Showing posts with label Laporan Wisata. Show all posts
Showing posts with label Laporan Wisata. Show all posts

Monday, August 27, 2018

Sebuah Perjalanan Ke Purwokerto


Dibandingkan semasa lajang dulu, jalan-jalan selepas menikah dan memiliki anak merupakan kegiatan yang gampang-gampang mudah. Passion saya memang selalu ingin jalan-jalan. Selepas berkeluarga, paling tidak dalam satu tahun bisa bepergian keluar kota 2-3 kali sudah bagus. Karena kalau keseringan bisa-bisa dapur tak lagi mengepul, karena sudah pakai kompor gas sehingga tidak ada asap mengepul lagi.

**
“Ayo mah, bangun ini sudah jam dua lho” bisik saya kepada istri.
“Ayo prepare. Jam tiga kita jadi berangkat ke Stasiun Tawang, lho!” Sambung saya.
Pagi itu, kami terbangun ketika tetangga tengah terlelap tidur. Sebagaimana hadits, maka sebenarnya bangun malam di sepertiga malam terakhir adalah sebuah ibadah  kalau selepas bangun bisa segera wudhu dan shalat malam. Kalau habis indehoy, ya harus mandi dulu.

Natsbee Honey Lemon, jangan lupa masukkan ransel sebagai bekal.


Terlihat anak kami, Dayu masih terlihat tidur pulas. Namun, mendengar orang tuanya berisik di ruang belakang, ia justru ikut bangun.

“Nggak usah mandi saja. Nanti sesampainya di Purwokerto kita transit makan terus berenang, lagian kalau mandi wong ya dingin” ajak saya kepada Tika.

Kontrakan kami berada di sebuah perumahan kelas menengah ke bawah dengan tanpa carport dan nggak punya garasi pula. Maka kami harus membawa barang-barang berjalan sebentar ke parkiran umum yang jaraknya lumayan jauh. Kira-kira empat rumah. Tidak disangka, Dayu justru sudah asyik membawa bantal kesayangannya dan tidak segera tidur.

“Ini Dayu mau kemana, Bapak?” tanyanya sambil senyum-senyum dan diulang-ulang.
“Mau naik kereta ke Banyumas, sayang”
“Asiiiikkk..”

Mungkin karena saking asiknya mau naik kereta, ia malah tidak tidur selama perjalanan dari rumah ke stasiun. Justru ketika hampir stasiun malah tidur pulas.

Sebenarnya saya masih ngantuk. Tapi dini hari yang dingin ini saya tetap bersemangat untuk berangkat jalan-jalan bersama keluarga kecil saya. Perjalanan ke stasiun, membutuhkan waktu sekitar satu jam. Waktu tersebut sudah termasuk tersesat sebentar di kawasan Kota Lama, Semarang karena tidak hafal medan.

**
Sebagai operator di sebuah instansi pemerintah, saya lebih sering duduk di depan komputer dan paling malas berolahraga, maka dari itu, bisa dipastikan kesehatan saya termasuk rawan terganggu. Nah, salah satu tanda-tanda bahwa badan saya tengah kurang fit adalah gampang ngantuk, malas dan kurang bergairah dalam bercinta. Nah, kalau sekarang ini, sebagai penghalau rasa kantuk dan lelah, saya keluarkan minuman andalan saya, Minuman Madu Lemon untuk menyegarkan badan.

Kereta berangkat tepat pukul lima pagi. Sebelumnya saya juga sudah shalat subuh di mushola peron. Dayu kini benar-benar sudah fresh. Sudah jam lima pagi sehingga mustahil ia akan bisa tidur lagi. Ia justru bernyanyi lagu naik kereta api dengan riang gembira, sementara saya yang kepingin tidur harus merelakan tidak tidur. Dari kecil, ia memang lebih lengket sama saya dibanding mamahnya. Maka dari itu, saya harus tetap terjaga untuk menjaganya tetap nyaman. 

Kereta Kamandaka relasi Semarang Tawang-Purwokerto PP ini dalam sehari melayani tiga pemberangkatan baik itu dari Semarang maupun sebaliknya. Pagi ini kami sengaja mengambil pemberangkatan pertama supaya waktu berlibur di daerah Purwokerto menjadi lebih lama.

