Hasil foto tercantik saya : Jembatan di Jepara (2015) |
Warning!!
[Postingan
ini akan sangat membosankan]
[bandwith killer ; banyak foto-foto]
Rute : biru = rute berangkat, hijau : rute pulang, kuning = rute yang tidak jadi diambil |
Sesi Pertama Ungaran - Jepara
Hari
Jumat 13 Nopember lalu, saya menyempatkan diri untuk menyalurkan hasrat yang terpendam.
Bukan hasrat untuk ke Bandungan, tetapi hasrat untuk kembali kepada khittah saya sebagai seorang touringer.
Pembaca tentu ingat, dong bahwa saya adalah seorang pecinta jalan-jalan
menggunakan motor. Karena akhir-akhir ini sedang tidak ada kesempatan saja,
jadi beberapa perjalanan terakhir-terakhir dipaksa menggunakan moda
transportasi lain.
Kembali
ke hari Jumat 13 Nopember lalu, saya bermaksud untuk mengunjungi kawan saya,
Arvis yang saat ini menjadi agen pemerintah di Pemerintah Kabupaten Jepara. Ini
merupakan kali kedua saya mengunjungi Kota Ukir, dimana yang pertama dulu
adalah perjalanan remeh-temeh dalam sehari mengunjungi beberapa tempat wisata
disana. Dari benteng VOC hingga benteng Portugis, dari Museum Kartini ke Pulau
Panjang.
Setelah
Jepara tereksplor dalam sehari sekitar empat tahunan lalu, nyaris tiada lagi
yang membuat saya penasaran, kecuali prosodan di Tiara Waterboom, Kalinyamatan.
Tetapi, waktu kelihatannya tidak memungkinkan. Ah, memang saya kali ini
ditakdirkan untuk sekedar touring, bukan traveling, kok ya!
Oke,
kembali ke hari Jumat 13 Nopember lalu (sudah membosankan, ya?), selepas shalat
Jumat, saya segera mengeluarkan kendaraan lapis baja biru berupa Shogun 125.
Motor berbahan bakar pertamax ini saya kendarai untuk mengantar saya membeli
sebotol parfum di Kauman, Johar Semarang terlebih dahulu. Entah karena jalanan
ramai, saya terlalu binal atau si motor yang terlalu gesit dan boros, di Jalan
Sultan Agung, si Shogun malah memepet dan menyentuh pengendara mobil. Untung tidak
terjadi apa-apa.
Cuaca
siang ini mendung, tapi saya tetap semangat melahap medan-medan sepanjang Kota
Lama, hingga Kaligawe yang teramat sangat macet. Saya pun sumuk dan tidak bisa
berbuat apa-apa kecuali ikut-ikutan orang berjalan di trotoar. Ternyata biang
kemacetan adalah karena proyek betonisasi di daerah simpang Genuk. Dan setelah
lepas bergumul dengan traffic jam itu,
saya pun dengan leluasa bergerak bebas.. Menuju arah timur ke Kota Demak.
Gapura Selamat Datang Kabupaten Demak |
Sebelum
masuk Kota Demak, Shogun harus minum dulu sebanyak lima belas ribu rupiah. Meski
sang rider belum rolasan, tetapi perjalanan tetap harus dilanjutkan. Jangan
lupa, begitu masuk Kota Demak, motor harus lewat jalur lambat. Jalurnya udah
bagus, kok sebagian. Sudah dibeton. Selain pengerjaan rehab gedung Rumah Sakit
Sunan Kalijaga, Pemerintah Kabupaten Demak saat ini juga telah merampungkan
penataan kawasan Alun-alun. Sudah cantik lah. Sementara itu para pedagang di
kawasan Pasar Bintoro yang beberapa tahun lalu semrawut, kini sudah rapi.
Alhamdulillah..
Jalur Lambat Kota Demak |
Gerbang kawasan Alun-alun Demak |
Alun-alun Demak dan Masjid Agung Demak (2015) |
Geberan
Shogun yang meraung-raung suaranya mirip seperti Sukhoi buatan Rusia. Dalam
perjalanan keluar kota Demak, saya harus ekstra plingak-plinguk karena saya pernah kelewatan pertigaan Trengguli,
je. Pertigaan tersebut padahal berfungsi sebagai jalur alternative menuju ke
Jepara. Dan kabar baiknya, saya jumpai pertigaan tersebut dengan mudah! Yey! Dari
Trengguli, perjalanan terasa lancar karena jalan yang sudah terbeton. Bahkan
mungkin karena sudah terlalu lama, sudah mletek-mletek sebagian.
