Wednesday, September 9, 2020

Sejenak Menyegarkan Diri di Umbul Senjoyo

 

Suasana salah satu kolam di Umbul Senjoyo (dokpri)

Selepas berwisata di Museum Kereta Api Ambarawa, kami memutuskan untuk menuju arah timur ke daerah Muncul, Banyubiru untuk mencari kesegaran. Mobil kami berjalan pelan melewati lekuk-lekuk pinggiran Rawa Pening melintasi hamparan persawahan sambil sesekali melihat danau alami itu dari kejauhan. Tapi begitu sampai di Pemandian Muncul, tempat tersebut ternyata masih tutup berkaitan dengan pandemi Covid 19. Pun begitu juga dengan Muncul Waterpark dan Taman Kelinci yang berlokasi tidak jauh dari situ.

Akhirnya kami memutuskan untuk menuju bagian timur Kabupaten Semarang. Memanfaatkan adanya Jalan Lingkar Salatiga (JLS), perjalanan kami terasa begitu cepat sampai di Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran. Tempat tujuan kami kali ini adalah Umbul Senjoyo, yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Jalan Raya Salatiga – Solo. Kira kira hanya butuh lima menit berkendara.

Saya terakhir kali berkunjung ke Umbul Senjoyo tahun 2009. Waktu itu lokasinya masih agak sepi dan belum banyak yang tahu. Setelah agak viral di media sosial beberapa waktu lalu dengan foto kolam yang bertabur ratusan ikan, tempat ini kian berbenah dan ramai dikunjungi. Beberapa fasilitas ditingkatkan untuk menunjang kenyamanan pengunjung.

**

Matahari mulai meninggi ketika kami sampai. Parkiran mobil berada di sebuah tanah lapang agak tinggi.

 “silakan pak karcis parkirnya langsung dibayar lima ribu”

ucap tukang parkir setelah memberi aba-aba sedan tua saya menyelinap parkir diantara mobil mobil yang lebih dahulu datang.

Meski siang agak terik, namun kawasan Umbul Senjoyo yang berada ditengah rerimbunan terasa begitu sejuk. Gemericik air dan riuhnya suasana menyambut kami. Dayu – anak saya kegirangan ingin segera bermain air.

“Ayo bapak.. Dayu pingin nyemplung” ujarnya.

 

Tempat ini sepertinya sudah mulai dibuka untuk umum setelah sempat ditutup akibat pandemi Covid 19. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa setempat sebagai pengelola tampaknya sudah menyiapkan sarana-prasarana dalam rangka kebiasaan era baru (new normal) seperti menyiapkan papan papan himbauan wajib bermasker dan  menyiapkan beberapa tempat cuci tangan.


Untuk memasuki kawasan ini, sementara masih gratis, tanpa dipungut biaya. Tetapi jika ingin menikmati sensasi duduk di aliran sungai, atau bermain perosotan air untuk anak-anak, harus membayar Rp. 5.000,-.

 

Akhirnya kami memutuskan untuk segera turun sembari mencari meja kursi yang kosong untuk bersantai sejenak sembari memesan beberapa camilan dan minuman yang banyak tersedia. Sementara Dayu nyemplung untuk keceh alias bermain air. Ya, kami hendak mencoba sensasi makan dan bersantai di aliran sungai sembari momong anak.

Siang hari di Umbul Senjoyo, menikmati gorengan dan minuman hangat, sambil merendam kaki di aliran sungai yang dingin dan jernih, adalah suatu simbol ketenangan tersendiri. Pikiran terasa fresh dan tubuh terasa segar.

Untuk harga makanan yang dijajakan di kawasan Umbul Senjoyo relatif murah. Sebut saja gorengan yang dijajakan mulai dari 1000 rupiah per biji dan minuman yang beraneka ragam mulai dari kopi, teh, dan aneka minuman instan.

 

**

Adzan dhuhur terdengar, tanda kami harus segera beranjak karena ingin segera pulang. Waktu satu jam saya anggap sudah cukup untuk menikmati segarnya suasana Senjoyo. Sebelum pulang, kami sejenak mengitari kompleks ini.

