Beberapa waktu terakhir saya memang agak senggang terutama urusan pekerjaan. Akhirnya saya mengajukan cuti selama tiga hari kepada pimpinan untuk liburan sejenak dan diacc. Terus terang, saya sudah menabung cukup lama untuk mengajak pergi liburan keluarga ke luar Jawa. Dulu, pingin sekali pergi ke Sumatra Barat sekalian nengokin Pakde di Solok sana. Tetapi seiring perkembangan waktu pakde bude saya sudah tidak ada semua. Akhirnya saya putuskan ganti haluan untuk mengajak anaki istri ke Bali. #Hari Pertama, Rabu 21 Agustus 2024 Perjalanan dimulai pagi hari tepat pukul 07.00 kami memesan taksi online untuk menuju ke kawasan sekitar exit tol Ungaran. Di sana kami menunggu Sabila, travel yang telah kami pesan beberapa hari lalu. Travel ini melayani rute Semarang – Solo maupun ke arah Yogyakarta. Saya cukup sering menggunakan jasa travel ini karena layanannya yang bagus, tepat waktu dan untuk ke arah Solo, 90 persen melewati jalan tol sehingga sangat memangkas waktu tempuh. Jika naik bis biasa, Ungaran Solo setidaknya harus ditempuh paling cepat dua jam. Dengan Sabila, sejam juga sudah sampai. Pukul delapan kurang sedikit, Sabila datang. Armada yang digunakan adalah Hiace tipe Premio dengan harga tiket per orang adalah Rp. 70,000. Tidak sampai satu jam, Sabila sudah mengantar kami sampai di perempatan Kartasura. Kami sengaja turun di sini karena ingin mencari rute terpendek menuju ke Bandara. Waktu masih cukup senggang, akhirnya sembari mempertimbangkan taksi online yang akan dipesan, anak anak membeli jajanan dulu di minimarket terdekat. Tidak lama, datanglah taksi online yang kami pesan menggunakan aplikasi maxim. “Mau ke mana, Pak?” “Ini mau jalan jalan aja ke Bali sama keluarga mumpung ada waktu senggang” Sepintas obrolan saya dengan driver yang mengaku tinggal di Jebres itu. Saya memang terbiasa suka mengajak ngobrol driver taksi online. Itung itung mencairkan suasana sekaligus memastikan driver ini tidak ngantuk. Hehehe Untuk sampai di Bandara, masih harus ada tambahan biaya parkir dan tentunya kami sisipkan sedikit tips untuk driver yang sudah mengantar kami sekeluarga ini. Jelang pukul setengah sepuluh, maxim sudah sampai di Bandara Adi Soemarmo Solo setelah sedikit memutar jalan karena ada perbaikan di sekitar perempatan Colomadu. Saya segera menurunkan barang bawaan serta mengambil trolley. Dengan riang gembira, Dayu dan Dania naik trolley bercampur dengan barang bawaan kami. Ohya. Untuk rencana 4 hari 3 malam di Bali, kami membawa satu koper, satu ransel dan tas jinjing untuk menyimpan barang barang fast moving seperti minum, jaket, dompet serta charger. Ini adalah pertama kalinya saya mengajak anak istri naik pesawat. Setelah mencetak boardingpass pada mesin self check in, kami segera memasuki area bandara dan melaporkan bagasi. Jika ada waktu senggang, lebih baik bagasi kita titipkan daripada masuk kabin. Tetapi, jika terburu buru dan barangnya juga tidak terlalu banyak, mending tidak usah pakai fasilitas bagasi. Jadwal penerbangan kami masih sekira satu setengah jam ke depan. Di ruang tunggu Bandara Solo ini ada pojokan playground yang sangat cocok untuk anak anak. Dengan tema yang berwarna warni menyediakan aneka permainan dan wahana serta disediakan pula kertas mewarnai. Semua ini tentu menjadi penunda bosan anak anak