Tuesday, November 10, 2015

Sekejap Solo Traveling ke Tegal



Setelah mengantongi ijin dari atasan, pagi kemarin (Jumat, 6 November 2015) saya berangkat ke Tegal. Ini kali pertama saya melakukan solo traveling. Bukan traveling ke Solo loh, ya! Anak saya Dayu Anjani baru berusia satu bulan persis. Saya pun kesulitan meminta ijin dari Tika dan setelah merengek akhirnya saya pun diijinkan untuk dolan! Yey! (Suami yang apa-apaan)

Saya menyengaja berangkat pagi karena waktu saya terbatas sekali di Tegal nanti. Hanya sehari semalam, lah. Sebelumnya saya sempat galau ingin naik angkutan apa, kesananya. Karena beberapa waktu lalu saya baru suka membaca-baca tentang misteri alas roban, termasuk melihat video penjelajahan alas roban dengan motor, saya baru sadar jika tempat yang dimaksud adalah jalur khusus bus dan truk di daerah Plelen, Gringsing Batang. Wealah! Saya aslinya sudah sering lewat, yaa.. tetapi seperti yang pembaca ketahui, disana ada tiga jalur. Jalur utama yang saya maksud diatas, jalur untuk kendaraan kecil dan motor di sebelah utara, dan jalur lingkar beton baru di sebelah selatan.

Nah berdasar latar belakang diatas, maka saya memutuskan untuk berangkat ke Tegal menggunakan bus patas. Akhirnya saya nekat berangkat dari rumah sekitar pukul setengah enam pagi dan jam enam saya sampai di Terboyo diantar Royal Safari dari Ungaran. Setelah menyapa para penggemar Beyond The Traveling di Terminal Terboyo, saya pun diberitahu untuk menuju agen bus Nusantara. Tiket seharga 55 ribu rupiah dan bus berangkat pukul 6,30. Di sana ada dua bis yang tengah parkir. Satunya Nusantara Ijo karoseri Nusgem dengan mesin Scania tujuan Purwokerto, dan yang akan saya tumpangi adalah Nusantara edisi Jetbus biasa berwarna dominan ungu-pink.
Nusantara di Terminal Tegal

Sayang sekali, hotseat telah terisi, saya pun lalu mengganjal perut dengan arem-arem dan lapis beli di ibuk penjual asongan. Bis berangkat pelan dan berhenti di agen Kalibanteng. Waktu pemberhentian ini cukup lama sehingga saya tak kuasa menahan kantuk. Bangun-bangun bis sudah pindah di kantor Cabang Nusantara di Tugu, Mangkang. Disana saya lalu mengusahakan diri untuk melek. Bukan karena apa-apa, karena tidak ingin ketiduran waktu bis lewat alas roban, nantinya.

Elalah.. setelah bis sampai di Gringsing, bis Nusantara ini melewati jalan lingkar baru. Sehingga tidak lewat alas roban. Saya pun dirundung penyesalan. Kenapa tidak tidur saja sedari tadi. Tetapi kabar baiknya, sudah lama sekali saya tidak bepergian lewat pantura. Terakhir mungkin tiga tahun lalu saat ke Pemalang dengan motor. Dan pemandangan-pemandangan kota dari dalam bis ini bisa saya nikmati senikmat-nikmatnya.

Mendekati pukul setengah dua belas, Nusantara merapat ke Terminal Kota Tegal setelah berjibaku dengan kemacetan karena ulah pembetonan di dalam kota. Saya pun turun dan segera menuju ke toilet. Setelah galau sesaat, akhirnya saya putuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Brebes. Ohya, dalam traveling kali ini saya tidak begitu mematangkan agenda perjalanan. Saya juga ingin sesekali melakukan kegiatan-kegiatan dengan spontan.
 
Berdasarkan informasi dari petugas Terminal, saya pun menyambangi bis Engkel jurusan Tegal-Losari. Isinya banyak anak SMP pulang sekolah. Sekitar 200-300 meter pasti berhenti.

