Tuesday, May 26, 2015

Ponorogo!

Bulan Juni nanti, saya dan salah satu teman saya, Dimas Daniel akan mengunjungi Kota Ponorogo. Kami memang sama sama penghobi bioskop, sih! Nah, rencana itu untuk meng-uncloked bioskop pendatang baru. Cinemaxx. Bioskop itu adanya di Ponorogo City Center (PCC).

Rencana Perjalanan

Sabtu, 13 Juni 2015
06.00 - 12.00 : Bis Ungaran - Madiun
12.00 - 13.00 : Istirahat, sewa motor di Madiun
13.00 - 14.00 : OTW Ponorogo
14.00 - 16.00 : Istirahat
17.00 - 22.00 : Nonton film, jalan-jalan

Minggu, 14 Juni 2015
06.00 - 07.00 : City Tour
07.00 - 08.00 : OTW Madiun
08.00 - Selesai  (Kondisional, Pulang)

Rencananya, saya pengen menginap di Hotel La Tiban. Sebuah hotel klasik nan kuno di Ponorogo.

Cost Estimation

1) Bis Ungaran - Madiun : 50
2) Sewa motor : 60
3) Makan x 3 : 45
4) BBM : 25
5) Tiket : 40
6) Hotel : 100
7) Bis pulang : 50
Total  : 370 K Read More..

Wednesday, May 20, 2015

Si Beong Yang Legendaris



Siang ini saya dan Ryan, Gusta, Ake Ru dan Mameth akan mengunjungi sebuah rumah makan legendaris di Borobudur, Magelang. Tapi sebelum menuju kesana, kami akan foto-foto dulu di Rumah Dinas Bupati Magelang (regentwoning) dan jembatan lama Kali Progo (burg over Progo naar Boroboedoer) dan juga meng-unclocked gardu kuno yang disebut dengan Gardu Diponegoro. Haha! Kami memang suka bercanda dengan bahasa Belanda sejak bergabung dengan Komunitas Kota Toea Magelang (KTM) dan hobbi mendiskusikan foto-foto lama dengan caption-nya yang unik-unik. Here we are!







Siang yang panas, dan jam di pergelangan tangan saya menunjuk mendekati pukul sebelas siang. “Nanti keburu ramai” ujar Ake Ru. Dan kami pun secara beriringan menuju ke tempat tujuan kami. Lokasinya ada di Desa Kembanglimus Kecamatan Borobudur. Dari arah Borobudur hanya sekira 3 Km saja ke arah Salaman/Purworejo dan warung ini berada tepat dipinggir jalan bersebelahan dengan SDN Kembanglimus.

Benar saja, rumah makan  kecil ini sesiang ini sudah tampak ramai. Kami langsung menuju ke meja yang ada di belakang yang merupakan satu-satunya meja dengan konsep lesehan. “Kepala dua, daging tiga dan lima es teh” pesan saya kepada ibu penjual. Terlihat sang ibu mengambil daging beong yang telah dipotong-potong per-ekornya menjadi tiga bagian. kepala, badan dan ekor. Potongan-potongan itu ditaruh dalam sebuah panci putih besar dengan kuah yang memerah.

Beong sejatinya merupakan ikan endemik air tawar yang hidup di Kali Progo. Melihat dari bentuknya, ikan ini masih satu spesies dengan lele (atau) patin (?). Kabar baiknya, beong yang menjadi salah satu sajian khas Magelang ini rupanya sudah mulai dibudidayakan baik dalam skala kecil maupun dibudidayakan dalam waduk-waduk. Satu ekor beong siap konsumsi besarnya bisa sekitar satu lengan orang dewasa. Di Rumah Makan Sehati ini, sajian spesialnya adalah ‘ndas’ atau kepala beong. Saking besarnya, satu kepala beong ini memenuhi hingga sepiring penuh.
 