di kala menunggu waktu penerbangan. Selain itu, di ada juga pojok baca yang isinya merupakan Kumpulan buku buku premium yang bisa dibaca tanpa harus dibawa pulang. Dayu dan Dania tampak senang membaca buku buku ensiklopedia seperti ensiklopedia kucing serta ruang angkasa, juga buku buku model pop up book yang seru itu. “Perhatian perhatian, para penumpang pesawat udara Lion Air dengan nomor penerbangan JT 926 dengan tujuan Denpasar harap segera memasuki pesawat udara melalui pintu 2” Sekitar seperempat jam terlambat dari jadwal, akhirnya pengumuman pesawat kami sudah berbunyi. Itu artinya kami harus segera mengantri di gate untuk segera memasuki pesawat melalui garbarata yang telah disediakan. Ini adalah pengalaman pertama untuk anak anak naik pesawat. Sayangnya tiket kami ada empat sehingga tidak bisa duduk satu baris. Namun, saya lihat ada beberapa kursi kosong di depan sehingga sesaat setelah pesawat dalam mode aman, saya memilih pindah kursi yang dekat jendela dengan Dayu. Selama penerbangan, cuaca tampak cerah ceria bersahabat. Sekira tiga puluh menit terbang, pesawat kami melewati bagian atas dari sekitar Kota Surabaya. Saya bisa melihat dengan jelas bentukan Pulau Madura serta jembatan Suramadu dengan suasana kota Surabaya yang padat. Setelah itu, tampak pula pucuk pucuk gunung yang jika saya tidak salah adalah kawasan gunung Bromo Tengger Semeru. Tidak sampai satu setengah jam, pesawat kami sudah sampai di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Kami segera turun dari pesawat dan masuk ke terminal kedatangan. Di sini, suasana Bali langsung terasa melalui ornament ornament bandara, serta suara gamelan Bali yang diputar. Sesaat kami mengantri pengambilan bagasi dan menggunakan trolley untuk menuju ke area luar Bandara. Mengingat perjalanan ini sudah saya rencanakan sematang mungkin, termasuk di dalamnya adalah rencana moda transportasi yang akan kami gunakan untuk menuju Denpasar. Dibandingkan taksi bandara, Go Car serta Grab Car, ternyata aplikasi Traveloka Jemput lebih murah sepuluh ribu menjadi sekitar 190 ribu. Tetapi, ternyata ada yang jauh lebih murah yaitu menggunakan bus Trans Metro Dewata yang per orangnya tiket seharga Rp 4.400,- saja. Adapun koridor yang harus dinaiki adalah K2B jurusan Airport Ngurah Rai – Terminal Ubung. Rute ini yang kami pilih agar kami bisa sampai di Denpasar mendekati area hotel tujuan kami. Sebelum menunggu bus, kami mampir makan siang sejenak di WM Jawa yang ada di dekat pool taksi bandara. Di sana, menyediakan masakan halal ala Jawa dan Bali. Istri mengambil bungkusan nasi jinggo yang merupakan nasi campur pedas khas bali berbungkus daun pisang, saya memesan nasi rames telor dan anak anak makan nasi sop ayam goreng. Total makan dengan minum cukup membayar 75 ribu saja. Murah bukan untuk ukuran Bandara? Warung ini juga bisa menerima pembayaran dari QRIS sehingga lebih nyaman tanpa repot nunggu kembalian. Setelah makan siang, kami segera membawa serta koper dan ransel kami menuju ke tempat pemberhentian bus umum. Menunggu sekitar 8 menit bus koridor kami datang. Kami segera naik dan saya membayar menggunakan QRIS sebanyak tiga kali scan untuk tiga penumpang. Selain menggunakan QRIS juga bisa membayar dengan E Money dengan catatan satu kartu untuk satu penumpang. Ohya, pembayaran