Wednesday, September 17, 2014

Wisata Kuliner di Solo, Berburu Sajian Legendaris

Setelah sebelumnya berangkat ke Solo dengan Kalijaga, kami melanjutkan wisata kami di Solo. Check this out! :)

Tidak lama kami menunggu, mas Ridwan langsung menghampiri kami di depan stasiun. Kelihatannya dia sudah hafal dengan saya. Hehehe.. Sebuah motor Honda Beat warna merah berpindah tangan ke kami lengkap bersama dua helm dengan harga diskon. Maklum pelanggan setia :D.
Mendekati tengah hari, kami segera melajukan beat menuju Jalan Urip Sumoharjo. Saya hendak mencoba beli es krim di Es Krim Tentrem. Ya, setelah memarkir motor kami segera masuk dan rupanya sedang tidak ada pembeli selain kami. Seorang wanita muda berbaju pink menghampiri dan menawarkan daftar menu. “Makan sini atau bawa pulang?” tanyanya. Buka buka daftar menu, akhirnya saya memutuskan memilih Tutti Frutti, sedangkan Tika memilih untuk mencicipi Banana Split. Satu lagi pesanan kami adalah Mandarin Black.
Sembari menunggu, saya mengamati sekeliling. Tampak ada  empat meja panjang yang dikelilingi dengan beberapa kursi rotan, dengan busa sebagai alas duduk. Nyaman :). Masing masing meja disekat dengan sekat ukiran kayu yang artistik. Menurut informasi yang saya peroleh, es krim ini merupakan salah satu es krim legendaris di nusantara yang sudah buka sejak 1952. Kini, usaha ini masih dijalankan dengan baik oleh Sulaiman, seorang pengusaha keturunan Tionghoa.
Air es yang seharusnya kami minum sebagai penawar, tiba-tiba langsung kami teguk pertamakali. Bukannya gimana-gimana, kami masih kehausan sejak dari Semarang belum minum apa apa :/ . Yey, es krim-eskrim cantik ini tidak sabar untuk segera masuk ke mulut kami. Citarasa es krim home made memang berbeda. Dengan corak warna yang biasanya tidak “ngejreng” kualitas rasa yang diberikan juga istimewa. Tutti Frutti saya merupakan slice yang cukup besar dengan beberapa potong manisan buah-buahan. Sementara banana splitnya Tika merupakan sepotong pisang yang ditumpuk dengan tiga rasa eskrim, lengkap dengan sebuah satu batang astor. Satu lagi menu Mandarin Black yang disajikan dalam loyang emas tertutup dengan tulisan “Selamat Menikmati”, rasa lapisan merahnya begitu menggoda. Bila saya tidak salah, rasanya kayak rasa Rum Raisin.
Tutti Frutti

Banana Split

Mandari Black


Mandarin Black yang rupanya paling cepat meleleh, seketika langsung kami habiskan, rasanya memang enak, kombinasi antara vanilla, cokelat, dan satu rasa yang saya kurang paham. Hingga akhirnya kami menghabiskan dua porsi kami sampai tidak tersisa. Benar-benar es krim yang mantap dan membuat kami menjadi merasa sangat tentrem :D Untuk urusan harga, disini saya katakan pantas. Untuk tiga pesanan kami diatas, kami hanya membayar Rp. 27,000 saja. Cukup murah kan untuk ukuran es krim legendaris?

**
Tidak jauh dari Es Krim Tentrem, kami arahkan motor menuju parkiran Pasar Gede. Berdasarkan referensi dari blognya mas Halim Santoso, kali ini saya hendak mencoba beberapa rekomendasinya. Begitu masuk ke dalam pasar, kami dibuat bingung untuk mencari keberadaan Nasi Liwet Bu Sri. Rupanya, setelah bertanya pada seorang bapak, Bu Sri membuka lapaknya di trotoar sebelah barat pasar kulon. Sayang seribu sayang, saat kami mendekati banner ijo bertulis Nasi Liwet Bu Sri, ia sedang sibuk menggulung banner dan mengemasi lapaknya. Ah sudahlah, siang ini kami harus mencoba kuliner yang lain.

