Panorama
Selogriyo, Duplikat Surga
Langit
tampaknya tidak begitu bersahabat siang ini, Sabtu (21/3/2015). Setelah shalat
dhuhur di masjid kampung setempat, kami segera melangkahkan kaki untuk memulai
trekking ke Candi Selogriyo. Candi itu terletak disebuah bukit yang bisa
dikatakan berada di lereng Sumbing. Jarak tempuh kami dari parkiran motor
sekitar 1,5 Km. Gerimis menyambut kami sesaat setelah saya berempat bersama
Bagus Priyana, Laras, dan Tintony. memulai perjalanan. Kami merupakan rombongan yang tersisa
dari sekitar 100-an anggota jelajah. Oleh Bagus Priyana – yang merupakan
koordinator komunitas, kami diarahkan melalui jalur bawah yang melewati lembah.
“Turis-turis biasa dilewatkan oleh kru dari Amanjiwo melewati jalur ini. Lebih seru
dan menantang”. Katanya untuk mengiming-imingi kami.
Setelah
kami memakai jas hujan, jalan-jalan becek menyambut kami. Pematang sawah adalah
menu utama, selain galuran – sebuah jalan
kerbau yang licin dan berlumpur. Gemericik air sungai menemani kami sepanjang
perjalanan dengan hamparan panorama epik perbukitan Giyanti. Akhirnya kami
sampai di pelataran Candi Selogriyo hampir berbarengan dengan rombongan yang
melewati jalur utama. Jalannya sudah dikonblok dan melewati lereng bukit.
Mungkin
mereka sudah lelah dan lapar. Sebuah warung yang berada disebelah candi sudah
dibooking dan kami kebagian makan siang gratis dengan menu pecel. Antrinya mirip
pembagian daging kurban. Saya mengalah dengan memesan segelas kopi saja. Toh saya
juga masih bawa bekal dua potong roti sekedar untuk menahan lapar. Siang ini,
Selogriyo cukup cerah, beda dengan suasana sepanjang trekking. Candi ini
terlihat diikat dengan tali pengaman. Pasca perbaikan 2008 silam, dinyatakan
bahwa kondisi tanah di sekitar candi ini labil dan juga rawan longsor. Oleh BPCB
– selaku pengelola akhirnya bagian tubuh candi diperkuat dengan tali dengan
harapan tidak mudah rubuh.
Candi
Hindu ini berada di ketinggian 704 mdpl dan secara administratif berada di Desa
Kembangkuning Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang dan ditemukan oleh
Residen Kedu pertama, Hartsman pada 1835. Menurut cerita yang berkembang candi
dengan arti rumah dari batu ini merupakan candi yang dibangun oleh orang-orang
pelarian dari Kerajaan Kadiri pada kisaran tahun 9 Masehi silam. Candi berukuran
4,2 meter persegi dengan ketinggian saya taksir 5-6 meter. Puncaknya model
kemuncak dan berhias relief patung di masing-masing sisinya. Sayangnya, kepala
patung-patung itu sudah tiada.
Berada
di Selogriyo, serasa berada pada hamparan duplikat surga. Hijaunya rerumputan,
dipadu dengan gagahnya perbukitan dengan udara yang sejuk. Meskipun waktu
menunjukkan pukul tiga sore, rasa-rasanya kami tak ingin beranjak pulang dan
masih ingin berlama-lama disana.
**
Candi
Batur, Pemandian Kuno dibukit Sokorini.
Bukit
itu bernama Sokorini. Seorang paruh baya bernama Wahyudi memandu kami untuk
mendakinya. Siang ini kami berada di Desa Candisari, Windusari. Kami memarkir
motor diujung kampung dengan pemandangan sawah nan elok. Dari situ, kami harus
mendaki bukit sepanjang sekira setengah kilometer. Jalannya sudah dipaving
sehingga memudahkan pendakian. Jangan mencoba nekat mengendarai motor ke atas
jika tidak ingin terpeleset ataupun terpelanting. Jalan setapak ini memiliki
elevasi hingga 45 derajat. Setiap jengkal kaki melangkah adalah ngos-ngosan
yang tiada terkira. Dalam hati saya berharap berat badan saya bisa turun 2 Kg
setelah acara selesai.
Setelah
melewati belantara dengan beberapa selingan bambu petung dan beberapa
rebungnya, kami sampai di lokasi kunjungan. Saya mengira lokasi itu adalah
sebuah makam. Tapi saya salah. Namanya Candi Batur. Di puncak bukit ini kami
bisa menemukan reruntuhan puing batu candi dengan beberapa diantaranya tampak
bermotif batu hias (antefiks). Mameth Hidayat, seorang peserta menunjukkan
kepada saya bahwa ada sebuah pintu gerbang menghadap ke barat. Namanya makara
dengan ciri dua buah patung penjaga pintu.
