Tuesday, May 19, 2015

Serba-Serbi Rembang!



Sate Srepeh, Menyapa Pagi di Rembang


Selamat pagi, Rembang! Hari ini (Rabu, 13 Mei 2015) saya berada di salah satu hotel di kota paling ujung timur laut Jawa Tengah. Sebenarnya saya belum sempat mandi. Tapi mas Nyoto dengan semangat mengajak saya menjajal salah satu kuliner khas disini.
 


Namanya Sate Ayam Srepeh. Ada disebuah perempatan Jalan Dr Wahidin. Warungnya tidak terlalu besar. “Ini yang terkenal, mas” kata Mas Nyoto meyakinkan. Kami pun melangkahkan kaki masuk dan menjumpai beberapa orang tengah menyantap sarapan mereka. Dilihat dari detail ornamen, warung ini dan juga rumah-rumah disekitarnya kental arsitektur China.

Penjual sate srepeh itu seorang ibu-ibu yang usianya tidak lagi muda dan dibantu beberapa pelayannya. “Satene pinten, mas?” sapa seorang pelayan dalam bahasa jawa yang halus. Bahasanya cocok bila saya bandingkan dengan bahasa di daerah saya, Magelang. “Emm..” Saya ragu dan tidak tahu harus menjawab apa :D “biasane pinten, nggih? Pinten mas?” Tanya saya kepada mas Nyoto. Belum sempat berpikir, pelayan itu menawarkan 10 tusuk untuk kami berdua. “Ya” Saya iyakan sembari memesan satu porsi Nasi Tahu dengan porsi separo supaya tidak terlalu kenyang. Saya masih ingat kalau kami memiliki voucher free breakfast di hotel.
 
Seperti yang tertera pada banner di warung, disini menyediakan Sate Srepeh yang biasanya dikombinasikan dengan Nasi Tahu. Sebuah paduan nasi, kuah, beberapa potong tahu goreng, kacang goreng, dan kecambah mentah. Semuanya disajikan pada piring dengan alas daun jati. Saya pun tidak sabar untuk segera menyantapnya. Nyaam! Rasanya pas! Sedikit manis. Sate Srepeh yang disampingnya pun segera masuk mulut. Sate ayam itu sepertinya dipanggang tidak sampai kecokelatan dan ditusuk pada biting atau batangan daun kelapa. Kuahnya berwarna cokelat kekuningan pertanda bahwa ada unsur kunyit. Terasa sih, bumbu kacang, tapi kacangnya ditumbuk halus. Enak! 

Sayangnya saya lupa tanya berapa harga kuliner ini. Tapi kisarannya tiap satu tusuk sate sekitar 1,500 - 2,000 rupiah.


 **
Rumah China itu Ternyata Restoran


Kami sampai di Rembang sudah larut, semalam. Badan capek sekali setelah seharian mengeksplor Pati. Kijang kami berbelok masuk ke pelataran Hotel Antika, Jalan Erlangga Kota Rembang. Hotel ini cukup berkelas, room ratenya dari kisaran 200-400 ribuan permalam. Menilik bentuk bangunannya, tidak ada yang istimewa dari hotel ini. Kami pun segera terlelap membayar hutang kelelahan tadi siang.

Sepulangnya dari mencicipi Sate Srepeh, saya berkesempatan mengambil jatah free breakfast. Restorannya ada di sebelah hotel. Bangunannya China banget! Krepus model pelana, jendela kayu nan tebal, dan detail ornamen pada beberapa sisi. Kusen-kusen serta kayu penopang pun besar-besar. Menjelaskan bahwa bangunan ini tentu bukan bangunan baru.
 
Berhubung sudah kenyang, saya hanya mengambil secangkir kopi dan jenang sagu. Yang diistilahkan menjadi bubur mutiara. Sembari menyerutup kopi, saya, Mas Nyoto dan Pak Lis mengobrol sambil menonton berita di LED Samsung yang buesar. Entah 43/60”. Bangunan ini memantik perhatian saya lebih jauh. Saya pun berkeliling sejenak untuk melihat suasana sekitar. Ada lampion-lampion cantik dan taman.

**
Setelah berkenalan dengan Pak Jamal, seorang pegawai di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat, kami diajak mengunjungi destinasi utama di Rembang. Ya, apalagi kalau bukan Museum Kartini dan Pantai Dampo Awang Beach? Setelah itu, kami bertemu dengan Pak Mulyono. Salah satu kepala dusun di Desa Punjulharjo timur Kota Rembang.