“Om kiri ooom”
 
“Om kiri ooom”

Ucap mereka dengan polos saat ingin berhenti untuk turun. Sebagai traveler solo, saya dikejutkan dengan adanya kemogokan bus. Niscaya saya harus dioper. Hiks hiks hiks. Akhirnya saya pun mendapatkan bis operan dan kembali melanjutkan perjalanan ke Brebes. Meski jaraknya tidak jauh, sekitar 7 Km saja, tetapi keringat saya mengucur deras.. Karena ternyata daerah Tegal ini panasnya luar biasa. Udaranya juga lengket-lengket gimanaa gitu. Maklum dekat dengan laut.
 
Dengan membayar 6 ribu rupiah, saya turun di Alun-alun Brebes. Terdengar suara khotib sudah berkhutbah menandakan saya harus segera mendekat kepada Tuhan YME. Akhirnya saya pun menunaikan shalat jumat di lantai II Masjid Agung Brebes yang semilir itu. Selesai shalat jumat, saya berencana mencari pusat oleh-oleh yang menurut beberapa referensi terletak di sepanjang Jalan Diponegoro. Saya pun langsung berasumsi jika jalan utama dekat alun-alun itu memang bernama Jalan Diponegoro. Dan setelah jalan kaki sesaat, saya sadar kalau dengan jalan kaki, maka saya harus menjadi bocah ilang sesaat untuk sampai di pusat oleh-oleh yang jaraknya lumayan itu. Tetapi jangan khawatir, karena didekat alun-alun pun sudah banyak toko atau kios yang menjajakan oleh-oleh khas Brebes. Telur asin! Saya pun membeli dua belas butir telur asin dengan campuran separo telur rebus dan telur bakar. Kemasannya saya pilih dus dengan bertuliskan oleh-oleh khas Brebes. Jika memilih kemasan besek, maka harganya lebih murah. Tetapi kemasan bertulisan bagi saya akan memberikan pengalaman psikologis yang lebih mendalam kepada penerima oleh-oleh. Harganya, 21 ribu rupiah untuk satu dus berisi enam butir telur.
Videotron Brebes motif  Bawang Merah
Masjid Agung Brebes

Setelah berbincang dengan ibu penjual dan memotretnya, saya pun mengacungkan jempol kepadanya sebagai ucapan terimakasih karena ia juga memberitahu saya angkutan untuk kembali ke Tegal. Sebenarnya tidak sulit, tetapi bincang-bincang itu merupakan sebuah hal yang baik untuk dilakukan oleh solo traveler seperti saya. Supaya lebih akrab gitu.
Tempat saya beli telur asin

Pulangnya ke Tegal, saya membayar ongkos lima ribu rupiah dan turun di Terminal. Kemudian menyambung bis engkel lagi jurusan Tegal – Bumiayu. Karena saya sudah membawa peta dan sudah rajin membaca referensi, saya pun bilang kepada knek untuk turun di perempatan RSUD Kardinah. Kenek tersebut saat saya beri umpan seharga sepuluh ribu rupiah, tidak menunjukkan gelagat ingin memberi kembalian. Dan setelah saya ancam dengan pistol walther PPK milik 007, baru kemudian ia memberi saya kembalian lima ribu rupiah disaat saya turun dari bis.

Beberapa tukang becak menawari saya untuk menumpang. Tetapi dengan halus saya menolak mereka. Saya lalu menghampiri seorang gadis yang tengah menunggu angkot.

“Mbak permisi mau tanya, penjual es sagwan dekat RSUD Kardinah, sebelah mana ya?”
“Oh itu mas. Dekat dengan rambu lalu lintas berwarna kuning. Ada tulisannya itu lhooo”

Saya pun memanggut dan berterimakasih lantas menyeberang jalan. Mendekati tulisan es Sagwan yang terpampang dengan background warna kuning, di pinggir jalan. Warung berwarna hijau itu berukuran sekitar 2,5 x 3 meteran saja. Saya pun clingak clinguk sesaat karena tidak menemukan pembeli maupun penjualnya. Nah, akhirnya saya ketemukan itu penjual sedang nongkrong di sebelah belakang warung.
 