Berbekal informasi dari seorang tukang parkir, kami dipandu untuk menemukan Warung Timlo Sastro. Dari sekian banyak warung timlo, lokasi ini adalah yang paling terkenal dan legendaries. Lokasinya ada di sebuah pojok kawasan Pasar Gede, siang ini mayoritas pembelinya adalah orang-orang keturunan Tionghoa. Pegawainya adalah anak-anak Pak Sastro yang sebagian besar bapak-bapak dengan cekatan melayani pesanan para pembeli. Baru duduk sekira dua menit saja, pesanan kami dua porsi timlo komplit langsung tersaji di meja. Ini adalah pertamakalinya saya makan timlo. Ternyata sebuah masakan semacam sup kuah kaldu ringan dengan isi daging ayam, sosis yang bentuknya semacam gulungan telor dadar, dilengkapi dengan ati dan ampela. Cara makannya bisa dibarengkan dengan sepiring nasi bertabur bawang goreng. Rasanya, sungguh sedap. :)
Timlo Sastro

Porsi timlo ini disajikan dalam mangkok besar. Terus terang saja, porsi ini terlalu banyak untuk saya yang sedang diet. Tapi tak mengapa lah, toh akhirnya saya bisa menghabiskan. Hehehe.. untuk seporsi Timlo komplit pesanan kami, harga yang dipatok cukup menguras kantong. 18,000 rupiah, nasi putih 4,000 per porsi, dan segelas es teh yang dibanderol 2,500.

Puas makan siang dengan timlo, masih dari referensi Halim Santoso, saya masuk kembali ke Pasar Gede lewat pintu utara dan menemukan Dawet Telasih Bu Dermi. Bannernya mencolok sehingga mudah ditemukan. Bu Dermi terlihat melayani pembelinya sendirian. Pembelinya cukup ramai dengan tempat duduk yang terbatas. Kami, bahkan tidak kebagian tempat duduk dan terpaksa minum sembari berdiri. Dawet yang khas Solo ini berbahan cendol hijau, ketan hitam, dan sedikit gempol (bila saya tidak salah) dengan diguyur santan encer bercampur biji selasih. Rasanya segar dan licin-licin biji selasih menjadikan rasa dawet yang khas. Untuk ukuran dawet pasar, harga yang dipatok saya akui cukup tinggi yakni 7,500 per porsinya.
Dawet Telasih , source : Halim Santoso http://jejak-bocahilang.com/2012/12/04/wisata-kuliner-pasar-gedhe-solo/


Sudah lewat waktu dhuhur, sebelum menuju jadwal selanjutnya, saya ampirkan motor di Masjid Mukmin di dekat Mangkunegaran untuk menunaikan shalat. Selanjutnya kami menggeber Honda beat menuju Solo Square. Tujuan kami kali ini untuk ke Gramedia membeli buku panduan tes CPNS. Jadi ceritanya, Tika sedang mendaftar CPNS dan menunggu pengumuman untuk mengikuti test. Doakan semoga lolos ya para pembaca :)

Nonton Bioskop Murah di The Park XXI

Pukul setengah tiga sore, buku sudah kami dapat. Kami segera mengemudi ke The Park, mall baru di Solo yang ada di kawasan Solo Baru. Akhir-akhir ini di thread forum yang saya ikuti, bioskop XXI yang buka di The Park membanderol tiket dengan harga yang cukup, boleh dibilang sangat murah. Untuk membuktikannya, kami langsung meluncur ke Jl Soekarno Hatta Solo Baru. Parkir motornya, duh, jauuuh. Ada di belakang mall dan harus berjalan kaki sejenak untuk menuju lobbi mallnya.