Sampai
di Kawasan Mijen, Demak hari rupanya sudah habis hujan. Jalanan basah dan
beberapa genangan menciprat kala dilewati oleh kendaraan. Dan akhirnya saya pun
masuk ke Kabupaten Jepara. Berdasarkan perkiraan, akhirnya saya terhenti di
SPBU Welahan untuk mengerjakan shalat ashar. Karena waktu sudah menunjukkan
pukul setengah empat sore. Selain itu, saya juga harus mengisi perut yang
keroncongan. Dengan sisa roti bakar semalam dan arem-arem serta gorengan dari
kantor, siang tadi.
Gapura Selamat Datang Kab. Jepara |
Menu Rolasan |
Seperti
biasa, setelah menunaikan shalat, saya selalu merasa lebih segar, percaya diri,
dan tambah tampan. Orang-orang sekitar pun terkesima. Saya lalu melanjutkan
perjalanan dengan menikmati pemandangan di sekitarnya. Tidak jauh dari Welahan,
sudah tampak beberapa deret rumah-rumah berarsitektur tua. Dalam hati ingin
sekali memotret-memotret, tapi nanti waktu saya habis dijalan. Ah, memang saya
kali ini ditakdirkan sebagai touringer, kok. Bukan sebagai art photographer
khusus bangunan tua. Sembari menikmati pesona bangunan lawas di daerah itu, tanpa
terasa saya sampai di Pertigaan Gotri, Kalinyamatan. Pertigaan ini
menghubungkan Jepara – Kudus dan juga Demak.
Rupa-rupanya
bangunan-bangunan lawas eksotis ini dengan mudah dijumpai di sekitar
Kalinyamatan. Sebagian besar berupa rumah penduduk. Tidak jauh dari situ, juga
berdiri sebuah pabrik besar dengan cerobong asap yang kemudian saya duga
sebagai Pabrik Gula warisan Londo. (Menurut informasi Arvis, itu adalah Pabrik
Plastik). Si Shogun kemudian beranjak berlomba-lomba dengan kendaraan merk lain
untuk menjadi yang terdepan. Melewati daerah Pecangaan yang relatif ramai,
akhirnya saya sampai juga di daerah Ngabul. Daerah ini merupakan perbatasan
menuju wilayah perkotaan Jepara. Sebagai symbol modernisme, terbangunlah sebuah
supermarket besar bernama Saudara tidak jauh dari bundaran Ngabul.
Pabrik Dasaplast dulu Pabrik Karung Pecangaan (sumber : online-instagram.com) |
Gapura masuk Wilayah Perkotaan Jepara |
Saya
memang tidak hafal Jepara. Setelah Ngabul, touringer disambut dengan pusat
ukiran daerah Tahunan. Kiri kanan kulihat saja banyak sentra ukir dan showroom
yang memamerkan kerajinan khas Nusantara ini. Taraf perekonomian warga setempat
tampaknya sangat bagus, buktinya di sepanjang jalan itu berdiri rumah-rumah
megah yang bisa jadi merupakan milik para bos ukir.
Saya
selalu mendasarkan diri pada spekulasi semata. Pun begitu juga saat masuk ke
Kota Jepara. Hanya ikut-ikutan motor di depannya. Akhirnya saya sampai di
Bundaran Tugu Kartini dan mengambil kanan yang otomatis tembus di Alun-alun.
Akhirnya saya pun menelpon sang agen bahwa saya sudah sampai di sebuah tempat
tidak jauh dari Masjid Agung. Mungkin saya memang beruntung, atau naluri
perbioskopan saya memang sudah sebegitu memuncak, tiba-tiba saja saya salah
ambil jalan waktu mencari Masjid Agung. Dan saya pun tidak sengaja terhenti
didepan sebuah bangunan tak terpakai. Bangunan itu tak dinyana adalah bekas
bioskop Mutiara. Gedung yang tutup operasi sejak 2010 itu hingga kini masih
terlihat baik, tetapi lobinya sudah sedikit hancur. Sembari menunggu Arvis,
saya pun memotret-motret sebentar.