Mata air Senjoyo yang berjumlah tujuh titik, menyemburkan debit air yang berlimpah. Salah satunya bahkan telah digunakan sebagai pasokan air untuk kebutuhan PDAM Kota Salatiga sejak jaman kolonial. Setidaknya ada tiga buah kolam yang bisa dimanfaatkan pengunjung. Yang dua bisa dipergunakan untuk berenang atau berendam, dan satu yang paling luas terlihat dipergunakan untuk perahu bebek dan perahu dayung.

Dekat dengan tempat makan di aliran sungai, ada salah satu tempat yang biasa digunakan warga untuk mencuci baju juga digunakan sebagai tempat bermain air untuk anak – anak. Untuk menuju ke kolam utama, kami harus melewati sebuah jembatan panjang yang juga bisa dijadikan tempat untuk berfoto.

 

Foto kolam dengan ratusan ikan yang beredar di media sosial, adalah kolam yang berada di tepi sungai. Dilengkapi juga dengan beberapa pelampung untuk berenang. Namun jumlah ikan kini tampaknya sudah jauh banyak berkurang. Sedangkan kolam utama yang sangat jernih terletak di sebaliknya. Tampak beberapa orang tampak sedang berenang dan berendam. Airnya sungguh sangat segar. Lain kali jika bawa baju ganti, ingin rasanya saya menjajal berendam sembari mencari wangsit di kolam ini.

 

Tepat berada di sebelah kolam utama, terdapat sebuah petilasan. Kawasan ini dipercaya telah ada sejak jaman Kesultanan Pajang. Dan petilasan tersebut dipercaya sebagai tempat bertapa tokoh legendaris dalam sejarah Jawa, Jaka Tingkir. 

Air kolam tampak sangat jernih dan terlihat dasarnya dari atas. Sementara sebagian tepian kolam berbahan batu andesit dan menurut informasi yang saya terima, pernah juga ditemukan beberapa relief dan antefiks khas hiasan candi. Hingga saat ini Umbul Senjoyo juga masih digunakan sebagai tempat laku praktisi supranatural untuk mencari ketenangan jiwa, salah satunya dengan mengadakan ritual kungkum atau berendam, khususnya pada malam satu Suro penanggalan Jawa.

 

**

Umbul Senjoyo, sebagai salah satu daya tarik wisata di Kabupaten Semarang, dalam perjalanannya pernah direncanakan pengembangannya oleh Dinas Pariwisata yang pernah membuat maket rencana dan ditempatkan di aula Dinas Pariwisata kala itu. Namun karena mungkin kalah prioritas dibanding tempat wisata lainnya, seperti pengembangan Gedong Songo dan Bukit Cinta, maka pengembangan ini masih belum bisa terlaksana hingga saat ini.

Melihat dari fasilitas pengunjung yang tersedia di Senjoyo, tampak bahwa tempat ini masih membutuhkan sentuhan pemerintah agar lebih tertata. Seperti penataan jalan, penataan PKL, dan pentingnya pengelolaan sampah. Semoga dengan perkembangan waktu, Umbul Senjoyo dapat segera dilirik untuk mendapat prioritas pembangunan kawasan wisata.

Jadi buat kalian yang ingin menyegarkan jiwa dan raga, sejenak melepas dari kepenatan pekerjaan, Umbul Senjoyo ini sangat cocok untuk didatangi. Anda bisa sekadar bermain air, berendam, memberi makan ikan, atau melepas ikan pun dipersilakan. Tetapi pada waktu pandemi seperti ini, jangan lupa selalu patuhi himbauan pemerintah dengan memperhatikan protokol kesehatan, juga menjaga kebersihan tempat wisata.

Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog "Wisata Kabupaten Semarang Di Era Adaptasi Kebiasaan Baru"

Read More..