Dari luar, mall ini terlihat tidak begitu besar. Hanya ada 4 lantai saja. Setelah menemukan Cinema XXI, saya segera menghampiri ticketing. Beruntunglah kami, film Lucy yang ingin kami tonton baru mulai empat menit yang lalu. Tiket untuk hari Minggu ini hanya 25,000 saja. Murah! Oiya, sebagai tambahan salah satu theatre disini juga dibuka sebagai The Premiere dengan HTM yang sangat bersaing. Bayangkan, bila di Jakarta pada hari Minggu HTM The Premiere menyentuh angka 200,000, disini cukup 50,000 saja.

Konsep Cinema XXI dimanapun memang terasa sama. Kualitasnya tidak diragukan lagi. Layar jernih, tata suara yang mantap, dan seat yang nyaman. Film Lucy pun akhirnya lancar menghibur kami Minggu sore ini.

Sekeluarnya kami dari The Park dan belum gelap, setelah shalat, kami akhirnya mendapatkan ide dari browsing untuk sekali lagi kulineran di Solo. Warung Nasi Liwet Bu Sarmi yang ada di Loji Wetan, Jl Kapten Mulyadi menjadi pilihan kami. Warung tenda yang bersebelahan dengan warung susu popular Shi Jack ini menawarkan masakan khas Solo yang disajikan di pincukan daun pisang. Saya memilih lauk paha ayam, sedangkan Tika telor ayam. Mengingat kondisi perut yang sudah agak kenyang, kami tunda untuk mencoba warung susu sebelah.
Nasi liwet merupakan makanan khas Solo berupa nasi yang dimasak dengan santan, dengan sayur kuah jipang, sedikit sareh (santan kental) dan suiran daging ayam. Lauknya bisa dipilih sesuai selera. Untuk soal rasa, berbeda dengan gudeng Jogja yang cenderung manis, Nasi Liwet lebih condong ke agak asin dan gurih. Untuk dua porsi tadi plus dua kerupuk dan dua minum teh dan jeruk, saya harus merogoh kocek agak dalam. Rp. 37,000. Harga yang bagi saya mahal untuk ukuran nasi liwet. Tapi saya berpositif thinking saja karena memang lokasi-lokasi ini merupakan warungnya orang ‘wisata’ sehingga harga yang ditawarkanpun juga harga ‘wisata’.

Akhirnya, pukul tujuh malam kami sampai di depan Terminal Tirtonadi dan motorpun di ambil oleh Mas Ridwan. Kami segera melangkahkan kaki menuju pemberangkatan bus Royal Safari jurusan Semarang. Dengan Rp. 30,000 berdua, kami bisa tidur nyenyak sepanjang perjalanan pulang selama kurang lebih dua jam.

Pukul sepuluh malam kurang sedikit, akhirnya kami kembali sampai di Ungaran dengan selamat. Alhamdulillah jalan-jalan hari ini lancar dan sukses. Iya, sukses menghabiskan uang. 


Credits :

Rental Motor Solo
Hp. 08990515008 

Es Krim Tentrem Solo
Jl Urip Sumoharjo 97 SOLO

Timlo Sastro 
Balong, Jl Kapt Mulyadi
Kawasan Pasar Gede SOLO

Dawet Telasih
Pasa Gede SOLO

Gramedia
Solo Square
Jl Slamet Riyadi
SOLO

Cinema XXI
The Park Mall
SOLO BARU

Nasi Liwet Bu Sarmi
Loji Wetan Jl Kapt Mulyadi
SOLO

Jejak Bocah Ilang - Halim Santoso
Read More..