“mas saya beli es sagwan”
“pake tape, gag?”
“boleh mas..”
“wdgmgemweghgdeghegh” ucap mas penjual sambil menyiapkan pesanan saya
“dingapunten mas, saya kurang terbiasa dengan dialek sini.. gimana, mas?”
“baru ini ya beli Es Sagwan?” tanyanya kemudian dengan intonasi yang lebih pelan.
 
Sembari menyeruput es, saya pun terlibat obrolan yang seru dengan mas penjual. Lelaki itu rupanya merupakan cucu dari Mbah Sagwan, yang merupakan pendiri Es legendaris di Tegal ini. Ia melanjutkan usaha es dari ibunya sejak 2005 silam. Menurutnya, es ini sekarang semakin banyak dikenal. Bahkan beberapa waktu yang lalu sempat diliput oleh SCTV. Selain membicarakan bisnis Es Sagwan yang sudah bercabang-cabang itu, kami juga berdiskusi tentang bangunan-bangunan bersejarah di Kota Tegal.
 
Es sagwan ini dibuat dengan air gula, dengan cendol berbahan aci putih, dimana es dituangkan dengan cara digosrok terlebih dahulu, kemudian dicampur dengan sirup gula. Pesanan saya include tape yang semakin menyemarakkan rasa. Tidak ada salahnya karena saya belum makan sedari pagi, saya menyemil beberapa potong tahu aci dan tempe goreng.

Dalam beberapa hari terakhir penjualan Es Sagwan di warungnya tampak lebih sepi. Padahal sebelumnya ramai sekali. Barangkali spekulasi yang berkembang adalah karena sedang masa pancaroba dimana banyak manusia terserang penyakit batuk pilek. Sehingga mereka menghindari es. Masuk akal,sih! Hehe.. Berbarengan dengan saya, dua orang lelaki memesan dua gelas es dan membungkus sepuluh buah. Saya pun merasa lega karena warungnya jadi laris. Akhirnya saya pun membayar delapan ribu rupiah untuk seporsi es dan beberapa potong gorengan.

“Terimakasih ya mas..” ucap saya sembari melenggang menyeberang jalan dan menunggu bis kembali.

Sebuah bis Engkel jurusan Bumiayu sukses mengantar saya ke Slawi. Karena saya bingung hendak turun dimana, akhirnya saya ikut seorang penumpang yang turun di Supermarket Yogya. Lokasinya berada di pusat Kota Slawi. Sejurus kemudian saya hinggap di halte seberang supermarket. Seorang bapak bertopi kemudian saya ajak ngobrol. Lelaki yang mengaku berasal dari Margasari itu rupanya merupakan tipe suami yang tidak suka mendampingi istri dan anak belanja. Dan lebih memilik menunggu diluar. :D memang pantas sih!

Barangkali karena saya terlihat muda dan ganteng, ketika saya tanyakan tentang Museum Sekolah Slawi, bapak itu langsung menanyakan : kuliah dimana, mas? Untuk bikin penelitian atau tugas, ya?
Masjid Agung Slawi, saya pernah lho jumatan disini

Saya pun menampik semua tuduhan itu dan memperkenalkan bahwa saya berasal dari PT. Beyond The Traveling yang sedang tersesat di Ibukota Kabupaten Tegal itu. Tidak lama kami beramah tamah, berdasar petunjuknya saya langkahkan kaki menuju bundaran Procot, sekitar 200 meter dari halte. Disana, tidak seperti petunjuk sang bapak, saya justru menemukan sebuah Monumen Perjuangan. Lengkap dengan anak-anak pulang sekolah yang tengah berselfie ria. “Ah mungkin juga itu museum juga sudah tutup” bilang saya dalam hati. Saya akhirnya meluncur ke Indomaret membeli air mineral dan mampir di sebuah warung makan.