Museum Kereta Api Ambarawa dan Jejak Sejarah Kereta Api




Salah satu koleksi Lokomotif Uap kuno yang dipamerkan di Museum Kereta Api Ambarawa (Dokpri)

Jika dibandingkan satu dekade yang lalu, ketika saya mengunjungi Museum Kereta Api Ambarawa, sekarang tempat ini sudah sangat banyak berbenah. Mengalami revitalisasi yang begitu mendetail selama beberapa tahun pada sekitar 2013 – 2015, sekarang salah satu tempat wisata di Ambarawa, Kabupaten Semarang ini tampak begitu cantik dan tertata rapi

Perjalanan saya sekeluarga ke Ambarawa cukup ditempuh setengah jam saja dari Ungaran. Sesampainya di pintu masuk utama, kami mendapatkan tiket parkir roda empat yang bertulis tarif Rp. 5.000,- yang harus dibayar ketika keluar nantinya. Tempat parkir yang dulu berada di dekat dengan kompleks stasiun kini berpindah di sebelah menempati tanah yang sangat lapang. Dari parkiran menuju ke loket karcis, pengunjung sudah disambut dengan deretan lokomotif uap koleksi yang kini kondisinya sangat terawat, lengkap dengan pelindung atap.

 

Fasilitas CTPS ketika masuk Museum 

“Silakan, Pak loketnya lewat sebelah sini”

Sapa petugas security dengan sopan menyambut kami selepas mencuci tangan di tempat CTPS (cuci tangan pakai sabun) yang disediakan di depan ruang loket.

“Maaf pak, kami cek suhu badannya dulu ya..”

sambung security tadi.

Tiket masuk untuk akhir pekan ini yaitu sepuluh ribu rupiah untuk dewasa dan lima ribu rupiah untuk anak anak. Konsep ruang loket pun dibangun dengan sangat modern hampir menyerupai lobi bioskop. Bahkan konsep pemeriksaan tiket pun sudah digital dengan menscan QR yang tercetak pada tiket terintegrasi dengan counter pintu masuk.

Setelah renovasi besar-besaran, tampak bahwa konsep museum ini sekarang sudah sangat matang. Ketika masuk kami menjumpai selasar panjang yang di temboknya ditampilkan informasi seputar sejarah perkeretaapian nasional, lengkap dengan infografis yang menarik, dan beberapa gambar timbul. Dari selasar tersebut kita juga bisa sekaligus melihat dan mengamati deretan lokomotif uap yang kini ditata rapi, lengkap dengan atap pelindung.

 

Setelah puas mencerna informasi tentang sejarah kereta api, kami lanjut mengunjungi inti dari musem ini. Adalah bangunan berarsitektur megah dengan detail bangunan khas era kolonial yang hingga kini masih sangat terawat. Tegel traso, dengan atap lengkung baja dan detail ornamen yang khas membuat kita menjadi terbawa suasana tempo dulu.

Saya sekilas teringat dengan sebuah cerita yang pernah saya baca dari sebuah buku tentang perjalanan seorang Belanda pada awal tahun 1900an yang mencatat kisah perjalanan dalam bukunya. Ia bercerita tentang perjalanan berkereta apinya dari Semarang pada suatu siang hari dan sampai di Stasiun Ambarawa pada sore harinya. Mengingat tidak adanya perjalanan kereta api pada malam hari, ia lalu memutuskan untuk menginap di sebuah hotel dekat dengan stasiun.

Pagi harinya, terpesonalah dia dengan keindahan alam Ambarawa yang bisa melihat gagahnya gunung Merbabu dan Telomoyo sembari mendengar desingan ketel uap yang sedang dipanaskan. Tanda bahwa kereta ke Jogjakarta akan segera berangkat.

 

Ia pun melanjutkan perjalanan kereta menanjak ke Bedono dengan lokomotif khusus bergerigi dan sampai di Jogjakarta menjelang sore harinya. Terbayang moda transportasi kereta saat itu masih sangat terbatas. Dengan hanya mengandalkan mesin uap berbahan bakar kayu dan kecepatan maksimal rata rata 35 – 40 Km / jam, adanya kereta api jelas sangat membantu mobilitas antar daerah.

