Tuesday, March 24, 2015

Panorama Selogriyo, Duplikat Surga di Magelang


Panorama Selogriyo, Duplikat Surga

Langit tampaknya tidak begitu bersahabat siang ini, Sabtu (21/3/2015). Setelah shalat dhuhur di masjid kampung setempat, kami segera melangkahkan kaki untuk memulai trekking ke Candi Selogriyo. Candi itu terletak disebuah bukit yang bisa dikatakan berada di lereng Sumbing. Jarak tempuh kami dari parkiran motor sekitar 1,5 Km. Gerimis menyambut kami sesaat setelah saya berempat bersama Bagus Priyana, Laras, dan Tintony. memulai perjalanan. Kami merupakan rombongan yang tersisa dari sekitar 100-an anggota jelajah. Oleh Bagus Priyana – yang merupakan koordinator komunitas, kami diarahkan melalui jalur bawah yang melewati lembah. “Turis-turis biasa dilewatkan oleh kru dari Amanjiwo melewati jalur ini. Lebih seru dan menantang”. Katanya untuk mengiming-imingi kami.  




Setelah kami memakai jas hujan, jalan-jalan becek menyambut kami. Pematang sawah adalah menu utama, selain galuran – sebuah jalan kerbau yang licin dan berlumpur. Gemericik air sungai menemani kami sepanjang perjalanan dengan hamparan panorama epik perbukitan Giyanti. Akhirnya kami sampai di pelataran Candi Selogriyo hampir berbarengan dengan rombongan yang melewati jalur utama. Jalannya sudah dikonblok dan melewati lereng bukit.
 
Mungkin mereka sudah lelah dan lapar. Sebuah warung yang berada disebelah candi sudah dibooking dan kami kebagian makan siang gratis dengan menu pecel. Antrinya mirip pembagian daging kurban. Saya mengalah dengan memesan segelas kopi saja. Toh saya juga masih bawa bekal dua potong roti sekedar untuk menahan lapar. Siang ini, Selogriyo cukup cerah, beda dengan suasana sepanjang trekking. Candi ini terlihat diikat dengan tali pengaman. Pasca perbaikan 2008 silam, dinyatakan bahwa kondisi tanah di sekitar candi ini labil dan juga rawan longsor. Oleh BPCB – selaku pengelola akhirnya bagian tubuh candi diperkuat dengan tali dengan harapan tidak mudah rubuh.
 
Candi Hindu ini berada di ketinggian 704 mdpl dan secara administratif berada di Desa Kembangkuning Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang dan ditemukan oleh Residen Kedu pertama, Hartsman pada  1835. Menurut cerita yang berkembang candi dengan arti rumah dari batu ini merupakan candi yang dibangun oleh orang-orang pelarian dari Kerajaan Kadiri pada kisaran tahun 9 Masehi silam. Candi berukuran 4,2 meter persegi dengan ketinggian saya taksir 5-6 meter. Puncaknya model kemuncak dan berhias relief patung di masing-masing sisinya. Sayangnya, kepala patung-patung itu sudah tiada.

Berada di Selogriyo, serasa berada pada hamparan duplikat surga. Hijaunya rerumputan, dipadu dengan gagahnya perbukitan dengan udara yang sejuk. Meskipun waktu menunjukkan pukul tiga sore, rasa-rasanya kami tak ingin beranjak pulang dan masih ingin berlama-lama disana.
**

Candi Batur, Pemandian Kuno dibukit Sokorini.

Bukit itu bernama Sokorini. Seorang paruh baya bernama Wahyudi memandu kami untuk mendakinya. Siang ini kami berada di Desa Candisari, Windusari. Kami memarkir motor diujung kampung dengan pemandangan sawah nan elok. Dari situ, kami harus mendaki bukit sepanjang sekira setengah kilometer. Jalannya sudah dipaving sehingga memudahkan pendakian. Jangan mencoba nekat mengendarai motor ke atas jika tidak ingin terpeleset ataupun terpelanting. Jalan setapak ini memiliki elevasi hingga 45 derajat. Setiap jengkal kaki melangkah adalah ngos-ngosan yang tiada terkira. Dalam hati saya berharap berat badan saya bisa turun 2 Kg setelah acara selesai.
 
