Monday, June 29, 2020

Single Touring Pakai Bekakas, Kedungjati - Blora - Ngawi

Bekakas, Smash

Berhubung sudah lama sekali saya tidak touring maka ketika ada kesempatan, kegiatan touring ke Ngawi tidak saya sia-siakan. Kemarin, saya memutuskan untuk single touring menggunakan bekakas (bergejil suka motor bekas) kesayangan yang merupakan motor gojlogan yang sudah terbiasa disiksa. Yaitu Suzuki Smash 110 cc Tahun 2007. Yang mana sudah bolak balik ke Ngawi.

Single touring kali ini saya menyengaja untuk mencari rute rute yang tidak biasa, salah satunya adalah jalan yang belum saya coba sama sekali seumur hidup yaitu Purwodadi – Blora. Nah sepanjang jalan itu yang membuat saya penasaran bagaimana rasanya riding di sana.

Saya start dari Ungaran sehabis jumatan (26/6/2020) kemarin. Cuaca terbilang mendung sehingga tidak lupa harus mengisi perut dengan tolak angin dahulu agar perjalanan terasa hangat. Dari Ungaran, saya memutuskan untuk belok kiri di Pertigaan Karangjati dan menuju Pringapus. Rute ini adalah salah satu pintasan menuju Salatiga via Bringin. Kenapa saya memilih melalui sana, karena satu, medannya seru, dan yang kedua mendekatkan ke kawasan Bringin yang akan saya tempuh untuk menuju Kedungjati.

Kantor Desa Jatirunggo
Desa terakhir dari Pringapus adalah sebuah desa perkebunan karet Jatirunggo. Dari sana, medan terjal menurun menukik membelah hutan jati. Untung saja saat ini sudah mayoritas dicor jalannya sehingga lebih nyaman untuk dilalui. Jalan jalan cor ini terus tersambung melalui Dusun Kunciputih hingga PLTA Timo di Kecamatan Tuntang.
Saya cukup hafal rute ini karena pernah beberapa kali melewatinya kira kira satu dasawarsa lalu sebagai jalan alternatif menuju Salatiga.

Kondisi medan tembus Ungaran - Bringin
PLTA Timo
Sebenarnya jika memang ingin, saya bisa melalui salah satu PLTA bersejarah lagi yaitu PLTA Jelok. Tetapi karena ada jalan pintas ke Bringin, maka saya mending melewati saja jalan pintasan kampung itu. Alhamdulillah sekarang pembangunan telah merata dibanding sepuluh tahun lalu dimana saya harus ekstra hati hati karena banyak jalan belum beraspal.

Namanya sudah kepala tiga, ada saja yang lupa ketika melewati sebuah pertigaan sehingga harus Gunakan Penduduk Setempat.
“Boy, mau tanya jalan ke arah Bringin lewat mana yha?” tanya saya kepada seorang pemuda bermotor Satria F yang tak sengaja saya jumpai di dekat warung nasi rames.

“Lurus aja mas”
Akhirnya saya mengikuti arahannya dan melewati Dusun Kroyo sebelum sampai di pusat Kecamatan Bringin.
**
Reaktivasi jalur Kereta Api Ambarawa Kedungjati via Bringin yang digadang – gadang pemerintah beberapa waktu lalu nyatanya masih mogok saja. Saya tengok bekas stasiun Bringin yang masih ndongkrok, ditutup seng. Pun rencana jalan kereta yang telah dibersihkan dan beberapa diantaranya sudah dibetulkan jembatannya, kelihatannya masih menunggu untuk dikerjakan. Sepanjang Bringin – Gogodalem – Tempuran memang mudah ditemui bekas jalur kereta (bukan relnya) tapi terlihat secara visual medannya.
Kecamatan Bringin
Menjelang Gogodalem, saya melihat salah satu sahabat perjalanan yaitu Pertamina. Rupanya ini adalah SPBU Baru. Terlihat dari bangunannya yang masih bersih dan pegawainya yang masih sopan sopan dan muda muda.