Menu yang tersisa siang itu adalah nasi lengko. Saya pesan setengah saja. Karena gatau kenapa saya merasa kenyang. Mungkin karena saking senengnya bisa jalan-jalan. Jadi lupa kalau lapar. Sekalian meneguk es teh, saya dengan cepat melahap salah satu menu khas dari Tegal itu. Nasi dengan taburan taoge dan mentimun rajang, dengan kuah kecap ditambah taburan remukan kerupuk. Enak!
 
Belum puas rasanya saya tanya tentang Museum Sekolah, si ibu penjual bilang kepada saya bahwa museumnya ada di sebelah utara bundaran. Tetapi pada jam-jam itu tentu sudah tutup. Sebagai gantinya, saya berbasa-basi menanyakan arah terminal. Kemudian saya pun kembali melangkahkan kaki dengan gontai menuju terminal yang berada dekat dengan Yogya Supermarket. Berdasarkan penuturan situs internet, lokasi yang saya tuju berada di depan Terminal Slawi. Eh saya merasa tertipu, karena lokasi tujuan saya, Yogya Waterboom, ternyata berada di belakang persis dari Yogya Supermarket. Kaki saya pun dipaksa kembali ke utara menuju ke belakang Yogya Supermarket.

Pintu masuk ke Waterboom hanya secuil saja. Hanya cukup untuk berpapasan dua orang. Memang lokasi itu ternyata dikelilingi tembok tinggi dan kompleksnya tidak terlalu luas. Lokasinya berada persis di belakang supermarket. Melihat penampakan bahwa kebanyakan yang masuk adalah anak-anak, saya pun menjadi ciut nyali. Tapi dalam hati berkata “Traveler pora?” dan akhirnya saya pun masuk dengan membayar 12,500 rupiah. Di hari Sabtu dan libur, tiket naik menjadi 15,000 rupiah.

Setelah masuk, saya menjumpai tiga buah kolam yaitu kolam area bermain anak dengan beberapa wahana pendukung, kemudian kolam prosodan dewasa dengan fasilitas waterslide yang lumayan menjanjikan kengerian, dan sebuah kolam renang standar dengan ukuran yang lebih kecil.




Saya bergegas ganti baju dan menaruh tas pada salah satu kursi taman. Disore hari yang panas ini, mencebur ke kolam renang adalah hal yang sangat pas dan tepat. “Byur!” saya menyemplung dan berenang beberapa kali untuk pemanasan. Dan tibalah saatnya untuk menyalurkan hobi saya. Prosodan! Yey! Saya mencoba slide yang pendek terlebih dahulu. Utuk slide lurus, sengaja tidak saya coba karena saya sudah tahu tidak akan terlalu seru. Pada slide meliuk yang pendek ini, rasanya sudah cukup seru. Saya mencobanya dua kali. Sedangkan slide panjang dengan dua belokan itu saya coba berulang – ulang karena sensasinya pas. Tidak terlalu ngeri, tapi juga deg-degan. Yaa… Saya memang suka prosodan sih kalau pergi-pergi ke sebuah kota.
  
Suasana kota Slawi
Saya berprosodan ria sekitar 40 menit lamanya. Kemudian ganti baju dan kembali mencegat bis untuk pulang ke Kota Tegal. Dan sebagai bahan renungan pembaca sekalian, untuk kedua kalinya saya dioper oleh engkel tersebut karena kegagalan mesin di daerah Banjaran.

Mengacu pada peta yang saya pegang, saya memutuskan untuk turun di perempatan Pasific Mall. Darisitu, saya harus berjalan kali lebih kurang 300 meter melewati trotoar yang sedang dilakukan perbaikan. Jalan itu bernama Jalan Mayjend Sutoyo yang separonya sedang dikerjakan proyek pembetonan. 
Jalan kaki ke Hotel Pramesthi

Dan akhirnya saya sampai di Hotel Pramesthi, yang saya dapatkan informasinya setelah mengulik wikimapia.org. Hotel itu menjadi pilihan saya karena paling dekat dengan bioskop Gajahmada Cinema. Jam setengah lima sore saya check in dan memesan kamar paling murah seharga 130 ribu dengan fasilitas dua bed, kamar mandi dalam, televisi, kipas angin, dan free breakfast.
Toiletters di Hotel Pramesthi