Bekas Loket Bioskop Mutiara |
Lobi Bioskop Mutiara |
Lobi 2 Bioskop Mutiara |
Bekas Bioskop Mutiara Tampak Depan (2015) |
Arvis
yang berkaus putih akhirnya menjemput saya dan mengajak saya ke markas (baca :
kosan)nya. Markas agen berada di belakang kompleks kerajaan. Dalam waktu
kekinian, kompleks kerajaan itu merupakan kompleks Sekretariat Daerah yang
dilidungi oleh benteng menjulang tinggi, dengan pintu besar dari kayu. Di
pojok-pojoknya tertancap bastion-bastion sebagai arena pengawasan dengan sniper jitu yang siap sedia tatkala
dibutuhkan tindakan.
Markas
agen Arvis berada di lantai II. Rumah kos itu dilengkapi tangga kayu, dan
merupakan loteng dak berlantai kayu. Di lantai atas, tiga buah kamar dilengkapi
dengan lobi kecil lengkap dengan tivi yang menyetel saluran-saluran
internasional. Bagi saya, markas agen Arvis ini bergaya Thailand.
“Pancen
sok ming kuwur kok yo, nek ndelok nang film-film Thailand”
kata
Arvis mengiyakan dan setuju bahwa kosannya memang sekilas mirip di film-film
Thailand yang sempit, dan berada di pemukiman padat.
Malamnya,
saya diajak agen Arvis, Andi, dan Agus untuk menikmati malam di bumi Kartini.
Berdasarkan buku panduan wisata dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prop.
Jateng, saya pun mengusulkan untuk mencicipi Pindang Srani. Dan akhirnya
kamipun merapat ke belakang Shopping Center Jepara (SCJ) yang merupakan pusat
pertokoan besar yang ada di sana. Di belakangnya, ada sentra kuliner yang
ditempati oleh berpuluh-puluh penjual. Kami pun menghampiri salah satu yang
menawarkan hidangan – salah satunya, pindang serani.
Menu Pindang Serani dan Arvis |
Kiri - Kanan : Agen Andy, Agus dan Arvis |
Setelah
menunggu barang sesaat, olahan itu sampai juga ke meja saya. Srutuupp… Bumbunya
begitu terasa, rempah-rempahnya begitu khas. Mungkin ini yang menjadikan
Portugis menjejakkan kakinya di Jepara, dulu. Karena citarasa rempahnya yang
sangat enak! Olahan ini berbahan ikan bandeng atau ikan kembung atau ikan kerapu yang dimasak dengan cara direbus
dengan berbagai macam campuran bumbu-bumbu. Citarasanya kuat, namun segar.
Panasnya merica terasa menghangatkan tubuh.
Satu
mangkuk pindang serani dan seporsi nasi, dihargai sangat mahal menurut saya.
Tiga puluh lima ribu rupiah. Maklum, penjual disini tidak menyediakan daftar
harga. Dan kawan-kawan juga bilang bahwa di kuliner SCJ ini memang harganya
relatif mahal. Tapi tidak apa-apa. Disamping harganya yang mahal, tentu ada
cerita masyhur yang bisa kita wariskan ke anak cucu kita. :D saran saya, jika
kalian ingin makan pindang serani di SCJ, belilah pindang serani satu porsi
untuk dua orang. Jadi lebih hemat. Karena pengalaman saya, nasi sudah habis
tetapi ikannya masih ada satu setengah potong. Sehingga saya gado saja.
Adon-adon Coro. Enak loh |
Belum
lengkap rasanya kulineran jika belum minum minuman khas. Akhirnya saya pun
memesan satu mangkuk adon-adon coro. Apa? Coro ? tenang, ini bukan jus
serangga, kok. Adon-adon coro merupakan minuman hangat sebangsa kolak dengan
bumbu jahe yang dilengkapi dengan potongan kelapa muda kecil kecil. Rasanya?
Hmm.. Biasa saja
Karena
agen Arvis dan kawan-kawannya tidak begitu suka nongkrong di malam hari, sebab
memang jarang ada tempat nongkrong yang strategis disana, akhirnya kami pun
memilih pulang dan beristirahat.