Berdasarkan
penuturan Wahyudi, ada dua versi cerita yang berkembang. Yang pertama adalah
bahwa candi ini merupakan candi utuh yang sudah runtuh, dan yang kedua adalah
pendapat yang menyatakan bahwa lokasi ini merupakan sebuah pemandian kuno. Saya
pun berdecak kagum. Pendapat kedua dikuatkan dengan diketemukannya sisa-sisa
talang air yang terbuat dari batu, berlokasi sekitar 30 meter dari lokasi utama
dan tampak berhulu dari bukit dibelakangnya.
Talang air kuno |
Dari
atas bukit ini, dapat terlihat pemandangan Magelang hingga Temanggung Raya. Pikiran
saya pun menerawang jauh saat orang-orang dahulu bermandi ria disini dengan
berbahagia karena bisa mandi sekaligus melihat pemandangan indah dan mempesona.
Amazing!
**
Benda-benda
bersejarah berserakan di Bandongan
“Saya sangat berterimakasih dan mengapresiasi
kedatangan bapak ibu, adek-adek, mas dan mbak-mbak rekan-rekan komunitas Kota
Toea Magelang ke tempat kami” Pak Haji Djahuri, Kepada Desa Banyuwangi
Kecamatan Bandongan pagi ini menyambut kami di tempat kerjanya. Pria berusia
sekitar 60 tahun tersebut didampingi beberapa perangkat desa untuk
memperlihatkan koleksi benda-benda bersejarah yang diketemukan dilingkungan
desanya.
“Tanggal
21 Januari 2015 lalu benda-benda ini mulai disimpan di balai desa untuk
menghindari pencurian dan pengrusakan” sambungnya mengawali cerita singkat
tentang benda koleksinya. Ada sekurangnya 7 buah Yoni berbagai ukuran serta
beberapa batu candi, ada yang kotak dan ada yang bulat. Yoni yang terbesar
belum sanggup dimasukkan ke ruangan karena saking beratnya. Bagian cerat yoni
itu sudah rusak. Kemungkinan besar karena sudah dicuri orang.
Saya
berjumpa dengan Pak Kholiq, seorang pegawai kantor setempat yang berujar bahwa
benda-benda ini ditemukan tidak hanya di persawahan saja. Ada yang ditengah
perkampungan juga dikebun-kebun. Dia juga meyakini bahwa masih banyak
benda-benda lain yang kini masih belum ditemukan. Dia juga berharap bahwa
benda-benda tersebut meski sudah terdaftar pada Balai Pelestarian Cagar Budaya
(BPCB) Jateng, tetapi akan tetap disimpan di kantor desa Banyuwangi sehingga
bisa dijadikan ikon desa . “Supaya anak cucu kita tahu dan bisa melihat
langsung bahwa disini ditemukan benda-benda bersejarah ini” tutupnya.
**
Di
desa Trasan masih di kecamatan yang sama, ada sebuah rumah yang biasa disebut
dengan rumah gobyok. Rumah itu mengadopsi model jengki dengan suasana jawa yang
lebih kental. Halamannya hijau nan rimbun dengan berbagai tanaman. Beberapa patung
menghiasi depan rumah itu dan Patung Diponegoro menunggang kuda menjadi satu
yang paling ikonik.
Rumah
bercat kuning itu milik Begawat Gita, pria berusia 50 tahun itu menyambut kami
dalam suasana khas tempo dulu. Bagian teras rumah yang luas bisa menampung kami
yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Ada banyak lukisan tertempel pada bagian
tembok kanan kiri. Menu-menu tradisional dihidangkan pada beberapa set meja
kursi antik.
“Rumah
ini adalah rumah perjuangan” ujarnya. Rumah peninggalan kakeknya itu dibangun
pada kisaran 1920. Kakeknya yang saat itu menjadi lurah menjadikan bangunan itu
aman dari serangan musuh. Tentu saja, karena saat itu rumah lurah juga
berfungsi sebagai kantor desa. Bangunan itu dari awal hingga saat ini tidak
mengalami perubahan bentuk. Hanya penggantian tembok yang dahulu dari kayu
diganti dengan semen. Selain itu, termasuk tata letak perabotan rumah tangga
seperti meja dan lain-lain tidak pernah dirubah. Begawat menuturkan bahwa pada masa
agresi Belanda, rumah ini dijadikan markas oleh para gerilyawan yang berkumpul
setiap malamnya untuk mengatur strategi.
Berdasar
informasi yang saya peroleh juga, rumah gobyok ini sudah terdaftar sebagai
Benda Cagar Budaya pada Pemerintah Kabupaten Magelang sejak tahun 2009. Rumah ini
merupakan bukti perjuangan rakyat dalam melawan penjajahan.
**
Bagi
anda pecinta sejarah, jika berkunjung ke Bandongan jangan ragu untuk mampir di
Masjid Baitul Muttaqin di Desa Trasan. Lokasinya tidak jauh dari rumah
perjuangan. Sekilas dari depan masjid ini memiliki model hampir sama dengan
Masjid Agung Kota Magelang. Bagian atap serambinya mirip. Saat ini masjid
terlihat bersih dan modern. Tapi siapa sangka, saat memasuk ruangan utama, kita
akan dibuat terheran-heran.
