Motuba yang berhasil sampai di Guci! yeah |
#Hari
Pertama, Jumat 12 Juli 2019
Mencicip Es Cokelat Pak Jan
Setelah
jumatan kami berangkat dari rumah. Untunglah sekarang ini tol Trans Jawa sudah
tersambung sehingga bisa memudahkan perjalanan kami ke Tegal. Dari Ungaran kami
langsung masuk tol dan sesuai rencana saya, kami akan keluar di Tol Weleri.
Sekarang ini, ruas tol dalam kota Semarang seksi ABC sudah terintegrasi dengan
gerbang tol Banyumanik (Arah Jogja/Solo) dan gerbang tol Kalikangkung (arah
Jakarta) sehingga tidak terjadi kemacetan seperti dulu di Tembalang maupun di Manyaran.
Dari akhir ujung tol Manyaran hingga ke Kalikangkung cukup jauh jaraknya.
Setelah
mengetap kartu di Kalikangkung, kami langsung berjalan menyusuri tol Batang –
Semarang. Ini adalah kali pertama saya menyetir melalui ruas tol ini.
Suasananya banyak membelah perkebunan jati, seperti di tol Saradan, Nganjuk.
Atau daerah Mantingan, Ngawi sana.
**
Perjalanan
ke Weleri tidak butuh waktu lama, tidak sampai satu jam. Tarif tol dari
Kalikangkung ke Weleri sendiri sebanyak 35 ribu. Setelah keluar tol, mobil tua
bangka (motuba) corolla saya segera melintas di jalur Pantura. Di daerah
Gringsing, saya takjub dengan suasananya. Memprihatinkan, karena melihat banyak
rumah makan yang dulu sangat ramai, dan kini sepi. Banyak rumah makan besar
yang dahulu menjadi langganan bis kini seperti sesak bernafas.
Area
alas roban yang dahulu ramai kini juga mulai lengang. Pasti ini salah satu
dampak negatif dari dibukanya tol Trans Jawa. Pedagang-pedagang di pinggir
jalan yang biasanya ramai pembeli baik yang untuk mencari makan ataupun sekedar
istirahat kini hanya terlihat segelintir saja.
Perjalanan
siang itu menuju Pekalongan relatif lancar. Hanya saja, di dalam kota
Pekalongan kebetulan sedang diadakan perbaikan jalan sehingga kami sempat
terjebak kemacetan barang sebentar. Kota ini memang salah satu kelemahannya
adalah tiadanya jalur arteri sehingga arus menerus dan arus dalam kota kerap
menumpuk.
Menurut
beberapa referensi kuliner yang saya baca, kami putuskan untuk mampir sejenak
di Jalan Kurinci, hendak mencicipi Es Cokelat Pak Jan. Whats that?
**
Jalan
Kurinci relatif lebar dan tidak ramai sore itu. Kami melajukan motuba pelan
pelan untuk mencari warung Es Cokelat Pak Jan. Dan akhirnya kami pun sampai
karena melihat papan petunjuk berwarna kuning di pinggir jalan. Warung ini
menggunakan sebuah teras rumah untuk berjualan. Seorang bapak yang mungkin
bukan bernama Pak Jan, tampak sibuk melayani pembeli.
Ada
tempat makan berupa beberapa meja panjang yang berada di teras, dan ada
beberapa pula yang di dalam ruangan dilengkapi dengan kipas angin untuk
mendinginkan suasana Pekalongan yang panas.
“Es
Cokelatnya tiga, pak” ucap saya sembari memilih tempat duduk di bagian dalam
sambil menggendong Dayu.
Dayu
sudah sedaritadi tidur. Meski saya bangunin, tapi dia kelihatannya masih
nyenyak dan nggak mempan tak iming-imingin es cokelat..
Tampak
es cokelat diambil dari wadah semacam ember kemudian dituang ke gelas besar,
lalu ditambah beberapa balok es batu. Sudah gitu aja..
