Friday, August 23, 2019

Menanjak ke Guci Pakai Motuba


Motuba yang berhasil sampai di Guci! yeah



#Hari Pertama, Jumat 12 Juli 2019

Mencicip Es Cokelat Pak Jan
Setelah jumatan kami berangkat dari rumah. Untunglah sekarang ini tol Trans Jawa sudah tersambung sehingga bisa memudahkan perjalanan kami ke Tegal. Dari Ungaran kami langsung masuk tol dan sesuai rencana saya, kami akan keluar di Tol Weleri. Sekarang ini, ruas tol dalam kota Semarang seksi ABC sudah terintegrasi dengan gerbang tol Banyumanik (Arah Jogja/Solo) dan gerbang tol Kalikangkung (arah Jakarta) sehingga tidak terjadi kemacetan seperti dulu di Tembalang maupun di Manyaran. Dari akhir ujung tol Manyaran hingga ke Kalikangkung cukup jauh jaraknya.
 
Setelah mengetap kartu di Kalikangkung, kami langsung berjalan menyusuri tol Batang – Semarang. Ini adalah kali pertama saya menyetir melalui ruas tol ini. Suasananya banyak membelah perkebunan jati, seperti di tol Saradan, Nganjuk. Atau daerah Mantingan, Ngawi sana.

**
Perjalanan ke Weleri tidak butuh waktu lama, tidak sampai satu jam. Tarif tol dari Kalikangkung ke Weleri sendiri sebanyak 35 ribu. Setelah keluar tol, mobil tua bangka (motuba) corolla saya segera melintas di jalur Pantura. Di daerah Gringsing, saya takjub dengan suasananya. Memprihatinkan, karena melihat banyak rumah makan yang dulu sangat ramai, dan kini sepi. Banyak rumah makan besar yang dahulu menjadi langganan bis kini seperti sesak bernafas.

Area alas roban yang dahulu ramai kini juga mulai lengang. Pasti ini salah satu dampak negatif dari dibukanya tol Trans Jawa. Pedagang-pedagang di pinggir jalan yang biasanya ramai pembeli baik yang untuk mencari makan ataupun sekedar istirahat kini hanya terlihat segelintir saja.

Perjalanan siang itu menuju Pekalongan relatif lancar. Hanya saja, di dalam kota Pekalongan kebetulan sedang diadakan perbaikan jalan sehingga kami sempat terjebak kemacetan barang sebentar. Kota ini memang salah satu kelemahannya adalah tiadanya jalur arteri sehingga arus menerus dan arus dalam kota kerap menumpuk.

Menurut beberapa referensi kuliner yang saya baca, kami putuskan untuk mampir sejenak di Jalan Kurinci, hendak mencicipi Es Cokelat Pak Jan. Whats that?

**
Jalan Kurinci relatif lebar dan tidak ramai sore itu. Kami melajukan motuba pelan pelan untuk mencari warung Es Cokelat Pak Jan. Dan akhirnya kami pun sampai karena melihat papan petunjuk berwarna kuning di pinggir jalan. Warung ini menggunakan sebuah teras rumah untuk berjualan. Seorang bapak yang mungkin bukan bernama Pak Jan, tampak sibuk melayani pembeli.

Ada tempat makan berupa beberapa meja panjang yang berada di teras, dan ada beberapa pula yang di dalam ruangan dilengkapi dengan kipas angin untuk mendinginkan suasana Pekalongan yang panas.
“Es Cokelatnya tiga, pak” ucap saya sembari memilih tempat duduk di bagian dalam sambil menggendong Dayu.
Dayu sudah sedaritadi tidur. Meski saya bangunin, tapi dia kelihatannya masih nyenyak dan nggak mempan tak iming-imingin es cokelat..
Tampak es cokelat diambil dari wadah semacam ember kemudian dituang ke gelas besar, lalu ditambah beberapa balok es batu. Sudah gitu aja..
“es cokelatnya enak, seperti bahan pembuat es thung-thung” kata Tika mengusulkan.
Benar saja, es cokelatnya ini memang campuran antara cokelat, susu dan santan sehingga terasa sangat enak dan tidak enek.
“itu pelengkapnya roti, ambil di toples” kata bapak penjual sembari menujuk toples yang ada di meja kami.
Adalah roti tawar tebal yang telah dipotong-potong yang siap untuk menemani istirahat minum es cokelat kami sore ini. Cara makannya adalah dengan mencelupkan roti ke es cokelat, lalu langsung deh di makan.. sluruppp.. wenaak dan segar..
Porsi Es Cokelat Pak Jan, dengan sepotong roti sebagai teman minum. Segaaar

Kuliner ini adalah salah satu es legendaris yang aslinya berasal dari Wiradesa, Pekalongan, dan saat ini sudah membuka beberapa cabang, salah satunya di Jl. Kurinci yang saya datangi ini. Untuk harganya cukup lima ribu per gelas, dan sepotong rotinya yang lembut dihargai seribu rupiah saja. Terjangkau, kan?