“Mau ke mana mas?” tanya pegawai SPBU
“Mau ke Ngawi via Purwodadi Blora mas”
“OK”
(Percakapan yang sebenarnya tidak terjadi)
SPBU Bringin
Saya menyukai jalur ini dibanding jalur lain karena sudah lama tidak lewat sini. Terakhir kira kira dua tahun lalu saat booming lagu Ya Habibal Qalbi nya Nissa Sabyan. Waktu itu saya sengaja iseng menjajal jalur ini dengan Motuba untuk menuju Gubug.
Masuk Grobogan dari Bringin

Sepanjang jalur ini rutenya didominasi oleh pemandangan hutan jati. Selain itu, rutenya yang berkelok membuat saya fresh karena tidak bosan. Saya jelas tidak hafal betul jalan jalan ini sehingga sesekali saya mengira bahwa ini sudah mendekati Kedungjati. Eh ternyata belum.
Sekitar Kedungjati

Dekat dengan Kedungjati, banyak kawasan pemukiman yang model rumahnya sangat kuno yaitu menggunakan konstruksi kayu jati. Eksotis.. salah satunya adalah bangunan gereja. Di sekitar situ kelihatannya memang banyak rumah rumah pegawai perhutani.
Dok Agus Trisarjoko melalui googlemap

Baru ketika saya melihat sebuah tempat pelelangan kayu (TPK) akhirnya saya baru ingat bahwa saya sudah hampir sampai Kedungjati. Yay benar. Akhirnya saya sampai di Kedungjati. Sebuah kota kecil yang saya bayangkan sangat ramai pada masanya. Terutama karena ada stasiun besar di sana. Sebuah stasiun yang mirip atau mungkin malah sama dengan Stasiun Ambarawa. Merupakan stasiun percabangan rute antara Surabaya – Semarang – Jogja (Vorstenlanden).

St. Kedungjati
Hanya sekali lagi, rencana reaktivasi diatas masih belum ada progres pekerjaan. Kurang tahu karena apa.

**
Sebenarnya saya mentarget bahwa dalam satu jam perjalanan saya harusnya sudah sampai di Purwodadi. Ternyata jauh panggang dari babi. Karena dari Kedungjati ke Gubug pun tak sedekat yang ada di pikiran saya. Selain itu juga, dari Gubug ke Purwodadi pun tidak sedekat yang melesat di otak.

Sepanjang Gubug hingga Purwodadi, jalanan relatif halus. Kalau ada satu dua lubang di aspal sih saya kira normal saja. Yaa memang ada beberapa ruas yang kacau seperti di daerah Godong, tetapi tidak seberapa fatal, sih.
Salahsatu gerbang desa yang sangat megah
Disini, waktu telah menunjuk jam tiga kurang setengah jam. Artinya saya sudah satu setengah jam berkendara dan belum ada tanda tanda saya segera sampai di Purwodadi, pusat Kabupaten Grobogan. Saya coba geber smash. Sehabis ganti rantai dan gearset memang terasa sangat nyaman. Karena speedometer saya sudah mati, setiap ada lintasan lurus dan mulus maka saya geber dengan kecepatan kira kira 300 Km per 3 Jam.
Suasana Pertigaan Gubug
Gerbang masuk Kota Purwodadi

Jam tiga, terdengar suara adzan ashar ketika saya sampai di pusat kota Purwodadi. Purwodadi kotanya tidak begitu ramai. Pembangunan ikon ikon kota terlihat begitu megah dan mewah seperti tugu selamat datang, atau simpang Segitiga Emas. Semua nampak gagah.
Ikon Segitiga Emas, Purwodadi

Saya pelankan motor untuk berfoto sejenak di kawasan alun alun sekaligus minum. Sementara tangki saya tengok masih terlihat baik dan belum ada tanda tanda minta segera diisi.
**
Alun alun Purwodadi
Dari alun-alun Purwodadi saya putar gas menuju arah Blora. Kecamatan yang dilewati diantaranya adalah Tawangharjo dan Wirosari. Di sepanjang dua Kecamatan itu jalanan sebagian beraspal halus dan sebagian bercor halus. Nyaman. Hanya beberapa ratus meter saja di dekat pusat kota Wirosari terlihat beberapa ruas yang rusak. Selebihnya gas pol.
Alun alun Purwodadi

Dalam benak saya, jalur ini hampir mirip dengan jalan pantura Rembang ketika belum ada pelebaran. Kanan kiri berupa sawah sawah dengan aroma laut dan aroma damen yang kuat. Sesekali berpapasan dengan bis tanggung jurusan Purwodadi – Sulursari. Mana ya Sulursari saya tidak tahu.