“es
cokelatnya enak, seperti bahan pembuat es thung-thung” kata Tika mengusulkan.
Benar
saja, es cokelatnya ini memang campuran antara cokelat, susu dan santan
sehingga terasa sangat enak dan tidak enek.
“itu
pelengkapnya roti, ambil di toples” kata bapak penjual sembari menujuk toples
yang ada di meja kami.
Adalah
roti tawar tebal yang telah dipotong-potong yang siap untuk menemani istirahat
minum es cokelat kami sore ini. Cara makannya adalah dengan mencelupkan roti ke
es cokelat, lalu langsung deh di makan.. sluruppp.. wenaak dan segar..
Porsi Es Cokelat Pak Jan, dengan sepotong roti sebagai teman minum. Segaaar |
Kuliner
ini adalah salah satu es legendaris yang aslinya berasal dari Wiradesa,
Pekalongan, dan saat ini sudah membuka beberapa cabang, salah satunya di Jl.
Kurinci yang saya datangi ini. Untuk harganya cukup lima ribu per gelas, dan
sepotong rotinya yang lembut dihargai seribu rupiah saja. Terjangkau, kan?
**
Sore
ini waktu sudah pukul empat sore, kami keluar kota Pekalongan dan beristirahat
shalat ashar sejenak di sebuah masjid di sekitar Wiradesa. Selanjutnya kami
segera melanjutkan langkah ke Pemalang. Niat kami sore ini ingin segera sampai
di Pemalang, beristirahat dan besok jalan-jalan lagi.
“Bapak,
hotel airy nya kok lama banget sih...” rengek Dayu yang sedari berangkat dari
rumah sudah sangat pingin segera nginep di hotel airy. Wkwkwk..
Tetapi
kelihatannya kami kurang beruntung karena mendekati kota Pemalang, justru
terjadi kemacetan yang teramat panjang. Saking lamanya, kami bahkan menyaksikan
sunset dari perjalanan, dan maghrib pun kami baru berhasil masuk ke Kota
Pemalang.
Setelah
hampir salah jalan, kami akhirnya sampai di hotel yang sudah saya pesan
beberapa waktu lalu melalui aplikasi Airy, maklum kebetulan ada diskon 50 %.
Hotel kami bernama The Winner Premiere yang berada di Jl. A. Yani. Begitu
masuk, kami langsung diarahkan menuju tempat parkir dan saya langsung melakukan
check in dengan cepat di resepsionis.
“Silakan
pak, kamarnya ada di lantai 2, untuk tangganya bisa lewat sebelah sana” kata
petugas resepsionis sembari menunjuk salah satu tangga di pojokan, tanpa
mengantar. Kami pun segera mengemas beberapa barang dan langsung menuju ke kamar.
Suasana hotel Winner Premier |
Sebuah
kamar yang cukup luas, dengan dua bed khas airy. Secara umum standar hotel airy
lah.. dan begitu masuk, Dayu entah kenapa malah penasaran sama kamar mandinya.
“Mau
lihat kamar mandinya, Bapak.. ”
“Eh
kamar mandinya kok puanjang sih bapak..” kata Dayu keheranan karena bentuk
kamar mandinya memang memanjang dan agak sempit.
Seperti
biasanya, dia paling senang kalau mandi di shower. Karena kalau dirumah nggak
ada. Hahaha.. Untuk itu, selepas shalat maghrib ia mandi agak lama karena
saking senengnya.
Malam
itu, kami memutuskan untuk makan malam di lesehan Aldan, yang sebenarnya kami
kenal sejak dolan beberapa waktu lalu ke Solo. Lesehan Aldan, adalah lesehan
dengan menu-menu penyetan dengan harga yang tidak menguras kantong. Kami
memilih rute melewati jalan lingkar kota sebelah selatan yang berkontur beton.
Dari jalan lingkar, untuk menuju ke kota, melalui pemukiman yang rata-rata
kondisi jalannya belum begitu bagus.