Setelah melewati belantara dengan beberapa selingan bambu petung dan beberapa rebungnya, kami sampai di lokasi kunjungan. Saya mengira lokasi itu adalah sebuah makam. Tapi saya salah. Namanya Candi Batur. Di puncak bukit ini kami bisa menemukan reruntuhan puing batu candi dengan beberapa diantaranya tampak bermotif batu hias (antefiks). Mameth Hidayat, seorang peserta menunjukkan kepada saya bahwa ada sebuah pintu gerbang menghadap ke barat. Namanya makara dengan ciri dua buah patung penjaga pintu.
 
Suasana Candi Batur

Puing bebatuan candi

Salah satu makara
Berdasarkan penuturan Wahyudi, ada dua versi cerita yang berkembang. Yang pertama adalah bahwa candi ini merupakan candi utuh yang sudah runtuh, dan yang kedua adalah pendapat yang menyatakan bahwa lokasi ini merupakan sebuah pemandian kuno. Saya pun berdecak kagum. Pendapat kedua dikuatkan dengan diketemukannya sisa-sisa talang air yang terbuat dari batu, berlokasi sekitar 30 meter dari lokasi utama dan tampak berhulu dari bukit dibelakangnya.
Talang air kuno

Dari atas bukit ini, dapat terlihat pemandangan Magelang hingga Temanggung Raya. Pikiran saya pun menerawang jauh saat orang-orang dahulu bermandi ria disini dengan berbahagia karena bisa mandi sekaligus melihat pemandangan indah dan mempesona. Amazing!

**

Benda-benda bersejarah berserakan di Bandongan
 
Kepala Desa Banyuwangi, H. Djahuri bersama Bagus Priyana
 “Saya sangat berterimakasih dan mengapresiasi kedatangan bapak ibu, adek-adek, mas dan mbak-mbak rekan-rekan komunitas Kota Toea Magelang ke tempat kami” Pak Haji Djahuri, Kepada Desa Banyuwangi Kecamatan Bandongan pagi ini menyambut kami di tempat kerjanya. Pria berusia sekitar 60 tahun tersebut didampingi beberapa perangkat desa untuk memperlihatkan koleksi benda-benda bersejarah yang diketemukan dilingkungan desanya.

“Tanggal 21 Januari 2015 lalu benda-benda ini mulai disimpan di balai desa untuk menghindari pencurian dan pengrusakan” sambungnya mengawali cerita singkat tentang benda koleksinya. Ada sekurangnya 7 buah Yoni berbagai ukuran serta beberapa batu candi, ada yang kotak dan ada yang bulat. Yoni yang terbesar belum sanggup dimasukkan ke ruangan karena saking beratnya. Bagian cerat yoni itu sudah rusak. Kemungkinan besar karena sudah dicuri orang.
 
Saya berjumpa dengan Pak Kholiq, seorang pegawai kantor setempat yang berujar bahwa benda-benda ini ditemukan tidak hanya di persawahan saja. Ada yang ditengah perkampungan juga dikebun-kebun. Dia juga meyakini bahwa masih banyak benda-benda lain yang kini masih belum ditemukan. Dia juga berharap bahwa benda-benda tersebut meski sudah terdaftar pada Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jateng, tetapi akan tetap disimpan di kantor desa Banyuwangi sehingga bisa dijadikan ikon desa . “Supaya anak cucu kita tahu dan bisa melihat langsung bahwa disini ditemukan benda-benda bersejarah ini” tutupnya.
 
**

Di desa Trasan masih di kecamatan yang sama, ada sebuah rumah yang biasa disebut dengan rumah gobyok. Rumah itu mengadopsi model jengki dengan suasana jawa yang lebih kental. Halamannya hijau nan rimbun dengan berbagai tanaman. Beberapa patung menghiasi depan rumah itu dan Patung Diponegoro menunggang kuda menjadi satu yang paling ikonik.
 
Patung Diponegoro di depan Rumah Perjuangan
 
Rumah bercat kuning itu milik Begawat Gita, pria berusia 50 tahun itu menyambut kami dalam suasana khas tempo dulu. Bagian teras rumah yang luas bisa menampung kami yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Ada banyak lukisan tertempel pada bagian tembok kanan kiri. Menu-menu tradisional dihidangkan pada beberapa set meja kursi antik.