tunai sudah tidak diterima ya! Menurut gambaran rutenya, bis Trans Metro Dewata K2B ini akan melewati Jalan Raya Tuban di Kuta, Sentral Parkir Kuta, Imam Bonjol dan masuk ke Kota Denpasar melalui Jalan Teuku Umar. Saya tentu tidak hafal dengan daerah Denpasar. Akhirnya, karena saya kira bis ini rutenya sedikit memutar di area Denpasar timur, saya memutuskan untuk turun di kawasan Kampus Udayana. Saya berfikir jika mengikuti bus ini akan terlalu lama sampai di sekitar Ubung. Pencet pencet taksi online, akhirnya kami mendapatkan taksi untuk menuju ke Aston Denpasar. Ternyata, jalanan di Denpasar ini banyak yang satu arah sehingga berulang kali harus putar puter kota. Lumayan lama juga dari Udayana ke Aston. Sepanjang perjalanan, saya berbincang dengan bli driver tentang adat orang Bali yang memiliki kebiasaan sembahyangan. Termasuk adanya uborampe sesajen yang ditaruh di dashboard mobil. Bahkan, setiap enam bulan sekali mobil ini harus disembahyangi. Hal ini untuk menciptakan energi positif antara pemilik dan mobil tersebut. Bli driver bercerita banyak sembari perjalanan kami menuju ke Aston. Kira kira 25 menit kemudian pada sore hari pukul 5 kami telah sampai di lobby hotel Aston. “Terimakasih selamat berlibur” ucap Bli driver ketika menurunkan kami. “sama sama, Pak” balas saya yang tidak terbiasa memanggil panggilan bli. Hehehe.. Hotel Aston ini termasuk yang terbaik di Denpasar. Pernah saya singgahi semalam beberapa tahun lalu. Hotel tua yang masih baik, dengan kamar kamar yang luas dengan kelas bintang empat. Saya mendapat harga diskon epic sale dari Traveloka seharga 475 ribu semalam termasuk sarapan dua orang. Kamar superior yang luas dengan sofa empuk sehingga saya tidak perlu memesan ekstra bed. Cukup tidur di sofa panjang nan empuk sementara si kingbed bisa ditiduri istri dan anak anak. Wajah wajah girang dari anak istri bisa merasakan tidur di hotel bintang empat begitu terpancar jelas sehingga saya semakin puas bisa mengajak mereka dalam pelesiran kali ini. Malam hari di Denpasar, kami memanfaatkan waktu untuk beristirahat saja. Untuk makan malam, kami memutuskan membungkus di warung Soto Cak Di di depan hotel. Seporsi nasi soto, seporsi nasi goreng dan seporsi mie goreng ditebus dengan harga 69 ribu. Tentu bayarnya bisa pakai QRIS supaya simple tapi past tense. Untuk peralatan makannya, kami tinggal pinjam di resto hotel saja. #Hari Kedua, Kamis 22 Agustus 2024 Selamat pagi Kota Denpasar. Pagi ini, saya ingin melihat lihat sejenak suasana sekitar hotel. Berhubung anak anak masih tidur, akhirnya saya memutuskan berjalan jalan sendiri. Dari depan hotel, menuju ke arah timur ke perempatan Gatot Subroto dan dilanjutkan ke utara ke arah Terminal Ubung. Seumur umur, baru kali ini saya lihat Terminal Ubung. Dulu dulu saya hanya sering dengar cerita orang tentang terminal Ubung dan Mengwi. Sedikit penyesalan adalah kenapa kemarin tidak ikuti saja trans metro dewata sampai di Terminal Ubung karena jaraknya tidak jauh dari Aston Denpasar. Hehehe.. Menjelang pukul delapan WITA, kami memanfaatkan fasilitas sarapan dari hotel. Di Aston ini menu yang disajikan cukup beragam mulai kue dan bubur tradisional, salad buah, buah buahan, main course, aneka roti hingga gorengan. Untuk tambahan sarapan anak saya, saya harus merogoh kocek 