Bekakas, Smash |
Berhubung sudah lama sekali saya
tidak touring maka ketika ada kesempatan, kegiatan touring ke Ngawi tidak saya
sia-siakan. Kemarin, saya memutuskan untuk single touring menggunakan bekakas
(bergejil suka motor bekas) kesayangan yang merupakan motor gojlogan yang sudah terbiasa disiksa. Yaitu Suzuki Smash 110 cc Tahun 2007. Yang mana sudah
bolak balik ke Ngawi.
Single touring kali ini saya
menyengaja untuk mencari rute rute yang tidak biasa, salah satunya adalah jalan
yang belum saya coba sama sekali seumur hidup yaitu Purwodadi – Blora. Nah
sepanjang jalan itu yang membuat saya penasaran bagaimana rasanya riding di
sana.
Saya start dari Ungaran sehabis
jumatan (26/6/2020) kemarin. Cuaca terbilang mendung sehingga tidak lupa harus
mengisi perut dengan tolak angin dahulu agar perjalanan terasa hangat. Dari
Ungaran, saya memutuskan untuk belok kiri di Pertigaan Karangjati dan menuju
Pringapus. Rute ini adalah salah satu pintasan menuju Salatiga via Bringin.
Kenapa saya memilih melalui sana, karena satu, medannya seru, dan yang kedua
mendekatkan ke kawasan Bringin yang akan saya tempuh untuk menuju Kedungjati.
Kantor Desa Jatirunggo |
Desa terakhir dari Pringapus
adalah sebuah desa perkebunan karet Jatirunggo. Dari sana, medan terjal menurun
menukik membelah hutan jati. Untung saja saat ini sudah mayoritas dicor
jalannya sehingga lebih nyaman untuk dilalui. Jalan jalan cor ini terus
tersambung melalui Dusun Kunciputih hingga PLTA Timo di Kecamatan Tuntang.
Saya cukup hafal rute ini karena
pernah beberapa kali melewatinya kira kira satu dasawarsa lalu sebagai jalan
alternatif menuju Salatiga.
Kondisi medan tembus Ungaran - Bringin |
PLTA Timo |
Sebenarnya jika memang ingin,
saya bisa melalui salah satu PLTA bersejarah lagi yaitu PLTA Jelok. Tetapi
karena ada jalan pintas ke Bringin, maka saya mending melewati saja jalan
pintasan kampung itu. Alhamdulillah sekarang pembangunan telah merata dibanding
sepuluh tahun lalu dimana saya harus ekstra hati hati karena banyak jalan belum
beraspal.
Namanya sudah kepala tiga, ada
saja yang lupa ketika melewati sebuah pertigaan sehingga harus Gunakan Penduduk
Setempat.
“Boy, mau tanya jalan ke arah
Bringin lewat mana yha?” tanya saya kepada seorang pemuda bermotor Satria F
yang tak sengaja saya jumpai di dekat warung nasi rames.
“Lurus aja mas”
Akhirnya saya mengikuti arahannya
dan melewati Dusun Kroyo sebelum sampai di pusat Kecamatan Bringin.
**
Reaktivasi jalur Kereta Api
Ambarawa Kedungjati via Bringin yang digadang – gadang pemerintah beberapa
waktu lalu nyatanya masih mogok saja. Saya tengok bekas stasiun Bringin yang
masih ndongkrok, ditutup seng. Pun rencana jalan kereta yang telah dibersihkan
dan beberapa diantaranya sudah dibetulkan jembatannya, kelihatannya masih
menunggu untuk dikerjakan. Sepanjang Bringin – Gogodalem – Tempuran memang
mudah ditemui bekas jalur kereta (bukan relnya) tapi terlihat secara visual
medannya.
Kecamatan Bringin |
Menjelang Gogodalem, saya melihat
salah satu sahabat perjalanan yaitu Pertamina. Rupanya ini adalah SPBU Baru.
Terlihat dari bangunannya yang masih bersih dan pegawainya yang masih sopan
sopan dan muda muda.
“Mau ke mana mas?” tanya pegawai
SPBU
“Mau ke Ngawi via Purwodadi Blora
mas”
“OK”
(Percakapan yang sebenarnya tidak
terjadi)
SPBU Bringin |
Saya menyukai jalur ini dibanding
jalur lain karena sudah lama tidak lewat sini. Terakhir kira kira dua tahun
lalu saat booming lagu Ya Habibal Qalbi nya Nissa Sabyan. Waktu itu saya
sengaja iseng menjajal jalur ini dengan Motuba untuk menuju Gubug.