Jalur Kereta yang Menawan

Duduk di depan kami, seorang pemuda berpostur ideal yang selanjutnya saya ajak ngobrol. Ia dalam perjalanan dari Rembang menuju Pekalongan dalam rangka dinas. Dari obrolan, saya simpulkan ia adalah pemuda yang pintar dan semangat. Obrolan kami selama perjalanan berangkat ini adalah tentang pungli dan pembangunan PLTU. Semacam obrolan antara Menpan RB dan Menteri PUPR.

Sesampainya di kawasan Alas Roban, jalur kereta mendekat ke laut Jawa. Dalam suasana pagi yang masih berembun, tampak jelas bulatan warga oranye yang menandakan matahari baru terbit di lautan sana. Beberapa kali, jalur rel hanya beberapa meter saja dari bibir pantai sehingga pemandangan yang ada di luar kereta sungguh indah nian.

**
Selepas Stasiun Tegal, Kamandaka berjalan lebih pelan. Duduk dihadapan kami penumpang lain yang baru saja masuk, seorang ibu muda dengan balitanya. Syukurlah, Dayu jadi punya teman ngobrol dan bermain. Sementara saya, bisa bermain dengan ibuknya, bisa sedikir rehat.
 
Jalur kereta Prupuk hingga Purwokerto, ternyata sekarang sudah double track. Jalur ini adalah salah satu jalur yang bisa dibilang eksotis karena banyak kelokan, lembah, flyover dan jembatan. Salah satu jembatan yang membuat saya terkagum adalah Jembatan Sakalimabelas yang ada di daerah Bumiayu. Jembatan peninggalan era kolonial ini menjadi jembatan kereta api terpanjang kedua di Indonesia dengan panjang mendekati 300 meter. Nama jembatan ini diambil berdasarkan jumlah tiang yang menopang jalur rel yaitu berjumlah lima belas tiang. Dari bawah, terlihat suasana sangat cantik terutama ketika kereta lewat. Namun saat ini, setelah dibangun double track, dibangun jembatan baru dengan kontstruksi beton yang lebih modern.

**
Pukul setengah sepuluh siang, motor rental pesanan saya datang setelah ditunggu dua belas menit di Stasiun Purwokerto. Saya segera menata barang dan melenggang asal jalan keliling kota. Purwokerto kotanya cukup ramai, dan lalu lintasnya cukup padat. Sudah barang tentu polusi udara tidak sengaja terhirup oleh kami yang tidak memakai masker. Ah, tapi tenang saja karena saya punya jurus ampuh tetap #AsikTanpaToxic sehingga zat-zat polutan ini bisa diatasi dengan baik.

Saya termasuk orang yang senang mengeksplor tempat-tempat baru, meski telah berkeluarga, beruntung anak istri saya sejauh ini juga cocok dengan hobi jalan-jalan saya. Setelah mampir mengisi perut dan memfoto-foto kuliner legendaris Purwokerto, Es Brasil, kami segera merangkak ke Owabong, Purbalingga untuk mandi pagi. Iya, karena sedari pagi belum mandi.
 
Owabong kini telah banyak bersolek. Wahana permainan semakin lengkap, bahkan kini ada gondola, kolam ombak, sirkuit gokart, hingga teater 4 dimensi. Lengkap! Dayu semakin lincah saja bermain air. Di tengah cuaca yang cukup terik, kami merasa tidak kedinginan bermain air. Dayu justru terlihat sangat senang bermain di kolam anak yang banyak semprotan air mancur bersama teman barunya, pelampung bebek yang diperolehnya hasil merengek ke bapaknya.

**
Tidak terasa, hari pertama liburan ke Banyumas ini sungguh sangat melelahkan. Nyaris sejak dini hari tadi saya benar-benar tanpa istirahat. Namun saya percaya esok hari saya pasti akan kembali segar karena zat-zat racun dalam tubuh telah diikat dan dikeluarkan oleh Natsbee Honey Lemon.
 

Read More..