75 ribu rupiah. Ya tidak apa apa karena harga kamar kami juga sudah cukup murah menurut saya. Ditambah lagi, Dayu paling senang sarapan di hotel seperti ini karena banyak pilihannya. Sekira pukul sepuluh, setelah janjian dengan pengelola mobil rental saya berkemas kemas untuk check out. Saya memilih untuk menyewa mobil selama dua hari di Bali ini di Bali Mutia Rental. Armada yang saya pesan adalah Toyota Agya manual dengan harga 200 ribu per hari. Adapun ongkos kirim ke Denpasar adalah 100 ribu. Ohya, saya sengaja memilih Denpasar sebagai penginapan malam pertama ini karena rencananya kami ingin bertamasya ke sekitar Bali Utara yaitu ke Bedugul dan ke Ubud. Segera, setelah check out kami langsung menggeber Agya ke arah utara. Tujuan pertama kami menuju ke arah Mengwi untuk isi BBM dahulu sebesar Rp 150.000 pertalite dilanjutkan perjalanan ke arah Bedugul. Sampai di Puspem Badung yang ada di Mangupura, berfoto dulu di depan gapura kompleks Kabupaten Badung ini. Dengar dengar Kabupaten Badung ini adalah salah satu Kabupaten terkaya di Indonesia. Kompleks pemerintahannya saja magrong magrong uapik ukir ukiran ala Bali. Perjalanan menuju ke Bedugul membutuhkan waktu sejam lebih sedikit. Ternyata, Bedugul ini memang berada di ketinggian sehingga kami harus melewati trek meliuk menanjak khas di pegunungan seperti di Sarangan – Tawangmangu sana. Tetapi sesampainya di atas kami disuguhi suasana sejuk segar ditambah banyaknya wisatawan asing yang berwisata di kawasan wisata Bedugul. Salah satu daya Tarik di Bedugul yang saya kunjungi adalah Pura Ulun Danu Bratan. Kawasan ini memang sangat cantik. Menawarkan hamparan taman dengan kompleks Pura Lama, dengan latar belakang danau serta gunung. Selain itu, ada juga fasilitas permainan anak yang lumayan komplit serta ada juga layanan bermain speedboat atau perahu bebek. Tiket untuk masuk ke wisata ini untuk WNI adalah 40 ribu untuk dewasa dan 20 ribu untuk anak anak. Tiket hari biasa ya alias weekdays. Meskipun weekdays tetapi saat saya ke sana kemarin parkiran sangat berjubel penuh terutama didominasi wisatawan asing. Pura ini adalah salah satu Pura besar di Bali. Berjarak kurang lebih 50 kilometer dari Denpasar, kompleks ini telah dibangun pada tahun 1634 Masehi. Dengan keindahan panorama alamnya, kompleks Pura Ulun Danu Beratan ini juga diabadikan dalam gambar pecahan uang kertas lima puluh ribuan yang edisi foto pahlawan I Gustu Ngurah Rai. Puas bermain di Pura Ulun Danu Bratan, kami mengunjungi masjid yang terletak tidak jauh dari jalan raya di depannya. Masjid ini berada di tempat yang cukup tinggi sehingga mudah terlihat. Airnya dingin sekali karena berada di ketinggian. Selepas shalat kami mampir sejenak di sebuah kafe yang ada di bawah masjid untuk makan siang, lebih tepatnya makan siang anak anak karena kebetulan Dayu ingin makan mie goreng instan. Perjalanan dari Bedugul menuju ke Legian ditempuh sangat lama. Rencana awal kami untuk mengunjungi Monkey Forest di Ubud kami cancel untuk dilaksanakan keesokan harinya karena hari sudah telalu sore dan anak anak pasti juga sudah pada capek. Begitu memasuki area Kota Denpasar, kami belokkan mobil sejenak ke daerah Terminal Mengwi. Di sana kami mampir makan siang di sebuah kedai nasi campur Jember. “Silakan ambil sendiri” sapa penjaga