Masuk Grobogan dari Bringin |
Sepanjang jalur ini rutenya
didominasi oleh pemandangan hutan jati. Selain itu, rutenya yang berkelok
membuat saya fresh karena tidak bosan. Saya jelas tidak hafal betul jalan jalan
ini sehingga sesekali saya mengira bahwa ini sudah mendekati Kedungjati. Eh
ternyata belum.
Sekitar Kedungjati |
Dekat dengan Kedungjati, banyak
kawasan pemukiman yang model rumahnya sangat kuno yaitu menggunakan konstruksi
kayu jati. Eksotis.. salah satunya adalah bangunan gereja. Di sekitar situ
kelihatannya memang banyak rumah rumah pegawai perhutani.
Dok Agus Trisarjoko melalui googlemap |
Baru ketika saya melihat sebuah
tempat pelelangan kayu (TPK) akhirnya saya baru ingat bahwa saya sudah hampir
sampai Kedungjati. Yay benar. Akhirnya saya sampai di Kedungjati. Sebuah kota
kecil yang saya bayangkan sangat ramai pada masanya. Terutama karena ada
stasiun besar di sana. Sebuah stasiun yang mirip atau mungkin malah sama dengan
Stasiun Ambarawa. Merupakan stasiun percabangan rute antara Surabaya – Semarang
– Jogja (Vorstenlanden).
St. Kedungjati |
Hanya sekali lagi, rencana
reaktivasi diatas masih belum ada progres pekerjaan. Kurang tahu karena apa.
**
Sebenarnya saya mentarget bahwa
dalam satu jam perjalanan saya harusnya sudah sampai di Purwodadi. Ternyata
jauh panggang dari babi. Karena dari Kedungjati ke Gubug pun tak sedekat yang
ada di pikiran saya. Selain itu juga, dari Gubug ke Purwodadi pun tidak sedekat
yang melesat di otak.
Sepanjang Gubug hingga Purwodadi,
jalanan relatif halus. Kalau ada satu dua lubang di aspal sih saya kira normal
saja. Yaa memang ada beberapa ruas yang kacau seperti di daerah Godong, tetapi
tidak seberapa fatal, sih.
Salahsatu gerbang desa yang sangat megah |
Disini, waktu telah menunjuk jam
tiga kurang setengah jam. Artinya saya sudah satu setengah jam berkendara dan
belum ada tanda tanda saya segera sampai di Purwodadi, pusat Kabupaten
Grobogan. Saya coba geber smash. Sehabis ganti rantai dan gearset memang terasa
sangat nyaman. Karena speedometer saya sudah mati, setiap ada lintasan lurus
dan mulus maka saya geber dengan kecepatan kira kira 300 Km per 3 Jam.
Suasana Pertigaan Gubug |
Gerbang masuk Kota Purwodadi |
Jam tiga, terdengar suara adzan
ashar ketika saya sampai di pusat kota Purwodadi. Purwodadi kotanya tidak
begitu ramai. Pembangunan ikon ikon kota terlihat begitu megah dan mewah
seperti tugu selamat datang, atau simpang Segitiga Emas. Semua nampak gagah.
Ikon Segitiga Emas, Purwodadi |
Saya pelankan motor untuk berfoto
sejenak di kawasan alun alun sekaligus minum. Sementara tangki saya tengok
masih terlihat baik dan belum ada tanda tanda minta segera diisi.
**
Alun alun Purwodadi |
Dari alun-alun Purwodadi saya putar
gas menuju arah Blora. Kecamatan yang dilewati diantaranya adalah Tawangharjo
dan Wirosari. Di sepanjang dua Kecamatan itu jalanan sebagian beraspal halus
dan sebagian bercor halus. Nyaman. Hanya beberapa ratus meter saja di dekat
pusat kota Wirosari terlihat beberapa ruas yang rusak. Selebihnya gas pol.
Alun alun Purwodadi |
Dalam benak saya, jalur ini
hampir mirip dengan jalan pantura Rembang ketika belum ada pelebaran. Kanan
kiri berupa sawah sawah dengan aroma laut dan aroma damen yang kuat. Sesekali
berpapasan dengan bis tanggung jurusan Purwodadi – Sulursari. Mana ya Sulursari
saya tidak tahu.
