Setelah
mengantongi ijin dari atasan, pagi kemarin (Jumat, 6 November 2015) saya
berangkat ke Tegal. Ini kali pertama saya melakukan solo traveling. Bukan traveling ke Solo loh, ya! Anak saya Dayu
Anjani baru berusia satu bulan persis. Saya pun kesulitan meminta ijin dari
Tika dan setelah merengek akhirnya saya pun diijinkan untuk dolan! Yey! (Suami
yang apa-apaan)
Saya
menyengaja berangkat pagi karena waktu saya terbatas sekali di Tegal nanti. Hanya
sehari semalam, lah. Sebelumnya saya sempat galau ingin naik angkutan apa,
kesananya. Karena beberapa waktu lalu saya baru suka membaca-baca tentang
misteri alas roban, termasuk melihat video penjelajahan alas roban dengan
motor, saya baru sadar jika tempat yang dimaksud adalah jalur khusus bus dan
truk di daerah Plelen, Gringsing Batang. Wealah! Saya aslinya sudah sering
lewat, yaa.. tetapi seperti yang pembaca ketahui, disana ada tiga jalur. Jalur utama
yang saya maksud diatas, jalur untuk kendaraan kecil dan motor di sebelah
utara, dan jalur lingkar beton baru di sebelah selatan.
Nah
berdasar latar belakang diatas, maka saya memutuskan untuk berangkat ke Tegal
menggunakan bus patas. Akhirnya saya nekat berangkat dari rumah sekitar pukul
setengah enam pagi dan jam enam saya sampai di Terboyo diantar Royal Safari
dari Ungaran. Setelah menyapa para penggemar Beyond The Traveling di Terminal
Terboyo, saya pun diberitahu untuk menuju agen bus Nusantara. Tiket seharga 55
ribu rupiah dan bus berangkat pukul 6,30. Di sana ada dua bis yang tengah
parkir. Satunya Nusantara Ijo karoseri Nusgem dengan mesin Scania tujuan
Purwokerto, dan yang akan saya tumpangi adalah Nusantara edisi Jetbus biasa
berwarna dominan ungu-pink.
Nusantara di Terminal Tegal |
Sayang
sekali, hotseat telah terisi, saya pun lalu mengganjal perut dengan arem-arem
dan lapis beli di ibuk penjual asongan. Bis berangkat pelan dan berhenti di
agen Kalibanteng. Waktu pemberhentian ini cukup lama sehingga saya tak kuasa
menahan kantuk. Bangun-bangun bis sudah pindah di kantor Cabang Nusantara di
Tugu, Mangkang. Disana saya lalu mengusahakan diri untuk melek. Bukan karena
apa-apa, karena tidak ingin ketiduran waktu bis lewat alas roban, nantinya.
Elalah..
setelah bis sampai di Gringsing, bis Nusantara ini melewati jalan lingkar baru.
Sehingga tidak lewat alas roban. Saya pun dirundung penyesalan. Kenapa tidak
tidur saja sedari tadi. Tetapi kabar baiknya, sudah lama sekali saya tidak
bepergian lewat pantura. Terakhir mungkin tiga tahun lalu saat ke Pemalang
dengan motor. Dan pemandangan-pemandangan kota dari dalam bis ini bisa saya
nikmati senikmat-nikmatnya.
Mendekati
pukul setengah dua belas, Nusantara merapat ke Terminal Kota Tegal setelah
berjibaku dengan kemacetan karena ulah pembetonan di dalam kota. Saya pun turun
dan segera menuju ke toilet. Setelah galau sesaat, akhirnya saya putuskan untuk
melanjutkan perjalanan menuju Brebes. Ohya, dalam traveling kali ini saya tidak
begitu mematangkan agenda perjalanan. Saya juga ingin sesekali melakukan kegiatan-kegiatan
dengan spontan.
Berdasarkan
informasi dari petugas Terminal, saya pun menyambangi bis Engkel jurusan
Tegal-Losari. Isinya banyak anak SMP pulang sekolah. Sekitar 200-300 meter
pasti berhenti.