Monday, June 4, 2018

Jalan Panjang Menyeruput Kopi di Sarangan


Kamis, 10 Mei 2018
Tepat pukul lima lebih seperempat saya menggeber motor smash menuju arah timur. Berangkat dari Ungaran, tujuan saya kali ini adalah ke Ngawi via Sarangan dalam rangka single touring. Sudah lama ini saya memang tidak pernah bermotor sendirian. Terakhir kali ya hampir tiga tahun lalu ke Ngawi via Blora.

Smash saya sudah beberapa bulan belakangan tidak pernah keluar. Mumpung saya ada waktu sendiri karena anak istri sedang dirumah mbahnya, makanya kali ini saya yakinkan hati kembali menggeluti hobi yang lama terbengkelai.

Perjalanan sangat lancar dan jam enam pagi saya telah sampai di pusat kota Boyolali. Melintasi patung kuda kencana sambil memotret, saya selanjutnya dibuat kaget dengan deru mesin motor yang berangsur mati. Ya motor saya mogok saudara. Padahal semalam sudah saya cuci bersih. Kesalahan! Karena kemarin sore habis ganti ban juga tapi nggak sekalian servis.
 
Saya menepi dan memarkir motor di depan Kantor Dinas Kesehatan. Berulangkali merestart mesin motor tapi hasilnya nihil. Karena saya hidup di jaman kekinian, saya pun membuka smarphone dan mengabari istri kalau saya jadi terlambat. Setelah itu, saya ingat bahwa saya pernah join grup facebook lokal bernama Boykot (Boyolali Kota) beberapa waktu lalu. Niat join waktu itu kalau ada saat-saat seperti ini. Dan ternyata benar saja, saya lalu posting di grup tersebut dan minta bantuan.

Selain melalui media sosial, saya juga melalui lambe konvensional. Sampai ditawarin motor dibawa ke Polsek oleh seorang polisi yang tengah berpatroli. Tidak lama, dua orang pemuda datang dan saya mintai bantuan. Salah satu dari dua pemuda tersebut mengaku masih sekolah di STM jurusan otomotif. Wah! Pas nih..

Setelah mengganti busi dan tetek bengek, motor belum juga nyala. Padahal saya sudah disana satu jam lebih. Akhirnya bantuan kedua datang. Seorang bermotor matik bernama Yanto yang akhirnya mendorong motor saya ke sebuah bengkel di sudut kota. Bengkel tutup, tetapi karena mas Yanto kenal dengan mekanik bengkel tersebut, akhirnya pintu pun dibuka.
“Biasa mas, Suzuki kalau mati mesin, aki ngedrop harus mancing. Itu kelemahan suzuki..”
Kata mas mekaniknya setelah berhasil menyalakan motor saya. Namun begitu, saya tetap disarankan ganti aki. Jadilah saya dibonceng mas Yanto ke sebuah toko aki langganannya dengan harga yang relatif paling murah di pasaran.

Perjalanan kami melewati Stadion Pandanaran yang pada waktu itu tengah membangun stage untuk gelaran konser Europe. Saya bahkan ditawarin tiket kelas festival seharga 125 ribu. Tetapi tanggal tersebut bertepatan dengan nikahan adik di Ngawi sana. Ya sudah saya tolak dengan halus tawaran tersebut.

Pukul delapan pagi, motor saya telah siap kembali melaju.

Waktu saya terbuang dua jam. Mas Yanto saya ajak ngopi sejenak tetapi tidak mau. Akhirnya saya pun capcus melanjutkan perjalanan.
Melewati Colomadu

**
Sudah lama saya tidak ke Tawangmangu. Terakhir sekitar tahun 2011 dan saat ini saya kembali lagi ingin melalui jalan itu kesana naik motor. Berhubung sekarang jamannya google, maka sebelum pukul 9 saya telah membelokkan motor parkir di depan warung soto karang. Yang populer di google maps.

Sembari istirahat, saya memesan soto, teh panas, dan beberapa lauk. Rupa rupanya, tempat makan dan parkiran dipenuhi oleh rombongan konvoi matik gambot. Semacam N Max dan Aerox. Ah, saya jadi sempat kepikiran mau nyewa Nmax di Kota Solo terus ikutan konvoi. Wkwk..