warung seorang ibu ibu berhijab dengan ramah. Satu porsi nasi campur telur pindang, dan satu porsi nasi campur ati ampela dengan dua minum kami tebus tidak lebih dari lima puluh ribu saja. Cukup murah dan mengenyangkan. Berada di kota lain dengan menyetir sendiri adalah sebuah tantangan bagi saya. Sebenarnya saya juga terbiasa nyetir tanpa map, namun demikian untuk keamanan dan kenyamanan saat ini saya nyalakan fitur map untuk menuju ke Legian. Kami dilewatkan area yang bernama Dalung. Di kawasan ini pada sore hari ternyata macet parah. Untuk melaju kurang lebih lima kilometer kami membutuhkan waktu setidaknya satu jam. Yang saya salut adalah di sini meski macet tetapi tidak terdengar suara klakson bersahut sahutan. Mungkin warga setempat sudah terbiasa macet dan juga saya lihat masyarakat suku Bali ini terkenal penyabar. Kawasan Dalung ini menjadi salah satu alternatif dari sekitar Mengwi untuk menuju ke Kuta tanpa melalui Kota Denpasar. Sejujurnya saya agak sedikit menyesal melalui kawasan Dalung ini karena harus terjebak macet lama sekali. Namun tidak apa apa karena sudah terlanjur. Hehehe.. Kira kira mendekati jam maghrib kami telah sampai di Legian Sunset Residence yang berada di Jalan Shri Laksmi. Proses check in dilayani petugas yang ramah dan tidak memerlukan waktu lama. Hanya butuh memperlihatkan id card serta meninggalkan deposit sebesar 200.000,- rupiah. Kamar kami berada di ujung sebuah lorong lantai 1. Sebuah kamar dengan model loteng. Saya sengaja memilih kamar ini karena memiliki dua ruangan kamar. Satu kamar di bawah dengan dua single bed, dan satu kamar kingbed di atas. Tentu saja, jenis kamar ini sangat cocok untuk saya yang menginap sekeluarga berempat. Anak anak bisa tidur di atas sementara kami bisa memanfaatkan kamar bawah. Untuk urusan fasilitas, terbilang lengkap mulai dari AC atas bawah, televisi, kamar mandi, mini pantry, kulkas, microwave hingga tempat jemur pakaian. Satu kekurangan adalah tidak adanya kompor mini dan sandal. Dengan harga kisaran 700 ribu semalam, saya kira adalah harga yang wajar dengan fasilitas yang ada. Perjalanan kami dari Bedugul hingga Legian tadi membutuhkan tiga jam termasuk terjebak macet di Dalung. Untuk itu, malamnya kami manfaatkan full untuk beristirahat. Saya hanya membungkus makan malam di kawasan Jalan Nakula yang ternyata juga sangat ramai termasuk adanya foodcourt serta pasar yang menjual aneka makanan street food. Di sana juga bertebaran kafe kafe tentu dengan harga harga yang tinggi. Tampak beberapa pemuda asing duduk duduk di depan sebuah minimarket yang bersebelahan dengan kios minuman alkohol. #Hari Ketiga Jumat 23 Agustus 2024 Selamat pagi, Legian. Pagi ini kami merencanakan untuk melihat lihat suasana sekilas di Pantai Legian. Sebenarnya untuk menuju Pantai ini kami bisa berjalan kaki dari hotel dengan waktu tempuh sekitar 20 menit. Tetapi mengingat kami membawa serta anak anak maka kami memutuskan untuk naik mobil saja. Sepagi itu, aktivitas masyarakat masih banyak yang belum aktif. Salah satu keramaian adalah di perempatan Jalan Padma. Di sana tampak cukup ramai dengan adanya beberapa penjual nasi campur khas local street food. Tentu saja, menu nasi campur babi adalah salah satu yang banyak dijual. Pantai Legian pagi itu cukup lengang. Meski sudah ada beberapa