**

Museum Kereta Api Ambarawa adalah salah satu saksi sejarah perkeretaapian nasional. Berawal dari tahun 1864 saat pemerintah kolonial mencanangkan pembangunan jalur kereta api dari Semarang menuju Tanggung, dan berlanjut pengembangan pada tahun – tahun berikutnya. Salah satunya adalah membuka koneksi Semarang – Jogjakarta dan membuka Stasiun Ambarawa pada Tahun 1873 dengan nama Stasiun Willem I. Ambarawa dianggap strategis oleh pemerintah kolonial karena merupakan persimpangan antara Solo – Semarang dan Jogjakarta. Selain itu, di Ambarawa saat itu juga telah terkonsep sebagai salah satu barak militer dengan Benteng Willem sehingga mobilitas pasukan ke Semarang dianggap lebih cepat menggunakan moda transportasi kereta api.

Bangunan stasiun kini digunakan sebagai kantor, dan tempat pamer beberapa koleksi, serta toilet VIP. Selain itu, di sebelah bangunan stasiun kini juga ditempat dua buah gerbong yang berfungsi sebagai klinik dan perpustakaan.

Sedikit ke arah selatan, dekat dengan rel menuju Bedono, ditempatkan beberapa bekas halte stasiun jaman dulu diantaranya adalah bekas Halte Cicayur dan Cikoya. Fasilitas mushola dan juga toilet yang bersih pun tersedia dekat dengan penempatan halte-halte tua tadi.

 

**

Selain menikmati suasana kuno stasiun, pengunjung sebenarnya juga dapat menikmati perjalanan dengan kereta tua menuju Bedono / Tuntang. Tetapi karena kondisi pandemi Covid 19, maka perjalanan kereta wisata ini untuk sementara ditiadakan. Sebagai gantinya, di lingkungan stasiun juga ada kereta wisata kecil yang bisa dimanfaatkan untuk berkeliling kompleks museum dengan membayar tiket Rp. 10.000,-.

Jika masih penasaran dengan suasana gerbong tua, pengunjung juga diperbolehkan untuk melilhat dan mengamati deretan koleksi gerbong tua yang berbahan kayu. Dengan jendela-jendela yang didesain lebar dengan mekanisme buka-tutup masih menggunakan kayu. Selain itu, juga ada sebuah gerbong yang istimewa yang boleh jadi pada masanya adalah sebuah gerbong eksekutif.

Pelataran Stasiun yang luas yang dulu digunakan sebagai area parkir kini disulap menjadi taman terbuka dengan pohon-pohon peneduh lengkap dengan tulisan besar Iam barawa yang dijadikan branding dan juga bisa digunakan sebagai latar belakang berfoto.

Puas berwisata di Museum Kereta Api Ambarawa, kami bersiap pulang melalui jalur keluar, dekat dengan turntable (meja putar) yang digunakan sebagai pemutar arah lokomotif. Jangan lupa sebelum keluar, cuci tangan dulu menggunakan sabun di tempat yang telah disediakan.

 

Jadi, buat kalian yang ingin berwisata meski dalam masa pandemi ini, dapat mengunjungi Museum Kereta Api Ambarawa yang buka setiap hari pukul 08.00 – 17.00 ini ya. Tentunya jangan lupa selalu mematuhi protokol kesehatan sebagaimana anjuran pemerintah.

Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog "Wisata Kabupaten Semarang Di Era Kebiasaan Baru"


Read More..

Monday, June 29, 2020

Single Touring Pakai Bekakas, Kedungjati - Blora - Ngawi

Bekakas, Smash

Berhubung sudah lama sekali saya tidak touring maka ketika ada kesempatan, kegiatan touring ke Ngawi tidak saya sia-siakan. Kemarin, saya memutuskan untuk single touring menggunakan bekakas (bergejil suka motor bekas) kesayangan yang merupakan motor gojlogan yang sudah terbiasa disiksa. Yaitu Suzuki Smash 110 cc Tahun 2007. Yang mana sudah bolak balik ke Ngawi.

Single touring kali ini saya menyengaja untuk mencari rute rute yang tidak biasa, salah satunya adalah jalan yang belum saya coba sama sekali seumur hidup yaitu Purwodadi – Blora. Nah sepanjang jalan itu yang membuat saya penasaran bagaimana rasanya riding di sana.