**
#Hari
Kedua, Sabtu 13 Juli 2019
Dari Widuri Hingga Nasi Grombyang
Selamat
pagi, Kota Pemalang.
Pagi
ini kami menyusuri jalanan depan hotel menuju ke Pantai Widuri. Sepanjang jalan
tersebut ketika malam hari sangatlah ramai dengan penjaja kuliner. Umumnya yang
dianggap khas adalah nasi megono, seperti Pekalongan. Pagi ini, berdasar
referensi dari googlemaps dan karena Tika pingin makan nasi uduk, maka kami
mampir sejenak di Kedai Evi. Sarapan nasi uduk dan soto tauto, dengan harga
yang tidak mahal, kemudian lanjut perjalanan menuju ke Pantai Widuri.
Suasana pagi Pantai Widuri |
Saya
pernah ke Widuri, beberapa tahun silam. Tapi tidak ke pantainya, hanya main ke
waterparknya. Maka sekarang ini, saatnya bermain dan berenang di pantai. Tiket
masuknya murah, hanya 5,000,- dan setelah memilih parkir, kami segera
menyingkap deretan warung-warung pantai bertemu dengan pantai Laut Jawa.
Sepanajng bibir pantai yang berpasir hitam, dipenuhi deretan warung dengan
penataan kursi warna warni yang terlihat cantik di bawah rindangnya pohon
cemara laut. Dayu yang tampak sangat senang, awalnya cukup takut untuk
nyemplung tetapi setelah berani ia justru nggak mau diajak pulang.
Cukup
lama kami bermain sekitar hampir dua jam. Kemudian segera bilas, beli jajan dan
kembali ke penginapan untuk check out.
**
Cuaca
siang hari di Pemalang sangatlah panas. Siang ini kami hendak lanjut wisata ke
Guci, Tegal. Tetapi sebelum meninggalkan Pemalang, kurang afdol rasanya kalau
belum nguliner dulu. Yasudah akhirnya kami membelokkan langkah ke Grombyang
Waridin yang berada dekat dengan bundaran Siranda.
Sebuah
warung makan yang besar dan luas, yang menyajikan menu utama yaitu Grombyang
dalam mangkuk-mangkuk kecil. Beberapa meja makan panjang terlihat cukup ramai
siang itu. Pun dengan parkirannya yang dipenuhi beberapa kendaraan roda empat
dan juga banyak motor berjejer. Menandakan bahwa tempat ini memang cukup ramai
dan populer.
Nasi Grombyang yang selalu ngangenin.. |
Nasi
grombyang ini adalah semacam soto daging sapi dengan kuah yang agak kental,
hampir mirip kuah rawon. Mungkin semacam paduan soto dan rawon sapi.
Citarasanya enak, dan untuk lauk makannya tersedia beberapa sate dari bahan
daging sapi, seperti jerohan hingga paru. Ketika dicombine dengan menu
utamanya, maka yang terasa adalah.... sangat enak.
**
Makan
siang telah selesai. Kami berangkat menuju ke Tegal via jalur Pantura. Jalur
Pantura sekarang relatif sepi. Mungkin cukup banyak yang beralih ke tol.
Apalagi, di kota Tegal sebelum adanya tol, acapkali terjadi kemacetan. Menurut
peta google maps, sebenarnya ada dua jalan menuju Guci. Pertama via Randudongkal
– Moga, yang kedua melalui Tegal – Slawi. Meski yang kedua ini relatif lebih
jauh, namun saya memutuskan untuk memilih ini karena saya belum pernah lewat
Randudongkal. Menurut google streetview, kontur jalannya lebih sempit dan lebih
menantang. Jadi, mending dihindarin saja karena saya bawa motuba yang sewaktu
waktu bisa saja trouble.
