Tuesday, December 31, 2013

Magelang, Setitik Surga di Muka Bumi

Sumber : facebook.com/wahyu.utami.12


“Barangkali, diantara kita masih ada beberapa yang bingung dengan istilah saujana?” begitu sapa Dr. Wahyu Utami sesaat setelah membuka acara dan memperkenalkan diri di salah satu even Komunitas Kota Toea Magelang (KTM), siang itu, Minggu (22/12/13).

Siang ini saya dan sekitar 30 teman dari KTM kembali berkumpul di Aula Museum BPK, Kompleks Karesidenan Kedu untuk mengikuti salah satu even indoor yang bertajuk “Konsep Saujana Kota Magelang”. Even kali ini adalah semacam bedah disertasi Dr. Wahyu Utami dari Jurusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada (UGM). Lebih lanjut dipaparkan, saujana – sambung mbak Wahyu, panggilan akrab perempuan kelahiran Magelang ini, merupakan sebuah interaksi antara manusia dengan lingkungan, budaya, dan sosial.

Slide presentasi mulai berjalan, untuk mengetahui lebih jauh tentang konsep saujana ini kami dihadapkan tentang sejarah kondisi alam Magelang. Bahwa, Magelang berdasarkan sejarah yang ada, dulu kemungkinan besar merupakan pusat dari kerajaan Mataram Kuno. Konsep pusat kerajaan tersebut terasa begitu cocok karena pada masa itu, karena mayoritas penduduk menganut kepercayaan Hindu. Kota Magelang sendiri dikelilingi oleh tujuh gunung, yaitu Sumbing – Sindoro – Prahu – Andong – Telomoyo – Merbabu – dan Merapi. Dimana gunung-gunung tersebut dipercaya sebagai tempat tinggal para dewa.

Selain itu, keberadaan tujuh gunung ini menciptakan sebuah cekungan lembah ditengahnya. Bila diambil sebuah titik, rupanya bisa kita tarik titik yang kini berada Prasasti Tuk Mas. Sebuah prasasti tertua di Pulau Jawa dengan tarikh sekitar 500-600 Masehi yang terletak di bilangan Grabag, Kabupaten Magelang. Dengan banyaknya sungai yang mengalir, dan dua sungai besar yaitu Elo dan Progo masing masing disebelah timur dan barat kota, wilayah Magelang menjadi sangat subur. Bisa dibayangkan, bahwa pada saat itu, kota Magelang mempunyai lanskap yang sangat sempurna. Bila cuaca mendukung, tujuh gunung tersebut dapat dilihat oleh mata telanjang dari Magelang. Rupanya hal ini yang mengilhami mbak Wahyu untuk menyusun disertasi tersebut. Luar biasa.

Hingga kemudian pada tahun 1009 Masehi terjadi letusan gunung Merapi yang meluluh lantakkan kota kerajaan Mataram Kuno hingga memilih untuk hijrah ke Jawa Timur. Pada periode kekuasaan Kerajaan Demak, Magelang-Yogyakarta mulai dilirik lagi untuk dibangun menjadi pusat pemerintahan. Legenda legenda tentang Bukit Tidar kemungkinan besar diciptakan pada periode ini. Menurut mbak Wahyu sendiri, Bukit Tidar sebagai pakunya Pulau Jawa lebih dikarenakan dari keinginan untuk menjadikan sebuah titik pusat yang tidak bisa mengambil salah satu gunung dari ketujuh gunung tadi karena traumatis masyarakat akan bencana Merapi. Akhirnya Bukit Tidar semacam dipromosikan sebagai titik pusat pulau Jawa yang akan sangat pantas untuk dijadikan pusat pemerintahan. Selanjutnyta dikisahkan bahwa pada masa setelah terbentuknya kerajaan Mataram Islam hingga ditandatanganinya perjanjian Giyanti pada era 1700an, Magelang yang saat itu terkenal dengan sebutan Kebondalem dikuasai oleh Kasunanan Surakarta. Inggris melihat bahwa Kota Magelang dengan segala keindahannya mampu dijadikan sebuah kota. Akhirnya, berawal dari pemindahan barak tentara dari Surakarta, kota Magelang mulai mempersiapkan diri untuk kembali bangkit. Tidak lama, pada awal 1800an, Inggris harus menyerahkan seluruh daerah kekuasaannya kepada Belanda, tak terkecuali Magelang. Oleh Pemerintah Belanda, Magelang, sebagaimana narasumber ceritakan, dikonsep menjadi kota peristirahatan.
Mbak Wahyu, dua dari kanan bersama teman teman KTM. Sumber : facebook.com/wahyu.utami.12