“Om
kiri ooom”
“Om kiri ooom”
Ucap
mereka dengan polos saat ingin berhenti untuk turun. Sebagai traveler solo,
saya dikejutkan dengan adanya kemogokan bus. Niscaya saya harus dioper. Hiks hiks
hiks. Akhirnya saya pun mendapatkan bis operan dan kembali melanjutkan
perjalanan ke Brebes. Meski jaraknya tidak jauh, sekitar 7 Km saja, tetapi
keringat saya mengucur deras.. Karena ternyata daerah Tegal ini panasnya luar
biasa. Udaranya juga lengket-lengket gimanaa gitu. Maklum dekat dengan laut.
Dengan
membayar 6 ribu rupiah, saya turun di Alun-alun Brebes. Terdengar suara khotib
sudah berkhutbah menandakan saya harus segera mendekat kepada Tuhan YME. Akhirnya
saya pun menunaikan shalat jumat di lantai II Masjid Agung Brebes yang semilir
itu. Selesai shalat jumat, saya berencana mencari pusat oleh-oleh yang menurut
beberapa referensi terletak di sepanjang Jalan Diponegoro. Saya pun langsung
berasumsi jika jalan utama dekat alun-alun itu memang bernama Jalan Diponegoro.
Dan setelah jalan kaki sesaat, saya sadar kalau dengan jalan kaki, maka saya
harus menjadi bocah ilang sesaat untuk sampai di pusat oleh-oleh yang jaraknya
lumayan itu. Tetapi jangan khawatir, karena didekat alun-alun pun sudah banyak
toko atau kios yang menjajakan oleh-oleh khas Brebes. Telur asin! Saya pun
membeli dua belas butir telur asin dengan campuran separo telur rebus dan telur
bakar. Kemasannya saya pilih dus dengan bertuliskan oleh-oleh khas Brebes. Jika
memilih kemasan besek, maka harganya lebih murah. Tetapi kemasan bertulisan bagi
saya akan memberikan pengalaman psikologis yang lebih mendalam kepada penerima
oleh-oleh. Harganya, 21 ribu rupiah untuk satu dus berisi enam butir telur.
Videotron Brebes motif Bawang Merah |
Masjid Agung Brebes |
Setelah
berbincang dengan ibu penjual dan memotretnya, saya pun mengacungkan jempol
kepadanya sebagai ucapan terimakasih karena ia juga memberitahu saya angkutan
untuk kembali ke Tegal. Sebenarnya tidak sulit, tetapi bincang-bincang itu
merupakan sebuah hal yang baik untuk dilakukan oleh solo traveler seperti saya.
Supaya lebih akrab gitu.
Tempat saya beli telur asin |
Pulangnya
ke Tegal, saya membayar ongkos lima ribu rupiah dan turun di Terminal. Kemudian
menyambung bis engkel lagi jurusan Tegal – Bumiayu. Karena saya sudah membawa
peta dan sudah rajin membaca referensi, saya pun bilang kepada knek untuk turun
di perempatan RSUD Kardinah. Kenek tersebut saat saya beri umpan seharga
sepuluh ribu rupiah, tidak menunjukkan gelagat ingin memberi kembalian. Dan setelah
saya ancam dengan pistol walther PPK
milik 007, baru kemudian ia memberi saya kembalian lima ribu rupiah disaat saya
turun dari bis.
Beberapa
tukang becak menawari saya untuk menumpang. Tetapi dengan halus saya menolak
mereka. Saya lalu menghampiri seorang gadis yang tengah menunggu angkot.
“Mbak
permisi mau tanya, penjual es sagwan dekat RSUD Kardinah, sebelah mana ya?”
“Oh
itu mas. Dekat dengan rambu lalu lintas berwarna kuning. Ada tulisannya itu
lhooo”
Saya
pun memanggut dan berterimakasih lantas menyeberang jalan. Mendekati tulisan es
Sagwan yang terpampang dengan background warna kuning, di pinggir jalan. Warung
berwarna hijau itu berukuran sekitar 2,5 x 3 meteran saja. Saya pun clingak
clinguk sesaat karena tidak menemukan pembeli maupun penjualnya. Nah, akhirnya
saya ketemukan itu penjual sedang nongkrong di sebelah belakang warung.