Ikan beong dimasak dengan bumbu mangut dan memiliki citarasa pedas yang luar biasa. Lihat saja, lumuran kuah berbahan rempah-rempah yang membanjiri potongan beong itu bercampur dengan cabai rawit. Rasa-rasanya, mulut ingin segera memakannya. Begitu masuk mulut, huaaah! rasa pedasnya langsung nendang. Bumbu mangut yang lezat dengan suasana pedas membuat nasi menjadi cepat habis berubah menjadi buliran keringat yang mengucur deras. Untuk mengurangi rasa pedas, bisa diselingi dengan memakan urap yang sudah disediakan.
 
Untuk harga masih terbilang murah. Satu porsi beong dihargai Rp. 10.000 rupiah belum termasuk nasi dan minum. Jadi, kamu sedang berada di Magelang? Atau kamu penyuka pedas yang punya rencana ke Borobudur? Atau kamu sedang punya rencana berlibur ke Magelang? Jangan lupa mampir, ya!

Warung Makan Sehati (RM. Beong)
Selera Pedas
Jl. Diponegoro Km. 3
Kembanglimus, Borobudur
Magelang

Tulisan ini direpost untuk meramaikan Lomba Blog Jateng 2015 dengan tema Kuliner Jawa Tengah yang diadakan Dinbudpar Provinsi Jawa Tengah. Yuk, ikutan lombanya, dan menangkan hadiah menarik serta kesempatan trip seperti saya ini Trip Pati, Trip Rembang :). Informasinya silakan dilihat pada gambar dibawah ini.

Read More..

Tuesday, May 19, 2015

Biarlah Lasem yang Bercerita



Ada banyak cerita di Lasem. Saat pertama berjumpa, kijang membawa kami menuju selatan kota untuk makan siang. Terletak di Desa Tuyuhan, ada sentra kuliner yang sudah melegenda. Lontong Tuyuhan namanya. Berjejer beberapa kios yang menghadap ke persawahan. Bukit Kajar terlihat sedikit menyembul menambah indah pemandangan.



 Lontong Tuyuhan, merupakan sajian lontong sayur yang merupakan makanan khas dari Lasem, Rembang. Lontongnya dibungkus daun pisang dan berbentuk segitiga. Beberapa potong lontong, disajikan dengan kuah opor, dan lauk ayam kampung. Saya sendiri memesan lauk paha ayam dan tempe. Siang-siang begini, menyantap lontong berkuah rasanya sangat lezat. Gurihnya langsung masuk mulut seketika. Harga perporsinya relatif murah. Cukup mengeluarkan 12,500 saja.


**
Pak Toro merupakan seorang aktivis sejarah dan budaya dari Kota Lasem. Siang ini dia dan rekannya, Pak Danang,  mengajak kami mengunjungi LZ Lie Thiam Kwie, sebuah pabrik tegel legendaris yang beroperasi sejak 111 tahun yang lalu. Begitu masuk, saya langsung terpana dan exciting. Sebagai penggemar bangunan lawas, saya langsung amazing dan potret-potret. Setelah memasuki lorong kecil, kami disambut Hadinata, sang penerus perusahaan.


 

Insinyur yang juga merupakan pensiunan PNS di Bandung itu, kini juga menjadi dosen. “Mengelola pabrik tegel ini, saya tidak mencari untung. Pembuatan tegel kini sudah sepi sejak ada keramik. Saya hanya berusaha meneruskan usaha peninggalan orang tua saja” ujarnya. Dari belakang rumahnya yang dikonsep menjadi taman, kami memulai penelusuran.
 
Ada tiga gedung utama yang digunakan sebagai rumah produksi. Gedung-gedung itu memang tampak sangat tua dan rapuh. Menandakan bahwa perusahaan ini jelas sudah tidak lagi berjalan mulus. Peralatan yang digunakan juga sangat tua. Ada mesin pres kuno buatan Jerman, dan mesin tanggem buatan Inggris. Meski kuno, peralatan itu masih berfungsi baik hingga sekarang. Disudut-sudut ruangan tampak beberapa koleksi tegel warna warni nan cantik. Juga ada beberapa kursi yang dibuat dari tegel dengan tulangan dari besi. Cantik!