Badan rasanya lebih segar setelah beristirahat selama sekitar dua setengah jam. Malam itu saya akan city tour sejanak dengan menyewa jasa tukang becak. Dengan ongkos sepuluh ribu rupiah, saya menikmati perjalanan becak yang semilir ke alun-alun Kota Tegal. Disana saya minta turun di samping BRI dan kemudian berjalan memutari alun-alun. Di malam sabtu itu, rupanya banyak warga yang menghabiskan malam dengan berkuliner. Tenda-tenda kuliner terpasang mengitari alun-alun. Pilihan terbanyak ada pada Mie Ayam, sedangkan lainnya adalah tahu gejrot dan kupat glabed,juga kuliner lain yang saya tidak sempat menghafalnya. Selain itu di beberapa titik juga menyajikan teh poci khas kota Tegal.

Jejak kaki saya terhenti di dekat Masjid Agung Tegal. Dibawah pemerintahan walikota Siti Mashita, Tegal rupanya sedang bersolek. Alun alun dipercantik, Masjid Agung sedang berpoles diri, dan banyak trotoar di kota mengalami perombakan. Disitu saya memesan separo porsi Kupat Glabed dan es Teh. Cara makan kupat glabed ini adalah dengan ditemani oleh beberapa tusuk sate. Dalam porsi pesanan saya, dihidangkan sate ayam, sate kerang, dan sate kambing masing-masing tiga tusuk ditaruh dalam piring tersendiri.
 
“Ini tidak harus habis, kan bu, dihitung sesuai yang dimakan kan bu?” tanya saya karena khawatir.
“Iya mas.. diitung sesuai yang dimakan saja”

Kupat Glabed ternyata merupakan irisan kupat dengan kuah kuning kental, ditabur brambang goreng dan ditabur remukan krupuk kuning. Kerupuk itu terbuat dari singkong. Bagi saya yang tidak terlalu cocok dengan makanan sebangsa kupat, lontong dan sebagainya, setengah porsi sudah cukup. Rasanya gurih enak.. Saya juga menghabiskan empat tusuk sate dari bermacam bahan seperti yang saya sebutkan diatas. Untuk porsi makan malam saya ini, saya merogoh kocek dua puluh dua ribu rupiah.

Perut sudah kenyang, saya pun melaju kembali mencari tukang becak. Saya minta diantar ke Bioskop Gajahmada Cinema. Sementara yang lain memarkir mobil dan motor, saya merasa paling termarjinalkan karena turun dari becak lalu ikut-ikutan masuk ke bioskop.

Tulisan tentang Bioskop Gajahmada Cinema saya ulas tersendiri disini
 
Sabtu,7 November 2015

Pukul lima pagi, pintu saya diketuk oleh petugas hotel. Ia membawakan saya sarapan berupa nasi goreng telur dadar dan segelas teh hangat. Jatah saya sebenarnya dua porsi, tetapi saya ambil seporsi saja. Itung-itung beramal. Jam setengah enam pagi, setelah dandan rapi dan wangi, saya segera checkout dan membawa sarapan saya untuk saya makan di lobi. Sebenarnya saya awalnya merencanakan ingin jalan jalan memotret bangunan-bangunan tua di Kota Tegal dan ikut Kereta Kaligung pada pukul 9,45, tetapi karena saya sudah terlanjur kangen dengan Tika dan Dayu, maka saya pilih pulang lebih awal.

Rupanya Kota Tegal semalam diguyur hujan deras.

“iya mas, sekitar jam dua”

Kata petugas hotel saat melayani saya berbasa basi sembari makan.
Sarapan pagi yang terkoyak

Entah karena busung lapar atau apa, saya melahap sarapan dengan cepat. Rasanya cocok dilidah saya. Tidak menunggu lama, setelah makanan habis, saya langsung cus melaju ke depan bioskop Gajahmada untuk mengambil gambar. Kemudian segera saya panggil tukang becak melalui aplikasi konvensional yaitu dengan mengacungkan jari telunjuk kepada salah seorang tukang becak yang parkir.