Ada beberapa contoh konsep yang diberlakukan seperti salah satunya di Karesidenan. Di Karesidenan, gedung ini dibuat tidak sama dengan kota kota lain. Biasanya gedung residen akan berdekatan dengan Kantor Bupati dan Alon alon. Tapi tidak di Magelang. Dengan memilih sebuah tempat agak jauh kebarat dari Alun alun, rumah dan kantor residen ini dikonsep menghadap ke barat. Tentunya hal ini membelakangi jalan. Tapi bukan tanpa alasan. Alasan yang paling logis adalah bahwa dari arah itu, karesidenan tepat menghadap ke Gunung Sumbing dan Perbukitan Giyanti, dengan perkampungan dan sungai Progo yang mengalir. Benar benar mennjadi view yang sangat sempurna.

Lepas daripada itu, pada waktu perang Jawa sekitar 1825-1830, tempat ini juga berfungsi sebagai pengintai pergerakan Pangeran Diponegoro yang waktu itu menggunakan sistem gerilya. Dapat dibayangkan, pada masa itu, bila ada arak –arakan api diperbukitan, dipastikan itu adalah pasukan Diponegoro.

Selain Karesidenan, pembangunan Rumah Sakit Jiwa di daerah Kramat juga memperhatikan betul akan kondisi alam. Bila kita masuk dari pintu gerbang utama, kita akan disambut Gunung Sumbing dengan gagahnya tepat didepan mata. Hal ini sangat membantu pemulihan jiwa jiwa yang sakit. Hehehe. Karena untuk sembuhnya penyakit jiwa, dibutuhkan suasana lingkungan yang tenang dan sejuk.

Pada tahun 1930an, di Magelang terjadi wabah pes. Sebuah penyakit yang diakibatkan oleh lingkungan yang buruk dan kotor. Oleh sebab itu, Pemerintah waktu itu mengutus seorang arsitek kenamaan bernama Herman Thomas Karsten, untuk mengkonsep pemukiman sehat. Pemukiman sehat ini disusun dengan memperhatikan kaidah saujana Magelang. Yakni dengan mengambil view gunung-gunung sebagai sumber kesehatan jiwa. Model rumahnya pun ditentukan oleh pemerintah. Jadi untuk warga yang hendak membangun, harus mengikuti modelnya. Bahkan, ditengah tengah kampung yang bernama Kwarasan tersebut, dilengkapi dengan ruang terbuka hijau yakni sebuah lapangan.

Seperti itulah beberapa contoh konsep pembangunan yang dahulu diwariskan oleh Pemerintahan Belanda. Konsep membangun dengan memperhatikan lingkungan karena kota ini didesain untuk menjadi kota peristirahatan yang nyaman, sehat, dan indah. Di salahs satu slide juga ditampilkan bahwa hotel paling mewah pada jaman itu, Hotel Loze namanya, iklan promosi/brosur hotel ini sengaja menggambarkan tiga buah gunung untuk menarik pengunjung. Jadi dapat disimpulkan bahwa potensi alam di Magelang ini sudah dilirik sejak jaman Belanda.

Diakhir acara, mbak Wahyu menyimpulkan bahwa konsep saujana Kota Magelang sendiri, ada empat, yaitu : Suci (kesucian dari gunung-gunung yang merupakan tempat tinggal para dewa), subur (kesuburan lembah Magelang karena dialiri oleh banyak sungai), indah (dengan dikelilingi oleh tujuh gunung dan diapit dua sungai besar) dan strategis (persimpangan antara jalur jalur Jogja-Semarang-Purworejo).

Akhirnya, tidak salah jika Pak Gubernur KTM memberi kata kata penutup sebagai berikut ; beruntunglah kita, lahir, besar dan tinggal di Magelang. Ibarat setitik surga di muka bumi. :)

Read More..