Disana
terdapat 16 tiang atau saka penyangga terbuat dari kayu. Satu tiangnya
berdiameter sekitar 15 centimeter. Tiang warna cokelat itu malang melintang
membuat ruangan terasa sempit. Salah satu tiang penyangga yang terlihat tidak
mulus diyakini sebagai tiang tatal yang dibuat dari kayu kecil-kecil yang
disatukan. Selain itu, terdapat mimbar dengan gaya jawa kuno yang masih
terkontaminasi model India. Mimbar itu mirip singgasana dengan tanpa penutup
kaki saat khotib berkhutbah. “Mimbar kayu ini masih asli. Hanya saja bagian
bawah sudah disemen karena sudah rapuh” begitu ungkap seorang pemandu. Mimbar itu
berada menjorok pada shaf dua.
Berdasar
cerita warga, masjid ini juga sering disebut dengan masjid tiban. Karena tidak
diketahui siapa yang membangun. Kisah turun-temurun menyebutkan bahwa Walisongo
diyakini berperan dalam pembangunannya. Bagian utama masjid hingga sekarang
dipertahankan bentuk aslinya. Begitu juga dengan bedug dan kentongan juga masih
asli. Tidak ketinggalan, mustoko alias kubah masjid yang terbuat dari tanah
liat itu juga masih asli.
Tradisi
yang berkembang pada masyarakat setempat adalah malam selikuran. Selikuran yang
berarti dua puluh satu adalah saat
menyambut malam ke 21 pada bulan ramadhan. Jamaah yang yang hadir pun tidak
jarang yang datang dari luar kota. Saat perayaan itu, dihalaman masjid akan
ditemui bermacam pedagang makanan dan minuman untuk sahur.
Satu
lagi kisah unik tentang masjid ini adalah konon masjid ini dahulu tidak
berlokasi ditempat yang sekarang ini melainkan pernah digeser secara ghaib
sekitar 200 meter dalam suatu malam. Percaya?
Peserta berfoto bersama di depan Masjid Tiban |
Keterangan :
Posting ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Visit Jawa Tengah 2015 dengan tema "Cagar Budaya Jateng" dan dinyatakan sebagai pemenang.
Djeladjah
Sitoes dan Tjandi #4 Bersama Komunitas Kota Toea Magelang
Daftar
Kunjungan
1)
Kantor
Kepala Desa Banyuwangi (08.00-08.45)
2)
Rumah
Perjuangan Begawat Gita (08.45-09.30)
3)
Masjid
Tiban Trasan (09.30-10.00)
4)
Situs
Watu Gong (10.00-10.15)
5)
Situs
Yoni Tergelimpang, Kalegen (10.45)
6)
Candi
Batur (11.30 – 12.30)
7)
Candi
Selogriyo (13.00 – 15.00)
Foto lainnya :
Watu Gong di Trasan, Bandongan |
Pemandangan selama jelajah |
Yoni dipinggir jalan |
Salah satu rute jelajah |
Gapuro ticket masuk Candi Selogriyo |
Bagus Priyana, Laras, Tony dan Saya |
Anak tangga menuju Candi Selogriyo |
Peserta jelajah berfoto dengan latar belakang Selogriyo |
Yoni ne tergeletak begitu aja di pinggir jalan!!! Gelo banget gak ikut KTM yang ini, hiks... padahal kan pingin ngerasain gimana rute ajib ke Selogriyo kayak tamu elitnya Amanjiwo >.<
ReplyDeleteSalut dengan kepala desa Banyuwanginya mau menyimpan penemuan dari warga dan ditmapung di balai desa, bukan malah dijual, eh nggak dijual ama mereka kan? :-)
@Koh Halim : Beneran itu mas Yoninya ngglimpang dipinggir jalan. Ada didepan restoran gitu.
ReplyDeleteHehe.. nyesel ya? saya aslinya malah pengen mblusukan solo. Tapi karena satu dua hal, akhirnya saya malah bisanya ikut yang percandian KTM ini. :D Yoni yg di balai desa aman kok, tidak akan dijual katanya :D
aku? dari lampung? hehe
ReplyDelete@Tintony
ReplyDeletebiar keren gituuh :D
Cantik banget pemandangannya.. Masih asri.. Kebayang sejuknya :D
ReplyDelete@Beby : Iya. must visit nih :D Thanks kunjungannya
ReplyDeletePemandangannya sejuk banget dilihatnya. Hijau semua ya mas
ReplyDelete@Yasiryafiat : Iya mas.. suasana nya masih alami. Kalau tertarik silahkan berkunjung :D salam heritage
ReplyDeleteSelamaaat....info di tulisannya lengkap. Bikin pembacanya mupeng ke sana.
ReplyDelete@EdoMita : Iya, mas.. harus segera kesana kalau senggang. Jangan pas musim hujan yak ;)
ReplyDelete