 

Siang ini kami akan mengunjungi Pantai Karangjahe. Disini, tidak hanya pantai yang dijual sebagai tujuan wisata. “Beberapa waktu lalu, disini diselenggarakan festival arsitektur dari bambu” buka Pak Mulyono saat Kijang kami melaju mendekati pantai. Dia menunjuk beberapa konstruksi unik yang ada di sekitaran pantai. “Mereka dari komunitas arsitektur Jogjakarta. Bahan-bahan diambil dari sekitar sini, dan mereka singgah beberapa hari”. Di sekitaran pantai Karangjahe memang kini telah berkembang dengan dibukanya beberapa homestay untuk pelancong yang ingin singgah lebih lama. Barangkali ini salah satu yang dimaksud Pak Mulyono untuk membuat daya tarik wisata disini semakin memikat. Dengan menyediakan tempat untuk mengadakan festival-festival. Salah satunya festival arsitektur bambu tersebut.
 
Masih di seputaran desa setempat, bersemayam sebuah bangkai kapal tua. Benda tersebut tergeletak diatara petak-petak tambak garam. Waktu ditemukan salah satu sisi perahu tersebut tersenggol oleh peralatan warga yang melakukan penggalian lahan. Sayangnya saat kami datang, situs tersebut sedang ditutup untuk proses penormalan kadar garam. 

Situs kapal kuno yang kini sudah terdaftar pada Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jateng tersebut terdiri dari sebuah rumah penjaga, sebuah gudang penyimpanan serpih-serpih kapal, dan atap untuk menutupi situs utama. Seorang penjaga menjelaskan bahwa proses penormalan kadar garam itu membutuhkan waktu lama. “Sejak Desember kemarin dan akan berakhir akhir Mei nanti. Nanti diteliti lagi, apakah perlu dilanjutkan atau cukup” katanya. Ckck. Lama juga ternyata. Kawasan ini, berdasarkan penuturan Pak Jamal, akan dikembangkan menjadi sebuah wisata museum. “Anggarannya dari APBN, dari Kementerian” Ungkapnya. Nilainya cukup fantastis, kalau saya tidak salah ingat, akan membutuhkan sekitar dua milyar.

Beruntung, penjaga tadi mempersilahkan kepada kami untuk melihat sedikit dari bagian kapal. Terpal biru itu dibuka dan teronggoklah sebuah perahu berbahan dasar kayu direndam dengan larutan penormal garam. Informasi yang saya dapatkan, kayu itu berjenis kayu ulin. Perahu itu memiliki ukuran 15 x 4,6 meter dan merupakan satu-satunya penemuan situs perahu di Asia Tenggara yang paling utuh. Dan yang mencengangkan adalah, berdasarkan penanggalan dengan metode radio karbon, diperkirakan perahu ini dibuat atau dioperasikan pada kisaran abad 7-8 Masehi. Lebihb tua dari Candi Borobudur. Amazing!
Kapal saat dibuka penutupnya. Foto oleh Mas Sunyoto

Selain itu, ada sebuah baskom yang didalamnya berisi serpih-serpih yang ditemukan disekitar situs utama. Serpih-serpih itu kebanyakan berbahan tanah liat dan kayu, juga ada satu potong tulang yang diperkirakan merupakan tulang manusia.

**
Profesor Mangrove itu Bernama Suyadi
Kami berjalan kaki dari tempat parkir sekitar setengah kilometer jauhnya dibawah terik matahari siang, sekitar pukul 11. Setelah melintasi tanggul-tanggul diantara tambak-tambak pembudidayaan bandeng, kami disambut hijaunya pemandangan didepan. Ya, didepan kami adalah sebuah rintisan kawasan wisata mangrove.



Adalah Suyadi, seorang aktivis lingkungan yang sudah bertahun-tahun membudidayakan tanaman bakau di pantai ini. Ia mulai membudidayakan mangrove sejak 1964. Sebelumnya, wilayah yang secara administratif berada di Kaliuntu, Pasar Bangi, Rembang itu kerap dilanda gelombang pasang. Para penduduk setempat yang mayoritas menjadi petani garam dan peternak bandeng kerap merugi akibat dihantam deburan air laut. 