“mas
saya beli es sagwan”
“pake
tape, gag?”
“boleh
mas..”
“wdgmgemweghgdeghegh”
ucap mas penjual sambil menyiapkan pesanan saya
“dingapunten
mas, saya kurang terbiasa dengan dialek sini.. gimana, mas?”
“baru
ini ya beli Es Sagwan?” tanyanya kemudian dengan intonasi yang lebih pelan.
Sembari
menyeruput es, saya pun terlibat obrolan yang seru dengan mas penjual. Lelaki itu
rupanya merupakan cucu dari Mbah Sagwan, yang merupakan pendiri Es legendaris
di Tegal ini. Ia melanjutkan usaha es dari ibunya sejak 2005 silam. Menurutnya,
es ini sekarang semakin banyak dikenal. Bahkan beberapa waktu yang lalu sempat
diliput oleh SCTV. Selain membicarakan bisnis Es Sagwan yang sudah
bercabang-cabang itu, kami juga berdiskusi tentang bangunan-bangunan bersejarah
di Kota Tegal.
Es
sagwan ini dibuat dengan air gula, dengan cendol berbahan aci putih, dimana es
dituangkan dengan cara digosrok terlebih dahulu, kemudian dicampur dengan sirup
gula. Pesanan saya include tape yang
semakin menyemarakkan rasa. Tidak ada salahnya karena saya belum makan sedari
pagi, saya menyemil beberapa potong tahu aci dan tempe goreng.
Dalam
beberapa hari terakhir penjualan Es Sagwan di warungnya tampak lebih sepi. Padahal
sebelumnya ramai sekali. Barangkali spekulasi yang berkembang adalah karena
sedang masa pancaroba dimana banyak manusia terserang penyakit batuk pilek. Sehingga
mereka menghindari es. Masuk akal,sih! Hehe.. Berbarengan dengan saya, dua
orang lelaki memesan dua gelas es dan membungkus sepuluh buah. Saya pun merasa
lega karena warungnya jadi laris. Akhirnya saya pun membayar delapan ribu
rupiah untuk seporsi es dan beberapa potong gorengan.
“Terimakasih
ya mas..” ucap saya sembari melenggang menyeberang jalan dan menunggu bis
kembali.
Sebuah
bis Engkel jurusan Bumiayu sukses mengantar saya ke Slawi. Karena saya bingung
hendak turun dimana, akhirnya saya ikut seorang penumpang yang turun di
Supermarket Yogya. Lokasinya berada di pusat Kota Slawi. Sejurus kemudian saya
hinggap di halte seberang supermarket. Seorang bapak bertopi kemudian saya ajak
ngobrol. Lelaki yang mengaku berasal dari Margasari itu rupanya merupakan tipe suami
yang tidak suka mendampingi istri dan anak belanja. Dan lebih memilik menunggu
diluar. :D memang pantas sih!
Barangkali
karena saya terlihat muda dan ganteng, ketika saya tanyakan tentang Museum
Sekolah Slawi, bapak itu langsung menanyakan : kuliah dimana, mas? Untuk bikin
penelitian atau tugas, ya?
Masjid Agung Slawi, saya pernah lho jumatan disini |
Saya
pun menampik semua tuduhan itu dan memperkenalkan bahwa saya berasal dari PT.
Beyond The Traveling yang sedang tersesat di Ibukota Kabupaten Tegal itu. Tidak
lama kami beramah tamah, berdasar petunjuknya saya langkahkan kaki menuju
bundaran Procot, sekitar 200 meter dari halte. Disana, tidak seperti petunjuk
sang bapak, saya justru menemukan sebuah Monumen Perjuangan. Lengkap dengan
anak-anak pulang sekolah yang tengah berselfie ria. “Ah mungkin juga itu museum
juga sudah tutup” bilang saya dalam hati. Saya akhirnya meluncur ke Indomaret
membeli air mineral dan mampir di sebuah warung makan.