**
Sore ini waktu sudah pukul empat sore, kami keluar kota Pekalongan dan beristirahat shalat ashar sejenak di sebuah masjid di sekitar Wiradesa. Selanjutnya kami segera melanjutkan langkah ke Pemalang. Niat kami sore ini ingin segera sampai di Pemalang, beristirahat dan besok jalan-jalan lagi.

“Bapak, hotel airy nya kok lama banget sih...” rengek Dayu yang sedari berangkat dari rumah sudah sangat pingin segera nginep di hotel airy. Wkwkwk..

Tetapi kelihatannya kami kurang beruntung karena mendekati kota Pemalang, justru terjadi kemacetan yang teramat panjang. Saking lamanya, kami bahkan menyaksikan sunset dari perjalanan, dan maghrib pun kami baru berhasil masuk ke Kota Pemalang.

Setelah hampir salah jalan, kami akhirnya sampai di hotel yang sudah saya pesan beberapa waktu lalu melalui aplikasi Airy, maklum kebetulan ada diskon 50 %. Hotel kami bernama The Winner Premiere yang berada di Jl. A. Yani. Begitu masuk, kami langsung diarahkan menuju tempat parkir dan saya langsung melakukan check in dengan cepat di resepsionis.

“Silakan pak, kamarnya ada di lantai 2, untuk tangganya bisa lewat sebelah sana” kata petugas resepsionis sembari menunjuk salah satu tangga di pojokan, tanpa mengantar. Kami pun segera mengemas beberapa barang dan langsung menuju ke kamar.
Suasana hotel Winner Premier

Sebuah kamar yang cukup luas, dengan dua bed khas airy. Secara umum standar hotel airy lah.. dan begitu masuk, Dayu entah kenapa malah penasaran sama kamar mandinya.
“Mau lihat kamar mandinya, Bapak.. ”
“Eh kamar mandinya kok puanjang sih bapak..” kata Dayu keheranan karena bentuk kamar mandinya memang memanjang dan agak sempit.
Seperti biasanya, dia paling senang kalau mandi di shower. Karena kalau dirumah nggak ada. Hahaha.. Untuk itu, selepas shalat maghrib ia mandi agak lama karena saking senengnya.

Malam itu, kami memutuskan untuk makan malam di lesehan Aldan, yang sebenarnya kami kenal sejak dolan beberapa waktu lalu ke Solo. Lesehan Aldan, adalah lesehan dengan menu-menu penyetan dengan harga yang tidak menguras kantong. Kami memilih rute melewati jalan lingkar kota sebelah selatan yang berkontur beton. Dari jalan lingkar, untuk menuju ke kota, melalui pemukiman yang rata-rata kondisi jalannya belum begitu bagus.

**
#Hari Kedua, Sabtu 13 Juli 2019

Dari Widuri Hingga Nasi Grombyang

Selamat pagi, Kota Pemalang.
Pagi ini kami menyusuri jalanan depan hotel menuju ke Pantai Widuri. Sepanjang jalan tersebut ketika malam hari sangatlah ramai dengan penjaja kuliner. Umumnya yang dianggap khas adalah nasi megono, seperti Pekalongan. Pagi ini, berdasar referensi dari googlemaps dan karena Tika pingin makan nasi uduk, maka kami mampir sejenak di Kedai Evi. Sarapan nasi uduk dan soto tauto, dengan harga yang tidak mahal, kemudian lanjut perjalanan menuju ke Pantai Widuri.
Suasana pagi Pantai Widuri

Saya pernah ke Widuri, beberapa tahun silam. Tapi tidak ke pantainya, hanya main ke waterparknya. Maka sekarang ini, saatnya bermain dan berenang di pantai. Tiket masuknya murah, hanya 5,000,- dan setelah memilih parkir, kami segera menyingkap deretan warung-warung pantai bertemu dengan pantai Laut Jawa. Sepanajng bibir pantai yang berpasir hitam, dipenuhi deretan warung dengan penataan kursi warna warni yang terlihat cantik di bawah rindangnya pohon cemara laut. Dayu yang tampak sangat senang, awalnya cukup takut untuk nyemplung tetapi setelah berani ia justru nggak mau diajak pulang.
 