Deretan Stasiun Stasiun Tua Sepanjang Rute KA Kalijaga


KA Kalijaga, source : http://id.wikipedia.org/wiki/Kereta_api_Kalijaga

Kami mulai gelisah saat bis yang kami tunggu di belakang Pegadaian Ungaran pagi ini belum juga datang. Waktu kelihatannya mulai sangat mepet. Akhirnya, sebuah bis engkel datang dan dengan berdiri, saya dan Tika berhasil diantar ke Stasiun Poncol. Cukup dengan sepuluh ribu saja, pukul setengah sembilan pagi Minggu kemarin (14/9) kami berhasil sampai dengan selamat sentosa!
Ini pertama kalinya saya ke Stasiun Poncol, pun begitu dengan Tika. Setelah barang sesaat kami mengamati tingkah laku orang-orang dan membaca beberapa petunjuk, kami antre di loket penjualan tiket ‘hari ini’. Belum ada dua menit antri, kami dikagetkan dengan pengumuman dari speaker “Kereta Api Kalijaga tujuan Solo Purwosari lima menit lagi akan segera berangkat. Para penonton yang telah memiliki karcis,  penumpang yang masih berada diluar dimohon segera masuk” kira-kira seperti itu bunyinya. Saya pun segera menyodorkan dua KTP kami dan uang pecahan lima puluh ribuan. Tiketpun di proses dengan cepat.

Petugas ticket pass nampaknya sedikit santai. Mungkin muka saya tidak terlihat terburu-buru. Dia mengecap tiket kami dengan sedikit malas disertai obrolan dengan rekannya. Akhirnya, setelah sedikit berjalan cepat, kami masuk di rangkaian gerbong belakang Kereta Kalijaga yang bersiap berangkat di line dua. Akhirnya ;)

Deretan kursi dengan sandaran tegak berwarna hijau menyambut kami. Konfigurasi kursi gerbong ekonomi AC ini dua – tiga. Seperti referensi yang pernah saya baca di ulasannya mbak Azizah, okupansi kereta ini relatif sepi. Begitu juga gerbong pilihan kami. Hanya ada segelintir orang. Kalau saya tidak salah ingat, hanya kami berdua ditambah dengan 5 orang yang duduk terpisah. Lumayan, kaki bisa selonjoran :). Sirine keberangkatan dinyalakan, Kalijaga pun berjalan pelan menuju Stasiun Tawang yang merupakan pemberhentian pertama.
KA Kalijaga dilengkapi dengan colokan listrik. Lumayan untuk cadangan nyawa gadget masakini

Selanjutnya kereta berjalan di kawasan (maaf) kumuh Semarang Utara. Rel membelah tambak-tambak dengan selingan rumah-rumah yang tertata tidak rapi. Saya juga tidak sempat melihat Stasiun Alastua yang biasanya saya lihat dari flyover daerah Bangetayu. Beberapa penumpang tampak mulai mengeluarkan amunisi. Maksud saya, sekedar bekal snack ataupun minuman ringan. Ah, sayang sekali, tadi kami buru-buru sehingga tidak sempat membeli makanan.

Sepanjang jalur ini Kalijaga melewati Stasiun Brumbung yang merupakan percabangan ke arah Surabaya, dengan kecepatan sekitar 50 km perjam, perjalanan melintasi perkampungan di daerah Mranggen, Demak. Oiya, saya memilih untuk duduk mepet kaca sebelah kanan dengan harapan akan mudah melihat stasiun-stasiun yang menurut logika saya, akan banyak ditemui disisi kanan. Saat itu, kereta menembus kawasan Tanggungharjo. Saya tunggu dengan mata membelalak berharap segera melihat stasiun tertua di Indonesia itu, ya, Stasiun Tanggung. Tapi ternyata saya salah, Stasiunnya ada di kiri jalan dan saya tidak sempat melihat, memotret apalagi.
Sebegitu sepi gerbong yang kami tumpangi, sampai bisa dipakai tidur-tiduran :D

Lepas dari Tanggungharjo, pemandangan berangsur berubah, di kiri kanan nampak berhektar-hektar tanaman tembakau dengan selingan beberapa perkampungan kecil dengan gaya rumah yang masih khas hingga suasana berganti. Kini pemandangan berganti terlihat bukit-bukit gersang dengan rupa perkebunan jati. Bila dilihat, sebelah kiri rel terlihat lebih hijau daripada dikanan. Biasaaa… rumput tetangga memang terlihat lebih hijau.