Saya start dari Ungaran sehabis jumatan (26/6/2020) kemarin. Cuaca terbilang mendung sehingga tidak lupa harus mengisi perut dengan tolak angin dahulu agar perjalanan terasa hangat. Dari Ungaran, saya memutuskan untuk belok kiri di Pertigaan Karangjati dan menuju Pringapus. Rute ini adalah salah satu pintasan menuju Salatiga via Bringin. Kenapa saya memilih melalui sana, karena satu, medannya seru, dan yang kedua mendekatkan ke kawasan Bringin yang akan saya tempuh untuk menuju Kedungjati.

Kantor Desa Jatirunggo
Desa terakhir dari Pringapus adalah sebuah desa perkebunan karet Jatirunggo. Dari sana, medan terjal menurun menukik membelah hutan jati. Untung saja saat ini sudah mayoritas dicor jalannya sehingga lebih nyaman untuk dilalui. Jalan jalan cor ini terus tersambung melalui Dusun Kunciputih hingga PLTA Timo di Kecamatan Tuntang.
Saya cukup hafal rute ini karena pernah beberapa kali melewatinya kira kira satu dasawarsa lalu sebagai jalan alternatif menuju Salatiga.

Kondisi medan tembus Ungaran - Bringin
PLTA Timo
Sebenarnya jika memang ingin, saya bisa melalui salah satu PLTA bersejarah lagi yaitu PLTA Jelok. Tetapi karena ada jalan pintas ke Bringin, maka saya mending melewati saja jalan pintasan kampung itu. Alhamdulillah sekarang pembangunan telah merata dibanding sepuluh tahun lalu dimana saya harus ekstra hati hati karena banyak jalan belum beraspal.

Namanya sudah kepala tiga, ada saja yang lupa ketika melewati sebuah pertigaan sehingga harus Gunakan Penduduk Setempat.
“Boy, mau tanya jalan ke arah Bringin lewat mana yha?” tanya saya kepada seorang pemuda bermotor Satria F yang tak sengaja saya jumpai di dekat warung nasi rames.

“Lurus aja mas”
Akhirnya saya mengikuti arahannya dan melewati Dusun Kroyo sebelum sampai di pusat Kecamatan Bringin.
**
Reaktivasi jalur Kereta Api Ambarawa Kedungjati via Bringin yang digadang – gadang pemerintah beberapa waktu lalu nyatanya masih mogok saja. Saya tengok bekas stasiun Bringin yang masih ndongkrok, ditutup seng. Pun rencana jalan kereta yang telah dibersihkan dan beberapa diantaranya sudah dibetulkan jembatannya, kelihatannya masih menunggu untuk dikerjakan. Sepanjang Bringin – Gogodalem – Tempuran memang mudah ditemui bekas jalur kereta (bukan relnya) tapi terlihat secara visual medannya.
Kecamatan Bringin
Menjelang Gogodalem, saya melihat salah satu sahabat perjalanan yaitu Pertamina. Rupanya ini adalah SPBU Baru. Terlihat dari bangunannya yang masih bersih dan pegawainya yang masih sopan sopan dan muda muda.

“Mau ke mana mas?” tanya pegawai SPBU
“Mau ke Ngawi via Purwodadi Blora mas”
“OK”
(Percakapan yang sebenarnya tidak terjadi)
SPBU Bringin
Saya menyukai jalur ini dibanding jalur lain karena sudah lama tidak lewat sini. Terakhir kira kira dua tahun lalu saat booming lagu Ya Habibal Qalbi nya Nissa Sabyan. Waktu itu saya sengaja iseng menjajal jalur ini dengan Motuba untuk menuju Gubug.
Masuk Grobogan dari Bringin

Sepanjang jalur ini rutenya didominasi oleh pemandangan hutan jati. Selain itu, rutenya yang berkelok membuat saya fresh karena tidak bosan. Saya jelas tidak hafal betul jalan jalan ini sehingga sesekali saya mengira bahwa ini sudah mendekati Kedungjati. Eh ternyata belum.
Sekitar Kedungjati

Dekat dengan Kedungjati, banyak kawasan pemukiman yang model rumahnya sangat kuno yaitu menggunakan konstruksi kayu jati. Eksotis.. salah satunya adalah bangunan gereja. Di sekitar situ kelihatannya memang banyak rumah rumah pegawai perhutani.
Dok Agus Trisarjoko melalui googlemap

