Sate Srepeh, Menyapa
Pagi di Rembang
Selamat
pagi, Rembang! Hari ini (Rabu, 13 Mei 2015) saya berada di salah satu hotel di
kota paling ujung timur laut Jawa Tengah. Sebenarnya saya belum sempat mandi.
Tapi mas Nyoto dengan semangat mengajak saya menjajal salah satu kuliner khas
disini.
Namanya
Sate Ayam Srepeh. Ada disebuah perempatan Jalan Dr Wahidin. Warungnya
tidak terlalu besar. “Ini yang terkenal, mas” kata Mas Nyoto meyakinkan. Kami
pun melangkahkan kaki masuk dan menjumpai beberapa orang tengah menyantap
sarapan mereka. Dilihat dari detail ornamen, warung ini dan juga rumah-rumah
disekitarnya kental arsitektur China.
Penjual sate srepeh itu seorang ibu-ibu yang usianya
tidak lagi muda dan dibantu beberapa pelayannya. “Satene pinten, mas?” sapa seorang pelayan dalam bahasa jawa yang
halus. Bahasanya cocok bila saya bandingkan dengan bahasa di daerah saya,
Magelang. “Emm..” Saya ragu dan tidak
tahu harus menjawab apa :D “biasane
pinten, nggih? Pinten mas?” Tanya saya kepada mas Nyoto. Belum sempat
berpikir, pelayan itu menawarkan 10 tusuk untuk kami berdua. “Ya” Saya iyakan
sembari memesan satu porsi Nasi Tahu dengan porsi separo supaya tidak terlalu
kenyang. Saya masih ingat kalau kami memiliki voucher free breakfast di hotel.
Seperti yang tertera pada banner di warung, disini
menyediakan Sate Srepeh yang biasanya dikombinasikan dengan Nasi Tahu. Sebuah
paduan nasi, kuah, beberapa potong tahu goreng, kacang goreng, dan kecambah
mentah. Semuanya
disajikan pada piring dengan alas daun jati. Saya pun tidak sabar untuk segera
menyantapnya. Nyaam! Rasanya pas! Sedikit manis. Sate Srepeh yang disampingnya
pun segera masuk mulut. Sate ayam itu sepertinya dipanggang tidak sampai
kecokelatan dan ditusuk pada biting atau
batangan daun kelapa. Kuahnya berwarna cokelat kekuningan pertanda bahwa ada
unsur kunyit. Terasa sih, bumbu
kacang, tapi kacangnya ditumbuk halus. Enak!
Sayangnya saya lupa tanya berapa harga kuliner ini. Tapi kisarannya tiap satu tusuk sate sekitar 1,500 - 2,000 rupiah.
**
Rumah China itu
Ternyata Restoran
Kami
sampai di Rembang sudah larut, semalam. Badan capek sekali setelah seharian
mengeksplor Pati. Kijang kami berbelok masuk ke pelataran Hotel Antika, Jalan
Erlangga Kota Rembang. Hotel ini cukup berkelas, room ratenya dari kisaran
200-400 ribuan permalam. Menilik bentuk bangunannya, tidak ada yang istimewa dari
hotel ini. Kami pun segera terlelap membayar hutang kelelahan tadi siang.
Sepulangnya dari mencicipi Sate Srepeh, saya
berkesempatan mengambil jatah free
breakfast. Restorannya ada di sebelah hotel. Bangunannya China banget!
Krepus model pelana, jendela kayu nan tebal, dan detail ornamen pada beberapa
sisi. Kusen-kusen serta kayu penopang pun besar-besar. Menjelaskan bahwa
bangunan ini tentu bukan bangunan baru.
Berhubung sudah kenyang, saya hanya mengambil secangkir
kopi dan jenang sagu. Yang
diistilahkan menjadi bubur mutiara. Sembari menyerutup kopi, saya, Mas Nyoto
dan Pak Lis mengobrol sambil menonton berita di LED Samsung yang buesar. Entah
43/60”. Bangunan ini memantik perhatian saya lebih jauh. Saya pun berkeliling
sejenak untuk melihat suasana sekitar. Ada lampion-lampion cantik dan taman.