Soto karang ini lebih mirip sup iga sapi karena memang dicemplung potongan iga sapi. Rasanya.. Hmm sangatlah maknyus! Kalau masalah harga bisa dibilang masih sangat ramah dikantong, euy. Saya makan soto, teh dan dua gorengan bayar 14 ribu saja.

 

Puas sarapan, saya melanjutkan mendaki gunung Lawu. Ini adalah kali pertama saya bermotor melebihi Tawangmangu. Setelah daerah Tawangmangu, saya melewati jalur-jalur utama saja karena lebih landai dan lebih lebar. Selain itu, saya baru pertama lewat jadi harus hati-hati.
 
Tidak jauh dari Tawangmangu, tampak hamparan datar penuh dengan warung dan keramaian dengan view yang sangat bagus. Thats Cemoro Kandang, basecamp pendakian Lawu via jalur barat. 
Setelah melewati perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur, saya tidak lama kemudian menemukan Cemoro Sewu. Sebuah kawasan keramaian dengan jalan yang lebar lengkap dengan median, dan banyak bangunan. Seperti kota kecil. Tempat ini boleh dibilang adalah jalur utama pendakian ke Gunung Lawu.

**
Dari Cemoro Sewu ke Sarangan, pemandangan berupa hutan-hutan dengan pohon-pohon yang menurut saya sangat endemik dan unik sekaligus menyeramkan. Perjalanan didominasi turunan berkelok hingga sampai di Sarangan. Dekat, ternyata. Tak kira jauh. Hehehe..
 
Di sepanjang jalan lereng lembah Sarangan, banyak berderet warung-warung. Saya pun pada pukul 11,00 akhirnya mampir di salah satu warung dan memesan kopi hitam. Pas sekali, menyeruput kopi panas di tengah hawa dingin, sambil memandang telaga sarangan di kejauhan. Masya Allah..
 
Inilah tujuan saya yang sebenarnya. Berangkat pagi dari Ungaran untuk minum kopi di pinggir Telaga Sarangan. Akhirnya tercapai juga setelah perjalanan yang panjang.

Akhirnya tiba di Ngawi pukul 12,30!

Berhubung smash suka mogok, besok pulang ke Ungaran naik ini


Read More..

Tuesday, March 27, 2018

Pengalaman Bawa Motuba ke Dieng



Sudah beberapa waktu lalu ibu saya minta diantar ke Dieng. Ya maklum saja, sebab tiap hari ia selalu disibukkan dengan pekerjaannya, menyiapkan masakan untuk santri di Pondok Pabelan. Sehingga sangat jarang ia punya waktu senggang, boro-boro untuk berwisata. Untuk istirahat saja sudah sangat beruntung.

Awal tahun ini suasana memang cenderung kurang bersahabat. Cuaca sepertinya belum begitu mendukung untuk pergi ke Dieng. Akhirnya, ibu saya janjikan untuk berangkat akhir Maret. Di dalam hati saya, rasanya inilah salah satu cara untuk membahagiakannya. Sudah tujuh tahun ini saya hidup dirantau. Dan sejak menikah, kesempatan saya untuk pulang bertemu dengan ibuk menjadi sedikit lebih jarang. Untuk itu, saya merasa sangat bersemangat untuk menyambut keinginannya minta diantar ke Dieng.

Sebelumnya, saya berfikir untuk ke Dieng, paling tidak harus menginap satu malam. Karena perjalanan dari Muntilan cukup jauh. Namun, mengingat waktu saya ke Dieng lima tahun silam yang menyisakan kedinginan yang masih terasa sampai sekarang (halah), dan ditambah saya akan membawa balita, si Dayu, maka saya memutuskan untuk berwisata sehari saja alias one day trip.

Beberapa hari sebelumnya, mobil tua bangka (motuba) saya sudah saya persiapkan dengan saya servis dan ganti olie. Awalnya saya memang tidak yakin bahwa mobil ini akan gampang digunakan untuk menanjak karena usianya yang telah lanjut. Ditambah lagi skil menyetir saya yang pas-pasan. Namun setelah mendapatkan semangat dari teman kantor dan juga member di grup facebook motuba, saya jadi semangat dan yakin bahwa motuba saya akan bisa sampai atas dengan selamat.