warga lokal maupun wisatawan asing yang sudah bermain di pantai. Anak anak langsung saja antusias untuk bermain pasir pantai yang lembut ini. Sepenglihatan saya sekilas kawasan ini lebih bersih dibandingkan kawasan Pantai Kuta. Garis pantainya juga cukup panjang. Fasilitas parkir maupun toilet dan tempat bilas juga tersedia dengan baik. Anak anak bermain di pantai kurang lebih hingga satu jam sebelum akhirnya kami memutuskan untuk bilas dan kembali ke penginapan. Di Legian Sunset Residence, sarapan disajikan pukul 8 hingga pukul 11 WITA di restoran lantai 2. Beberapa menu yang tersaji antara lain main course Indonesian, roti rotian, salad, buah, pudding dan aneka minuman. Terbilang cukup biasa untuk kelas bintang tiga. Untungnya, harga kamar yang telah kami bayar telah termasuk untuk sarapan sekeluarga. Sekitar pukul 10 lebih, kami telah bersiap dan berkemas untuk melanjutkan kegiatan hari ini. Sebagaimana jadwal yang telah dirubah, kami akhirnya memutuskan untuk mengunjungi Ubud Monkey Forest. Sejujurnya kawasan Ubud lebih mudah dijangkau dari Denpasar namun karena kemarin terlanjur kesorean, kami ganti mengunjungi Ubud pada hari ini. Kembali lagi, saya memanfaatkan fasilitas map untuk menuju ke Ubud mengingat banyaknya ruas jalan satu arah di Denpasar sehingga rawan membingungkan. Ternyata perjalanan ke Ubud juga tidak secepat yang saya bayangkan. Kira kira kami membutuhkan waktu satu setengah jam melewati Kota Denpasar. Masuk kawasan Ubud, kami disambut suasana semacam kampung turis. Bagaimana tidak, karena terhampar di sepanjang jalan itu tersedia kios kios yang dijadikan kafe kafe ataupun menjajakan souvenir lengkap dengan wisatawan asing yang berlalu lalang di trotoar. Untuk memasuki Ubud Monkey Forest, tiket yang dibanderol adalah Rp. 60.000 untuk dewasa dan Rp 40.000 untuk anak anak. Harga tiket ini adalah untuk WNI dan pada weekdays. Parkiran cukup ramai dan lobby tiket juga teramat ramai oleh wisatawan asing. Setelah mendapatkan tiket dan memanfaatkan fasilitas toiletnya yang bersih kami segera memasuki area Sacred Ubud Monkey Forest. Saya sengaja mengajak keluarga ke sini karena ingin menikmati daerah Ubud yang dikenal sejuk serta memiliki kawasan menarik tempat kera kera hidup liar yang berpadu dengan lebatnya hutan tropis serta kompleks Pura yang eksotis. Terlihat memang, kebanyakan wisatawan yang berkunjung adalah wisatawan asing dengan prosentase kira kira hampir 80 persen. Di Lokasi ini, monyet monyet dibiarkan berkeliaran dan telah memiliki kantung-kantung makanan tersendiri yang disediakan oleh pengelola. Pengunjung tidak diperbolehkan memberi makanan. Selain itu, salah satu larangan lain adalah tidak diperbolehkannya pengunjung melakukan kontak mata dengan monyet untuk menghindari serangan monyet yang bisa terjadi sewaktu waktu. Ubud Monkey Forest juga dilengkapi dengan area walking track yang sebagian berupa jalan tangga dari kayu. Suasana sejuk terus menyelimuti selama kami berada di kompleks ini. Pengunjung diajak mengitari hutan monyet ini sembari menyadari sebuah hubungan harmonis alami yang tercipta antara manusia, binatang, alam dan Tuhan. Hal ini diperkuat dengan adanya tiga Pura yang ada di dalam hutan. Pura ini dipercaya telah dibangun sejak abad 14. Pengunjung wajib menghormati keberadaan Pura dengan