Kami
kebablasan sedikit saat sampai di sebuah pertigaan arah ke Kemantran – Slawi. Setelah shalat dhuhur
sesaat, kami muter balik barang sepelemparan handphone kemudian menelusuri
alternatif menuju Slawi menghindari kota Tegal. Jalanan sempit saja, dan ada
beberapa truk yang berjalan pelan. Beberapa kali harus ngerem mendadak dan
sempat dicium oleh pengguna motor dibelakang saya.
“Groookkk”
Ah
biarin lah. Semoga tidak terjadi apa apa. Saya nggak sempat ngecek bablas saja.
Sebelum sampai Slawi, ternyata kami melewati sebuah kawasan tua yaitu kawasan
bekas pabrik gula peninggalan jaman kolonial. Ada beberapa gedung bangunan tua
yang khas dan cantik, ada juga semacam tempat wisata yang juga menyediakan lori
wisata. Namun, kami tidak sempat mampir mengingat kami masih harus nanjak ke
Guci. Takut kesorean.
Setelah
perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya kami sampai di Guci. Ada
beberapa jalan yang menanjak dengan belokan yang cukup ekstrim yang membuat
Tika sedikit kaget. Namun, saya kira ini jauh lebih mudah dibanding perjalanan
antara Magelang – Selo – Boyolali, atau Magetan - Sarangan – Tawangmangu.
Sesuai
perkiraan saya yang sudah mengintip peta beberapa waktu sebelumnya, maka sesaat
setelah masuk gerbang retribusi, saya langsung membelokkan mobil menuju Guci
Gung. Pemandian air panas yang dilengkapi dengan penginapan.
“Silakan
pak, karcisnya..” sapa seorang penjaga setengah baya bertopi.
Udara
memang terasa dingin sehingga pantaslah ia jika bertopi untuk
menghangatkan kepala.
“Saya
ada reservasi disini, pak” jawab saya kemudian menunjukkan bukti transfer yang
telah saya foto beberapa waktu lalu.
Ia
kemudian segera menghampiri rekannya – mungkin atasannya untuk konfrimasi, dan
kemudian dengan sangat sopan langsung mengantar saya menuju lantai dua untuk
menuju ke kamar yang telah saya pesan. Ia menawarkan untuk membawakan
barang-barang, tetapi saya menolaknya secara halus karena masih bisa saya bawa
sendiri.
**
Dayu
yang sedari tadi tidur sepanjang perjalanan, saya bangunkan dan ia tampak baru
sadar bahwa kami telah sampai di Guci. Yang ia tahu, ia akan segera berenang.
Tapi ia juga baru tahu bahwa hawa di Guci sangatlah dingin. Selepas shalat
ashar, akhirnya saya dan Dayu segera nyemplung ke kolam renang.
Guci
Gung memiliki tiga kolam renang yang masing-masing memiliki level panas yang
berbeda. Yang sedang adalah yang paling luas, dan sekaligus khusus dewasa
karena kedalamannya. Sedangkan dua lainnya dilengkapi perosotan untuk bermain
anak.
Kolam Renang Guci Gung yang menyegarkan |
Setelah
perjalanan panjang nan melelahkan, maka berendam air panas ini bisa jadi
obatnya. Nyaman sekali rasanya. Waktu saya ke Guci tujuh tahun silam, saya
malah tidak menyempatkan berenang air panas karena saat itu waktu mepet. Dan
kini akhirnya saya bisa kembali ke Guci mengajak keluarga kecil tercinta.
Tidak
terasa, saya dan Dayu berendam kira-kira sampai dua jam sampai menjelang
maghrib. Sementara Tika justru ketiduran berselimut. Mungkin lelah dan
kedinginan. Kalau tidak pelan-pelan membujuk, Dayu tidak akan mau diajak mentas
dan akhirnya mentas juga setelah diiming-imingi mie instan rebus. Hehehe..