Friday, December 27, 2013

New Star Cineplex, Bioskop barunya Orang Kudus

New Star Cineplex Kudus

Siang ini hari libur Natal 2013. Jam 11 kami, saya dan Tika telah sampai di Plaza Kudus, Jl. Lukmonohadi, Kota Kudus. Ya, siang ini setelah tadi kami mengunjungi Museum Kretek dan sarapan Lenthog Tanjung, kami berniat menjajal nonton di  bioskop baru di Kudus.

Tahun 2010 silam, saat saya bertandang ke kota kretek ini saya masih melihat iklan poster besar berisi informasi pemutaran film di bioskop Empire. Bioskop ini memang menjadi satu di salah satu pusat perbelanjaan Matahari tersebut. Rupanya beberapa saat kemudian bioskop ini tutup sebelum saya sempat nonton disana.

Akhir tahun ini berdasarkan informasi dari salah seorang teman, bahwa Desember ini New Star Cineplex,  yang merupakan grup baru pemain lokal yang selama ini beroperasi di beberapa kota di Jawa Timur, melakukan ekspansinya untuk pertama kali di Jawa Tengah. Entah pertimbangan apa sehingga diputuskan untuk membuka cabangnya di Kota Kudus. Sepertinya memang, daerah eks. Karesidenan Jepara-Rembang/Karesidenan Pati ini yang paling ramai memang di Kudus.

Ternyata NSC ini menempati bekas Empire Bioskop. Begitu kami masuk dan memarkir motor, langsung naik ke Lantai 3 dan menemukan tulisan besar NEW STAR CINEPLEX. Konsepnya lumayan bagus, ya jika saya bandingkan dengan NSC nya Madiun yang pernah saya kupas disini.
Bisa dibilang bioskop ini masih kinyis kinyis. Masih sangat baru dan fresh. Begitu masuk, di sebelah kiri kami ada café/consessions dengan menu menu makanan kecil dan minuman. Disebelahnya adalah Box Office alias loket. Para pegawainya mengenakan seragam hitam layaknya pegawai di grup 21. Cara menyapanya pun mengikuti perkembangan jaman dengan memanggil kakak. Hahaha.
 
Rupanya animo masyarakat disini sangat bagus. Hal ini dibuktikan dengan ramainya suasana lobi. Di ruang tunggu yang dilengkapi dengan pendingin ruangan dan deretan kursi besi tampak beberapa penonton yang menunggu jam tayang. Sementara itu setelah antri tiket, kami pun memutuskan untuk menonton film 99 Cahaya di Langit Eropa, dengan pertimbangan jam tayang yang tidak terlalu lama lagi. Untuk hari libur ini harga tiketnya Rp. 27,500. Untuk modelnya, sama dengan NSC Madiun. Menurut saya, tiket seperti ini kurang eksklusif. Sebaiknya dibikin yang agak tebal.
Saya juga sekalian mencoba beli minuman fruit tea di consessionnya. Harganya, 10 ribu. Mahal dikit yaa pantes lah. 15 menit kami menunggu, akhirnya pintu teater satu telah dibuka. Kami pun segera masuk ke ruangan teater. Begitu masuk, pintu masuknya mirip di Paragon XXI Semarang, yaitu pintu masuk samping dari arah belakang. Ukuran layarnya kira kira sama dengan layar di 21 grup. Jumlah kursinya 126 untuk studio 1 ini. Kursinya masih dengan warna mainstream. Merah dengan posisi sandaran yang sedikit lebih rendah dibanding kursi studio standar 21. Tapi sayangnya, tulisan huruf kursi belum ada. Yang ada hanya tulisan nomor kursi.
Lantai tempat duduk ini sepertinya bukan lantai permanen, karena ketika diinjak, dibawah karpet serasa bunyi “duk duk” sepertinya konstruksi kayu. Untuk soundnya, bagi saya memuaskan dengan Dolby 7.1. Proyektornya juga jernih. Tidak kalah lah dengan 21 grup. Namun, dibeberapa bagian film, subtilte muncul tidak sesuai. Cukup mengganggu sih menurut saya.