Saya, Tika, Dayu, dan Ibuk berangkat dari rumah mendekati pukul setengah delapan pagi. Pukul delapan setelah menjemput budhe, kami berangakat dari Kota Magelang. Kurang beruntung, cuaca minggu kemarin tidak begitu cerah, cenderung hujan dan mendung.

**
Saya memutar setir menepikan mobil di dekat perbatasan Temanggung dan Wonosobo, di Kledung. Diluar hujan sehingga kami harus berlari-lari kecil dari parkiran menuju tempat istirahat. Saya memilih beristirahat di warung kopi Surya. Dulu, tidak jauh dari sini ada warung kopi bernama Sindoro Sumbing Coffee house and Trading, namun sejak ada pengembangan kawasan rest area Kledung, warung itu tutup entah kemana.

Menjelang siang yang gerimis, diiringi angin kencang menusuk tulang, kami menyambangi sebuah meja lesehan. Ada beberapa menu kopi dan saya memesan Sumbing Arabika. Sementara yang lain memesan minuman jahe-jahean untuk menghangatkan badan. Sebagai teman istirahat, dipilihlah mendoan kemul dan pisang goreng masing-masing satu porsi.


**
Saya kira, saya terlalu siang berangkatnya, sehingga mendekati pukul sepuluh ini kami masih berada di Kledung. Lepas menyeruput kopi, saya melanjutkan perjalanan dengan menuruni turunan Kertek sepanjang 9 kilometer. Saya jadi teringat bahwa beberapa tahun silam jalur ini adalah jalur saya nyales alkes. Hehehe..

Kota Wonosobo yang dingin menyambut kami dengan gerimis. Setelah berputar-putar mengikuti jalur ke Dieng, kami pun menanjak. Saya ingat bahwa dari Wonosobo Kota ke Dieng masih ada sekitar 30 kilometer yang medannya berupa tanjakan panjang nan berliku. Seperti liriknya Rang PaladangPadang Panjang ka Bukiktinggi, jalan mandata kelok mandaki, jikok sanak marasa banci, tamui ambo ka Bandaguci, jikok sanak marasa banci, duduak baselo baok mangopi.. “  aseeekk.. Entah kenapa, anak perempuan saya yang berusia 2,5 tahun itu malah seneng lagu itu.


“Bapak nyanyi urang paladang, dong..” ujarnya selama di perjalanan.

Ditengah cuaca yang kurang bagus, mental saya diuji. Saya harus menanjak melalui jalan yang tidak megitu lebar, ditengah gerimis, dengan mobil tua seadanya, mengangkut empat nyawa. Ini adalah ujian nyata bagi sopir debutan seperti saya.

Beberapa kali ada ketersendatan setiap melewati keramaian seperti Pasar Garung, dalam tanjakan, skill setengah kopling haruslah sudah mahir. Apalagi, banyak angkot yang seringkali berhenti dibahu jalan. Harus sabar dan siap kaki pegal.

Ibuk saya berulangkali merapal doa tiap kali jalan berliku dan sangat menanjak. Berharap saya bisa menguasai kendaraan. Dan akhirnya kami pun sampai di Tieng. Kawasan di bawah Dieng. Disana, suasana juga masih gerimis. Ada beberapa jalur yang belum lama diperbaiki karena pernah longsor dan ditutup, beberapa waktu lalu.

Voilaa.. mendekati tengah hari, kami sampai di Dieng!


Syukur Alhamdulillah, ini adalah pencapaian saya yang terbagus dalam mengendarai motuba, sejauh ini. Sekaligus pembuktian bahwa Corolla saya yang usianya sudah 32 tahun masih sanggup melahap tanjakan panjang. (bukan iklan, lho..) hehehe.. Siang itu, Dieng tidak begitu memesona. Karena cuaca yang memang kurang bersahabat. Baru dua menit kami melajukan mobil, hujan turun dengan deras.

Akhirnya saya putuskan untuk menuju parkiran dekat Candi Gatotkaca. Disana, ada mushola dan toilet serta beberapa warung. Untung kami membawa payung. Saya sedikit cemas dan khawatir dengan anak saya. Dengan sedikit kecewa, setelah shalat saya mempersilakan ibuk dan budhe untuk berjalan-jalan sementara Saya dan Tika serta Dayu memutuskan untuk beristirahat saja mencari kehangatan.