Usahanya tidak sia-sia. Meski pada awalnya ia dicibir para tetangga, mulai tahun 1972 berangsur terlihat hasilnya. Rintisan bakau itu bahkan mulai menarik minat tetangga sekitar. Para penduduk mulai tertarik untuk menanam mangrove karena mulai memperlihatkan efek yang baik pada usaha budidaya bandeng maupun garam mereka. Tak hanya sampai situ, Suyadi bahkan berhasil membentuk sebuah kelompok tani mangrove.

Kawasan mangrove di pesisir Rembang itu kini sudah luas. Jika saya kira-kira, luasnya lebih dari 50 hektar. Sudah barang tentu ekologi disini menjadi kembali seimbang. Ada beberapa burung derkuku yang terlihat berkeliaran, ikan-ikan, kepiting, bahkan biawak kembali menemukan habitatnya.

 
Sekarang, hutan mangrove itu tampak menghijau merentang disabuk pantai. Kami melihat beberapa pengunjung datang untuk menikmati keindahan panoramanya. Jika di Pekalongan ada Mangrove Park yang bisa dinikmati sembari menaiki perahu karet, disini pengunjung bisa memanfaatkan trek kayu warna merah untuk berjalan menyusuri rimbunnya hutan. Panjang lintasan kurang lebih 100 meter dan merupakan sebuah rintisan permulaan. Ada sebuah gardu pandang diujungnya. Disana kita bisa menikmati pemandangan bibit bakau yang sedang mulai tumbuh.
  

Suyadi sendiri sudah sering menerima penghargaan dari pemerintah atas jasanya. Diantaranya Piagam Pelesatri Mangrove dari Gubernur Jateng, 2007, Piagam Pengabdi Lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup, 2007 dan yang terakhir adalah Kalpataru. “Pak Suyadi tahun 2013 menerima Kalpataru dan sampai-sampai dijuluki profesor mangrove oleh Pak SBY” tutup Pak Jamal. Istimewa!



Pembibitan  Mangrove








 
Foto lainnya :
 

Koleksi dispenser kuno di Museum Kartini. Museum Kartini menempati bekas rumah dinas/Kantor Bupati lengkap dengan pendopo kabupatennya. Bangunan itu juga merupakan tempat tinggal Kartini bersama suaminya yang juga Bupati Rembang kala itu. Ada beberapa koleksi unik diantaranya bathub kuno, piring-piring kuno, juga mainan Kartini berupa dakon dengan hiasan kandang macan.

Salah satu sisi Museum Kartini

Dampo Awang Beach Pantai Kartini

Dampo Awang Beach Pantai Kartini. Lokasi wisata ini dikembangkan sejak tahun 2010. Fasilitas yang ada antara lain permainan anak, taman bemain, monumen Jangkar Dampo Awang dengan ukuran sekitar 2-3 meter, kolam renang, dan beberapa gasebo.










di Bulu, Rembang dekat dengan Makam Kartini ada sentra kerajinan akar.

Pintu masuk Makam Ibu Kartini di Bulu, Rembang

Masih di sekitar Makam Ibu Kartini, dikembangkan agrowisata Kebun Pisang. Beberapa rumah penduduk setempat juga disediakan sebagai homestay bila tamu ingin tinggal lebih lama

Rintisan agrowisata Kebun Pisang

Ohya, salah satu tempat menginap yang murah di Rembang adalah Hotel Kartini. Lokasi ada di Jl. Gajah Mada No. 6 sekitar batas kota. Kamar berkonsep bungalow diatas cukup dengan 100 rb rupiah saja. Kamar mandi dalam.


Kamar di Hotel Kartini memiliki roomrate 60-120 ribu. (Credit Mas Tulus)



Informasi pariwisata di Kabupaten Rembang
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Rembang
Jl. Gatot Subroto No. 8
Telepon (0295) 691911


Terimakasih untuk Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Tengah yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti trip ke Pati - Rembang (12-13 Mei 2015 lalu) pro : Pak Lis, dan Mas Nyoto (Dinbudpar Propinsi Jawa Tengah), Pak Wiyadi (Dinbudpar Kab. Pati), Pak Teguh, Pak Titut (Pati American Jeep), Pak Jamal (Dinbudpar Kab. Rembang), Pak Toro, Pak Danang (Pegiat sejarah dan budaya Lasem) dan lain-lain.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...