Perjalanan ini bagi saya sangat lama sekali karena meskipun sepi dan gaspol, saya merasa tidak sampai sampai di Perbatasan Blora. Dan setelah mengumpulkan kesabaran, ditambah dengan cuaca yang bersahabat akhirnya saya sampai di perbatasan Grobogan – Blora. Tugu masuk Kabupaten Blora sungguh megah. Yang rupanya, perbatasan ini tidak seperti biasanya berada di Sungai, tetapi di Pemukiman. Akhirnya minggir sebentar untuk berfoto.

Gapura Batas Grobogan - Blora
Masuk di Kabupaten Blora, kecamatan pertama yang saya lalui adalah Kunduran. Di sana saya tengok jam di pergelangan tangan kiri menunjukkan hampir pukul empat. Akhirnya saya tepikan motor di salah satu SPBU setelah KDR Park (Kunduran Park). Ohya, saya lihat ada tempat wisata yang mungkin lain kali bisa dieksplor untuk bahan video #dinoiki seperti Kunduran Park, taman wisata air (lupa namanya) dan Goa Terawangan (semoga tidak salah).

Mampir ke SPBU untuk shalat ashar dan istirahat sejenak minum es teh. Saya lihat tangki saya sudah minta diisi, tetapi berhubung antrian pertalite sangat panjang akhirnya saya putuskan untuk mengisi di SPBU selanjutnya saja. Dua puluh menit beristirahat kiranya sudah cukup.

Setelah bulak panjang, kembali saya tarik penuh tuas gas dan menyalip beberapa kendaraan lokal baik dari roda dua, mobil pribadi, bus dan truk semua saya libas tanpa ampun. Bulak panjang berakhir ketika masuk ke sebuah Kecamatan. Ngawen namanya. Mampir sebentar minum Pertalite dua puluh ribu kemudian perjalanan tampak sudah berasa aroma aroma Kota. Tinggal ikuti saja petunjuk ijo ijo ke arah Blora / Surabaya. Pusat kota Ngawen juga tampak ramai sore itu. Ada banyak penjual makanan khas pinggir jalan yang sudah membuka lapaknya seperti molen, gorengan, martabak, kue bandung, dan lain sebagainya.
SPBU Ngawen Blora

Masuk Kota Blora

Koplakan, foodcourt Blora
Di salah satu sudut jalan, tertulis baliho besar iklan salah satu hotel di Blora dengan jarak empat kilometer lagi. Wah berarti saya sudah hampir sampai nih, gumam saya dalam hati. Benar saja, tidak begitu lama saya segera menemui tugu perbatasan masuk Kota Blora. Blora Mustika, slogannya. Kota yang bersih dan kecil. Sengaja saya lewat dalam kota karena ingin melihat suasana Blora pada sore hari.

Beberapa ratus meter dekat dengan alun-alun ada sebuah bangunan mewah yang difungsikan sebagai foodcourt (sepertinya) bernama Koplakan. Di pinggir – pingir jalan juga telah siap mereka yang menggantungkan hidup dari berdagang seperti angkringan dan penjual onde onde mini.
**
Pendopo Bupati Blora
Alun-alun Blora tampak rampai sekali sore itu. Bahkan di masa pandemi ini, sebuah istana balon mainan anak telah berdiri seakan mengabaikan kedatangan virus Covid 19. Sementara itu berjejer sepeda motor tumpah ruah mereka beraktivitas di pusat kota. Di depan Pendopo Bupati Blora, tampak beberapa komunitas sepeda memarkir sepeda kesayangannya masing-masing dengan rapi.

Alun alun Blora
OK, Blora maaf saya hanya lewat saja karena waktu memperlihatkan sudah cukup sore. Mungkin lain waktu bisa nunut singgah barang semalam.

Blora kotanya tidak begitu besar. Banyak bangunan kuno di pusat kota seperti kantor kantor militer dan lainnya. Selain itu juga ada sebuah bangunan besar bekas Stasiun Blora yang kini masih tegak berdiri dipinggir jalan, beralih fungsi menjadi pasar.

Perjalanan dari Blora ke Cepu terakhir saya lakukan lima tahun lalu dengan kendaraan dinas Shogun 125. Kala itu, kondisi jalan masih sempit dan bisa dibilang tidak halus. Tapi kini semua telah berubah. Blora ke Cepu sudah sangat mulus dan lebar. Bahkan, berhubung kota – kota ini tidak berada di lintasan utama Pulau Jawa, maka suasana lalu lintas menjadi sangat sepi. Gas saya pentokkan hingga mesin smash berhasil mengajak lari saya maksimal 110 Km per jam. Sayang, bolam lampu dekat saya mati sehingga terpaksa menggunakan lampu jauh sembari melihat barangkali masih ada bengkel yang masih buka.