“Beliin topi guguk.. “ Rengek Dayu melihat deretan topi hangat dengan karakter hewan yang dipajang di warung-warung. Saya dan Tika pun harus puas hanya berjalan-jalan di sekitar Museum Kailasa dengan payung dan menggendong Dayu yang kali ini sudah sedikit hangat berkat topi guguk barunya.


**
Makan siang di area wisata ini, terbilang menguras kantong. Untuk dua porsi soto, dan dua porsi mie instan rebus, dan dua teh gelas kecil, kami harus mengeluarkan lima puluh lima ribu rupiah. Harga yang jika di daerah bawah bisa dapat dua kali porsinya. Namun tak apalah.. Bukannya berwisata adalah salah satu cara untuk menghabiskan uang? Hehehe..

Dahulu, saya dan Tika jaman pacaran sudah cukup puas berkeliling Dieng. Kali ini, rencana awal saya adalah mengunjungi Candi Arjuna, Museum Kailasa, Kawah Sikidang, Dieng Plateau Theater, dan berakhir di Telaga Warna. Namun karena hujan yang benar-benar tak pernah reda, kami akhirnya memilih hanya mengunjungi Candi Arjuna dan Plateau Theatre saja. Itu saja, yang ke Candi Arjuna hanya ibuk dan budhe saja. Saya, memilih menghangatkan diri di mobil sambil makan jadah srundeng, bekal dari rumah.

Saya merasa sedikit bersalah karena tidak bisa menunjukkan tempat tempat menarik ke Ibuk. Tapi ia kelihatannya bisa mengerti. Bisa diajak jalan-jalan ke Dieng oleh anaknya saja ia sudah merasa sangat senang. Ibuk saya bahkan sampai nangis karena merasa merepotkan saya dan bilang sangat senang saya mau mengantarnya sampai Dieng. Masya Allah..

Sudah mendekati jam tiga sore, kami masuk ke Plateau Theatre. Disana, pemutaran film tentang sejarah Dieng. Selama film diputar, Dayu malah nyanyi-nyanyi. Ah... Bisa saja dek Dayu ini. Begitu pemutaran usai, kami memutuskan untuk pulang saja. Takut kemalaman.

Perjalanan pulang tak ubahnya seperti waktu menanjak tadi. Lebih repot malah, karena sepanjang turunan Dieng ke Wonosobo banyak kabut menghadang dan jarak pandang sangat terbatas. Ditambah lagi, hujan terasa semakin deras mengguyur. Saya pun bertahan lebih banyak menggunakan gigi 2 sebagai engine brake dan menurun pelan-pelan. 


Di daerah Kalianget, ada petunjuk jalur alternatif ke Magelang. Disana semacam jalan lingkar yang kami sempat curiga. 
Salah satu suasana Lingkar Utara Wonosobo, via stretview

Saya curiga karena belum pernah lewat dan jalannya cenderung menanjak dan secara administratif malah ikut Kecamatan Garung. Waktu itu, sudah masuk waktu shalat asar karena sudah pukul empat. Akhirnya kami beristirahat di sebuah masjid di daerah Bugel. 
Masjid di Bugel, tempat kami istirahat via streetview
Disana, pukul empat masjid baru adzan asar. Tampak banyak anak-anak berjaket mengantri untuk mengaji sore.  Setelah menggunakan cara lokal bertanya pada penduduk sekitar, saya yakin bahwa jalur ini adalah jalur yang benar untuk menghindari kepadatan kota Wonosobo.

Sampai Kota Magelang sudah pukul tujuh malam. Kami mampir ke RSUD Tidar untuk menengok tetangga yang tengah dirawat di sana. Mengobrol banyak dengan mbak Duprida Chaniago (ini benar nama tentangga saya), hingga lupa waktu. Pukul sembilan malam, kami mengisi perut sejenak di lesehan Hanafi Jaya Abadi yang spesial ayam bakar madu itu. dan mendekati pukul sepuluh, kami sampai di rumah. Alhamdulillahirabbil alamiiin..




Read More..
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...