Terlihat dua orang pegawai tengah sibuk menyelesaikan pesanan paving. Benar, Hadinata sudah sangat jarang menerima pesanan tegel, sebagai gantinya, ia mengerjakan pesanan paving/konblock. Di ruang produksinya yang sangat memprihatinkan, ia mengatakan bahwa pesanan paving ini hanya untuk menghabiskan stock semen. Setelah itu, ia belum tahu apakah akan melanjutkan usaha tersebut atau tidak. Sedih mendengarnya..

Tampaknya istri Hadinata sudah mulai melihat prospek lain dari pabrik tegel kuno yang dikelolanya. Ibarat tak ada rotan akarpun jadi, produksi tegel jelas tidak mungkin memberikan pemasukan. Maka dari itu, berdasarkan penuturannya, ia menjelaskan bahwa ia akan menerima siapa saja yang tertarik dengan sejarah untuk datang berkunjung. Rumah itu juga cantik dengan arsitektur tahun 1930an, dan kental hiasan tegel warna disana-sini. Adanya taman dibelakang rumah, menambah kesan klasik indah. “Disini, biasanya sering buat foto prewedding” akunya.
 
Wah, menarik, kan? Ingin berkunjung ke Pabrik Tegel LZ juga? Anda dapat menghubungi langsung Pak Hadinata di 082133166628 untuk membuat janji. Jangan lupa, siapkan uang 10,000 rupiah per orangnya untuk membantu biaya kebersihan. ;)

**
Lasem masih bercerita. Sejak kami datang, saya dibuat terkagum-kagum oleh susana kuno-nya. Bangunan tua bercecer disana-sini. Banyak diantaranya merupakan bangunan dengan artitektur China. Sebagian berubah fungsi dan terawat, dan sebagian besar sudah rapuh dimakan zaman. Kedatangan warga Tionghoa ke Lasem dipercaya sudah ada sejak jaman Majapahit. Aktivitas mereka turut mewarnai perjalanan Lasem dari era Majapahit, Demak, hingga masa-masa penjajahan kolonial. Salah satu yang membekas adalah peristiwa Geger Pecinan pada kisaran tahun 1743.

Pak Toro memandu kami memasuki salah satu gang. Di Gang Pecinan itu mobil kami berhenti.
“Kawasan ini rencananya akan kami kembangkan. Pecinan ini memiliki potensi wisata sejarah yang sangat bagus” Pak Toro membuka cerita tentang Pecinan saat kami memulai perjalanan di gang-gang itu. Bila dilihat, kawasan ini masih belum begitu rapi dan bersih. Tergolong sepi, malah. Hal ini dikarenakan deretan rumah itu memiliki bentuk yang khas. Yakni sebuah pintu depan dengan atap dan halaman serta rumahnya tertutup oleh pagar tinggi sehingga kehidupan warganya tidak banyak terlihat dari jalan.

Kami mampir ke salah satu rumah. Rumah itu dihuni Mak Lena, seorang wanita yang sangat ramah. Disana ia tinggal bersama kerabatnya. Begitu masuk, kami disambut sebuah rumah yang mengadopsi gaya China Belanda. Pintu-pintu dan jendela yang tinggi, dan tiang-tiang dengan ornamen khas. Rumah itu tidak terlalu luas. Dan saat sampai pada bagian belakang rumahnya, kami menjumpai sebuah sumur, serta beberapa kamar gudang dan toilet yang terpisah dari rumah utama. Detail artistik rumah ini masih asli. “Benar, masih asli semua. Memang tidak pernah saya rubah. Asli sejak jaman dahulu. Nah kalau meja kursi, dan peralatan lain itu nggak asli” Mak Lena menunjuk sebuah mesin cuci sambil terkekeh.
 