Cukup lama kami bermain sekitar hampir dua jam. Kemudian segera bilas, beli jajan dan kembali ke penginapan untuk check out.

**

Cuaca siang hari di Pemalang sangatlah panas. Siang ini kami hendak lanjut wisata ke Guci, Tegal. Tetapi sebelum meninggalkan Pemalang, kurang afdol rasanya kalau belum nguliner dulu. Yasudah akhirnya kami membelokkan langkah ke Grombyang Waridin yang berada dekat dengan bundaran Siranda.

Sebuah warung makan yang besar dan luas, yang menyajikan menu utama yaitu Grombyang dalam mangkuk-mangkuk kecil. Beberapa meja makan panjang terlihat cukup ramai siang itu. Pun dengan parkirannya yang dipenuhi beberapa kendaraan roda empat dan juga banyak motor berjejer. Menandakan bahwa tempat ini memang cukup ramai dan populer.
Nasi Grombyang yang selalu ngangenin..

Nasi grombyang ini adalah semacam soto daging sapi dengan kuah yang agak kental, hampir mirip kuah rawon. Mungkin semacam paduan soto dan rawon sapi. Citarasanya enak, dan untuk lauk makannya tersedia beberapa sate dari bahan daging sapi, seperti jerohan hingga paru. Ketika dicombine dengan menu utamanya, maka yang terasa adalah.... sangat enak.

**
Makan siang telah selesai. Kami berangkat menuju ke Tegal via jalur Pantura. Jalur Pantura sekarang relatif sepi. Mungkin cukup banyak yang beralih ke tol. Apalagi, di kota Tegal sebelum adanya tol, acapkali terjadi kemacetan. Menurut peta google maps, sebenarnya ada dua jalan menuju Guci. Pertama via Randudongkal – Moga, yang kedua melalui Tegal – Slawi. Meski yang kedua ini relatif lebih jauh, namun saya memutuskan untuk memilih ini karena saya belum pernah lewat Randudongkal. Menurut google streetview, kontur jalannya lebih sempit dan lebih menantang. Jadi, mending dihindarin saja karena saya bawa motuba yang sewaktu waktu bisa saja trouble.

Kami kebablasan sedikit saat sampai di sebuah pertigaan arah ke  Kemantran – Slawi. Setelah shalat dhuhur sesaat, kami muter balik barang sepelemparan handphone kemudian menelusuri alternatif menuju Slawi menghindari kota Tegal. Jalanan sempit saja, dan ada beberapa truk yang berjalan pelan. Beberapa kali harus ngerem mendadak dan sempat dicium oleh pengguna motor dibelakang saya.

“Groookkk”

Ah biarin lah. Semoga tidak terjadi apa apa. Saya nggak sempat ngecek bablas saja. Sebelum sampai Slawi, ternyata kami melewati sebuah kawasan tua yaitu kawasan bekas pabrik gula peninggalan jaman kolonial. Ada beberapa gedung bangunan tua yang khas dan cantik, ada juga semacam tempat wisata yang juga menyediakan lori wisata. Namun, kami tidak sempat mampir mengingat kami masih harus nanjak ke Guci. Takut kesorean.

Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya kami sampai di Guci. Ada beberapa jalan yang menanjak dengan belokan yang cukup ekstrim yang membuat Tika sedikit kaget. Namun, saya kira ini jauh lebih mudah dibanding perjalanan antara Magelang – Selo – Boyolali, atau Magetan - Sarangan – Tawangmangu.

Sesuai perkiraan saya yang sudah mengintip peta beberapa waktu sebelumnya, maka sesaat setelah masuk gerbang retribusi, saya langsung membelokkan mobil menuju Guci Gung. Pemandian air panas yang dilengkapi dengan penginapan.

“Silakan pak, karcisnya..” sapa seorang penjaga setengah baya bertopi.
Udara memang terasa dingin sehingga pantaslah ia jika bertopi untuk menghangatkan  kepala.
“Saya ada reservasi disini, pak” jawab saya kemudian menunjukkan bukti transfer yang telah saya foto beberapa waktu lalu.
Ia kemudian segera menghampiri rekannya – mungkin atasannya untuk konfrimasi, dan kemudian dengan sangat sopan langsung mengantar saya menuju lantai dua untuk menuju ke kamar yang telah saya pesan. Ia menawarkan untuk membawakan barang-barang, tetapi saya menolaknya secara halus karena masih bisa saya bawa sendiri.