**
Setelah berkenalan dengan Pak Jamal, seorang pegawai di
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat, kami diajak mengunjungi destinasi
utama di Rembang. Ya, apalagi kalau bukan Museum Kartini dan Pantai Dampo Awang
Beach? Setelah itu, kami bertemu dengan Pak Mulyono. Salah
satu kepala dusun di Desa Punjulharjo timur Kota Rembang.
Siang ini kami akan mengunjungi Pantai Karangjahe. Disini, tidak hanya
pantai yang dijual sebagai tujuan
wisata. “Beberapa waktu lalu, disini diselenggarakan festival arsitektur dari
bambu” buka Pak Mulyono
saat Kijang kami melaju mendekati pantai. Dia
menunjuk beberapa konstruksi unik yang ada di sekitaran pantai. “Mereka dari
komunitas arsitektur Jogjakarta. Bahan-bahan diambil dari sekitar sini, dan mereka
singgah beberapa hari”. Di sekitaran pantai Karangjahe memang kini telah
berkembang dengan dibukanya beberapa homestay untuk pelancong yang ingin
singgah lebih lama. Barangkali ini salah satu yang dimaksud Pak Mulyono
untuk membuat daya tarik wisata disini semakin memikat. Dengan menyediakan
tempat untuk mengadakan festival-festival. Salah satunya festival arsitektur
bambu tersebut.
Masih di seputaran desa setempat, bersemayam sebuah
bangkai kapal tua. Benda tersebut tergeletak diatara petak-petak tambak garam.
Waktu ditemukan salah satu sisi perahu tersebut tersenggol oleh peralatan
warga yang melakukan penggalian lahan. Sayangnya saat kami datang, situs
tersebut sedang ditutup untuk proses penormalan kadar garam.
Situs kapal kuno yang kini sudah terdaftar pada Balai
Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jateng tersebut terdiri dari sebuah rumah
penjaga, sebuah gudang penyimpanan serpih-serpih kapal, dan atap untuk menutupi
situs utama. Seorang penjaga menjelaskan bahwa proses penormalan kadar garam
itu membutuhkan waktu lama. “Sejak Desember kemarin dan akan berakhir akhir Mei
nanti. Nanti diteliti lagi, apakah perlu dilanjutkan atau cukup” katanya. Ckck.
Lama juga ternyata. Kawasan ini, berdasarkan penuturan Pak Jamal, akan
dikembangkan menjadi sebuah wisata museum. “Anggarannya dari APBN, dari
Kementerian” Ungkapnya. Nilainya cukup fantastis, kalau saya tidak salah ingat,
akan membutuhkan sekitar dua milyar.
Beruntung, penjaga tadi mempersilahkan kepada kami untuk
melihat sedikit dari bagian kapal. Terpal biru itu dibuka dan teronggoklah
sebuah perahu berbahan dasar kayu direndam dengan larutan penormal garam.
Informasi yang saya dapatkan, kayu itu berjenis kayu ulin. Perahu itu memiliki
ukuran 15 x 4,6 meter dan merupakan satu-satunya penemuan situs perahu di Asia
Tenggara yang paling utuh. Dan yang mencengangkan adalah, berdasarkan
penanggalan dengan metode radio karbon, diperkirakan perahu ini dibuat atau
dioperasikan pada kisaran abad 7-8 Masehi. Lebihb tua dari Candi Borobudur.
Amazing!
Kapal saat dibuka penutupnya. Foto oleh Mas Sunyoto |
Selain itu, ada sebuah baskom yang didalamnya berisi
serpih-serpih yang ditemukan disekitar situs utama. Serpih-serpih itu
kebanyakan berbahan tanah liat dan kayu, juga ada satu potong tulang yang
diperkirakan merupakan tulang manusia.
**
Profesor Mangrove
itu Bernama Suyadi
Kami berjalan kaki dari tempat parkir sekitar setengah
kilometer jauhnya dibawah terik matahari siang, sekitar pukul 11. Setelah
melintasi tanggul-tanggul diantara tambak-tambak pembudidayaan bandeng, kami
disambut hijaunya pemandangan didepan. Ya, didepan kami adalah sebuah rintisan kawasan
wisata mangrove.