Akhirnya sekitar 100 menit film selesai. Film yang datar menurut saya, tanpa konflik dan tanpa rasa emosi selain rasa reliji. Hehehe :D kami pun keluar melalui pintu keluar di sebelah kiri layar. Akhirnya tambah lagi bioskop non 21 yang beroperasi di Jawa Tengah. Sukses selalu untuk grup NSC!

Read More..

Tuesday, December 3, 2013

Latjak Djedjak 200 Tahoen Sedjarah Kaboepaten Magelang

Selayang Pandang

“ Almarhum R.A. Danoeningrat I jang mendirikan roemah kaboepaten dan seboeah mesdjid, boleh dipandang sebagai jang mendirikan negeri Magelang.” - “Magelang Vooruit” terbitan November 1935.

Sekitar permulaan tahun 1810, wilayah Magelang saat itu dikuasai Inggris dan diangkatlah salah seorang pegawai di Kraton Kasultanan Ngayogyakarta yang bernama Aloewi bin Said Abdarrahim Basyaiban menjadi Regent/bupati dengan gelar Mas Ngabei Danukromo. Setelah Inggris jatuh, otomatis wilayah Kedu kembali ke tangan Belanda. Tanggal 30 November 1813 R. Aloewi kemudian diangkat kembali menjadi Regent dengan gelar Raden Toemenggoeng (RT) Danoeningrat.

Pada masa perang Diponegoro tahun 1825, Regent magelang tersebut berada di pihak Belanda. Meski beberapa kali pemberontakan kepada ibukota Kabupaten yang dilakukan masyarakat dalam pimpinan P Diponegoro dapat dipatahkan tetapi pada pertempuran tanggal 25 September 1825, salah satu sisi selatan Kedu dapat dikuasai pasukan Diponegoro. Hilmer, seorang opsir Belanda bahkan terluka terkena peluru dan meriam jatuh di tangan pemberontak. Dengan posisi tersebut, Hilmer mengundurkan diri sebagai opsir dan RT Danoeningrat yang ikut berperang turut menjadi korban. Dikabarkan bahwa peperangan yang kira kira terjadi di Remame, Salam ini  sang regent tewas terbunuh dan jenazahnya di mutilasi. Kepalanya dibawa ke hadapan P Diponegoro di Goa Selarong dan di tanam disana. Sedangkan tubuhnya dimakamkan di Payaman, Magelang.

Menurut beslit Goebernemen pada 15 Januari 1831, tanah makam tersebut dijadikan Perdikan sebagai anugerah atas jasa almarhum RT Danoeningrat dan sepeninggal beliau di anugerahi gelar Raden Adipati (RA) Danoeningrat I.

Almarhum RA Danoeningrat I yang mendirikan rumah kabupaten dan sebuah mesjid, boleh jadi dipandang sebagai yang mendirikan negeri magelang. Demikian diungkapkan dari majalah “Magelang Vooruit” terbitan November 1935.

Sepeninggal beliau, mulai tahun 1826 berturut turut Magelang dipimpin oleh anaknya yang bernama R. Hamdani bin Alwi Basyaiban dan bergelar Raden Adipati Ario (RAA) Danoeningrat II, hingga tahun 1862, kemudian Said bin Hamdani Basyaiban dengan gelar RT Danoeningrat III. Pada tahun 1878, beliau melepaskan jabatannya hingga Belanda mengangkat anaknya yang bernama Sayid Achmad bin Said Basyaiban dengan gelar RA Danoekusumo. Berdasar sumber dari Majalah Javansche Almanak, pada 1915 beliau digantikan oleh saudaranya yang bernama Muhammad bin Said Basyaiban dengan gelar RAA Danoesoegondo. Bupati ini memerintah hingga tahun 1935. Salah satu jasa yang dapat kita rasakan adalah renovasi besar besaran Masjid Agung Kauman pada tahun 1935.