Menu
yang tersisa siang itu adalah nasi lengko. Saya pesan setengah saja. Karena gatau
kenapa saya merasa kenyang. Mungkin karena saking senengnya bisa jalan-jalan. Jadi
lupa kalau lapar. Sekalian meneguk es teh, saya dengan cepat melahap salah satu
menu khas dari Tegal itu. Nasi dengan taburan taoge dan mentimun rajang, dengan
kuah kecap ditambah taburan remukan kerupuk. Enak!
Belum
puas rasanya saya tanya tentang Museum Sekolah, si ibu penjual bilang kepada
saya bahwa museumnya ada di sebelah utara bundaran. Tetapi pada jam-jam itu
tentu sudah tutup. Sebagai gantinya, saya berbasa-basi menanyakan arah
terminal. Kemudian saya pun kembali melangkahkan kaki dengan gontai menuju
terminal yang berada dekat dengan Yogya Supermarket. Berdasarkan penuturan
situs internet, lokasi yang saya tuju berada di depan Terminal Slawi. Eh saya
merasa tertipu, karena lokasi tujuan saya, Yogya Waterboom, ternyata berada di
belakang persis dari Yogya Supermarket. Kaki saya pun dipaksa kembali ke utara
menuju ke belakang Yogya Supermarket.
Pintu
masuk ke Waterboom hanya secuil saja. Hanya cukup untuk berpapasan dua orang. Memang
lokasi itu ternyata dikelilingi tembok tinggi dan kompleksnya tidak terlalu
luas. Lokasinya berada persis di belakang supermarket. Melihat penampakan bahwa
kebanyakan yang masuk adalah anak-anak, saya pun menjadi ciut nyali. Tapi dalam
hati berkata “Traveler pora?” dan akhirnya saya pun masuk dengan membayar
12,500 rupiah. Di hari Sabtu dan libur, tiket naik menjadi 15,000 rupiah.
Setelah
masuk, saya menjumpai tiga buah kolam yaitu kolam area bermain anak dengan
beberapa wahana pendukung, kemudian kolam prosodan dewasa dengan fasilitas waterslide yang lumayan menjanjikan
kengerian, dan sebuah kolam renang standar dengan ukuran yang lebih kecil.
Saya
bergegas ganti baju dan menaruh tas pada salah satu kursi taman. Disore hari
yang panas ini, mencebur ke kolam renang adalah hal yang sangat pas dan tepat. “Byur!”
saya menyemplung dan berenang beberapa kali untuk pemanasan. Dan tibalah
saatnya untuk menyalurkan hobi saya. Prosodan! Yey! Saya mencoba slide yang pendek terlebih dahulu. Utuk slide lurus, sengaja tidak saya coba
karena saya sudah tahu tidak akan terlalu seru. Pada slide meliuk yang pendek
ini, rasanya sudah cukup seru. Saya mencobanya dua kali. Sedangkan slide panjang dengan dua belokan itu
saya coba berulang – ulang karena sensasinya pas. Tidak terlalu ngeri, tapi
juga deg-degan. Yaa… Saya memang suka prosodan sih kalau pergi-pergi ke sebuah
kota.
Suasana kota Slawi |
Saya
berprosodan ria sekitar 40 menit lamanya. Kemudian ganti baju dan kembali mencegat
bis untuk pulang ke Kota Tegal. Dan sebagai bahan renungan pembaca sekalian, untuk kedua kalinya saya dioper oleh engkel tersebut karena kegagalan mesin di daerah Banjaran.
Mengacu
pada peta yang saya pegang, saya memutuskan untuk turun di perempatan Pasific
Mall. Darisitu, saya harus berjalan kali lebih kurang 300 meter melewati
trotoar yang sedang dilakukan perbaikan. Jalan itu bernama Jalan Mayjend Sutoyo
yang separonya sedang dikerjakan proyek pembetonan.
Jalan kaki ke Hotel Pramesthi |
Dan akhirnya saya sampai di
Hotel Pramesthi, yang saya dapatkan informasinya setelah mengulik wikimapia.org. Hotel itu menjadi
pilihan saya karena paling dekat dengan bioskop Gajahmada Cinema. Jam setengah
lima sore saya check in dan memesan
kamar paling murah seharga 130 ribu dengan fasilitas dua bed, kamar mandi
dalam, televisi, kipas angin, dan free
breakfast.