Pemberitahuan menyapa kami sesaat sebelum mencapai Stasiun Kedungjati. Disini kereta akan berhenti untuk menurunkan atau menaikkan penumpang. Voila! Ini dia stasiun yang saya tunggu-tunggu untuk segera saya lihat. Saya berulangkali pindah duduk dari sisi kanan ke sisi kiri atau sebaliknya untuk memastikan stasiun ada di sebelah mana sehingga saya bisa mempersiapkan kamera untuk mengambil sudut yang paling baik.
Stasiun Kedungjati ini berada di kawasan hutan jati. Bila dilihat fasadnya, tampak mirip dengan Stasiun Ambarawa. Atap lengkung yang besar, ruang utama, dan beberapa ruang tunggu khas stasiun indische. Bila saya amati, ada dua emplasemen yang satunya berada di sisi selatan. Saya langsung menduga bahwa itu pasti lokasi rel percabangan menuju ke Ambarawa. “tidak salah lagi!” gumam saya di dalam hati dengan berapi-api.
Mirip kan dengan Stasiun Willem I a.k.a Ambarawa?

Ada satu stasiun bernama Padas yang dilewati oleh Kalijaga, hingga kemudian beberapa saat kemudian kami sampai di daerah Telawa. Pikiran saya masih membayangkan bahwa seharusnya kami sampai di Stasiun Juwangi terlebih dahulu. Eh ternyata setelah browsing-browsing, baru saya kemudian tahu bahwa Stasiunnya Juwangi ya Stasiun Telawa itu. Stasiun ini spesial menurut saya apalagi kondisinya cukup ramai. Berada di kawasan perkebunan jati, beberapa saat sebelum kereta berhenti, nampak pemandangan rumah-rumah bernuansa kolonial. Beruntung saya berhasil melihat satu bangunan ikonik. Sebuah bangunan gagah berwarna putih tulang dengan sedikit sentuhan warna hijau dengan dikelilingi oleh taman yang akhirnya saya ketahui bernama Loji Papak. Berdasarkan informasi yang saya peroleh, gedung ini dahulunya digunakan sebagai kantor dan mungkin rumah dinas untuk mengelola hasil hutan oleh Pemerintah Belanda. Hingga hari ini bangunan itu masih sungguh mempesona.
Loji Papak
Stasiun Telawa
Kalijaga kemudian melanjutkan perjalanan dengan rute menuju arah timur. Saya kurang begitu paham ada berapa stasiun kecil yang dilewatkan hingga kemudian kereta kembali berhenti di Stasiun Gundih. Stasiun ini kelihatannya merupakan stasiun besar. Informasi yang saya himpun, stasiun ini juga merupakan stasiun percabangan dari Solo menuju arah Semarang atau Surabaya. Sebenarnya, ada gedung depo lokomotif yang hingga hari ini kondisinya tidak terawat.
Stasiun Gundih
Peron Stasiun Gundih
Sebuah bangunan tua di sekitar Stasiun Gundih
Akhirnya kami sampai di stasiun pemberhentian terakhir sebelum memasuki Kota Solo. Salem namanya, lokasinya dekat dengan perempatan Gemolong. 
Stasiun Salem
Untuk selanjutnya kereta berjalan cukup cepat melewati beberapa stasiun kecil dan hanya satu yang saya ingat, Stasiun Kalioso. Saya kemudian mengkonfirmasi rental motor yang akan menjemput saya di Stasiun Solo Balapan. Sebelum turun, kami berjalan ke gerbong paling depan supaya setibanya di Solo Balapan gerbong kami tepat di peron stasiun. Syukurlah, gerbong-gerbong depan tampaknya cukup ramai. Tentu ini menggembirakan. Setelah turun dan menginjakkan kaki, saya dadah-dadah ke Kalijaga yang sebentar lagi melanjutkan perjalanannya ke titik akhir Solo Purwosari. :)

Berdasarkan pantauan saya, kereta api ekonomi ini okupansinya tidak begitu menggembirakan. Berdasar beberapa sumber yang pernah saya baca, secara umum tidak lebih dari 40 % per harinya. Hanya melonjak saat liburan Lebaran. Itupun tak menolong. Bahkan berita terbaru yang saya baca, rute yang hanya sekali sehari pulang pergi dengan jam nanggung ini terancam dilikuidasi. Dalam hemat saya kiranya untuk penjadwalan mungkin bisa diatur lagi supaya tidak 'nanggung', sehingga bisa dijadikan alternatif penglaju Solo - Semarang.

