukup” katanya. Ckck.
Lama juga ternyata. Kawasan ini, berdasarkan penuturan Pak Jamal, akan
dikembangkan menjadi sebuah wisata museum. “Anggarannya dari APBN, dari
Kementerian” Ungkapnya. Nilainya cukup fantastis, kalau saya tidak salah ingat,
akan membutuhkan sekitar dua milyar.
Beruntung, penjaga tadi mempersilahkan kepada kami untuk
melihat sedikit dari bagian kapal. Terpal biru itu dibuka dan teronggoklah
sebuah perahu berbahan dasar kayu direndam dengan larutan penormal garam.
Informasi yang saya dapatkan, kayu itu berjenis kayu ulin. Perahu itu memiliki
ukuran 15 x 4,6 meter dan merupakan satu-satunya penemuan situs perahu di Asia
Tenggara yang paling utuh. Dan yang mencengangkan adalah, berdasarkan
penanggalan dengan metode radio karbon, diperkirakan perahu ini dibuat atau
dioperasikan pada kisaran abad 7-8 Masehi. Lebihb tua dari Candi Borobudur.
Amazing!
Kapal saat dibuka penutupnya. Foto oleh Mas Sunyoto |
Selain itu, ada sebuah baskom yang didalamnya berisi
serpih-serpih yang ditemukan disekitar situs utama. Serpih-serpih itu
kebanyakan berbahan tanah liat dan kayu, juga ada satu potong tulang yang
diperkirakan merupakan tulang manusia.
**
Profesor Mangrove
itu Bernama Suyadi
Kami berjalan kaki dari tempat parkir sekitar setengah
kilometer jauhnya dibawah terik matahari siang, sekitar pukul 11. Setelah
melintasi tanggul-tanggul diantara tambak-tambak pembudidayaan bandeng, kami
disambut hijaunya pemandangan didepan. Ya, didepan kami adalah sebuah rintisan kawasan
wisata mangrove.
Adalah Suyadi, seorang aktivis lingkungan yang sudah
bertahun-tahun membudidayakan tanaman bakau di pantai ini. Ia mulai
membudidayakan mangrove sejak 1964. Sebelumnya, wilayah yang secara
administratif berada di Kaliuntu, Pasar Bangi, Rembang itu kerap dilanda
gelombang pasang. Para penduduk setempat yang mayoritas menjadi petani garam
dan peternak bandeng kerap merugi akibat dihantam deburan air laut.
Usahanya tidak sia-sia. Meski pada awalnya ia dicibir
para tetangga, mulai tahun 1972 berangsur terlihat hasilnya. Rintisan bakau itu
bahkan mulai menarik minat tetangga sekitar. Para penduduk mulai tertarik untuk
menanam mangrove karena mulai memperlihatkan efek yang baik pada usaha budidaya
bandeng maupun garam mereka. Tak hanya sampai situ, Suyadi bahkan berhasil
membentuk sebuah kelompok tani mangrove.
Kawasan mangrove di pesisir Rembang itu kini sudah luas.
Jika saya kira-kira, luasnya lebih dari 50 hektar. Sudah barang tentu ekologi
disini menjadi kembali seimbang. Ada beberapa burung derkuku yang terlihat
berkeliaran, ikan-ikan, kepiting, bahkan biawak kembali menemukan habitatnya.
Sekarang, hutan mangrove itu tampak menghijau merentang
disabuk pantai. Kami melihat beberapa pengunjung datang untuk menikmati
keindahan panoramanya. Jika di Pekalongan ada Mangrove Park yang bisa dinikmati
sembari menaiki perahu karet, disini pengunjung bisa memanfaatkan trek kayu
warna merah untuk berjalan menyusuri rimbunnya hutan. Panjang lintasan kurang
lebih 100 meter dan merupakan sebuah rintisan permulaan. Ada sebuah gardu
pandang diujungnya. Disana kita bisa menikmati pemandangan bibit bakau yang sedang
mulai tumbuh.
Suyadi sendiri sudah sering menerima penghargaan dari
pemerintah atas jasanya. Diantaranya Piagam Pelesatri Mangrove dari Gubernur
Jateng, 2007, Piagam Pengabdi Lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup,
2007 dan yang terakhir adalah Kalpataru. “Pak Suyadi tahun 2013 menerima
Kalpataru dan sampai-sampai dijuluki profesor mangrove oleh Pak SBY” tutup Pak
Jamal. Istimewa!
Pembibitan Mangrove |
Selanjutnya Biarkan Lasem yang Bercerita
Foto lainnya :
Salah satu sisi Museum Kartini |
Dampo Awang Beach Pantai Kartini |
di Bulu, Rembang dekat dengan Makam Kartini ada sentra kerajinan akar. |
Pintu masuk Makam Ibu Kartini di Bulu, Rembang |
Masih di sekitar Makam Ibu Kartini, dikembangkan agrowisata Kebun Pisang. Beberapa rumah penduduk setempat juga disediakan sebagai homestay bila tamu ingin tinggal lebih lama |
Rintisan agrowisata Kebun Pisang |
Kamar di Hotel Kartini memiliki roomrate 60-120 ribu. (Credit Mas Tulus) |
Informasi pariwisata di Kabupaten Rembang
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Rembang
Jl. Gatot Subroto No. 8
Telepon (0295) 691911
Terimakasih untuk Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Tengah yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti trip ke Pati - Rembang (12-13 Mei 2015 lalu) pro : Pak Lis, dan Mas Nyoto (Dinbudpar Propinsi Jawa Tengah), Pak Wiyadi (Dinbudpar Kab. Pati), Pak Teguh, Pak Titut (Pati American Jeep), Pak Jamal (Dinbudpar Kab. Rembang), Pak Toro, Pak Danang (Pegiat sejarah dan budaya Lasem) dan lain-lain.