**
Penginapan
kami, menghadap langsung ke kolam renang. Tempat ini sepertinya masih baru dan
juga masih dalam proses pengembangan. Dari beberapa kamar yang ada tampaknya
hanya dua yang terisi. Mungkin proses marketingnya belum gencar, dan saya lihat
di aplikasi online juga belum terdaftar. Kamar yang luas, dengan kamar mandi
shower full air panas, serta televisi parabola yang sayang sekali sedang dalam
perbaikan sehingga tidak bisa dimanfaatkan. Over all, saya kira harga kamar ini
sedikit overpriced. Namun, jika diingat kami bebas parkir dan bebas berenang ya
rasanya worth it juga.
Malam
hari di Guci, di depan penginapan tampak masih ada yang berenang. Saya
sebenarnya pingin mencoba berenang di malam hari. Tapi kalau nanti Dayu
ikut-ikutan saya malah takut kalau ia nanti masuk angin, akhirnya urungkan niat
saja diganti dengan jalan-jalan mencari makan malam.
Menurut
panduan dari penjaga hotel, kami naik sejenak ke daerah depan Hotel Sankita.
Disana ada beberapa warung yang salah satunya menjajakan nasi-mie goreng.
Akhirnya kami tepikan mobil, kemudian memesan makan malam. Angin terasa
semribit dan sangat dingin sehingga minuman panas rasanya langsung dingin
seketika.
Makanan
hangat-hangat memang paling pas di tengah hawa gunung seperti ini. Setelah
makan selesai, kami langsung pulang kembali ke penginapan untuk segera menarik
selimut. Pada malam hari, tampak bahwa kolam renang sedang dikuras dan paginya
tiba-tiba sudah terisi penuh kembali.
**
#Hari
Ketiga, Minggu 14 Juli 2019
Dari Pancuran 13 ke Es Sagwan
Selamat
pagi Guci. Pagi ini terasa begitu dingin. Penjaga hotel mengetuk pintu dan
mengantar sarapan untuk kami. Dua bungkus nasi goreng, iya dibungkus pakai
kertas minyak, dan dua gelas teh panas. Sangat enak untuk kami yang terasa
selalu lapar ketika berada di dataran tinggi seperti ini.
Sekitar
pukul setengah delapan, kami mencoba mendatangi main spot dari wisata Guci.
Sepagi itu, Guci sudah sangat ramai sekali. Ramai aktivitas warga, penjual
sayur dan aktivitas wisata dalam satu tempat. Kami sempat stuck sebelum sampai
di parkiran beberapa saat. Saya kira, tempat ini memang masih belum optimal
pengelolaan lalu lintasnya. Jalan sempit, dipaksa dilewati dua arus, ditambah
lagi dengan banyaknya pickup warga yang parkir di kanan-kiri jalan. Masih
ditambah lagi dengan penjual keliling yang sementara belum tertata sehingga
menambah kesan semrawut.
Saya
lupa membawa jaket, sehingga begitu turun dari mobil langsung kedinginan. Dayu
pun tidak mau turun, ia hanya mau digendong karena saking dinginnya. Obyek
wisata Guci tepatnya di titik wisata utamanya-yaitu di pancuran air panasnya,
minggu pagi terasa begitu ramai sesak. Mungkin karena faktor weekend, dan juga
karena kenyataan bahwa tempat wisata ini buka 24 jam sehingga banyak wisatawan
yang berendam air panas pada malam bahkan dini hari.
Suasana Pancuran 13, |
Dulu,
untuk masuk ke Pancuran 13 tidak bayar tiket, tetapi kini diberikan tiket.
Itung-itung untuk nambah PAD Kabupaten Tegal. Tetapi dengan penambahan tiket
masuk itu, fasilitas yang kami dapat belum begitu maksimal seperti yang telah
saya sebutkan diatas yaitu pengelolaan lalu lintas dan parkiran umum di area
wisata, belum optimal. Semoga kedepannya penataannya lebih bagus lagi.