Di Lasem, kehidupan antara etnis Tionghoa dan Jawa terjalin harmonis. Ada sebuah pos yang menjadi simbol keharmonisan itu. Pos itu berwarna merah bercorak China, dan pada salah satu sisinya terukir kaligrafi. Penduduk Jawa identik dengan Muslim, sedangkan penduduk China rata-rata menganut Konghuchu. “Mereka hidup damai, bila ada hajatan misalnya pengajian, maka penduduk Tionghoa akan senang hati membantu. Begitu pula misal ada penduduk Tionghoa yang meninggal, maka orang Jawa akan turut melayat” Ungkap Pak Danang. Toleransi yang tinggi antar etnis seperti ini barangkali jarang kita temui ditempat lain.
 
**
Matahari mulai bergeser ke barat saat kami memasuki halaman Kelenteng Cu An Kiong. Kelenteng ini terletak tidak jauh dari jalan raya Pantura Lasem. Suasana tempat ibadah sore itu relatif sepi. Tidak lama menunggu, kami dibukakan pintu oleh salah satu pengurus kelenteng.
 
Cu An Kiong, menurut informasi yang saya dapatkan dari Pak Danang, dibangun pada tahun 1474 dan konon merupakan kelenteng tertua di Lasem, bahkan di Jawa. Memasuki ruang utama kelenteng, kami disambut dengan dua buah tiang besar terbuat dari kayu jati dengan ornamen yang menarik. Lantainya indah sekali dengan padu-padan tegel-tegel kuno. “Mungkin waktu itu pesan di LZ” batin saya ngawur. Pada sisi kanan-kiri tembok dalam, kami menemukan motif lukisan hitam yang digambar pada batuan putih. Gambar-gambar itu dipercaya sudah ada sejak kelenteng dibangun. Kualitasnya masih bagus dan terlihat jelas. Hanya ada beberapa yang mulai kusam terutama dibagian bawah.

Dewa utama di kelenteng ini adalah Thian Siang Seng Bo atau Dewi Samudera. Patungnya diletakkan pada bagian utama altar pemujaan. Disampingnya, ada Dewa Bumi atau Kongcho Ho Tek Cing Sin. “Biasanya setahun sekali ada acara semacam festival dalam rangka ulang tahun Makcho (Thian Siang Seng Bo)” Berbagai pertunjukan digelar. Informasi yang saya dapatkan,  biasanya juga digelar wayang kulit yang lagi-lagi menandakan keharmonisan multi etnis di Lasem.

Satu lagi bukti toleransinya, ada di bagian belakang kelenteng. Pak Danang memperlihatkan saya sebuah ruangan yang digunakan untuk menyimpan tandu. Tandu-tandu itu digunakan untuk membawa Dewa-dewi. Satu tandu yang unik, bertuliskan R. Panji Margono. Menurut cerita Pak Danang, R. Panji Margono yang merupakan orang Jawa pada saat itu bahu membahu bersama orang China dalam rangka melawan penjajah Belanda. R. Panji berujar bahwa di Lasem, orang Jawa dan China selamanya akan hidup rukun.



Read More..

Serba-Serbi Rembang!



Sate Srepeh, Menyapa Pagi di Rembang


Selamat pagi, Rembang! Hari ini (Rabu, 13 Mei 2015) saya berada di salah satu hotel di kota paling ujung timur laut Jawa Tengah. Sebenarnya saya belum sempat mandi. Tapi mas Nyoto dengan semangat mengajak saya menjajal salah satu kuliner khas disini.
 


Namanya Sate Ayam Srepeh. Ada disebuah perempatan Jalan Dr Wahidin. Warungnya tidak terlalu besar. “Ini yang terkenal, mas” kata Mas Nyoto meyakinkan. Kami pun melangkahkan kaki masuk dan menjumpai beberapa orang tengah menyantap sarapan mereka. Dilihat dari detail ornamen, warung ini dan juga rumah-rumah disekitarnya kental arsitektur China.