“Rumah ini adalah rumah perjuangan” ujarnya. Rumah peninggalan kakeknya itu dibangun pada kisaran 1920. Kakeknya yang saat itu menjadi lurah menjadikan bangunan itu aman dari serangan musuh. Tentu saja, karena saat itu rumah lurah juga berfungsi sebagai kantor desa. Bangunan itu dari awal hingga saat ini tidak mengalami perubahan bentuk. Hanya penggantian tembok yang dahulu dari kayu diganti dengan semen. Selain itu, termasuk tata letak perabotan rumah tangga seperti meja dan lain-lain tidak pernah dirubah. Begawat menuturkan bahwa pada masa agresi Belanda, rumah ini dijadikan markas oleh para gerilyawan yang berkumpul setiap malamnya untuk mengatur strategi.

Berdasar informasi yang saya peroleh juga, rumah gobyok ini sudah terdaftar sebagai Benda Cagar Budaya pada Pemerintah Kabupaten Magelang sejak tahun 2009. Rumah ini merupakan bukti perjuangan rakyat dalam melawan penjajahan.

**
Bagi anda pecinta sejarah, jika berkunjung ke Bandongan jangan ragu untuk mampir di Masjid Baitul Muttaqin di Desa Trasan. Lokasinya tidak jauh dari rumah perjuangan. Sekilas dari depan masjid ini memiliki model hampir sama dengan Masjid Agung Kota Magelang. Bagian atap serambinya mirip. Saat ini masjid terlihat bersih dan modern. Tapi siapa sangka, saat memasuk ruangan utama, kita akan dibuat terheran-heran.
 
Bagian dalam Masjid Tiban
Disana terdapat 16 tiang atau saka penyangga terbuat dari kayu. Satu tiangnya berdiameter sekitar 15 centimeter. Tiang warna cokelat itu malang melintang membuat ruangan terasa sempit. Salah satu tiang penyangga yang terlihat tidak mulus diyakini sebagai tiang tatal yang dibuat dari kayu kecil-kecil yang disatukan. Selain itu, terdapat mimbar dengan gaya jawa kuno yang masih terkontaminasi model India. Mimbar itu mirip singgasana dengan tanpa penutup kaki saat khotib berkhutbah. “Mimbar kayu ini masih asli. Hanya saja bagian bawah sudah disemen karena sudah rapuh” begitu ungkap seorang pemandu. Mimbar itu berada menjorok pada shaf dua.

Berdasar cerita warga, masjid ini juga sering disebut dengan masjid tiban. Karena tidak diketahui siapa yang membangun. Kisah turun-temurun menyebutkan bahwa Walisongo diyakini berperan dalam pembangunannya. Bagian utama masjid hingga sekarang dipertahankan bentuk aslinya. Begitu juga dengan bedug dan kentongan juga masih asli. Tidak ketinggalan, mustoko alias kubah masjid yang terbuat dari tanah liat itu juga masih asli.

Tradisi yang berkembang pada masyarakat setempat adalah malam selikuran. Selikuran yang berarti dua puluh satu adalah  saat menyambut malam ke 21 pada bulan ramadhan. Jamaah yang yang hadir pun tidak jarang yang datang dari luar kota. Saat perayaan itu, dihalaman masjid akan ditemui bermacam pedagang makanan dan minuman untuk sahur.

Satu lagi kisah unik tentang masjid ini adalah konon masjid ini dahulu tidak berlokasi ditempat yang sekarang ini melainkan pernah digeser secara ghaib sekitar 200 meter dalam suatu malam. Percaya?

Peserta berfoto bersama di depan Masjid Tiban

Keterangan :
Posting ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Visit Jawa Tengah 2015 dengan tema "Cagar Budaya Jateng" dan dinyatakan sebagai pemenang.