tidak memasukinya dan menghormati kegiatan peribadatan warga Umat Hindu yang sekali waktu diadakan di tempat sakral ini. Di sebelah salah satu Pura, juga terdapat mata air yang disucikan. Selama di Ubud Monkey Forest kawanan kera yang mendekat ke rombongan pengunjung tidak terlalu banyak. Sebagian besar mereka berayun ke sana kemari di atas pepohonan. Meskipun demikian tampak wisatawan asing sangat menikmati moment dekat dengan kera bahkan diajak berfoto. Setelah kurang lebih satu setengah jam berada di Ubud Monkey Forest, kami memutuskan untuk beranjak pulang. Sayangnya jalan satu arah di kawasan Ubud siang itu macet parah. Saya juga sedikit heran karena kami telah memilih waktu weekdays dan bukan musim liburan nasional tetapi masih terjebak macet di Ubud. Bisa dibilang, sekarang ini Ubud merupakan jujugan favorit turis asing sehingga di kanan kiri jalan dengan mudah ditemui keberadaanya. Salah satu penyebab kemacetan adalah lampu traffic light di kawasan Pasar Seni Ubud. Kami tidak sempat mampir setelah melihat parkiran yang teramat susah. Menurut berita, beberapa hari lalu pasar ini sempat terbakar dan masih terlihat bekas bekas kebakaran lengkap dengan police line berwarna kuning. Untuk makan siang, kami memutuskan untuk keluar dari area Ubud terlebih dahulu agar menemukan tempat yang lebih mudah parkir dan juga lebih tenang tidak semrawut. Kebetulan, perjalanan kami distop oleh masyarakat adat yang tengah dalam arak arakan. Jika saya tidak salah, arak arakan tersebut adalah membawa jenazah menuju ke upacara Ngaben. Kira kira rombongan arak arakan berjumlah kurang lebih 100 orang. Kami memilih makan siang di RM Padang Piliang Jaya masih di daerah Ubud. Bagi kami warga muslim, kami sedikit berhati hati memilih rumah makan untuk memastikan kehalalannya. Tempat ini sudah tidak terlampau ramai dan berada kira kira di sebelah Selatan kawasan utama Ubud. Menjelang sore, perjalanan dilanjutkan ke arah Kota Denpasar melalui kawasan Batubulan. Saya menyimpulkan sementara bahwa saat ini ruas ruas utama di antara Denpasar hingga daerah Kuta adalah yang sering macet termasuk diantaranya Jalan Imam Bonjol dan Sunset Road. Kami termasuk salah satu yang terkena macet sehingga harus rela bersabar sejenak dalam perjalanan kami menuju ke Krisna Sunset Road. Pusat oleh oleh ini berada tidak terlalu jauh dari penginapan kami. Saya kira Krisna ini adalah satu pusat oleh oleh yang terlengkap dengan harga harga yang sudah final tidak perlu ada tawar menawar seperti di Pasar Seni Sukowati misalnya. Aneka oleh oleh dipajang mulai dari kerajinan, baju baju, cemilan khas, kopi, hingga pernak pernik aksesoris. Untuk kualitas barangnya saya kira setara dengan kualitas pasar rakyat, meski ada juga bagian khusus yang menyediakan barang barang dengan kualitas premium. Pengunjung juga bisa meminta bantuan packing kardus kepada petugas dengan tambahan biaya 10 ribu rupiah agar lebih mudah dibawa. Berhubung waktu masih cukup senggang, kami mampir pula ke Joger Kuta. Di sini, barang barang oleh oleh yang dijual lebih berkualitas ketimbang di Krisna. Namun untuk harga juga cukup overpriced. Jika jeli, ada bagian bagian tertentu yang dijual lebih murah seperti kaos, sandal dan sebagainya. Konsep penyusunan toko Joger Kuta ini juga unik sekali bahkan dilengkapi