Penjual sate srepeh itu seorang ibu-ibu yang usianya tidak lagi muda dan dibantu beberapa pelayannya. “Satene pinten, mas?” sapa seorang pelayan dalam bahasa jawa yang halus. Bahasanya cocok bila saya bandingkan dengan bahasa di daerah saya, Magelang. “Emm..” Saya ragu dan tidak tahu harus menjawab apa :D “biasane pinten, nggih? Pinten mas?” Tanya saya kepada mas Nyoto. Belum sempat berpikir, pelayan itu menawarkan 10 tusuk untuk kami berdua. “Ya” Saya iyakan sembari memesan satu porsi Nasi Tahu dengan porsi separo supaya tidak terlalu kenyang. Saya masih ingat kalau kami memiliki voucher free breakfast di hotel.
 
Seperti yang tertera pada banner di warung, disini menyediakan Sate Srepeh yang biasanya dikombinasikan dengan Nasi Tahu. Sebuah paduan nasi, kuah, beberapa potong tahu goreng, kacang goreng, dan kecambah mentah. Semuanya disajikan pada piring dengan alas daun jati. Saya pun tidak sabar untuk segera menyantapnya. Nyaam! Rasanya pas! Sedikit manis. Sate Srepeh yang disampingnya pun segera masuk mulut. Sate ayam itu sepertinya dipanggang tidak sampai kecokelatan dan ditusuk pada biting atau batangan daun kelapa. Kuahnya berwarna cokelat kekuningan pertanda bahwa ada unsur kunyit. Terasa sih, bumbu kacang, tapi kacangnya ditumbuk halus. Enak! 

Sayangnya saya lupa tanya berapa harga kuliner ini. Tapi kisarannya tiap satu tusuk sate sekitar 1,500 - 2,000 rupiah.


 **
Rumah China itu Ternyata Restoran


Kami sampai di Rembang sudah larut, semalam. Badan capek sekali setelah seharian mengeksplor Pati. Kijang kami berbelok masuk ke pelataran Hotel Antika, Jalan Erlangga Kota Rembang. Hotel ini cukup berkelas, room ratenya dari kisaran 200-400 ribuan permalam. Menilik bentuk bangunannya, tidak ada yang istimewa dari hotel ini. Kami pun segera terlelap membayar hutang kelelahan tadi siang.

Sepulangnya dari mencicipi Sate Srepeh, saya berkesempatan mengambil jatah free breakfast. Restorannya ada di sebelah hotel. Bangunannya China banget! Krepus model pelana, jendela kayu nan tebal, dan detail ornamen pada beberapa sisi. Kusen-kusen serta kayu penopang pun besar-besar. Menjelaskan bahwa bangunan ini tentu bukan bangunan baru.
 
Berhubung sudah kenyang, saya hanya mengambil secangkir kopi dan jenang sagu. Yang diistilahkan menjadi bubur mutiara. Sembari menyerutup kopi, saya, Mas Nyoto dan Pak Lis mengobrol sambil menonton berita di LED Samsung yang buesar. Entah 43/60”. Bangunan ini memantik perhatian saya lebih jauh. Saya pun berkeliling sejenak untuk melihat suasana sekitar. Ada lampion-lampion cantik dan taman.

**
Setelah berkenalan dengan Pak Jamal, seorang pegawai di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat, kami diajak mengunjungi destinasi utama di Rembang. Ya, apalagi kalau bukan Museum Kartini dan Pantai Dampo Awang Beach? Setelah itu, kami bertemu dengan Pak Mulyono. Salah satu kepala dusun di Desa Punjulharjo timur Kota Rembang.


 

Siang ini kami akan mengunjungi Pantai Karangjahe. Disini, tidak hanya pantai yang dijual sebagai tujuan wisata. “Beberapa waktu lalu, disini diselenggarakan festival arsitektur dari bambu” buka Pak Mulyono saat Kijang kami melaju mendekati pantai. Dia menunjuk beberapa konstruksi unik yang ada di sekitaran pantai. “Mereka dari komunitas arsitektur Jogjakarta. Bahan-bahan diambil dari sekitar sini, dan mereka singgah beberapa hari”. Di sekitaran pantai Karangjahe memang kini telah berkembang dengan dibukanya beberapa homestay untuk pelancong yang ingin singgah lebih lama. Barangkali ini salah satu yang dimaksud Pak Mulyono untuk membuat daya tarik wisata disini semakin memikat. Dengan menyediakan tempat untuk mengadakan festival-festival. Salah satunya festival arsitektur bambu tersebut.
 