Sesi Kedua Jepara – Tayu –
Juwana
Sabtu,
14 November 2015
Jendela
kamar Arvis memang tidak pernah ditutup. Meskipun sejak semalam hawa di Jepara
terkesan sumuk, tetapi saat dinihari saya tetap harus menarik selimut karena
terasa dingin semilir angin laut. Baru pukul setengah enam pagi, tetapi wes padhiang njingglang. Akhirnya
setelah shalat subuh, saya pun meminta Arvis untuk mengantar saya city tour sebentar. Dan berikut ini adalah sekilas hasil jepret dari jok belakang motor Beat milik Arvis.
Jepara street photography
Rumah cantik depan Bioskop Mutiara |
SCJ pagi itu |
Taman Kerang |
Stadion Gelora Bumi Kartini |
Gerbang Gelora Bumi Kartini |
Kapal cepat milik MI6 yang digunakan James Bond |
Foto cantik |
Bundaran Kartini |
Kantor bekerja Agen Arvis |
Sekitar alun alun |
Kraton Kerajaan (Kantor Bupati) Jepara |
Sepagi
ini Jepara sudah mulai sibuk. Lalu lintas di dominasi oleh anak sekolah.
Mungkin disana masih memakai 6 hari sekolah. Saya diajak melewati beberapa
tempat diantaranya Taman Kerang, jalur lingkar, Stadion Gelora Kartini, Kawasan
Rusun dekat pantai, Bundaran Semrawut, hingga akhirnya kembali lagi ke
Alun-alun. Pagi hari di pusat kota itu, nyaris tidak ada kegiatan yang berarti.
Beberapa manusia tampaknya berjogging.
Tapi tidak ramai.
“Karena
alun-alunnya tidak diputari oleh kendaraan”
Kata
Arvis sehingga alun-alun ini terkesan sepi. Kamipun mampir di satu-satunya
penjual sarapan disana. Daihatsu Zebra merah terparkir dengan seorang ibu yang
sibuk melayani pembeli. Ibuk tadi berjualan bubur ayam dan susu kedelai. Yah,
daripada tidak sarapan, ya sudah sarapan bubur saja. Susu kedelainya bisa pilih
antara rasa original, jahe, atau cokelat. Saya pilih cokelat!
**
Pukul
7 ,30 pagi setelah saya mandi dan berkemas-kemas, saya lantas pamitan untuk
melanjutkan touring. Pagi ini saya
akan mengendarai Shogun melalui daerah Bangsri hingga Tayu. Pada awal-awal,
suasana lalu lintas terasa sangat ramai. Mungkin karena memang sedang jam
berangkat kantor. Kecamatan yang dilewati setelah Jepara adalah Mlonggo.
“Mlonggo,
mas..”
Keluar dari Mlonggo |
Setelah
keluar dari Mlonggo dengan pusat kotanya yang mulai teratur itu, jalan-jalan
cenderung sepi. Woalah, ya iya.. karena jalur ini memang bukan jalur utama,
bukan jalur pantura. Jadi yang lewat ya sekedarnya saja. Akhrinya saya pun
sampai di Bangsri. Kota itu sudah memiliki jalur lingkar. Tetapi saya memilih
melalui kotanya saja. Pusat ekonomi Bangsri merupakan Pasar dengan pelengkap
Terminal. Disana kemacetan tidak bisa terelakkan.
Begitu
sampai di SPBU Wedelan, sebelah timur Bangsri, saya kembali membeli minum untuk
Shogun 15 ribu rupiah. Keluar dari Bangsri, jalanan lebih terasa sepi. Saya
mulai melewati perbukitan dengan jalan yang pelan-pelan terasa berkelak kelok.
Jalanan mulus, dengan panorama hamparan hutan jati mengering di kanan kiri
jalan. Tidak lama, setelah wilayah Kembang, suasana berganti menghijau dengan view hutan karet milik PTPN IX Balong.
Disana medan terasa sangat ekstrim dan menantang. Kelak kelok iyup. Jika kalian pernah lewat daerah Ngobo,
Ungaran, kira-kira suasananya seperti itu. Tetapi lebih panjang dan lebih
ngeri. Ditambah lagi, beberapa pohon tua di pinggir jalan tampak menyeramkan.