Semoga KA Kalijaga bisa menjadi pilihan moda transportasi yang berkembang, minimal bisa dijadikan agenda wisata menikmati stasiun-stasiun tua di sepanjang rutenya.

KA Kalijaga, top!

Credits :
KA Kalijaga

Noerazhka - Mencoba Kalijaga


Read More..

Friday, September 5, 2014

Bioskop Cinemaxx Membuka Layar Pertamanya di Plaza Semanggi



Tahun-tahun belakangan ini seakan akan industri bioskop di Indonesia menggeliat. Grup pemain besar 21 semakin melebarkan sayapnya hingga ke Jayapura. Beberapa bioskop 21 naik grade menjadi XXI. Sementara itu grup Platinum pendatang baru juga telah membuka empat cabangnya di Indonesia. Terakhir membuka Platinum Artos Magelang akhir Agustus lalu.

Satu lagi pemain yang ditunggu-tunggu berasal dari Grup Lippo. Cinemaxx, dengan tagline-nya big sound, big picture, akhir-akhir ini pemberitaannya sangat massif saya ikuti di thread bioskop forum skyscrapercity. Akhirnya Cinemaxx Theater membuka cabang pertamanya di Plaza Semanggi 17 Agustus 2014 lalu yang akan diikuti oleh layar-layar lainnya di seluruh Indonesia. Kabar yang santer terdengar, akan segera menyusul di Palembang Icon. Dengan modal investasi mencapai 6 Trilyun, PT Cinemaxx Global Pasifik dibawah naungan Lippo grup akan bertahap membuka 2000 layar di seantero Indonesia.
Cinemaxx Plaza Semanggi, source : http://sukamotoadam.blogspot.com

Sayangnya keberadaan Cinemaxx pertama ini jauh dari jangkauan saya yang di Magelang. Mau tidak mau, saya mesti mengurungkan niat untuk ‘terlalu jauh’ ke Semanggi, bahkan Palembang untuk mensurveynya. Kabar baiknya, seorang master review bioskop Adam Faridl telah mereview Cinemaxx Plaza Semanggi tersebut yang telah dipublish ke blognya.
Cinemaxx Plaza Semanggi, source : http://sukamotoadam.blogspot.com
 Saya disini nampaknya harus sabar untuk menunggu Lippo Jogja yang akan menempati eks. Saphire Square. Terakhir lihat sih sekitaran sebulan yang lalu. Progres mall masih under construction. Pun begitu dengan rencana pembukaan bioskopnya. Barangkali tahun depan baru bisa buka.

Untuk yang penasaran dengan suasana Cinemaxx Theater Plaza Semanggi, dipersilahkan untuk meluncur ke blog resminya mas Adam Faridl disini

Credit : 
Twitter : @SukamotoAdam
 
Read More..

Monday, September 1, 2014

Platinum Cineplex Magelang, Kembalinya Bioskop di Magelang




Sign Platinum Cineplex di Artos Mall (Credit : Yoga Skyscrapercity - Magelang)
Tidak terasa, tiga tahun sudah Magelang tidak memiliki gedung bioskop semenjak satu-satunya bioskop konvensional yang tersisa kala itu, Magelang dan Tidar Theater tutup pada 2011. Bioskop satu atap dengan dua layar itu tidak sanggup bertahan dengan bermodalkan proyektor analog dan pasokan film seluloid. Kalah dengan menjamurnya bioskop modern di kota sebelah, Yogyakarta.

Memang, saya percaya warga Magelang pada umumnya jika ingin menonton film terbaru harus bertandang ke Yogyakarta. Selain akses yang mudah, jaraknya juga tidak terlalu jauh. Tapi kebiasaan itu mungkin akan berganti sejak hadirnya bioskop pendatang baru di Artos Mall Magelang. Platinum Cineplex namanya.