Latjak Djedjak 200 Tahoen Sedjarah Kaboepaten Magelang (30 November 1813 – 30 November 2013)

Pagi ini udara masih begitu segar. Langit diatas sana juga membiru. Saya pukul 7,30 pagi ini telah sampai di Jl Pahlawan Botton Magelang. Beberapa rekan saya tampaknya sudah mulai melakukan re-registrasi. Dengan Rp. 5000 rupiah saja kami bisa mengikuti even spesial yang diadakan Komunitas Kota Toea Magelang (KTM) ini dan mendapatkan makalah materi, pin, dan sticker.
Setengah jam kemudian, peserta sepertinya sudah terkumpul. Tidak begitu banyak sih yang ikut. Dikira kira ada 15 orang. Kami berpacu dengan waktu hingga beberapa saat menjelang pukul setengah sembilan pagi, kami langsung bergegas masuk ke sebuah rumah yang bagian depannya digunakan sebagai warnet Kinjeng.net. Rupanya, narasumber pertama kami pagi ini terburu buru sehingga kami harus segera masuk dan mulai mendengarkan cerita beliau.
Adalah Ahmad Hasan Syaiban, pria kelahiran tahun 1929 yang kini masih tampak sehat dan ceria. Dengan mengenakan baju lengan panjang warna ijo, pria dengan rambut memutih tersebut menyambut hangat kedatangan kami. Tidak disangka, mbah Ahmad, panggilan akrabnya merupakan keturunan ke 8 dari Bupati Magelang pertama RA Danoeningrat I. Beliau menceritakan tentang kepemimpinan para bupati dari trah Danoeningrat sembari memperlihatkan koleksinya, sebuah foto besar dengan 4 foto bupati pertama magelang berturut  turut. Di pojok kiri foto tersebut tampak logo Kesultanan Ngayogyakarta sedangkan pojok kanan merupakan tulisan Allah.
Diceritakan bahwa perjanjian dengan Belanda waktu itu, trah Danoeningrat akan dapat berada di tampuk kekuasaan Magelang hingga turunan ke 7. Namun, nyatanya pada saat RAA Danoesoegondo berkuasa, politik dinasti ini tidak dapat berlanjut. Penyebabnya diantaranya adalah karena politik curang Belanda.

“Danoesoegondo itu istrinya banyak. Ada 15. Di selasar bagian belakang Kabupaten ada banyak kamar yang merupakan istri istri dari bupati. Memang, Belanda sengaja menciptakan kondisi seperti itu supaya pemerintahan kabupaten lemah karena bupati sudah capek memikirkan istri istrinya” paparnya diiringi tawa. Memang, mbah Ahmad diusianya kepala 8 ini masih memiliki ingatan yang baik dan selera humor yang tinggi.

Selain itu, pada saat itu, kucuran dana dari pemerintah Belanda sangatlah banyak. Dana itu digunakan untuk membangun masjid masjid seperti masjid Kauman, masjid Muntilan dan Mertoyudan serta beberapa tempat lain. Namun sayangnya, amanat itu disalahgunakan untuk membangun rumah pribadi. “Pancen, ket mbiyen ki sing jenengen KKN ki wes ono. Hahaha” sambungnya dengan bahasa jawa . “memang, dari dulu yang namanya KKN itu sudah ada”

Terkait penamaan gelar bupati sendiri, mbah Ahmad punya cerita sendiri. Dikisahkan bahwa bupati tersebut diambilkan dari keturunan arab. Namun, untuk menghilangkan nuansa arabnya, gelar dibuat dengan nama Jawa seperti Danoeningrat, Danoesoegondo. Ini merupakan trik dari Pemerintah Belanda untuk mengaburkan bahwa bupati adalah orang Islam yang taat beragama. Selain itu, penempatan makam yang berada di belakang masjid itu ditujukan agar anak anak kecil jadi takut pergi ke masjid.

Sebelum kunjungan berakhir, mbah Ahmad menunjukkan sebuah kartu keanggotaan keluarga besar Basyaiban. Kartu ini dikeluarkan di Jakarta. Keturunan dari Danoeningrat sendiri kini berpencar ada yang di Pekalongan, Jakarta, Magelang, Jogja, dan banyak lagi. Di sebuah buku kecil yang ukurannya sama dengan buku nikah tersebut, tampak foto Mbah Ahmad dengan nama Ahmad Hasan Syaiban tertulis dengan huruf arab. Oiya, mbah Ahmad juga bercerita sedikit bahwa Danoeningrat itu merupakan keturunan ke 35 dari Nabi Muhammad SAW. Hal ini diperkuat dengan sebuah silsilah keluarga yang terpampang jelas di salah satu sisi dindingnya.