Saya pun hanya bisa mengklakson setiap melewati tempat yang bikin merinding.
Jalur karet yang sepi antara Bangsri - Keling |
Jalur karet yang sepi antara Bangsri - Keling |
Tidak
banyak kendaraan yang berpapasan. Sesekali hanya ada bis tanggung jurusan Pati
– Tayu – Jepara. Akhirnya saya sampai di Kecamatan Keling, yang juga merupakan
simpangan untuk menuju Benteng Portugis. Di Desa Kelet, rupanya ada rumah sakit
milik Pemprov. Jawa Tengah. Wah, baru tahu saya. Dan juga kawasan itu merupakan
akhir dari Kabupaten Jepara. Saya pun masuk ke Kecamatan Cluwak Kabupaten Pati.
Rumah sakit di Desa Kelet Kecamatan Keling |
Gerbang masuk Kabupaten Pati |
Jalanan
terasa sedikit lebih sempit. Di kiri kanan jalan ada beberapa pondok pesantren,
juga kantor-kantor BMT. Jalan mulai berkelak kelok dan dominasi lalu lintas
terganti oleh hadirnya truk-truk. Mereka membawa hasil tambang berupa
batu-batuan. Saya pun harus ekstra hati-hati karena banyak kerikil tercecer di
jalanan. Truk-truk itu sulit disalip karena berombongan dan jalan juga sempit.
Ah, mungkin mereka juga sedang menikmati perjalanan ala My Truck My Adventure.
Tidak
disangka, perjalanan menuju Tayu ini lamaa sekali. Setiap ada tulisan Jalan
Tayu Jepara km. sekian, saya lalu merasa lega, tetapi nyatanya tetap saja masih
jauh. Dan olala.. Akhirnya saya jumpai sebuah terminal baru yang sepi. Terminal
itu adalah Terminal Tayu dan kemudian saya pun sampai di pusat kota Tayu yang
dilengkapi alun-alun itu. Disana, ada simpangan untuk menuju Pati dan Juwana.
Saya pun memilih jalur kedua menuju Juwana. Jalan-jalan sempit dengan aspal
yang lumayan bagus.
Terminal Tayu sumber koranmuria |
Tidak
banyak yang bisa saya ingat kecuali daerah bernama Bulumanis. Suasana sepanjang
perjalanan adalah wilayah pesisir dengan udara yang kering serta aroma laut
yang kental. Wilayah yang saya lewati bernama Margoyoso baru kemudian masuk ke
Kota Juwana. Daerah yang dulu diberi istilah Joanna oleh kompeni ini ternyata
sangat ramai. Jalan-jalannya sudah diberi nama. Ada pasar baru Juwana dan juga
Pasar Porda. Disana saya mengisi pertamax Shogun 10 ribu rupiah saja untuk
jaga-jaga. Sebelum keluar dari Joanna, saya melihat beberapa bangunan tua nan
eksotis. Salah satunya adalah kantor Polsek Juwana. Bangunannya khas sekali. Setelah
membelah kota Juwana, saya mampir ke sebuah warung makan untuk memesan segelas
es kopi.
Kantor Polsek Juwana yang kuno, sumber : photo-novi.blogspot.com |
Suasana Polsek Juwana , sumber : blog kanciljuwana |
Sesi Ketiga Juwana – Rembang –
Blora – Cepu – Ngawi
Menurut
bincang-bincang singkat dengan penjualnya, saya direkomendasikan untuk menuju
Blora via Rembang – Bulu. Memang bisa melewati Puncakwangi-Todanan, tetapi
kabar buruknya tempat itu merupakan pegunungan yang menjulang, dengan beberapa
ruas jalan yang rusak. Yasudah, saya pun mengangguk tanda setuju.
Gerbang masuk Kabupaten Rembang Bangkit |
Yang
seperti ini sebenarnya tidak begitu menarik. Melewati Juwana-Rembang hingga
Bulu ya sudah pernah saya lewati sebelumnya. Tapi tak apa-apa lah. Toh ini juga
pertama kalinya saya lewat sana menggunakan motor. Saya pun masuk Kota Rembang
dan belok kanan pada bangjo dekat Kantor Bupati. Dari sana, saya hanya luruuus
saja. Tidak usah belok-belok. Kota Rembang tidak terlalu besar, sebentar saja
saya sudah sampai di kawasan luar kota. Di pinggir kiri kanan jalan tampak
penjual minuman khas. Entah apa itu, seperti biji jambu yang diplastik,
disandingkan dengan botol-botol aqua berisi cairan agak pekat.