Perjalanan ini bagi saya sangat
lama sekali karena meskipun sepi dan gaspol, saya merasa tidak sampai sampai di
Perbatasan Blora. Dan setelah mengumpulkan kesabaran, ditambah dengan cuaca
yang bersahabat akhirnya saya sampai di perbatasan Grobogan – Blora. Tugu masuk
Kabupaten Blora sungguh megah. Yang rupanya, perbatasan ini tidak seperti
biasanya berada di Sungai, tetapi di Pemukiman. Akhirnya minggir sebentar untuk
berfoto.
Gapura Batas Grobogan - Blora |
Masuk di Kabupaten Blora,
kecamatan pertama yang saya lalui adalah Kunduran. Di sana saya tengok jam di
pergelangan tangan kiri menunjukkan hampir pukul empat. Akhirnya saya tepikan
motor di salah satu SPBU setelah KDR Park (Kunduran Park). Ohya, saya lihat ada
tempat wisata yang mungkin lain kali bisa dieksplor untuk bahan video #dinoiki
seperti Kunduran Park, taman wisata air (lupa namanya) dan Goa Terawangan
(semoga tidak salah).
Mampir ke SPBU untuk shalat ashar
dan istirahat sejenak minum es teh. Saya lihat tangki saya sudah minta diisi,
tetapi berhubung antrian pertalite sangat panjang akhirnya saya putuskan untuk
mengisi di SPBU selanjutnya saja. Dua puluh menit beristirahat kiranya sudah
cukup.
Setelah bulak panjang, kembali
saya tarik penuh tuas gas dan menyalip beberapa kendaraan lokal baik dari roda
dua, mobil pribadi, bus dan truk semua saya libas tanpa ampun. Bulak panjang
berakhir ketika masuk ke sebuah Kecamatan. Ngawen namanya. Mampir sebentar
minum Pertalite dua puluh ribu kemudian perjalanan tampak sudah berasa aroma
aroma Kota. Tinggal ikuti saja petunjuk ijo ijo ke arah Blora / Surabaya. Pusat
kota Ngawen juga tampak ramai sore itu. Ada banyak penjual makanan khas pinggir
jalan yang sudah membuka lapaknya seperti molen, gorengan, martabak, kue
bandung, dan lain sebagainya.
SPBU Ngawen Blora |
Masuk Kota Blora |
Koplakan, foodcourt Blora |
Di salah satu sudut jalan,
tertulis baliho besar iklan salah satu hotel di Blora dengan jarak empat
kilometer lagi. Wah berarti saya sudah hampir sampai nih, gumam saya dalam
hati. Benar saja, tidak begitu lama saya segera menemui tugu perbatasan masuk
Kota Blora. Blora Mustika, slogannya. Kota yang bersih dan kecil. Sengaja saya
lewat dalam kota karena ingin melihat suasana Blora pada sore hari.
Beberapa ratus meter dekat dengan
alun-alun ada sebuah bangunan mewah yang difungsikan sebagai foodcourt
(sepertinya) bernama Koplakan. Di pinggir – pingir jalan juga telah siap mereka
yang menggantungkan hidup dari berdagang seperti angkringan dan penjual onde
onde mini.
**
Pendopo Bupati Blora |
Alun-alun Blora tampak rampai
sekali sore itu. Bahkan di masa pandemi ini, sebuah istana balon mainan anak
telah berdiri seakan mengabaikan kedatangan virus Covid 19. Sementara itu
berjejer sepeda motor tumpah ruah mereka beraktivitas di pusat kota. Di depan
Pendopo Bupati Blora, tampak beberapa komunitas sepeda memarkir sepeda
kesayangannya masing-masing dengan rapi.
Alun alun Blora |
OK, Blora maaf saya hanya lewat
saja karena waktu memperlihatkan sudah cukup sore. Mungkin lain waktu bisa
nunut singgah barang semalam.
Blora kotanya tidak begitu besar.
Banyak bangunan kuno di pusat kota seperti kantor kantor militer dan lainnya. Selain
itu juga ada sebuah bangunan besar bekas Stasiun Blora yang kini masih tegak
berdiri dipinggir jalan, beralih fungsi menjadi pasar.
Perjalanan dari Blora ke Cepu
terakhir saya lakukan lima tahun lalu dengan kendaraan dinas Shogun 125. Kala itu,
kondisi jalan masih sempit dan bisa dibilang tidak halus. Tapi kini semua telah
berubah. Blora ke Cepu sudah sangat mulus dan lebar. Bahkan, berhubung kota –
kota ini tidak berada di lintasan utama Pulau Jawa, maka suasana lalu lintas
menjadi sangat sepi. Gas saya pentokkan hingga mesin smash berhasil mengajak
lari saya maksimal 110 Km per jam. Sayang, bolam lampu dekat saya mati sehingga
terpaksa menggunakan lampu jauh sembari melihat barangkali masih ada bengkel
yang masih buka.