Baru ketika saya melihat sebuah tempat pelelangan kayu (TPK) akhirnya saya baru ingat bahwa saya sudah hampir sampai Kedungjati. Yay benar. Akhirnya saya sampai di Kedungjati. Sebuah kota kecil yang saya bayangkan sangat ramai pada masanya. Terutama karena ada stasiun besar di sana. Sebuah stasiun yang mirip atau mungkin malah sama dengan Stasiun Ambarawa. Merupakan stasiun percabangan rute antara Surabaya – Semarang – Jogja (Vorstenlanden).

St. Kedungjati
Hanya sekali lagi, rencana reaktivasi diatas masih belum ada progres pekerjaan. Kurang tahu karena apa.

**
Sebenarnya saya mentarget bahwa dalam satu jam perjalanan saya harusnya sudah sampai di Purwodadi. Ternyata jauh panggang dari babi. Karena dari Kedungjati ke Gubug pun tak sedekat yang ada di pikiran saya. Selain itu juga, dari Gubug ke Purwodadi pun tidak sedekat yang melesat di otak.

Sepanjang Gubug hingga Purwodadi, jalanan relatif halus. Kalau ada satu dua lubang di aspal sih saya kira normal saja. Yaa memang ada beberapa ruas yang kacau seperti di daerah Godong, tetapi tidak seberapa fatal, sih.
Salahsatu gerbang desa yang sangat megah
Disini, waktu telah menunjuk jam tiga kurang setengah jam. Artinya saya sudah satu setengah jam berkendara dan belum ada tanda tanda saya segera sampai di Purwodadi, pusat Kabupaten Grobogan. Saya coba geber smash. Sehabis ganti rantai dan gearset memang terasa sangat nyaman. Karena speedometer saya sudah mati, setiap ada lintasan lurus dan mulus maka saya geber dengan kecepatan kira kira 300 Km per 3 Jam.
Suasana Pertigaan Gubug
Gerbang masuk Kota Purwodadi

Jam tiga, terdengar suara adzan ashar ketika saya sampai di pusat kota Purwodadi. Purwodadi kotanya tidak begitu ramai. Pembangunan ikon ikon kota terlihat begitu megah dan mewah seperti tugu selamat datang, atau simpang Segitiga Emas. Semua nampak gagah.
Ikon Segitiga Emas, Purwodadi

Saya pelankan motor untuk berfoto sejenak di kawasan alun alun sekaligus minum. Sementara tangki saya tengok masih terlihat baik dan belum ada tanda tanda minta segera diisi.
**
Alun alun Purwodadi
Dari alun-alun Purwodadi saya putar gas menuju arah Blora. Kecamatan yang dilewati diantaranya adalah Tawangharjo dan Wirosari. Di sepanjang dua Kecamatan itu jalanan sebagian beraspal halus dan sebagian bercor halus. Nyaman. Hanya beberapa ratus meter saja di dekat pusat kota Wirosari terlihat beberapa ruas yang rusak. Selebihnya gas pol.
Alun alun Purwodadi

Dalam benak saya, jalur ini hampir mirip dengan jalan pantura Rembang ketika belum ada pelebaran. Kanan kiri berupa sawah sawah dengan aroma laut dan aroma damen yang kuat. Sesekali berpapasan dengan bis tanggung jurusan Purwodadi – Sulursari. Mana ya Sulursari saya tidak tahu.

Perjalanan ini bagi saya sangat lama sekali karena meskipun sepi dan gaspol, saya merasa tidak sampai sampai di Perbatasan Blora. Dan setelah mengumpulkan kesabaran, ditambah dengan cuaca yang bersahabat akhirnya saya sampai di perbatasan Grobogan – Blora. Tugu masuk Kabupaten Blora sungguh megah. Yang rupanya, perbatasan ini tidak seperti biasanya berada di Sungai, tetapi di Pemukiman. Akhirnya minggir sebentar untuk berfoto.