Adalah Suyadi, seorang aktivis lingkungan yang sudah
bertahun-tahun membudidayakan tanaman bakau di pantai ini. Ia mulai
membudidayakan mangrove sejak 1964. Sebelumnya, wilayah yang secara
administratif berada di Kaliuntu, Pasar Bangi, Rembang itu kerap dilanda
gelombang pasang. Para penduduk setempat yang mayoritas menjadi petani garam
dan peternak bandeng kerap merugi akibat dihantam deburan air laut.
Usahanya tidak sia-sia. Meski pada awalnya ia dicibir
para tetangga, mulai tahun 1972 berangsur terlihat hasilnya. Rintisan bakau itu
bahkan mulai menarik minat tetangga sekitar. Para penduduk mulai tertarik untuk
menanam mangrove karena mulai memperlihatkan efek yang baik pada usaha budidaya
bandeng maupun garam mereka. Tak hanya sampai situ, Suyadi bahkan berhasil
membentuk sebuah kelompok tani mangrove.
Kawasan mangrove di pesisir Rembang itu kini sudah luas.
Jika saya kira-kira, luasnya lebih dari 50 hektar. Sudah barang tentu ekologi
disini menjadi kembali seimbang. Ada beberapa burung derkuku yang terlihat
berkeliaran, ikan-ikan, kepiting, bahkan biawak kembali menemukan habitatnya.
Sekarang, hutan mangrove itu tampak menghijau merentang
disabuk pantai. Kami melihat beberapa pengunjung datang untuk menikmati
keindahan panoramanya. Jika di Pekalongan ada Mangrove Park yang bisa dinikmati
sembari menaiki perahu karet, disini pengunjung bisa memanfaatkan trek kayu
warna merah untuk berjalan menyusuri rimbunnya hutan. Panjang lintasan kurang
lebih 100 meter dan merupakan sebuah rintisan permulaan. Ada sebuah gardu
pandang diujungnya. Disana kita bisa menikmati pemandangan bibit bakau yang sedang
mulai tumbuh.
Suyadi sendiri sudah sering menerima penghargaan dari
pemerintah atas jasanya. Diantaranya Piagam Pelesatri Mangrove dari Gubernur
Jateng, 2007, Piagam Pengabdi Lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup,
2007 dan yang terakhir adalah Kalpataru. “Pak Suyadi tahun 2013 menerima
Kalpataru dan sampai-sampai dijuluki profesor mangrove oleh Pak SBY” tutup Pak
Jamal. Istimewa!
Pembibitan Mangrove |
Selanjutnya Biarkan Lasem yang Bercerita
Foto lainnya :
Salah satu sisi Museum Kartini |
Dampo Awang Beach Pantai Kartini |
di Bulu, Rembang dekat dengan Makam Kartini ada sentra kerajinan akar. |
Pintu masuk Makam Ibu Kartini di Bulu, Rembang |
Masih di sekitar Makam Ibu Kartini, dikembangkan agrowisata Kebun Pisang. Beberapa rumah penduduk setempat juga disediakan sebagai homestay bila tamu ingin tinggal lebih lama |
Rintisan agrowisata Kebun Pisang |
Kamar di Hotel Kartini memiliki roomrate 60-120 ribu. (Credit Mas Tulus) |
Informasi pariwisata di Kabupaten Rembang
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Rembang
Jl. Gatot Subroto No. 8
Telepon (0295) 691911
Terimakasih untuk Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Tengah yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti trip ke Pati - Rembang (12-13 Mei 2015 lalu) pro : Pak Lis, dan Mas Nyoto (Dinbudpar Propinsi Jawa Tengah), Pak Wiyadi (Dinbudpar Kab. Pati), Pak Teguh, Pak Titut (Pati American Jeep), Pak Jamal (Dinbudpar Kab. Rembang), Pak Toro, Pak Danang (Pegiat sejarah dan budaya Lasem) dan lain-lain.
No comments:
Post a Comment