Kunjungan akhirnya di akhiri karena beliau hendak melanjutkan acara arisan. Satu yang saya salut. Mbah Ahmad rupanya merupakan kolektor vespa. Katanya ada 4 yang dikoleksinya. Salah satunya digunakan untuk pergi siang itu. Tentu dengan menyelah sendiri mesinnya. Luar biasa. Sehat selalu, mbah! :D
Kegiatan semi jelajah ini selanjutnya menuju ke kampung Jagoan. Begitu sampai, kami disambut oleh seorang nenek dan anaknya. Tampaknya, mereka benar benar mempersiapkan kedatangan kami. Ya, sesaat setelah dipersilakan duduk, kami langsung disuguhi minum dan aneka snack. Salah satunya adalah tahu bakso yang rasanya uenak. :D #lupakan.

Beruntung, mas Bagus Priyana berkesempatan berkenalan dengan Eyang Romlah beberapa waktu lalu. Eyang Romlah inilah yang menyambut kedatangan kami dan siang ini siap untuk berbagi cerita.
“Nama saya Romlah. Saya lahir di bulan Ramadhan tahun 1935”

Buka eyang dengan suara yang kadang kadang diselingi batuk. Eyang ini meskipun sesekali harus minum air putih dan teh, namun semangat berceritanya saya akui luar biasa. Ternyata cangkir tehnya merupakan salah satu peninggalan dari jaman Belanda.

Amazing! Rupanya, Eyang Romlah ini merupakan cucu dari adik Danoesoegondo. Bupati Magelang terakhir dalam trah Danoeningrat. Beliau bercerita tentang masa kecilnya tinggal di ndalem Kabupaten.

Eyang Romlah ini masa kecilnya dipanggil dengan panggilan Ndoro. Sebuah panggilan untuk kaum elit pada saat itu. Menjadi cucu dari bupati berkuasa, tentunya merupakan kehidupan yang serba enak. Beliau bercerita bahwa masa TK nya, beliau bersekolah di Volk Class yang sekarang ada di Gedung Wanita. Meskipun dekat, hanya dibelakang rumah ibaratnya, beliau diantar oleh penjaga pintu gerbang kabupaten. Lebih lanjut, eyang menceritakan bahwa pelajarannya adalah bahasa Belanda. Misalnya bebek bahasa belandanya apa gitu. Hehehe
Setiap istirahat, eyang makan bekalnya. Bekalnya adalah roti tawar isi meses ceres. Sebuah makan siang yang sangat elegan pada saat itu. Sepulang sekolah, terkadang ada tawuran yang biasanya dilakukan oleh anak anak ambon yang merupakan anak asuh Van der Steur. Biasanya mereka tawuran dengan anak anak jawa di Penti Peri. Sekali waktu, anak anak ‘nakal’, sebut eyang, ini bahkan berani mencuri mangga yang ada di belakang kabupaten. Para pegawai pun tidak berani mengusir karena takut dilempari.

Pada saat perayaan kelahiran Ratu Beatrix di Belanda, pemerintah Belanda mengadakan hiburan drum band. Eyang mengisahkan bahwa kehidupan di dalam ndalem Kabupaten sangat ketat. Bahkan ketika drumband tersebut diadakan saat jam tidur siang, eyang yang pada saat itu berusia 5 tahun tidak bisa keluar pagar untuk melihat. Bahkan mengintip dari lobang kunci pun dilarang oleh petugas. Hingga akhirnya eyang nekat mengintip dan ketahuan. Akhirnya dimarahi sama bupati yang kala itu eyang memanggilnya dengan panggilan ‘eyang’.