Masih di seputaran desa setempat, bersemayam sebuah bangkai kapal tua. Benda tersebut tergeletak diatara petak-petak tambak garam. Waktu ditemukan salah satu sisi perahu tersebut tersenggol oleh peralatan warga yang melakukan penggalian lahan. Sayangnya saat kami datang, situs tersebut sedang ditutup untuk proses penormalan kadar garam. 

Situs kapal kuno yang kini sudah terdaftar pada Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jateng tersebut terdiri dari sebuah rumah penjaga, sebuah gudang penyimpanan serpih-serpih kapal, dan atap untuk menutupi situs utama. Seorang penjaga menjelaskan bahwa proses penormalan kadar garam itu membutuhkan waktu lama. “Sejak Desember kemarin dan akan berakhir akhir Mei nanti. Nanti diteliti lagi, apakah perlu dilanjutkan atau cukup” katanya. Ckck. Lama juga ternyata. Kawasan ini, berdasarkan penuturan Pak Jamal, akan dikembangkan menjadi sebuah wisata museum. “Anggarannya dari APBN, dari Kementerian” Ungkapnya. Nilainya cukup fantastis, kalau saya tidak salah ingat, akan membutuhkan sekitar dua milyar.

Beruntung, penjaga tadi mempersilahkan kepada kami untuk melihat sedikit dari bagian kapal. Terpal biru itu dibuka dan teronggoklah sebuah perahu berbahan dasar kayu direndam dengan larutan penormal garam. Informasi yang saya dapatkan, kayu itu berjenis kayu ulin. Perahu itu memiliki ukuran 15 x 4,6 meter dan merupakan satu-satunya penemuan situs perahu di Asia Tenggara yang paling utuh. Dan yang mencengangkan adalah, berdasarkan penanggalan dengan metode radio karbon, diperkirakan perahu ini dibuat atau dioperasikan pada kisaran abad 7-8 Masehi. Lebihb tua dari Candi Borobudur. Amazing!
Kapal saat dibuka penutupnya. Foto oleh Mas Sunyoto

Selain itu, ada sebuah baskom yang didalamnya berisi serpih-serpih yang ditemukan disekitar situs utama. Serpih-serpih itu kebanyakan berbahan tanah liat dan kayu, juga ada satu potong tulang yang diperkirakan merupakan tulang manusia.

**
Profesor Mangrove itu Bernama Suyadi
Kami berjalan kaki dari tempat parkir sekitar setengah kilometer jauhnya dibawah terik matahari siang, sekitar pukul 11. Setelah melintasi tanggul-tanggul diantara tambak-tambak pembudidayaan bandeng, kami disambut hijaunya pemandangan didepan. Ya, didepan kami adalah sebuah rintisan kawasan wisata mangrove.



Adalah Suyadi, seorang aktivis lingkungan yang sudah bertahun-tahun membudidayakan tanaman bakau di pantai ini. Ia mulai membudidayakan mangrove sejak 1964. Sebelumnya, wilayah yang secara administratif berada di Kaliuntu, Pasar Bangi, Rembang itu kerap dilanda gelombang pasang. Para penduduk setempat yang mayoritas menjadi petani garam dan peternak bandeng kerap merugi akibat dihantam deburan air laut. 


Usahanya tidak sia-sia. Meski pada awalnya ia dicibir para tetangga, mulai tahun 1972 berangsur terlihat hasilnya. Rintisan bakau itu bahkan mulai menarik minat tetangga sekitar. Para penduduk mulai tertarik untuk menanam mangrove karena mulai memperlihatkan efek yang baik pada usaha budidaya bandeng maupun garam mereka. Tak hanya sampai situ, Suyadi bahkan berhasil membentuk sebuah kelompok tani mangrove.