Gapura Batas Grobogan - Blora
Masuk di Kabupaten Blora, kecamatan pertama yang saya lalui adalah Kunduran. Di sana saya tengok jam di pergelangan tangan kiri menunjukkan hampir pukul empat. Akhirnya saya tepikan motor di salah satu SPBU setelah KDR Park (Kunduran Park). Ohya, saya lihat ada tempat wisata yang mungkin lain kali bisa dieksplor untuk bahan video #dinoiki seperti Kunduran Park, taman wisata air (lupa namanya) dan Goa Terawangan (semoga tidak salah).

Mampir ke SPBU untuk shalat ashar dan istirahat sejenak minum es teh. Saya lihat tangki saya sudah minta diisi, tetapi berhubung antrian pertalite sangat panjang akhirnya saya putuskan untuk mengisi di SPBU selanjutnya saja. Dua puluh menit beristirahat kiranya sudah cukup.

Setelah bulak panjang, kembali saya tarik penuh tuas gas dan menyalip beberapa kendaraan lokal baik dari roda dua, mobil pribadi, bus dan truk semua saya libas tanpa ampun. Bulak panjang berakhir ketika masuk ke sebuah Kecamatan. Ngawen namanya. Mampir sebentar minum Pertalite dua puluh ribu kemudian perjalanan tampak sudah berasa aroma aroma Kota. Tinggal ikuti saja petunjuk ijo ijo ke arah Blora / Surabaya. Pusat kota Ngawen juga tampak ramai sore itu. Ada banyak penjual makanan khas pinggir jalan yang sudah membuka lapaknya seperti molen, gorengan, martabak, kue bandung, dan lain sebagainya.
SPBU Ngawen Blora

Masuk Kota Blora

Koplakan, foodcourt Blora
Di salah satu sudut jalan, tertulis baliho besar iklan salah satu hotel di Blora dengan jarak empat kilometer lagi. Wah berarti saya sudah hampir sampai nih, gumam saya dalam hati. Benar saja, tidak begitu lama saya segera menemui tugu perbatasan masuk Kota Blora. Blora Mustika, slogannya. Kota yang bersih dan kecil. Sengaja saya lewat dalam kota karena ingin melihat suasana Blora pada sore hari.

Beberapa ratus meter dekat dengan alun-alun ada sebuah bangunan mewah yang difungsikan sebagai foodcourt (sepertinya) bernama Koplakan. Di pinggir – pingir jalan juga telah siap mereka yang menggantungkan hidup dari berdagang seperti angkringan dan penjual onde onde mini.
**
Pendopo Bupati Blora
Alun-alun Blora tampak rampai sekali sore itu. Bahkan di masa pandemi ini, sebuah istana balon mainan anak telah berdiri seakan mengabaikan kedatangan virus Covid 19. Sementara itu berjejer sepeda motor tumpah ruah mereka beraktivitas di pusat kota. Di depan Pendopo Bupati Blora, tampak beberapa komunitas sepeda memarkir sepeda kesayangannya masing-masing dengan rapi.

Alun alun Blora
OK, Blora maaf saya hanya lewat saja karena waktu memperlihatkan sudah cukup sore. Mungkin lain waktu bisa nunut singgah barang semalam.

Blora kotanya tidak begitu besar. Banyak bangunan kuno di pusat kota seperti kantor kantor militer dan lainnya. Selain itu juga ada sebuah bangunan besar bekas Stasiun Blora yang kini masih tegak berdiri dipinggir jalan, beralih fungsi menjadi pasar.

Perjalanan dari Blora ke Cepu terakhir saya lakukan lima tahun lalu dengan kendaraan dinas Shogun 125. Kala itu, kondisi jalan masih sempit dan bisa dibilang tidak halus. Tapi kini semua telah berubah. Blora ke Cepu sudah sangat mulus dan lebar. Bahkan, berhubung kota – kota ini tidak berada di lintasan utama Pulau Jawa, maka suasana lalu lintas menjadi sangat sepi. Gas saya pentokkan hingga mesin smash berhasil mengajak lari saya maksimal 110 Km per jam. Sayang, bolam lampu dekat saya mati sehingga terpaksa menggunakan lampu jauh sembari melihat barangkali masih ada bengkel yang masih buka.