Bioskop milik grup Multivision Group ini sudah kali ke empat membuka cabangnya di Indonesia. Awal tahun lalu saya pernah mensurvey Platinum Cineplex Solo yang berlokasi di Hartono Lifestyle Mall Solo Baru. Lokasi itu adalah yang kedua setelah pertama buka di Cibinong Square dan sebelum membuka di Magelang, Platinum juga meresmikan bioskopnya di Sun Sidoarjo.

**
Sebagai orang Magelang, saya merasa telat mensurvey bioskop baru ini. Bagaimana tidak, setelah grand opening pada Rabu, 27 Agustus lalu, saya baru bisa datang tiga hari kemudian. Siang kemarin, (Sabtu, 30 Agustus 2014) saya sudah membuat janji dengan Mas Sam, salah satu pegawai di management Platinum Artos. Pukul 11.00 saya sudah merapat ke lantai upper ground. Tepatnya ada di sisi utara dan bersebelahan dengan foodcourt.
 
Saya pun masuk ke lobi dengan motif karpet belang-belang macan warna-warni dan disambut oleh petugas security berseragam safari. Setelah melakukan berbagai pertimbangan, saya memilih untuk mencoba menonton Guardians of the Galaxy yang siang ini putar paling awal pukul 11.45 di Hall 5. HTM untuk weekend ini 40.000 rupiah dan free satu kupon soft drink/pop corn yang bisa kita tukarkan di consessions. Pada tiket yang saya pegang, hanya tertulis Platinum Cineplex tanpa menyebutkan “Magelang”.
 
Saya bilang kepada petugas untuk minta bertemu dengan Mas Sam dan sembari menunggu barang sepuluh menit, saya duduk – duduk di lobbi utama sembari melihat-lihat. Ada beberapa poster film now showing , counter Tickets dilengkapi dengan tiga televisi layar datar dibelakangnya. Sementara saya lihat petugas consessions masih sibuk mempersiapkan menu-menu.
 
Mas Sam menghampiri saya dan setelah berkenalan, saya diajak mengobrol di salah satu koridor ruang tunggu yang dikonsep mirip dengan koridor kafe. Ada beberapa meja bundar yang disusun memanjang dimana masing masing meja dikelilingi empat buah kursi. Untuk menyingkat waktu, saya segera memulai sesi interview saya.
 
Samuel (25) seorang pegawai di manajemen Platinum Cineplex Magelang ini pertama bercerita tentang awal mula ide pembangunan bioskop yang sudah direncanakan sejak lama. “Platinum Cineplex ini resmi dibuka pada tanggal 27 Agustus 2014 dengan sementara membuka tiga dari lima layar. Sebenarnya hall (istilah untuk studio) satu juga sudah siap dibuka, namun masih ada sedikit finishing” tuturnya.

Untuk kapasitas studio sendiri Samuel bercerita bahwa total kapasitas untuk lima studio adalah sekitar 900 sekian kursi. Hampir mencapai 1000 kursi dengan Hall 1 sebagai studio dengan jumlah kursi terbanyak. Sementara itu, untuk proyektor, telah diaplikasikan proyektor Barco untuk semua studionya. “Untuk film 3D saat ini belum beroperasi karena menunggu Hall 1 yang akan dikonsep sebagai satu-satunya Hall yang bisa support format 3D” sambungnya.

Pria asli Salatiga ini melanjutkan bahwa untuk sistem server yang digunakan memakai GDC Tech. Sedangkan untuk distribusi film sendiri telah bekerjasama dengan distribusi film nasional yang saat ini dipegang oleh Grup 21. “Dipastikan setiap ada film terupdate, bila di 21 sudah tayang, dikita juga pasti tayang. Kecuali film Indie”.

“Sejauh ini respon masyarakat baik. Mereka rata-rata berkomentar positif dengan model lounge dan lobbi yang terasa cozy ini.” Jawabnya saat saya tanya mengenai respon masyarakat setelah mencoba bioskop yang boleh dikatakan merupakan pemain baru di Indonesia ini. 