Kawasan mangrove di pesisir Rembang itu kini sudah luas. Jika saya kira-kira, luasnya lebih dari 50 hektar. Sudah barang tentu ekologi disini menjadi kembali seimbang. Ada beberapa burung derkuku yang terlihat berkeliaran, ikan-ikan, kepiting, bahkan biawak kembali menemukan habitatnya.

 
Sekarang, hutan mangrove itu tampak menghijau merentang disabuk pantai. Kami melihat beberapa pengunjung datang untuk menikmati keindahan panoramanya. Jika di Pekalongan ada Mangrove Park yang bisa dinikmati sembari menaiki perahu karet, disini pengunjung bisa memanfaatkan trek kayu warna merah untuk berjalan menyusuri rimbunnya hutan. Panjang lintasan kurang lebih 100 meter dan merupakan sebuah rintisan permulaan. Ada sebuah gardu pandang diujungnya. Disana kita bisa menikmati pemandangan bibit bakau yang sedang mulai tumbuh.
  

Suyadi sendiri sudah sering menerima penghargaan dari pemerintah atas jasanya. Diantaranya Piagam Pelesatri Mangrove dari Gubernur Jateng, 2007, Piagam Pengabdi Lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup, 2007 dan yang terakhir adalah Kalpataru. “Pak Suyadi tahun 2013 menerima Kalpataru dan sampai-sampai dijuluki profesor mangrove oleh Pak SBY” tutup Pak Jamal. Istimewa!



Pembibitan  Mangrove








 
Foto lainnya :
 

Koleksi dispenser kuno di Museum Kartini. Museum Kartini menempati bekas rumah dinas/Kantor Bupati lengkap dengan pendopo kabupatennya. Bangunan itu juga merupakan tempat tinggal Kartini bersama suaminya yang juga Bupati Rembang kala itu. Ada beberapa koleksi unik diantaranya bathub kuno, piring-piring kuno, juga mainan Kartini berupa dakon dengan hiasan kandang macan.

Salah satu sisi Museum Kartini

Dampo Awang Beach Pantai Kartini

Dampo Awang Beach Pantai Kartini. Lokasi wisata ini dikembangkan sejak tahun 2010. Fasilitas yang ada antara lain permainan anak, taman bemain, monumen Jangkar Dampo Awang dengan ukuran sekitar 2-3 meter, kolam renang, dan beberapa gasebo.










di Bulu, Rembang dekat dengan Makam Kartini ada sentra kerajinan akar.

Pintu masuk Makam Ibu Kartini di Bulu, Rembang

Masih di sekitar Makam Ibu Kartini, dikembangkan agrowisata Kebun Pisang. Beberapa rumah penduduk setempat juga disediakan sebagai homestay bila tamu ingin tinggal lebih lama

Rintisan agrowisata Kebun Pisang

Ohya, salah satu tempat menginap yang murah di Rembang adalah Hotel Kartini. Lokasi ada di Jl. Gajah Mada No. 6 sekitar batas kota. Kamar berkonsep bungalow diatas cukup dengan 100 rb rupiah saja. Kamar mandi dalam.


Kamar di Hotel Kartini memiliki roomrate 60-120 ribu. (Credit Mas Tulus)



Informasi pariwisata di Kabupaten Rembang
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Rembang
Jl. Gatot Subroto No. 8
Telepon (0295) 691911


Terimakasih untuk Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Tengah yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti trip ke Pati - Rembang (12-13 Mei 2015 lalu) pro : Pak Lis, dan Mas Nyoto (Dinbudpar Propinsi Jawa Tengah), Pak Wiyadi (Dinbudpar Kab. Pati), Pak Teguh, Pak Titut (Pati American Jeep), Pak Jamal (Dinbudpar Kab. Rembang), Pak Toro, Pak Danang (Pegiat sejarah dan budaya Lasem) dan lain-lain.

Read More..
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...