Djeladjah Sitoes dan Tjandi #4 Bersama Komunitas Kota Toea Magelang
Daftar Kunjungan
1)    Kantor Kepala Desa Banyuwangi (08.00-08.45)
2)    Rumah Perjuangan Begawat Gita (08.45-09.30)
3)    Masjid Tiban Trasan (09.30-10.00)
4)    Situs Watu Gong (10.00-10.15)
5)    Situs Yoni Tergelimpang, Kalegen (10.45)
6)    Candi Batur (11.30 – 12.30)
7)    Candi Selogriyo (13.00 – 15.00)
 

Foto lainnya :

Bagus Priyana memberikan briefing


Para peserta berfoto sebelum berangkat
Watu Gong di Trasan, Bandongan
Pemandangan selama jelajah

Yoni dipinggir jalan



Salah satu rute jelajah
 
Gapuro ticket masuk Candi Selogriyo



Bagus Priyana, Laras, Tony dan Saya

Anak tangga menuju Candi Selogriyo


Peserta jelajah berfoto dengan latar belakang Selogriyo

Read More..

Friday, March 20, 2015

Pernah Menonton Layar Tancap?



Layar Tancap. Source : https://alfiansyafril.files.wordpress.com

Sore itu cuara begitu cerah, sebuah tanah lapang yang berada disebelah utara masjid dan makam tampak sudah bersih. Disapu oleh para santri. Sebuah kain putih terpampang menghadap ke kursi penonton yang jumlahnya kira-kira 500 kursi. Separuh untuk laki-laki dan sisanya untuk santri putri. Kain putih itu berukuran sekitar 3 x 6 meter. Terpasang tegak berdiri dengan terikat pada dua buah bambu yang ditancapkan ditanah secara temporer. Saya dan teman-teman yang kala itu masih duduk dibangku SD, kegirangan menanti dimulainya film layar lebar di kampung kami. Meskipun penayangannya masih lama.

Peristiwa itu saya ingat terjadi di kisaran tahun 1997-1999 yang lalu. Sayangnya saya lupa tepatnya kapan. Pondok Pesantren Pabelan yang kebetulan berada tepat didepan rumah saya, saat itu setiap tahunnya selalu memutar film layar tancap. Kegiatan itu merupakan salah satu rangkaian dalam perayaan ulang tahun pesantren yang biasanya jatuh pada bulan Agustus.

Malam itu jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, artinya setengah jam lagi film akan dimulai. Tampak para santri dan pengasuh pondok pesantren sudah duduk dikursinya masing-masing. Kami yang sebagai warga kampung kiri-kanan pondok dipersilahkan menonton dan duduk dikursi (apabila masih tersedia) tapi biasanya kami hanya bisa ikut nonton dengan duduk dibebatuan, atau pagar makam, atau teras gedung pondok. Adapun film-film yang diputar adalah film religi, yang saya ingat adalah film tentang Walisongo, juga film dokumenter tentang Ponpes Pabelan. Tontonan gratis ini biasanya mendapatkan apresiasi yang sangat luar biasa. Maklum saja, saat itu pesawat televisi belum sebanyak sekarang. Keluarga saya juga termasuk yang belum punya TV.

Saya tidak begitu ingat mobil yang membawa peralatan film itu berasal dari mana. Mobilnya seperti mobil model L-300 dengan warna putih. Kalau saya boleh usul, sepertinya mobil itu berasal dari pemerintah. Mungkin Departemen Penerangan. Proyektornya dipasang diatasnya dengan pencahayaan yang listriknya dibantu dengan diesel. Jadi kalau nontonnya dibagian belakang, suara diesel cukup mengganggu. Satu hal lagi yang unik adalah, tata suara nya bukan dipasang dibelakang layar, tapi ada di kanan-kiri dan belakang penonton. Dan speaker yang digunakan adalah layaknya speaker konser yang ditata dengan sistem gantung/tumpuk.
Open theatre at Athena, Yunani. (google)

***
Sayangnya, saya hanya menjumpai film layar tancap di Ponpes Pabelan itu hanya sekitar 2-3 kali saja. Setelah krisis moneter, Pondok sudah tidak lagi memutar film layar tancap. Mungkin alasannya adalah biaya sewa yang mahal, juga karena teknologi TV sudah mulai merambah desa-desa sehingga animo masyarakat mulai berkurang.

Kapan nonton layar tancap lagi?


Read More..