Toiletters di Hotel Pramesthi |
Badan
rasanya lebih segar setelah beristirahat selama sekitar dua setengah jam. Malam
itu saya akan city tour sejanak
dengan menyewa jasa tukang becak. Dengan ongkos sepuluh ribu rupiah, saya
menikmati perjalanan becak yang semilir ke alun-alun Kota Tegal. Disana saya
minta turun di samping BRI dan kemudian berjalan memutari alun-alun. Di malam
sabtu itu, rupanya banyak warga yang menghabiskan malam dengan berkuliner. Tenda-tenda
kuliner terpasang mengitari alun-alun. Pilihan terbanyak ada pada Mie Ayam,
sedangkan lainnya adalah tahu gejrot dan kupat glabed,juga kuliner lain yang
saya tidak sempat menghafalnya. Selain itu di beberapa titik juga menyajikan teh
poci khas kota Tegal.
Jejak
kaki saya terhenti di dekat Masjid Agung Tegal. Dibawah pemerintahan walikota
Siti Mashita, Tegal rupanya sedang bersolek. Alun alun dipercantik, Masjid
Agung sedang berpoles diri, dan banyak trotoar di kota mengalami perombakan. Disitu
saya memesan separo porsi Kupat Glabed dan es Teh. Cara makan kupat glabed ini
adalah dengan ditemani oleh beberapa tusuk sate. Dalam porsi pesanan saya,
dihidangkan sate ayam, sate kerang, dan sate kambing masing-masing tiga tusuk
ditaruh dalam piring tersendiri.
“Ini
tidak harus habis, kan bu, dihitung sesuai yang dimakan kan bu?” tanya saya
karena khawatir.
“Iya
mas.. diitung sesuai yang dimakan saja”
Kupat
Glabed ternyata merupakan irisan kupat dengan kuah kuning kental, ditabur
brambang goreng dan ditabur remukan krupuk kuning. Kerupuk itu terbuat dari
singkong. Bagi saya yang tidak terlalu cocok dengan makanan sebangsa kupat, lontong
dan sebagainya, setengah porsi sudah cukup. Rasanya gurih enak.. Saya juga
menghabiskan empat tusuk sate dari bermacam bahan seperti yang saya sebutkan
diatas. Untuk porsi makan malam saya ini, saya merogoh kocek dua puluh dua ribu
rupiah.
Perut
sudah kenyang, saya pun melaju kembali mencari tukang becak. Saya minta diantar
ke Bioskop Gajahmada Cinema. Sementara yang lain memarkir mobil dan motor, saya
merasa paling termarjinalkan karena turun dari becak lalu ikut-ikutan masuk ke
bioskop.
Tulisan
tentang Bioskop Gajahmada Cinema saya ulas tersendiri disini
Sabtu,7
November 2015
Pukul
lima pagi, pintu saya diketuk oleh petugas hotel. Ia membawakan saya sarapan
berupa nasi goreng telur dadar dan segelas teh hangat. Jatah saya sebenarnya
dua porsi, tetapi saya ambil seporsi saja. Itung-itung beramal. Jam setengah
enam pagi, setelah dandan rapi dan wangi, saya segera checkout dan membawa sarapan saya untuk saya makan di lobi. Sebenarnya
saya awalnya merencanakan ingin jalan jalan memotret bangunan-bangunan tua di
Kota Tegal dan ikut Kereta Kaligung pada pukul 9,45, tetapi karena saya sudah
terlanjur kangen dengan Tika dan Dayu, maka saya pilih pulang lebih awal.
Rupanya
Kota Tegal semalam diguyur hujan deras.
“iya
mas, sekitar jam dua”
Kata
petugas hotel saat melayani saya berbasa basi sembari makan.
Sarapan pagi yang terkoyak |
Entah
karena busung lapar atau apa, saya melahap sarapan dengan cepat. Rasanya cocok
dilidah saya. Tidak menunggu lama, setelah makanan habis, saya langsung cus
melaju ke depan bioskop Gajahmada untuk mengambil gambar. Kemudian segera saya
panggil tukang becak melalui aplikasi konvensional yaitu dengan mengacungkan
jari telunjuk kepada salah seorang tukang becak yang parkir.