kolam ikan di dalamnya. Suasana berbelanja juga sejuk karena full AC. Ditambah lagi parkir gratis yang petugasnya sangat berintegritas. Ketika saya menawarkan lembaran lima ribu rupiah kala tukang parkir membantu menyeberangkan, ditolak secara halus. Secara prinsip, kami puas berbelanja di Joger meskipun itemnya sedikit wong amunisinya juga terbatas. Hehehe.. Menjelang petang, kami sampai kembali di penginapan. Berhubung Dayu kepingin sekali berenang, maka saya iyakan dan saya temani. Berenang di malam hari di Bali tidak terlalu dingin. Kolam yang ada di tengah hotel ini memiliki kedalaman 60 hingga 120 cm. berbarengan dengan kami ada sekeluarga yang terdiri dari bapak, ibu dan sepasang anak laki laki dan perempuan. “how deep is this?” tanya masnya kepada saya “not deep just in my chest” jawab saya sembari menaruh telapak tangan di dada. Selanjutnya kami terlibat obrolan dengan turis dari Australia ini. Mereka baru saja sampai setelah penerbangan selama 6 jam dari Sidney. Ini adalah kesempatan mereka sekeluarga yang pertama untuk ke Bali dengan rencana liburan selama satu minggu. Anaknya yang perempuan sebenarnya seusia dengan Dayu. Sayangnya Dayu belum bisa ngobrol dengan Bahasa Inggris sehingga tidak bisa mengobrol terlalu banyak. Paling paling hanya bilang “I am OK” ketika ditanya “are you OK?” hehehe.. Satu hal yang saya menyesal adalah ketika mas turis menanyakan kepada saya berapa ongkos taksi dari Legian ke Ubud. “two thousand K” jawab saya. Padahal maksud saya kira kira “two hundred K”. Maaf ya mas turis.. Hehehe Puas berenang hingga pukul sembilan malam selanjutnya saya mengusulkan kepada Tika untuk melaundry pakaian – pakaian kotor kami supaya lebih enak dibawa ketika pulang. Malam itu, setelah mengantarkan baju kotor tidak jauh dari hotel kami sekeluarga melihat lihat sekilas ke daerah Jalan Nakula untuk mencari makan malam. Pilihan kami jatuh pada warung nasi goreng, capcay dan mie goreng. #Hari Keempat Sabtu 24 Agustus 2024 Akhirnya kami telah sampai pada hari terakhir liburan kami. Untuk penerbangan kami masih sore hari sehingga kami masih memiliki beberapa jam waktu luang yang kami manfaatkan untuk pergi ke Pantai Kuta, berjalan jalan, mengajak anak anak bermain di pantai, melihat dan membeli beberapa makanan serta oleh oleh di Pasar Seni Kuta, serta menikmati sarapan di hotel. Lepas siang hari, kami segera berkemas kemas dan memanfaatkan aplikasi taksi online untuk mengantar kami ke Bandara I Gusti Ngurah Rai. Dari hotel ke bandara jarak sebenarnya hanya kurang lebih lima kilometer namun harus ditempuh dalam waktu hampir satu jam. Traffic menuju bandara pada weekend ini ternyata sangat padat sehingga setiap lampu merah selalu mengular panjang. Singkat cerita, penerbangan kami delay hampir dua jam sehingga pukul 7.30 malam kami baru mendarat di Bandara Solo dan dilanjutkan mengorder taksi online ke pool Sabila Shuttle. Sembari menunggu pemberangkatan pukul 9 malam, kami makan malam di warung angkringan sebelah pool Sabila. Jujur, setelah beberapa hari di Bali, makan angkringan dengan aneka gorengan dan camilan khas Jawa ini terasa sangat menggugah selera. Dan akhirnya kurang lebih pukul setengah sebelas malam kami telah sampai kembali di rumah di Ungaran dengan selamat. Alhamdulillah..
No comments:
Post a Comment