**
Dayu yang sedari tadi tidur sepanjang perjalanan, saya bangunkan dan ia tampak baru sadar bahwa kami telah sampai di Guci. Yang ia tahu, ia akan segera berenang. Tapi ia juga baru tahu bahwa hawa di Guci sangatlah dingin. Selepas shalat ashar, akhirnya saya dan Dayu segera nyemplung ke kolam renang.

Guci Gung memiliki tiga kolam renang yang masing-masing memiliki level panas yang berbeda. Yang sedang adalah yang paling luas, dan sekaligus khusus dewasa karena kedalamannya. Sedangkan dua lainnya dilengkapi perosotan untuk bermain anak.
Kolam Renang Guci Gung yang menyegarkan

Setelah perjalanan panjang nan melelahkan, maka berendam air panas ini bisa jadi obatnya. Nyaman sekali rasanya. Waktu saya ke Guci tujuh tahun silam, saya malah tidak menyempatkan berenang air panas karena saat itu waktu mepet. Dan kini akhirnya saya bisa kembali ke Guci mengajak keluarga kecil tercinta.

Tidak terasa, saya dan Dayu berendam kira-kira sampai dua jam sampai menjelang maghrib. Sementara Tika justru ketiduran berselimut. Mungkin lelah dan kedinginan. Kalau tidak pelan-pelan membujuk, Dayu tidak akan mau diajak mentas dan akhirnya mentas juga setelah diiming-imingi mie instan rebus. Hehehe..

**
Penginapan kami, menghadap langsung ke kolam renang. Tempat ini sepertinya masih baru dan juga masih dalam proses pengembangan. Dari beberapa kamar yang ada tampaknya hanya dua yang terisi. Mungkin proses marketingnya belum gencar, dan saya lihat di aplikasi online juga belum terdaftar. Kamar yang luas, dengan kamar mandi shower full air panas, serta televisi parabola yang sayang sekali sedang dalam perbaikan sehingga tidak bisa dimanfaatkan. Over all, saya kira harga kamar ini sedikit overpriced. Namun, jika diingat kami bebas parkir dan bebas berenang ya rasanya worth it juga.

Malam hari di Guci, di depan penginapan tampak masih ada yang berenang. Saya sebenarnya pingin mencoba berenang di malam hari. Tapi kalau nanti Dayu ikut-ikutan saya malah takut kalau ia nanti masuk angin, akhirnya urungkan niat saja diganti dengan jalan-jalan mencari makan malam.

Menurut panduan dari penjaga hotel, kami naik sejenak ke daerah depan Hotel Sankita. Disana ada beberapa warung yang salah satunya menjajakan nasi-mie goreng. Akhirnya kami tepikan mobil, kemudian memesan makan malam. Angin terasa semribit dan sangat dingin sehingga minuman panas rasanya langsung dingin seketika.

Makanan hangat-hangat memang paling pas di tengah hawa gunung seperti ini. Setelah makan selesai, kami langsung pulang kembali ke penginapan untuk segera menarik selimut. Pada malam hari, tampak bahwa kolam renang sedang dikuras dan paginya tiba-tiba sudah terisi penuh kembali.

**
#Hari Ketiga, Minggu 14 Juli 2019

Dari Pancuran 13 ke Es Sagwan 

Selamat pagi Guci. Pagi ini terasa begitu dingin. Penjaga hotel mengetuk pintu dan mengantar sarapan untuk kami. Dua bungkus nasi goreng, iya dibungkus pakai kertas minyak, dan dua gelas teh panas. Sangat enak untuk kami yang terasa selalu lapar ketika berada di dataran tinggi seperti ini.
 
Sekitar pukul setengah delapan, kami mencoba mendatangi main spot dari wisata Guci. Sepagi itu, Guci sudah sangat ramai sekali. Ramai aktivitas warga, penjual sayur dan aktivitas wisata dalam satu tempat. Kami sempat stuck sebelum sampai di parkiran beberapa saat. Saya kira, tempat ini memang masih belum optimal pengelolaan lalu lintasnya. Jalan sempit, dipaksa dilewati dua arus, ditambah lagi dengan banyaknya pickup warga yang parkir di kanan-kiri jalan. Masih ditambah lagi dengan penjual keliling yang sementara belum tertata sehingga menambah kesan semrawut.