Sepanjang Blora - Cepu
Dua wilayah yang saya lintasi yaitu Jepon dan Jiken, kesemuanya bisa saya libas beberapa menit saja. Saya bahkan tidak menyangka kalau ke Cepu bisa secepat ini.

**
Adzan maghrib menyambut saya ketika masuk kota Cepu. Cepu sebagai salah satu kecamatan di Blora perkembangannya sungguh menggeliat. Jika dilihat lihat suasana kota Cepu mirip mirip daerah Muntilan atau Ambarawa. Tapi sayangnya gapura masuk Cepu dari Blora kok biasa saja dan kurang wow...

Gerbang Masuk Kota Cepu
Saya tidak hafal tentang kota Cepu dengan jalan-jalannya. Yang saya tahu, saya pasti akan bertemu beberapa bangunan kolonial yang masih terawat seperti Polsek dan Koramil, juga Stasiun Cepu. Hari sudah mulai gelap, saya ikuti saja petunjuk arah menuju Bojonegoro.
Suasana Kantor L
Gerbang Batas Jateng Jatim

Dan akhirnya saya pun masuk Jawa Timur setelah menyeberang jembatan Bengawan Solo. Sudah hampir gelap. Saya sudah melupakan untuk mencari bengkel membeli bohlam cadangan. Saya hanya ingin menunggu angka jam menunjuk angka 6 dan beristirahat shalat maghrib di sebuah SPBU.

Dari Cepu ke Ngawi, tinggal belok kanan di bangjo Padangan, Bojonegoro. Dari sana, suasana jalanan sangat lebar dengan konstruksi cor. Saya bisa melesat dengan sangat cepat karena sepinya lalu lintas. Hingga saya putuskan untuk berhenti mampir di sebuah SPBU Baru daerah Padangan untuk shalat maghrib dan berdoa semoga perjalanan lancar sampai Ngawi.
Istirahat SPBU Padangan

**
Lepas istirahat 20 menit, kembali saya gojlog smash melahap sepinya jalan raya menuju Ngawi ini. Berbeda dengan dulu yang masih banyak jalan rusak, kini sudah mulus semuanya. Bahkan ketika melewati medan berkelok, saya tidak pernah bisa mengurangi tarikan gas karena jalan yang sungguh nyaman dan mulus serta suasana yang sungguh sepi. Hingga di satu titik, sepinya malam kian mencekam. Saya riding seorang diri tanpa ada yang berpapasan maupun menyalip dari belakang. Terlihat kanan kiri hanya hutan hutan jati dan dilangit tampak bertabur bintang.
Suasana antara Cepu - Ngawi

Saya tepikan motor sejenak untuk merasakan suasana yang sangat hening ini. Satu yang saya suka yaitu melihat kerlap kerlip bintang di langit dengan zero polution baik polusi udara maupun polusi cahaya. Indah!
Perjalanan terus dilanjutkan untuk mencari gerbang masuk ke Ngawi setelah melewati Kecamatan Margomulyo. Eh rupanya, gerbang selamat datang Kabupaten Ngawi ini tidak dilengkapi pencahayaan sehingga ketika gelap sangat susah terlihat. Sehingga terlewat untuk saya potret.
Kartonyono Medot Janji
Dari gerbang Kabupaten Ngawi ini, perjalanan tinggal sebentar saja untuk sampai ke Kota Ngawi. Paling lama 10 menit saya sudah berhasil masuk Ngawi dan merangsek ke pusat kota untuk memotret Tugu Kartonyono.

 *
Jam 7 malam saya sampai di rumah Ngawi setelah menempuh perjalanan kurang lebih 130 mil (330 Km) versi google map yang saya tempuh selama enam jam. Benar benar perjalanan yang menyenangkan!


Meski smash saya sudah berusia 13 tahun, tapi tarikannya masih gaspol. Dan julukannya sebagai sigesit irit masih saya rasakan hingga kini. Dari Ungaran, tangki terisi sekitar 10 ribu, dan sepanjang Ungaran hingga Ngawi melalui rute map berikut (330 Km) saya hanya mengisi pertalite 2 x Rp 20.000 saja. Tidak menyesal saya punya bekakas ini.


Read More..
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...