Tuesday, March 17, 2015

Jelajah Candi, Mengenang Kejayaan Mataram Kuno di Magelang


Rute dan Spot Kunjungan Djeladjah Tjandi

Bagus Priyana, koordinator Komunitas Kota Toea Magelang (KTM) pagi ini menyambut kami, para peserta kegiatan Djeladjah Tjandi yang berjumlah sekitar 60-an orang di halaman Toko Oleh-oleh Endang Jaya. Briefing kali ini agak istimewa dengan sebuah kejutan berupa hadiah ulang tahun kepada Ryan Adhyatma dan Ekowati Lestari yang sekitaran tanggal tersebut berulang tahun. Pagi ini Minggu 22 Juni 2014 kami bersiap untuk mengikuti event spesial percandian.
Bagus Priyana memberikan briefing
Para peserta berfoto sebelum berangkat
Semua peserta menggunakan sepeda motor dengan tanda khusus yang dipasang dibagian belakang. Sekitar setengah sembilan pagi kami berangkat dari Mertoyudan melewati Jembatan Blondo dan masuk perkampungan Pare hingga Mangunsari Sawangan. Memang sengaja rute kali ini di desain tidak melalui jalan utama dengan alasan kenyamanan mengingat jalur utama Blabak-Sawangan sedang diperbaiki.
 
Sesampainya di kawasan Tlatar, kami mulai mengunjungi spot pertama. Candi Lumbung namanya. Secara administratif ada di Dusun Tlatar Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan. Sebagai orang Magelang saya merasa gagal karena baru ini saya tahu ada percandian di sekitar Tlatar. -___- secara fisik bangunan dengan tinggi sekitar 7 meter ini menjulang dengan konstruksi cukup lengkap. Seorang petugas kebersihan kemudian saya hampiri. “Candi ini dulu ada di tepi Sungai Apu mas. Karena waktu itu sedang dilanda banjir lahar dari Merapi, akhirnya Candi berangsur dipindah kesini” wow! Ini informasi yang benar-benar baru saya ketahui. “Sekitar 3-4 tahunan yang lalu mas” tutupnya menjelaskan kapan Candi ini berpindah.

Pak Narwan siang ini juga menyempatkan berpidato dengan geguritan ciptaannya. “Wis Tumeko Titi Wancine” judul puisi berbahasa jawa itu. Sembari berdiri di tangga candi, Pak Narwan membacakan puisi itu dengan semangat. Kami pun trenyuh dibuatnya :)
Pak Narwan Sastra Kelana

Oleh Indra Oktora, kami dipandu berkeliling Candi ini. Dia yang juga pengurus Komunitas Watu Magelang, menjelaskan secara detail arti-arti relief yang ada di sekujur tubuh candi. Mengenai penamaan, kemungkinan berasal dari penyebutan masyarakat sekitar yang menganggap candi ini sebagai lumbung padi/tempat menyimpan padi. Memang, konstruksi dibagian tengah bawah, dijumpai semacam lubang sumur kebawah. “Hal ini berkaitan dengan kepercayaan Hindu yang menganggap sumber air sebagai tempat pemujaan kepada Dewa” papar Indra.

Indra Oktora

Beberapa relief yang bisa ditemui adalah motif burung kakaktua dan Ghana. Ghana ini merupakan makhluk kerdil penyangga candi yang bisa kita temui dibeberapa sisi terutama di kaki candi. Ini sekaligus menjawab pertanyaan saya dalam ekspedisi saya ke Candi Tegowangi Kediri beberapa waktu lalu
 
Tidak sampai 1 kilometer dari tempat semula, kami berpindah ke lokasi Candi Asu. Candi ini relatif lebih kecil daripada Candi Lumbung. Suatu hal yang mengherankan kenapa candi ini dinamakan Candi Asu. Satu versi yang saya tahu adalah bahwa disekitar candi ini dahulu diketemukan sebuah patung Nandi/Sapi yang oleh penduduk sekitar dianggap sebagai patung anjing (jawa : asu). Melihat sekilas bentuk candi, candi ini terlihat minim relief. Anjar Nurhadi menjelaskan kepada saya selanjutnya bahwa batu-batu tanpa relief tersebut adalah batu yang disusun menyesuaikan bentuk aslinya tanpa dipahat sehingga hanya digunakan sebagai pendukung bentuk candi. Istilahnya batu alusan alias bukan batu candi asli yang kemungkinan telah hancur/belum ditemukan. Sedangkan relief yang masih bisa dijumpai sebagian besar adalah relief sulur tumbuhan.