“Minta
anter ke Stasiun, pak..”
Sepanjang
perjalanan pagi yang basah ini, bapak tukang becak salah menebak saya bahwa
saya terlihat masih bujangan dan ia menganggap saya sedang jalan-jalan semata. Ketika
ia saya bilangi saya sudah punya anak, ia terdengar terkejut. :D tidak terasa
sambil mengobrol, becak kami sudah sampai di Taman Poci. Saya minta turun
disitu saja karena ingin memotret bangunan Samarang
Cheribon Stoomtram Maatschappij atau SCS. Dari sana, saya langsung menuju
Stasiun Tegal dan membeli tiket Kamandaka seharga 55 ribu rupiah berangkat jam
07.05.
SCS Tegal |
Saya
toleh jam dilengan saya dan masih pukul enam seperempat. Saya pun menguji nyali
dengan jalan kali menuju alun-alun. Hanya untuk memotret tulisan “Kantor
Walikota Tegal”.
Saat ingin kembali ke stasiun, saya merasa sumuk dan baju saya
mulai basah keringat. Saya pun menyerah dan untuk terakhir kalinya meminta jasa
tukang becak kembali ke stasiun. Kamandaka telat sekitar tujuh menit. Begitu datang,
saya segera menemukan gerbong dan tempat duduk. Saya duduk bersama sekeluarga
yang ingin menuju ke Magelang. Sepanjang perjalanan, kami mengobrol banyak hal
tentang kondisi sosial ekonomi dan politik di Kota dan Kabupaten Tegal.
KA Kamandaka |
Jam
sepuluh pagi, saya sampai di Stasiun Tawang dan menemui tukang ojek yang
beruntung. Ia beruntung mendapat uang dari saya berkat mengantar saya ke
Terminal Terboyo. Dari Terboyo, saya mencegat Raya dan duduk di hot seat. Salah satu yang saya suka dari
Raya adalah tempat duduknya yang begitu empuk dan luas. Serasa di pesawat. Hingga
akhirnya pesawat ini akan mengantar saya ke Solo dan kemudian saya akan
berganti pesawat lain menuju ke Ngawi.
Foto lainnya :
Hotel tempat saya menginap |
Tegal yang mendung, tampak jauh Masjid Agung Kota Tegal |
Mimbar khusus walikota atau Inspektur Upacara |
Watertoren Tegal yang kokoh |
SCS |
SCS |
Watertoren Tegal |
Masjid Agung Tegal saat renovasi |
Suasana peron Stasiun Tegal |
Rincian pengeluaran solo traveling ke Tegal |
Terima kasih sudah meliput Tegal...
ReplyDeleteSama-sama mas, terimakasih sudah rela membaca liputan saya yang acakadut :D
DeleteSeruuu bro... Trus baru inget belum nulis tentang Brebes dan Tegal hahaha. Itu foto kios telor asinnya sama kayak yang aku beli juga, yang jual baik bahkan dulu sampe dicariin becak menuju Stasiun malam hari. ^^
ReplyDeleteWah, saya tunggu liputan tentang Tegal dan Brebes dari kamu, ya :D
DeleteKetoknya pengalamanmu menarik juga. Nanti aku di tag, ya!
wahhh bgitu srg berhenti di tegal tiap mudik ke solo, aku ga tau ttg es sagwan ini... kyknya seger ya mas... next kalo mudik lg, aku mnta suamiku nyariin ah
ReplyDeletenah, harus coba mbak. Murah kok cuma empat ribu dapet kesegeran legendaris. Jangan lupa. Jl. KS Tubun sebelah RS Kardinah
DeleteWalah... saya tinggal di Tegal. Kalau dulu kenal mah muter-muternya bisa dianterin pake motor aja. mumpung Kota Tegal kecil bisa diubek-ubek pake sepeda juga. Hehe...
ReplyDeleteHahaha.. Sayangnya belum kenal sih. Besok deh ya kalau pengen ke Tegal lagi :D
Delete