Karena
tidak terlalu tertarik, saya pun tidak sempat menanyakannya. Saya terus melaju
dengan kecepatan 1000 km per minggu. Alhamdulillah, kecamatan Sulang hingga
Bulu tidak ada pekerjaan perbaikan jalan. Semuanya lancar hingga saya pun
sampai di kompleks Makam RA. Kartini. Setelah itu, tiba-tiba jalanan makbedunduk mulus. Lebar pula.
Rupa-rupanya saya sampai di kawasan Hutan Mantingan dengan sebuah taman wisata
air disana. Hutan-hutannya begitu teduh.
Gerbang masuk Makam RA Kartini |
Kawasan hutan Mantingan |
Jalan Raya Rembang - Blora yang mulus |
Baru
beberapa kilometer melaju, eh saya sampai di perbatasan masuk ke Kabupaten
Blora. Nah, sembari mengistirahatkan Shogun, saya beristirahat sebentar.
Gerbang masuk wilayah perkotaan Blora |
Dari
perbatasan Blora itu tidak jauh kemudian saya sampai di Kota Blora Mustika.
Kepanjangan dari Maju, Unggul, Sehat, Tertib, Indah, Kontinyu dan Aman. Kota Blora ternyata tertata rapi dan bersih. Ada beberapa wisata dalam kota
diantaranya Watersplash dan Taman Mustika di bundaran Tugu Pancasila. Karena
masih ada waktu, saya pun keliling sebentar ke kawasan Alun-alun. Wah, rupanya
Blora sudah memiliki pusat perbelanjaan dengan nama MD Mall, juga Luwes yang
lebih besar dan mencirikan modernism. Selain sisi modernism, saya juga ndilalah ngepasi melewati bekas Stasiun
Blora. Kondisinya mirip dengan eks. Stasiun Kudus dan Rembang. Masih bagus
hanya saja peruntukannya berubah menjadi pusat ekonomi. Alhamdulillah, fasad
bangunannya masih terlihat baik.
Tugu Pancasila Blora |
Kawasan Alun alun Blora |
MD Mall,salah satu pusat perbelanjaan di Blora |
Kantor Bupati Blora |
Eks Stasiun Blora |
Kantor kuno Kodim Blora : sumber blog kodim Blora |
Perut
terasa masih kenyang ketika saya sampai di Blora ini. Saya pun memilih untuk
tidak mencoba kuliner khas dan melanjutkan misi ke Cepu. Dari Blora, jalur ke
Cepu pada awal-awalnya sungguh sempit dan padat. Susah sekali untuk menyalip.
Dalam pikiran saya, habis Blora ya Cepu. Eh ternyata salah besar. Saya masih
harus melalui Kecamatan Jiken, daerah Jepon, dan Kecamatan Sambong terlebih
dahulu.
Kawasan-kawasan
itu merupakan daerah hutan dengan pohon-pohon jati yang menjulang. Jalan-jalan
mulai berkelok sepi. Tidak begitu panas. Kawasan hutan itu teramat panjang
hingga saya merasa mulai bosan karena rak
ndang tekan Cepu. Saking sepinya, bahkan sampai ada spanduk bertuliskan
“Dilarang
kecelakaan disini, rumah sakit jauuh - Satlantas Polres Blora”
Pemandangan cantik dan sepi sepanjang Blora - Cepu |
Beberapa
kilometer mendekati Cepu, tampak instalasi pipa besar yang ada di pinggir
jalan. Ada juga pipa kecil yang sebagian terpendam. Mungkin pipa itu merupakan
pipa penyaluran hasil tambang minyak.
Setelah
mengisi pertamax sebesar 20 ribu rupiah, saya pun dengan resmi disambut gerbang
bertuliskan Selamat Datang Kota Cepu. Welha.. setelah hutan-hutan sepi, kok
tiba tiba saja ada kawasan kota yang ramai. Gerbang itu berwarna putih kebiruan
dengan corak yang lawas. Sekilas pandang masuk Kota Cepu, saya merasakan sebuah
kota yang dinamis, multicultural, dan terasa modern. Terasa beda dari Kecamatan
lain di Blora. Beberapa penunjuk jalan memperlihatkan arah ke Akademi Migas
(AKMIGAS) dan Pusdiklat Migas. Pertanyaannya, saya harus kemana?