 
Beruntung, kami juga disambut oleh Pak Ismanto. Seniman pahat batu lereng merapi ini menyambut kami dengan berorasi. Pembawaannya yang humoris membuat saya berasa nonton Stand Up Comedy. Hehehe. Pesan-pesan yang dia sampaikan antara lain bahwa dia mengapresiasi kegiatan-kegiatan KTM, kemudian Candi ini memberi inspirasi dan menguatkan toleransi antar umat beragama.
Pak Ismanto

Selanutnya kami harus berjibaku melalui perkebunan jati dan persawahan untuk sampai di Candi Pendem. Setelah menyelesaikan trek dengan jalan kaki barang 800 meter, sebuah candi tampak terpendam dicekungan tanah. Benar saja, bagian atas candi terlihat sejajar dengan tanah disekitarnya. Saya yakin-seyakinnya bahwa inilah alasan kenapa disebut dengan Candi Pendem. Suasana disini benar benar asri. Tanpa kebisingan, polusi, dan suasana hijaunya persawahan menambah krasan beristirahat disini. Dilihat dari bentuk candinya, terlihat bahwa bagian atas candi sepertinya telah hilang/rusak sehingga bentuk yang tersisa hanyalah bagian bawah candi saja. Satu yang belum digarap oleh pemerintah adalah membangun jalan akses ke tempat wisata ini.
Candi Pendem

Ketiga candi yang kami kunjungi di kawasan Tlatar diatas menurut penuturan Bagus Priyana berkaitan dengan pendharmaan Bathara Talingsingan. (mungkin) seorang tokoh penting pada masanya. Hingga hari ini, masih bisa dijumpai nama sungai Talingsingan disekitar tempat tersebut. Indra Oktora juga menjelaskan kepada saya perihal orientasi candi yang sama-sama membelakangi Gunung Merapi. Tampaknya, arah ini berkaitan dengan ibadah yang mana akan membuat orang yang masuk candi akan menghadap ke Gunung Merapi yang merupakan tempat tinggal para Dewa.

**
Air mineral ditangan saya semakin berkurang. Siang ini cuaca lumayan terik dan dehidrasi tidak tertahankan. Menjelang siang, kami menelusur jalur-jalur Kecamatan Dukun hingga masuk ke Kota Muntilan. Rombongan akhirnya sampai di Kawasan Salam untuk berkunjung ke Candi Losari.

Ditengah hamparan perkebunan salak, Halimah menyapa kami. Wanita berjilbab itu adalah petugas dari Badan Pelestari Cagar Budaya (BPCB) Jateng. Sebuah jalan kon-block selebar lima meteran telah dibangun membelah pepohonan salak menuju ke Candi.  Papan informasi, pos jaga, dan fasilitas ini terlihat belum lama dibangun. Masih kelihatan baru.
Halimah

Candi Losari tampak memprihatinkan. Kompleks percandian dengan satu candi induk dan tiga candi perwara ini terlihat tergenang air disebuah bekas galian tanah dengan kisaran kedalaman 5 meter. Padahal diatas candi telah dibangun atap dengan konstruksi baja ringan. “Kami telah membangun atap ini dengan harapan candi tidak akan kehujanan sehingga air tidak menggenang. Namun rupanya air tanah lebih deras dari yang kami perkirakan” ucap Halimah. Benar saja, candi induk yang terlihat masih belum direkonstruksi itu tampak setengahnya saja. Pun begitu dengan ketiga candi perwara lainnya.
 
Halimah menjelaskan bahwa tahun 2004 silam, Badri sang pemilik kebun sedang membuat parit hingga pekerjaannya tanpa sengaja menemukan batu-batuan candi yang dikumpulkan dirumahnya. Melihat banyaknya batuan candi yang ditemukan, akhirnya dilaporkan kepada pihak yang berwenang. Ekskavasi akhirnya dilakukan bertahap hingga sekitar tahun 2010. Salah satu candi perwara kabarnya ditemukan dalam kondisi yang prima. Eh, maksud saya dalam kondisi utuh. Mengenai jenis candi, perkiraan sementara candi ini adalah bangunan peribadatan agama Hindu yang dibangun sekitar abad 8-9 Masehi. Hal itu dilihat dari ukir-ukiran relief serta bentuk candi dengan kemuncak yang mengindikasikan corak candi Hindu. Satu yang menarik dipaparkan oleh Edi Purnomo, seorang peserta aktif di KTM. Dia memperlihatkan kepada saya bahwa lapisan tanah yang terlihat pada dinding galian terlihat tiga lapis. Hal ini menandakan bahwa para candi di sekitar Magelang ini umumnya pernah terpendam oleh letusan dahsyat Gunung Merapi sebanyak tiga kali.
Kondisi Candi Losari per Juni 2014