Sepanjang Blora - Cepu
Dua wilayah yang saya lintasi yaitu Jepon dan Jiken, kesemuanya bisa saya libas beberapa menit saja. Saya bahkan tidak menyangka kalau ke Cepu bisa secepat ini.

**
Adzan maghrib menyambut saya ketika masuk kota Cepu. Cepu sebagai salah satu kecamatan di Blora perkembangannya sungguh menggeliat. Jika dilihat lihat suasana kota Cepu mirip mirip daerah Muntilan atau Ambarawa. Tapi sayangnya gapura masuk Cepu dari Blora kok biasa saja dan kurang wow...

Gerbang Masuk Kota Cepu
Saya tidak hafal tentang kota Cepu dengan jalan-jalannya. Yang saya tahu, saya pasti akan bertemu beberapa bangunan kolonial yang masih terawat seperti Polsek dan Koramil, juga Stasiun Cepu. Hari sudah mulai gelap, saya ikuti saja petunjuk arah menuju Bojonegoro.
Suasana Kantor L
Gerbang Batas Jateng Jatim

Dan akhirnya saya pun masuk Jawa Timur setelah menyeberang jembatan Bengawan Solo. Sudah hampir gelap. Saya sudah melupakan untuk mencari bengkel membeli bohlam cadangan. Saya hanya ingin menunggu angka jam menunjuk angka 6 dan beristirahat shalat maghrib di sebuah SPBU.

Dari Cepu ke Ngawi, tinggal belok kanan di bangjo Padangan, Bojonegoro. Dari sana, suasana jalanan sangat lebar dengan konstruksi cor. Saya bisa melesat dengan sangat cepat karena sepinya lalu lintas. Hingga saya putuskan untuk berhenti mampir di sebuah SPBU Baru daerah Padangan untuk shalat maghrib dan berdoa semoga perjalanan lancar sampai Ngawi.
Istirahat SPBU Padangan

**
Lepas istirahat 20 menit, kembali saya gojlog smash melahap sepinya jalan raya menuju Ngawi ini. Berbeda dengan dulu yang masih banyak jalan rusak, kini sudah mulus semuanya. Bahkan ketika melewati medan berkelok, saya tidak pernah bisa mengurangi tarikan gas karena jalan yang sungguh nyaman dan mulus serta suasana yang sungguh sepi. Hingga di satu titik, sepinya malam kian mencekam. Saya riding seorang diri tanpa ada yang berpapasan maupun menyalip dari belakang. Terlihat kanan kiri hanya hutan hutan jati dan dilangit tampak bertabur bintang.
Suasana antara Cepu - Ngawi

Saya tepikan motor sejenak untuk merasakan suasana yang sangat hening ini. Satu yang saya suka yaitu melihat kerlap kerlip bintang di langit dengan zero polution baik polusi udara maupun polusi cahaya. Indah!
Perjalanan terus dilanjutkan untuk mencari gerbang masuk ke Ngawi setelah melewati Kecamatan Margomulyo. Eh rupanya, gerbang selamat datang Kabupaten Ngawi ini tidak dilengkapi pencahayaan sehingga ketika gelap sangat susah terlihat. Sehingga terlewat untuk saya potret.
Kartonyono Medot Janji
Dari gerbang Kabupaten Ngawi ini, perjalanan tinggal sebentar saja untuk sampai ke Kota Ngawi. Paling lama 10 menit saya sudah berhasil masuk Ngawi dan merangsek ke pusat kota untuk memotret Tugu Kartonyono.

 *
Jam 7 malam saya sampai di rumah Ngawi setelah menempuh perjalanan kurang lebih 130 mil (330 Km) versi google map yang saya tempuh selama enam jam. Benar benar perjalanan yang menyenangkan!


Meski smash saya sudah berusia 13 tahun, tapi tarikannya masih gaspol. Dan julukannya sebagai sigesit irit masih saya rasakan hingga kini. Dari Ungaran, tangki terisi sekitar 10 ribu, dan sepanjang Ungaran hingga Ngawi melalui rute map berikut (330 Km) saya hanya mengisi pertalite 2 x Rp 20.000 saja. Tidak menyesal saya punya bekakas ini.


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...