Gerbang masuk Kota Cepu |
Saya
pun mencari-cari tempat untuk makan siang. Pada awalnya saya tersesat ke daerah
taman dengan banyak instalasi lampu. Rupa-rupanya taman tersebut memang bernama
Taman Seribu Lampu. Berada di dekat RSUD Cepu. Di kanan kiri jalan banyak
penjual makanan-makanan ringan, juga di area taman. Feeling saya kok ndak enak, ya.. Kayaknya saya salah jalan.
Akhirnya berbekal perut yang lapar, saya mencari-cari warung makan nasi padang
dan bertemulah di Jalan Surabaya.
Taman Seribu Lampu Cepu sumber Desti |
Disana
saya mampir ke sebuah rumah makan dan memesan nasi padang ayam goreng dengan es
teh. Entah rumah makannya yang besar, atau memang karena ekonomi Cepu termasuk
baik, harga yang harus saya bayar adalah tujuh belas ribu rupiah, belum
termasuk parkir dua ribu rupiah. Yasudahlah. Minimal saya juga mendapat
informasi dari bincang-bincang dengan pegawai rumah makan itu.
Saya
melanjutkan perjalanan ke arah timur dan beberapa ratus meter kemudian, saya
disambut oleh jembatan besi yang panjang yang akan menyeberangi Sungai Bengawan
Solo. Wah, saya sudah sampai di Jawa Timur, tepatnya Kabupaten Bojonegoro.
Lebih spesifiknya lagi, saya masuk ke Kecamatan Padangan. Disana, tidak lama
kemudian saya menemukan bangjo dan untuk menuju Ngawi saya harus memasang lampu
sein ke kanan.
Jembatan perbatasan antara Jateng - Jatim |
Gerbang masuk Jawa Timur Kabupaten Bojonegoro |
Voilaa!
Shogun akhirnya dengan bebas melaju diatas Jalan Dr. Sutomo. Disana sedang
dibangun RSUD Padangan dengan pembangunan yang massif dan besar. Di
kilometer-kilometer awal, jalan terasa bergelombang dan sempit, namun kemudian
segera digantikan oleh hadirnya jalan beton berlapis aspal dengan jumlah lajur
sekitar enam lajur! Woooow.. Saya pun bisa memacu kendaraan dengan cepat karena
tergolong sepi. Malahan suasananya mirip di jalan tol. Kendaraan umum yang
berpapasan paling-paling hanya bis ekonomi tanggung jurusan Ngawi – Cepu dan
Ngawi – Bojonegoro.
Jalan Raya Padangan - Ngraho (Cepu -Ngawi) Sumber setia1heri.com |
Memang,
menurut peta jalan ini sangat mulus dan luruus. Benar saja.. Saya pun sampai
sangat menikmatinya. Tetapi sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga.
Saya tidak jatuh, kok. Hanya saja, jalan mulus tadi terhenti di Kecamatan
Ngraho. Disana sedang dilakukan pekerjaan pembetonan. Kendaraan roda empat atau
lebih dipersilakan mengantri karena sistem buka tutup dengan panjang sekitar 5
kilometer. Sedangkan saya bersama Shogun bisa melenggang, tetapi harus
berhati-hati.
Foto cantik jalur antara Cepu - Ngawi |
Dan
telah sampailah saya pada jalan yang berkelok-kelok ekstrim. Saya teringat
cerita dari kawan saya Ake Ru yang bercerita tentang jalur asyik di antara Cepu
– Ngawi ini. Dan kini saya melihatnya sendiri, menikmatinya sendiri. Di lajur
itu pada kiri kanan jalan tampak perbukitan dengan tanaman-tanaman yang gersang.
Kontur jalan naik turun belak belok dengan rambu-rambu lalu lintas yang cukup
komplit. Mengendarai motor di jalur ini mengingatkan saya beberapa waktu lalu
kala start balapan dari akhir dan finish di urutan empat. Ya, jalur ini saya
rasa akan sangat menarik jika dijadikan arena MotoGP. (Ngomongo dewe!) Barangkali, jalur ini memiliki panjang sekitar
7-10 kilometer. Asik, men!