Saya lupa membawa jaket, sehingga begitu turun dari mobil langsung kedinginan. Dayu pun tidak mau turun, ia hanya mau digendong karena saking dinginnya. Obyek wisata Guci tepatnya di titik wisata utamanya-yaitu di pancuran air panasnya, minggu pagi terasa begitu ramai sesak. Mungkin karena faktor weekend, dan juga karena kenyataan bahwa tempat wisata ini buka 24 jam sehingga banyak wisatawan yang berendam air panas pada malam bahkan dini hari.
Suasana Pancuran 13, 

Dulu, untuk masuk ke Pancuran 13 tidak bayar tiket, tetapi kini diberikan tiket. Itung-itung untuk nambah PAD Kabupaten Tegal. Tetapi dengan penambahan tiket masuk itu, fasilitas yang kami dapat belum begitu maksimal seperti yang telah saya sebutkan diatas yaitu pengelolaan lalu lintas dan parkiran umum di area wisata, belum optimal. Semoga kedepannya penataannya lebih bagus lagi.

Ada seorang nenek menjual semacam umbi-umbian yang menurut saya namanya adalah midro, tetapi di sana disebut dengan ganyong. Karena saya tahu bahwa rasanya enak, maka kami belilah ganyong dua kilo dua puluh ribu rupiah. Enak.. tapi dingin, tidak hangat. Hehehe..

Setelah sekedar membeli oleh-oleh, tidak lama kami segera turun kembali ke penginapan karena Dayu daritadi merengek minta berenang lagi. Yasudah lah, akhirnya dari pukul sembilan hingga pukul sebelas siang, kami berendam kembali menikmati air panas yang menyegarkan badan ini.
 
**
Tengah hari, kami check out dan kembali ke Tegal via Slawi. Ngadem sebentar di Toserba Yogya Slawi karena kehabisan susu bubuknya Dayu, kemudian jalan pelan-pelan menuju kota Tegal. Kenapa harus ke Tegal dulu? Karena saya pingin ngajak Tika mampir ke salah satu warung es legendaris di Tegal. Es Sagwan yang ada di dekat Rumah Sakit Kardinah.

Mas penjual siang itu tampak santai, kebetulan sedang tidak ada pembeli. Kami memesan dua porsi es, kemudian mencemil tahu aci dan beberapa gorengan karena lapar belum makan. Es Sagwan ini semacam es cendol yang merupakan campuran santan, cairan gula jawa, dengan cendol yang berasal dari aci. Ditambah tape, rasanya semakin enak dan menyegarkan tenggorokan. Harganya juga cukup murah, cukup enam ribu per gelasnya.
Es Sagwan, kesegaran tengah hari di Tegal

Setelah minum es, perut terasa kenyang kemudian saatnya kami kembali ke Semarang. Tetapi kami harus mampir dulu di Warung Nasi Grombyang Pemalang. Bukannya ingin makan lagi, tapi karena kemarin waktu makan siang, boneka Tayo kesayangan Dayu tertinggal.

“Semoga masih ada..” batin saya.
Beruntunglah karena ternyata barang tersebut masih ada dan diamankan oleh empunya warung di rumahnya. Setelah menunggu barang sesaat, akhirnya boneka biru itu kembali dan Dayu menjadi ketawa-ketiwi lagi.

**
Sore itu kira kira sudah pukul tiga. Selepas kota Pemalang, saya putuskan untuk menggunakan jalur tol karena ingin menghindari Kota Pekalongan yang terkenal padat. Keluar di Kandeman, kemudian mengisi BBM dan lanjut melalui jalur Pantura. Sekira pukul setengah lima, kami mampir shalat di daerah Subah Batang dan lanjut perjalanan hingga pada maghrib kami sudah sampai di Kota Kendal. Kurang beruntung, ketika sampai di Cepiring, mobil saya menginjak lubang cukup dalam dan tiba-tiba lampu utama saya mati. Saya segera menepi dan menemukan bahwa sekring putus. Untunglah saya selalu bawa cadangan. Sempat mati kembali kemudian lampu terpaksa saya nyalakan pada posisi lampu jauh. Daripada tidak bisa pulang. Hehehe..
Jangan lupa siapkan saldo sebelum masuk tol

Mengingat siang belum makan, kami pilih untuk membelok ke rumah makan Sambel Layah. Makan nasi gongso telor yang terasa sangat enak (sampai nambah) dann.. kenyanglah sudah perut kami sekalian untuk lanjut menuju ke Ungaran. Selepas arteri Kaliwungu, kami kembali masuk tol untuk langsung menuju Ungaran. Alhamdulillah perjalanan lancar dan kami bisa sampai di rumah dengan selamat pada pukul setengah sembilan malam.

Sekarang, mari kita hitung uang yang telah keluar dalam perjalanan kali ini..
Lumayan yha..


1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...