Ada seorang
nenek menjual semacam umbi-umbian yang menurut saya namanya adalah midro,
tetapi di sana disebut dengan ganyong. Karena saya tahu bahwa rasanya enak,
maka kami belilah ganyong dua kilo dua puluh ribu rupiah. Enak.. tapi dingin,
tidak hangat. Hehehe..
Setelah
sekedar membeli oleh-oleh, tidak lama kami segera turun kembali ke penginapan
karena Dayu daritadi merengek minta berenang lagi. Yasudah lah, akhirnya dari
pukul sembilan hingga pukul sebelas siang, kami berendam kembali menikmati air
panas yang menyegarkan badan ini.
**
Tengah
hari, kami check out dan kembali ke Tegal via Slawi. Ngadem sebentar di Toserba
Yogya Slawi karena kehabisan susu bubuknya Dayu, kemudian jalan pelan-pelan
menuju kota Tegal. Kenapa harus ke Tegal dulu? Karena saya pingin ngajak Tika
mampir ke salah satu warung es legendaris di Tegal. Es Sagwan yang ada di dekat
Rumah Sakit Kardinah.
Mas
penjual siang itu tampak santai, kebetulan sedang tidak ada pembeli. Kami
memesan dua porsi es, kemudian mencemil tahu aci dan beberapa gorengan karena
lapar belum makan. Es Sagwan ini semacam es cendol yang merupakan campuran
santan, cairan gula jawa, dengan cendol yang berasal dari aci. Ditambah tape,
rasanya semakin enak dan menyegarkan tenggorokan. Harganya juga cukup murah,
cukup enam ribu per gelasnya.
Es Sagwan, kesegaran tengah hari di Tegal |
Setelah
minum es, perut terasa kenyang kemudian saatnya kami kembali ke Semarang.
Tetapi kami harus mampir dulu di Warung Nasi Grombyang Pemalang. Bukannya ingin
makan lagi, tapi karena kemarin waktu makan siang, boneka Tayo kesayangan Dayu
tertinggal.
“Semoga
masih ada..” batin saya.
Beruntunglah
karena ternyata barang tersebut masih ada dan diamankan oleh empunya warung di
rumahnya. Setelah menunggu barang sesaat, akhirnya boneka biru itu kembali dan
Dayu menjadi ketawa-ketiwi lagi.
**
Sore
itu kira kira sudah pukul tiga. Selepas kota Pemalang, saya putuskan untuk
menggunakan jalur tol karena ingin menghindari Kota Pekalongan yang terkenal
padat. Keluar di Kandeman, kemudian mengisi BBM dan lanjut melalui jalur
Pantura. Sekira pukul setengah lima, kami mampir shalat di daerah Subah Batang
dan lanjut perjalanan hingga pada maghrib kami sudah sampai di Kota Kendal.
Kurang beruntung, ketika sampai di Cepiring, mobil saya menginjak lubang cukup
dalam dan tiba-tiba lampu utama saya mati. Saya segera menepi dan menemukan
bahwa sekring putus. Untunglah saya selalu bawa cadangan. Sempat mati kembali
kemudian lampu terpaksa saya nyalakan pada posisi lampu jauh. Daripada tidak
bisa pulang. Hehehe..
Jangan lupa siapkan saldo sebelum masuk tol |
Mengingat
siang belum makan, kami pilih untuk membelok ke rumah makan Sambel Layah. Makan
nasi gongso telor yang terasa sangat enak (sampai nambah) dann.. kenyanglah
sudah perut kami sekalian untuk lanjut menuju ke Ungaran. Selepas arteri
Kaliwungu, kami kembali masuk tol untuk langsung menuju Ungaran. Alhamdulillah
perjalanan lancar dan kami bisa sampai di rumah dengan selamat pada pukul
setengah sembilan malam.
Sekarang, mari kita hitung uang yang telah keluar dalam perjalanan kali ini..
Sekarang, mari kita hitung uang yang telah keluar dalam perjalanan kali ini..
Lumayan yha.. |
kulinernya enak enak sekali kak
ReplyDeletecara cek sisa kuota axis