Sudah beberapa
waktu lalu ibu saya minta diantar ke Dieng. Ya maklum saja, sebab tiap hari ia
selalu disibukkan dengan pekerjaannya, menyiapkan masakan untuk santri di
Pondok Pabelan. Sehingga sangat jarang ia punya waktu senggang, boro-boro untuk
berwisata. Untuk istirahat saja sudah sangat beruntung.
Awal tahun
ini suasana memang cenderung kurang bersahabat. Cuaca sepertinya belum begitu
mendukung untuk pergi ke Dieng. Akhirnya, ibu saya janjikan untuk berangkat
akhir Maret. Di dalam hati saya, rasanya inilah salah satu cara untuk
membahagiakannya. Sudah tujuh tahun ini saya hidup dirantau. Dan sejak menikah,
kesempatan saya untuk pulang bertemu dengan ibuk menjadi sedikit lebih jarang. Untuk
itu, saya merasa sangat bersemangat untuk menyambut keinginannya minta diantar
ke Dieng.
Sebelumnya,
saya berfikir untuk ke Dieng, paling tidak harus menginap satu malam. Karena perjalanan
dari Muntilan cukup jauh. Namun, mengingat waktu saya ke Dieng lima tahun silam
yang menyisakan kedinginan yang masih terasa sampai sekarang (halah), dan
ditambah saya akan membawa balita, si Dayu, maka saya memutuskan untuk
berwisata sehari saja alias one day trip.
Beberapa
hari sebelumnya, mobil tua bangka (motuba) saya sudah saya persiapkan dengan
saya servis dan ganti olie. Awalnya saya memang tidak yakin bahwa mobil ini
akan gampang digunakan untuk menanjak karena usianya yang telah lanjut. Ditambah
lagi skil menyetir saya yang pas-pasan. Namun setelah mendapatkan semangat dari
teman kantor dan juga member di grup facebook motuba, saya jadi semangat dan
yakin bahwa motuba saya akan bisa sampai atas dengan selamat.
Saya,
Tika, Dayu, dan Ibuk berangkat dari rumah mendekati pukul setengah delapan
pagi. Pukul delapan setelah menjemput budhe, kami berangakat dari Kota
Magelang. Kurang beruntung, cuaca minggu kemarin tidak begitu cerah, cenderung
hujan dan mendung.
**
Saya
memutar setir menepikan mobil di dekat perbatasan Temanggung dan Wonosobo, di
Kledung. Diluar hujan sehingga kami harus berlari-lari kecil dari parkiran
menuju tempat istirahat. Saya memilih beristirahat di warung kopi Surya. Dulu,
tidak jauh dari sini ada warung kopi bernama Sindoro Sumbing Coffee house and
Trading, namun sejak ada pengembangan kawasan rest area Kledung, warung itu
tutup entah kemana.
Menjelang
siang yang gerimis, diiringi angin kencang menusuk tulang, kami menyambangi
sebuah meja lesehan. Ada beberapa menu kopi dan saya memesan Sumbing Arabika. Sementara
yang lain memesan minuman jahe-jahean untuk menghangatkan badan. Sebagai teman
istirahat, dipilihlah mendoan kemul dan pisang goreng masing-masing satu porsi.
**
Saya
kira, saya terlalu siang berangkatnya, sehingga mendekati pukul sepuluh ini
kami masih berada di Kledung. Lepas menyeruput kopi, saya melanjutkan
perjalanan dengan menuruni turunan Kertek sepanjang 9 kilometer. Saya jadi
teringat bahwa beberapa tahun silam jalur ini adalah jalur saya nyales alkes.
Hehehe..
Kota Wonosobo
yang dingin menyambut kami dengan gerimis. Setelah berputar-putar mengikuti
jalur ke Dieng, kami pun menanjak. Saya ingat bahwa dari Wonosobo Kota ke Dieng
masih ada sekitar 30 kilometer yang medannya berupa tanjakan panjang nan
berliku. Seperti liriknya Rang Paladang “Padang
Panjang ka Bukiktinggi, jalan mandata kelok mandaki, jikok sanak marasa banci,
tamui ambo ka Bandaguci, jikok sanak marasa banci, duduak baselo baok mangopi..
“ aseeekk.. Entah kenapa, anak perempuan
saya yang berusia 2,5 tahun itu malah seneng lagu itu.
“Bapak
nyanyi urang paladang, dong..” ujarnya selama di perjalanan.
Ditengah
cuaca yang kurang bagus, mental saya diuji. Saya harus menanjak melalui jalan
yang tidak megitu lebar, ditengah gerimis, dengan mobil tua seadanya, mengangkut
empat nyawa. Ini adalah ujian nyata bagi sopir debutan seperti saya.
Beberapa
kali ada ketersendatan setiap melewati keramaian seperti Pasar Garung, dalam
tanjakan, skill setengah kopling haruslah sudah mahir. Apalagi, banyak angkot
yang seringkali berhenti dibahu jalan. Harus sabar dan siap kaki pegal.
Ibuk saya
berulangkali merapal doa tiap kali jalan berliku dan sangat menanjak. Berharap saya
bisa menguasai kendaraan. Dan akhirnya kami pun sampai di Tieng. Kawasan di
bawah Dieng. Disana, suasana juga masih gerimis. Ada beberapa jalur yang belum
lama diperbaiki karena pernah longsor dan ditutup, beberapa waktu lalu.