Kegiatan sehari hari di dalam ndalem kabupaten, diceritakan bahwa pukul satu hingga pukul setengah empat sore, semua anak wajib tidur siang. Ada kira kira 50-an orang yang tinggal di dalam kompleks bupati ini. Setelah itu, semua mandi dan shalat di masjid yang ada di dalam kompleks. Untuk mengisi waktu luangnya, eyang mengaku sering bermain dakon.
Untuk menu menu dalam ndalem kabupaten sendiri biasanya ganti ganti. Sekali waktu senerek. Sekali waktu kroket kentang. Sekali waktu beefsteak. Menurut ingatan Eyang, makanan favorit bupati Danoesoegondo adalah yang berbahan kentang. :D

Saat saat yang paling ditunggu adalah saat ada prosotan Lorodan. Prosotan Lorodan* ini rupanya adalah ‘sisa’ makanan sang bupati.  Beliau rupanya merupakan salah satu anak yang sering diberi prosotan ini. “biasanya makanannya enak enak. Hehehe” selorohnya. - * koreksi
Selanjutnya Eyang melanjutkan sekolah di Holland Inlandsche School (HIS) selama dua tahun dan belum sempat menamatkan. Menjelang kedatangan Jepang ke Indonesia, pada saat bupati Danoesoegondo hendak memantu, gubernur menghimbau agar bupati dan keluarga meninggalkan kompleks kabupaten. Hal ini didasari oleh kesalahan menebang pepohonan di sekitaran kompleks. “yang bisa di selamatkan ya dibawa, yang tidak bisa ya ditinggal. Saya ingat kalau sempat menyelamatkan cetakan roti” paparnya.

Sebelum mengakhiri sesi cerita ini, eyang Romlah sedikit berbagi tips “Kalau suami bekerja, maka antarlah dia sampai depan pintu. Bila perlu dicium. Lalu taruhlah satu gelas air putih ditutup. Taruh meja. Semoga saja suami tidak mudah main mata dengan wanita lain.” begitu tipsnya. Bagaimana? Hehehe.. “Lalu, kalau suami dhahar sebaiknya ditungguin. Selama suami saya masih hidup beliau tidak pernah nyacat makanan yang saya buat. Misal keasinan ya menyampaikannya dengan halus. Memanggil saya selalu dimana mana dengan panggilan Jeng” tutup Eyang yang masih memiliki gelar Raden Ajeng ini.
Jarum jam menunjukkan pukul 11 siang. Kami dengan ditemani Eyang Romlah dan beberapa anak dan cucunya, berangsur menuju ke Payaman. Siang ini, kami dengan nara sumber yang akurat akan berziarah ke makam keluarga besar Danoeningrat. 

Rupanya, makan RA Danoeningrat I, R. Hamdani dan R Said berdampingan. “makam Danoeningrat ini biasa kami sebut dengan Sedo Perang. Pada tahun 1966, saya ikut serta dalam pemindahan bagian tubuh berupa kepala dari Goa Selarong ke sini” aku Mbak Nining, salah satu anak Eyang Romlah. Seteah membaca doa, kami juga sempat dijelaskan tentang makam makam di sekeliling situ. Salah satunya adalah makam bupati pertama wonosobo. Raden Setjonegoro. 
Terpisah kompleks sedikit jauh, disitulah makam RAA Danoesoegondo berada. Di sampingnya merupakan nisan bertuliskan Sastroamidjono. Sepertinya ini masih berkaitan dengan Ali Sastroamidjojo mantan Perdana Menteri. Hal ini senada dengan cerita dari Mbah Ahmad maupun Eyang Romlah.
Pukul satu siang. Acara kami tutup. Sampai siang ini, dengan dua narasumber yang luar biasa, kami berhasil mendapatkan cerita sejarah yang sangat termasyhur. Dalam rangka memperingati 200 tahun Sejarah Kabupaten Magelang.

#semua yang saya ketik disini merupakan pendapat pribadi dari narasumber.

Keterangan
Volk Class / Frobelschool : Taman Kanak Kanak untuk golongan atas. Lokasi sekarang Gedung Wanita Magelang
HIS - Holland Inlandsche School : Sekolah bumiputera-belanda. Umumnya untuk golongan anak bangsawan/elit. Lama belajar 7 tahun dengan pengantar Bahasa Belanda. Lokasi Jl Kejuron. Sekarang SDN Cacaban 4, Jl Mayjend Sutoyo S. 

Credits
“Magelang Vooruit” November 1935

Read More..
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...