Foto cantik jalur antara Cepu - Ngawi |
Pukul
satu siang, saya berencana mencari tempat untuk menunaikan shalat dhuhur.
Tetapi tiba-tiba saya dikejutkan oleh gerbang Selamat Datang Kabupaten Ngawi.
Itu tandanya, perjalanan saya hampir sampai. Saya pun dengan semangat memasuki
Ngawi dan memutuskan untuk shalat di rumah Ngawi saja karena setengah jam
kemudian, saya sudah berhasil melewati kota Ngawi dan finish di Kecamatan
Paron. Alhamdulillaah..
Gerbang masuk Kabupaten Ngawi |
Sesi Terakhir Ngawi – Solo -
Ungaran
Senin
pagi, 16 Nopember 2015 saya harus meninggalkan anak istri untuk kembali mencari
uang. Saya berangkat pagi sekali dari Ngawi. Jam tiga seperempat pagi saya
sudah memulai perjalanan melewati Ngale kemudian berjuang seorang diri
menaklukkan ganasnya kawasan hutan di Sidowayah – Mantingan. Jalur yang
terkenal karena sering memakan korban jiwa itu dimalam hari sudah dilengkapi
dengan patok-patok + skotlet. Sehingga terlihat bagus jika dilewati malam hari.
Tetapi pada beberapa bagian, belum ada rambu-rambu sama sekali. Saya agak-agak
takut saat tidak ada yang berpapasan. Jangan jangan saya tersesat,
jangan-jangan saya disesatkan oleh makhluk gaib, saya pun berulangkali
mengklakson jika melewati belokan tajam yang disertai jembatan juga pohon
besar. Takut.
Pukul
lima pagi, saya sudah sampai di Kartasura dan beristirahat menunaikan shalat
subuh. Memasuki Kota Boyolali, saya menyempatkan memotret beberapa bangunan
baru di kompleks Kantor Bupati yang baru di Mojosongo. Ternyata bagus, men.
Terlihat seperti kota baru yang diperuntukkan untuk kantor pemerintahan.
Selengkapnya silakan dilihat difoto-foto berikut.
Gerbang masuk area kompleks Kabupaten Boyolali di Mojosongo |
Alun alun baru Kab.Boyolali |
Patung sapi raksasa di samping kantor Bupati |
Kantor Sekretariat Daerah |
Gedung DPRD Kab. Boyolali |
Pukul
setengah tujuh pagi, saya sudah sampai di Ungaran dan mampir sarapan soto
pinggir jalan di Karangjati. Dan pukul tujuh saya sudah sampai rumah untuk
segera beristirahat sejenak sebelum berangkat kantor nantinya..
Dan inilah penampakan orang yang melakukan touring tersebut diatas :
Saya, di perbatasan Rembang - Blora |
Kalau pabrik di jepara tersebut dulu awalnya pabrik gula gak salah.
ReplyDeleteAda yang kelewat kayake. Gerbang perbatasan jateng jatim di kab sragen gak ada potonya. Hehe, omahku yo gak dilewati...
ohya mas ? saya kok menelusurinya ketemu pabrik karung pecangaan ya..
Deleteposisi perjalanan pulang ngawi - ungaran sengaja tidak motert2 mas. Selain mengejar waktu, juga aslinya udah bosen pemandangannya. Heheheh.. Pernah motretin sih...
Kalau pabrik di jepara tersebut dulu awalnya pabrik gula gak salah.
ReplyDeleteAda yang kelewat kayake. Gerbang perbatasan jateng jatim di kab sragen gak ada potonya. Hehe, omahku yo gak dilewati...
nice touring ...,
ReplyDeletesalut
Maturnuwun pak Soli Saroso.. pake VW juga enak pak . Hehehe
Deletebagus sekali info nya
ReplyDeletesangat bermanfaat sekali
terimakasih
sangat menginspirasi mas, besok mau ikuti jejak jenengan touring jepara-blora-cepu-ngawi
ReplyDeleteAlhamdulillah. Hati hati mas . Hehehe
Delete