Voilaa..
mendekati tengah hari, kami sampai di Dieng!
Syukur
Alhamdulillah, ini adalah pencapaian saya yang terbagus dalam mengendarai
motuba, sejauh ini. Sekaligus pembuktian bahwa Corolla saya yang usianya sudah
32 tahun masih sanggup melahap tanjakan panjang. (bukan iklan, lho..) hehehe..
Siang itu, Dieng tidak begitu memesona. Karena cuaca yang memang kurang
bersahabat. Baru dua menit kami melajukan mobil, hujan turun dengan deras.
Akhirnya
saya putuskan untuk menuju parkiran dekat Candi Gatotkaca. Disana, ada mushola
dan toilet serta beberapa warung. Untung kami membawa payung. Saya sedikit
cemas dan khawatir dengan anak saya. Dengan sedikit kecewa, setelah shalat saya
mempersilakan ibuk dan budhe untuk berjalan-jalan sementara Saya dan Tika serta
Dayu memutuskan untuk beristirahat saja mencari kehangatan.
“Beliin topi guguk.. “ Rengek Dayu melihat deretan topi hangat dengan karakter hewan yang dipajang di warung-warung. Saya dan Tika pun harus puas hanya berjalan-jalan di sekitar Museum Kailasa dengan payung dan menggendong Dayu yang kali ini sudah sedikit hangat berkat topi guguk barunya.
**
Makan
siang di area wisata ini, terbilang menguras kantong. Untuk dua porsi soto, dan
dua porsi mie instan rebus, dan dua teh gelas kecil, kami harus mengeluarkan
lima puluh lima ribu rupiah. Harga yang jika di daerah bawah bisa dapat dua
kali porsinya. Namun tak apalah.. Bukannya berwisata adalah salah satu cara
untuk menghabiskan uang? Hehehe..
Dahulu,
saya dan Tika jaman pacaran sudah cukup puas berkeliling Dieng. Kali ini,
rencana awal saya adalah mengunjungi Candi Arjuna, Museum Kailasa, Kawah
Sikidang, Dieng Plateau Theater, dan berakhir di Telaga Warna. Namun karena
hujan yang benar-benar tak pernah reda, kami akhirnya memilih hanya mengunjungi
Candi Arjuna dan Plateau Theatre saja. Itu saja, yang ke Candi Arjuna hanya
ibuk dan budhe saja. Saya, memilih menghangatkan diri di mobil sambil makan
jadah srundeng, bekal dari rumah.
Saya
merasa sedikit bersalah karena tidak bisa menunjukkan tempat tempat menarik ke
Ibuk. Tapi ia kelihatannya bisa mengerti. Bisa diajak jalan-jalan ke Dieng oleh
anaknya saja ia sudah merasa sangat senang. Ibuk saya bahkan sampai nangis
karena merasa merepotkan saya dan bilang sangat senang saya mau mengantarnya
sampai Dieng. Masya Allah..
Sudah
mendekati jam tiga sore, kami masuk ke Plateau Theatre. Disana, pemutaran film
tentang sejarah Dieng. Selama film diputar, Dayu malah nyanyi-nyanyi. Ah...
Bisa saja dek Dayu ini. Begitu pemutaran usai, kami memutuskan untuk pulang
saja. Takut kemalaman.
Perjalanan
pulang tak ubahnya seperti waktu menanjak tadi. Lebih repot malah, karena
sepanjang turunan Dieng ke Wonosobo banyak kabut menghadang dan jarak pandang
sangat terbatas. Ditambah lagi, hujan terasa semakin deras mengguyur. Saya pun
bertahan lebih banyak menggunakan gigi 2 sebagai engine brake dan menurun
pelan-pelan.
Di daerah Kalianget, ada petunjuk jalur alternatif ke Magelang. Disana
semacam jalan lingkar yang kami sempat curiga.
Salah satu suasana Lingkar Utara Wonosobo, via stretview |
Saya curiga karena belum pernah
lewat dan jalannya cenderung menanjak dan secara administratif malah ikut
Kecamatan Garung. Waktu itu, sudah masuk waktu shalat asar karena sudah pukul
empat. Akhirnya kami beristirahat di sebuah masjid di daerah Bugel.
Masjid di Bugel, tempat kami istirahat via streetview |
Disana,
pukul empat masjid baru adzan asar. Tampak banyak anak-anak berjaket mengantri
untuk mengaji sore. Setelah menggunakan
cara lokal bertanya pada penduduk sekitar, saya yakin bahwa jalur ini adalah
jalur yang benar untuk menghindari kepadatan kota Wonosobo.
Sampai
Kota Magelang sudah pukul tujuh malam. Kami mampir ke RSUD Tidar untuk menengok
tetangga yang tengah dirawat di sana. Mengobrol banyak dengan mbak Duprida
Chaniago (ini benar nama tentangga saya), hingga lupa waktu. Pukul sembilan
malam, kami mengisi perut sejenak di lesehan Hanafi Jaya Abadi yang spesial
ayam bakar madu itu. dan mendekati pukul sepuluh, kami sampai di rumah. Alhamdulillahirabbil
alamiiin..
bagus sekali ya tempatnya
ReplyDeletecara cek no axis