“Minta anter ke Stasiun, pak..”
Sepanjang perjalanan pagi yang basah ini, bapak tukang becak salah menebak saya bahwa saya terlihat masih bujangan dan ia menganggap saya sedang jalan-jalan semata. Ketika ia saya bilangi saya sudah punya anak, ia terdengar terkejut. :D tidak terasa sambil mengobrol, becak kami sudah sampai di Taman Poci. Saya minta turun disitu saja karena ingin memotret bangunan Samarang Cheribon Stoomtram Maatschappij atau SCS. Dari sana, saya langsung menuju Stasiun Tegal dan membeli tiket Kamandaka seharga 55 ribu rupiah berangkat jam 07.05.
SCS Tegal
 
Saya toleh jam dilengan saya dan masih pukul enam seperempat. Saya pun menguji nyali dengan jalan kali menuju alun-alun. Hanya untuk memotret tulisan “Kantor Walikota Tegal”. 
Saat ingin kembali ke stasiun, saya merasa sumuk dan baju saya mulai basah keringat. Saya pun menyerah dan untuk terakhir kalinya meminta jasa tukang becak kembali ke stasiun. Kamandaka telat sekitar tujuh menit. Begitu datang, saya segera menemukan gerbong dan tempat duduk. Saya duduk bersama sekeluarga yang ingin menuju ke Magelang. Sepanjang perjalanan, kami mengobrol banyak hal tentang kondisi sosial ekonomi dan politik di Kota dan Kabupaten Tegal.
KA Kamandaka

Jam sepuluh pagi, saya sampai di Stasiun Tawang dan menemui tukang ojek yang beruntung. Ia beruntung mendapat uang dari saya berkat mengantar saya ke Terminal Terboyo. Dari Terboyo, saya mencegat Raya dan duduk di hot seat. Salah satu yang saya suka dari Raya adalah tempat duduknya yang begitu empuk dan luas. Serasa di pesawat. Hingga akhirnya pesawat ini akan mengantar saya ke Solo dan kemudian saya akan berganti pesawat lain menuju ke Ngawi.

Foto lainnya :


Hotel tempat saya menginap

Tegal yang mendung, tampak jauh Masjid Agung Kota Tegal

Mimbar khusus walikota atau Inspektur Upacara

Watertoren Tegal yang kokoh



SCS



SCS



Watertoren Tegal

Masjid Agung Tegal saat renovasi



Suasana peron Stasiun Tegal

Rincian pengeluaran solo traveling ke Tegal

8 comments:

  1. Replies
    1. Sama-sama mas, terimakasih sudah rela membaca liputan saya yang acakadut :D

      Delete
  2. Seruuu bro... Trus baru inget belum nulis tentang Brebes dan Tegal hahaha. Itu foto kios telor asinnya sama kayak yang aku beli juga, yang jual baik bahkan dulu sampe dicariin becak menuju Stasiun malam hari. ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, saya tunggu liputan tentang Tegal dan Brebes dari kamu, ya :D
      Ketoknya pengalamanmu menarik juga. Nanti aku di tag, ya!

      Delete
  3. wahhh bgitu srg berhenti di tegal tiap mudik ke solo, aku ga tau ttg es sagwan ini... kyknya seger ya mas... next kalo mudik lg, aku mnta suamiku nyariin ah

    ReplyDelete
    Replies
    1. nah, harus coba mbak. Murah kok cuma empat ribu dapet kesegeran legendaris. Jangan lupa. Jl. KS Tubun sebelah RS Kardinah

      Delete
  4. Walah... saya tinggal di Tegal. Kalau dulu kenal mah muter-muternya bisa dianterin pake motor aja. mumpung Kota Tegal kecil bisa diubek-ubek pake sepeda juga. Hehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha.. Sayangnya belum kenal sih. Besok deh ya kalau pengen ke Tegal lagi :D

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...