Djeladjah Tjandi kali ini benar-benar tidak mengenal lelah. Kami sampai di kawasan Bukit Canggal/Bukit Wukir dan memarkir motor dipelataran rumah warga untuk kemudian melakukan pendakian bukit. Sekitar 15 menit kami berjalan kaki menanjak hingga kaki terasa pegal-pegal. Akhirnya semua terbayar. Sebuah tempat lapang diatas bukit ini memiliki kompleks percandian yang selama ini kita kenal dengan nama Candi Gunung Wukir.
Pendakian bukit Canggal
Setidaknya ada tiga candi perwara dengan konstruksi 30-40 persen utuh. Salah satunya berisi Patung Nandi. Sedangkan pada candi induk, sebuah yoni besar tampak gagah sebagai titik utama peribadatan. Lingganya kini sudah tidak ada. Prasasti Canggal yang bertarikh 732 Masehi ditemukan ditempat ini. Dalam prasasti itu diceritakan tentang Raja Sanjaya yang gagah berani mengalahkan musuh-musuhnya. Dengan kharismanya dan sebagai simbol atas prestasinya, Sanjaya kemudian membangun sebuah lingga di atas bukit Kunjarakunja. Pikiran saya langsung tertuju ke masa lalu dimana Sanjaya, Raja pertama Mataram Kuno dahulu membangun tempat ini sekitar 1300 tahun yang lalu! Amazing!
 

Salah satu candi perwara yang kondisinya paling baik
Dengan demikian, saya langsung menjadi bangga atas Magelang yang menyimpan sejarah luar biasa. Bukti bukti ilmiah ini semakin meyakinkan bahwa Magelang dahulunya pernah menjadi pusat kerajaan yang sangat termasyhur tersebut.

Hari semakin sore, kami mesti menyelesaikan satu kunjungan terakhir. Di selatan Kota Muntilan, kami bisa jumpai Candi Ngawen. Dari penampakannya, candi ini terlihat paling eksotis, paling besar, dan paling indah daripada candi-candi yang telah kami kunjungi. Namun satu yang membedakan. Candi terakhir ini bercorak candi Budha. Tiga candi induk dengan dua candi perwara terlihat dalam kondisi cukup rusak. Hanya satu candi yang terlihat masih utuh. Direlung candi terlihat patung Sang Buddha bersila dalam posisi Ratnasambawa. Indra Oktora kemudian juga menjelaskan tentang relief Ghana yang jumlahnya banyak mengitari menyangga atap candi. Luar biasa istimewa!
Candi Ngawen
 
Candi Ngawen ini memang jarang terekspose. Dalam literatur-literatur kuno, kemungkinan candi ini diistilahkan dengan Venuvana alias hutan bambu. Candi ini digunakan sebagai tempat ibadah pemeluk Buddha bersama dengan Candi Mendut, Pawon dan Borobudur.

Akhirnya, sekitar pukul tiga sore jelajah kami ditutup. Saya kemudian menyimpulkan bahwa Magelang dengan keindahannya, kesejukannya, keistimewaan geografisnya, ternyata memiliki banyak peninggalan percandian. Candi Buddha dan Hindu berdamping-dampingan menandakan toleransi umat beragama waktu itu terbina sangat baik. Bisa dibayangkan, Mataram Kuno saat itu hidup damai, rukun dan rakyatnya sejahtera sebelum akhirnya harus luluh lantak akibat meletusnya Gunung Merapi pada sekitar tahun 1006 Masehi. :)


Keterangan :
Posting ini di re-post dan diikutsertakan dalam Lomba Blog Visit Jawa Tengah 2015 dengan tema "Cagar Budaya Jateng". Kalau kamu ingin ikutan lomba ini, caranya gampang, kok! Silakan langsung klik gambar dibawah ini untuk informasi selengkapnya ;)


Read More..
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...