Saya juga menyatakan beberapa masukan dari teman-teman bahwa hingga saat ini jadwal resmi Platinum Cineplex masih tergantung dengan media facebook dan twitter official. “Untuk jadwal via website di www.platinumcineplex.co.id kebetulan baru kemarin diserah terimakan kepada manajemen untuk kita sesuaikan”. "Kemudian untuk informasi jadwal film melalui surat kabar kita bekerja sama dengan Jawa Pos Radar Kedu" tambahnya.

Terakhir Mas Sam menyatakan harapannya semoga bioskop yang merupakan satu-satunya di Magelang ini akan semakin ramai dan mendapatkan respon yang positif dari masyarakat Magelang khususnya dan sekitar Magelang umumnya.

Setelah berbincang sekitar 10 menit dan berpamitan, saya lanjut untuk menukarkan kupon soft drink saya di consessions. Tidak lama kemudian, terdengar panggilan perhatian bahwa Hall 5 tempat saya akan menonton telah dibuka. Saya segera berjalan menuju lorong masuk Hall 2-5. Untuk Hall 1 pintunya tersendiri berada disamping Tickets.
 
Dua petugas wanita bercelana panjang mempersilahkan masuk setelah menyobek tiket. Model interiornya tidak sama dengan Platinum Solo dimana disana ada logo Platinum dibentuk dengan lampu neon di dinding kiri kanan studio. Permainan warna interiornya dominan merah dengan paduan lampu tangga berwarna biru dengan petunjuk row dan seat number. Deretan kursi warna merah ini pada bagian arm rest nya bisa dilipat keatas. Saya sendiri memilih untuk duduk di row G tepat ditengah dengan harapan merupakan best seat. Ukuran layar cukup lebar dengan menggunakan standar untuk film resolusi 2K. Seingat saya tidak ada tirai untuk menutupi sisa layar apabila film yang diputar bukan berformat wide.
 
Sebelum film tayang, diputar trailer Barco  dan GDC. Filmpun segera dimulai. Kualitas soundnya menggelegar. Saya kurang tahu pasti menggunakan tata suara apa. Setahu saya bila di Platinum Solo menggunakan Dolby Digital 7.1. Sedangkan yang di Magelang ini tidak kalah kualitasnya. Pendingin udara terasa pas dengan kondisi Magelang yang adem. Tidak terlalu menggigil dan tidak panas pula. Cocok.

Setelah film selesai, saya pun keluar melalui pintu masuk yang sama dan mencoba fasilitas toilet pria yang disambut dengan poster bergambar James ‘Daniel Craig’ Bond di pintu masuk toiletnya. Hehehe :D

Secara umum, bioskop Platinum Cineplex ini merupakan bioskop modern dengan gaya tampilan yang fun dan ceria dengan pemilihan warna-warni yang berani. Model interior lobbinya pun terkesan tidak kaku dengan beberapa motif lengkung dan pada beberapa bagian ruang tunggu saya anggap berkonsep mirip kafe. Tempatnya sangat nyaman dan terasa akrab. Begitu pula dengan kualitas studionya. Dengan interior yang semarak dan tampilan gambar yang jernih dan tata suara yang memadai pula.

Akhirnya, Semoga Platinum Cineplex dapat berkembang maju dan  bisa menjadi kebanggan warga Magelang dan sekitarnya.  Meski harga tiket cukup mahal, namun worth it lah karena memang ini bioskop satu-satunya dan tanpa pesaing. Jadi bagaimana, tertarik? Segera kunjungi dan coba bioskop baru ini ;)

Special Thanks :
Mas Samuel

Credit :
Platinum Cineplex Magelang
Armada Town Square Upper Ground
Jl Mayjend Bambang Sugeng No. 1 Magelang
Fans Page FB : Platinum Cineplex Magelang
Twitter : @Platinum_MGL
HTM : Mon - Thu / Fri / Sat - Sun : 30/35/40 K IDR

Read More..
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...