Sepanjang Blora - Cepu |
Dua wilayah yang saya lintasi
yaitu Jepon dan Jiken, kesemuanya bisa saya libas beberapa menit saja. Saya
bahkan tidak menyangka kalau ke Cepu bisa secepat ini.
**
Adzan maghrib menyambut saya
ketika masuk kota Cepu. Cepu sebagai salah satu kecamatan di Blora perkembangannya
sungguh menggeliat. Jika dilihat lihat suasana kota Cepu mirip mirip daerah
Muntilan atau Ambarawa. Tapi sayangnya gapura masuk Cepu dari Blora kok biasa
saja dan kurang wow...
Gerbang Masuk Kota Cepu |
Saya tidak hafal tentang kota
Cepu dengan jalan-jalannya. Yang saya tahu, saya pasti akan bertemu beberapa
bangunan kolonial yang masih terawat seperti Polsek dan Koramil, juga Stasiun
Cepu. Hari sudah mulai gelap, saya ikuti saja petunjuk arah menuju Bojonegoro.
Suasana Kantor L |
Gerbang Batas Jateng Jatim |
Dan akhirnya saya pun masuk Jawa
Timur setelah menyeberang jembatan Bengawan Solo. Sudah hampir gelap. Saya
sudah melupakan untuk mencari bengkel membeli bohlam cadangan. Saya hanya ingin
menunggu angka jam menunjuk angka 6 dan beristirahat shalat maghrib di sebuah
SPBU.
Dari Cepu ke Ngawi, tinggal belok
kanan di bangjo Padangan, Bojonegoro. Dari sana, suasana jalanan sangat lebar
dengan konstruksi cor. Saya bisa melesat dengan sangat cepat karena sepinya
lalu lintas. Hingga saya putuskan untuk berhenti mampir di sebuah SPBU Baru
daerah Padangan untuk shalat maghrib dan berdoa semoga perjalanan lancar sampai
Ngawi.
Istirahat SPBU Padangan |
**
Lepas istirahat 20 menit, kembali
saya gojlog smash melahap sepinya jalan raya menuju Ngawi ini. Berbeda dengan
dulu yang masih banyak jalan rusak, kini sudah mulus semuanya. Bahkan ketika
melewati medan berkelok, saya tidak pernah bisa mengurangi tarikan gas karena
jalan yang sungguh nyaman dan mulus serta suasana yang sungguh sepi. Hingga di
satu titik, sepinya malam kian mencekam. Saya riding seorang diri tanpa ada
yang berpapasan maupun menyalip dari belakang. Terlihat kanan kiri hanya hutan
hutan jati dan dilangit tampak bertabur bintang.
Suasana antara Cepu - Ngawi |
Saya tepikan motor sejenak untuk
merasakan suasana yang sangat hening ini. Satu yang saya suka yaitu melihat
kerlap kerlip bintang di langit dengan zero polution baik polusi udara maupun
polusi cahaya. Indah!
Perjalanan terus dilanjutkan
untuk mencari gerbang masuk ke Ngawi setelah melewati Kecamatan Margomulyo. Eh
rupanya, gerbang selamat datang Kabupaten Ngawi ini tidak dilengkapi
pencahayaan sehingga ketika gelap sangat susah terlihat. Sehingga terlewat
untuk saya potret.
Kartonyono Medot Janji |
Dari gerbang Kabupaten Ngawi ini,
perjalanan tinggal sebentar saja untuk sampai ke Kota Ngawi. Paling lama 10
menit saya sudah berhasil masuk Ngawi dan merangsek ke pusat kota untuk
memotret Tugu Kartonyono.
Jam 7 malam saya sampai di rumah Ngawi
setelah menempuh perjalanan kurang lebih 130 mil (330 Km) versi google map yang
saya tempuh selama enam jam. Benar benar perjalanan yang menyenangkan!
Meski smash saya sudah berusia 13 tahun, tapi tarikannya masih gaspol. Dan julukannya sebagai sigesit irit masih saya rasakan hingga kini. Dari Ungaran, tangki terisi sekitar 10 ribu, dan sepanjang Ungaran hingga Ngawi melalui rute map berikut (330 Km) saya hanya mengisi pertalite 2 x Rp 20.000 saja. Tidak menyesal saya punya bekakas ini.
No comments:
Post a Comment