Ada banyak cerita di Lasem. Saat pertama berjumpa, kijang
membawa kami menuju selatan kota untuk makan siang. Terletak di Desa Tuyuhan,
ada sentra kuliner yang sudah melegenda. Lontong Tuyuhan namanya. Berjejer
beberapa kios yang menghadap ke persawahan. Bukit Kajar terlihat sedikit
menyembul menambah indah pemandangan.
Lontong Tuyuhan, merupakan sajian lontong sayur yang
merupakan makanan khas dari Lasem, Rembang. Lontongnya dibungkus daun pisang
dan berbentuk segitiga. Beberapa potong lontong, disajikan dengan kuah opor,
dan lauk ayam kampung. Saya sendiri memesan lauk paha ayam dan tempe. Siang-siang
begini, menyantap lontong berkuah rasanya sangat lezat. Gurihnya langsung masuk
mulut seketika. Harga perporsinya relatif murah. Cukup mengeluarkan 12,500
saja.
**
Pak Toro merupakan seorang aktivis sejarah dan budaya
dari Kota Lasem. Siang ini dia dan rekannya, Pak Danang, mengajak kami mengunjungi LZ Lie Thiam Kwie,
sebuah pabrik tegel legendaris yang beroperasi sejak 111 tahun yang lalu. Begitu
masuk, saya langsung terpana dan exciting.
Sebagai penggemar bangunan lawas, saya langsung amazing dan potret-potret.
Setelah memasuki lorong kecil, kami disambut Hadinata, sang penerus perusahaan.
Insinyur yang juga merupakan pensiunan PNS di Bandung
itu, kini juga menjadi dosen. “Mengelola pabrik tegel ini, saya tidak mencari
untung. Pembuatan tegel kini sudah sepi sejak ada keramik. Saya hanya berusaha
meneruskan usaha peninggalan orang tua saja” ujarnya. Dari belakang rumahnya
yang dikonsep menjadi taman, kami memulai penelusuran.
Ada tiga gedung utama yang digunakan sebagai rumah
produksi. Gedung-gedung itu memang tampak sangat tua dan rapuh. Menandakan
bahwa perusahaan ini jelas sudah tidak lagi berjalan mulus. Peralatan yang
digunakan juga sangat tua. Ada mesin pres kuno buatan Jerman, dan mesin tanggem
buatan Inggris. Meski kuno, peralatan itu masih berfungsi baik hingga sekarang.
Disudut-sudut ruangan tampak beberapa koleksi tegel warna warni nan cantik.
Juga ada beberapa kursi yang dibuat dari tegel dengan tulangan dari besi.
Cantik!
Terlihat dua orang pegawai tengah sibuk menyelesaikan
pesanan paving. Benar, Hadinata sudah sangat jarang menerima pesanan tegel,
sebagai gantinya, ia mengerjakan pesanan paving/konblock. Di ruang produksinya
yang sangat memprihatinkan, ia mengatakan bahwa pesanan paving ini hanya untuk
menghabiskan stock semen. Setelah itu, ia belum tahu apakah akan melanjutkan
usaha tersebut atau tidak. Sedih mendengarnya..
Tampaknya istri Hadinata sudah mulai melihat prospek lain
dari pabrik tegel kuno yang dikelolanya. Ibarat tak ada rotan akarpun jadi,
produksi tegel jelas tidak mungkin memberikan pemasukan. Maka dari itu,
berdasarkan penuturannya, ia menjelaskan bahwa ia akan menerima siapa saja yang
tertarik dengan sejarah untuk datang berkunjung. Rumah itu juga cantik dengan
arsitektur tahun 1930an, dan kental hiasan tegel warna disana-sini. Adanya taman
dibelakang rumah, menambah kesan klasik indah. “Disini, biasanya sering buat
foto prewedding” akunya.
Wah, menarik, kan? Ingin berkunjung ke Pabrik Tegel LZ
juga? Anda dapat menghubungi langsung Pak Hadinata di 082133166628 untuk
membuat janji. Jangan lupa, siapkan uang 10,000 rupiah per orangnya untuk
membantu biaya kebersihan. ;)
**
Lasem masih bercerita. Sejak kami datang, saya dibuat
terkagum-kagum oleh susana kuno-nya. Bangunan tua bercecer disana-sini. Banyak
diantaranya merupakan bangunan dengan artitektur China. Sebagian berubah fungsi
dan terawat, dan sebagian besar sudah rapuh dimakan zaman. Kedatangan warga
Tionghoa ke Lasem dipercaya sudah ada sejak jaman Majapahit. Aktivitas mereka
turut mewarnai perjalanan Lasem dari era Majapahit, Demak, hingga masa-masa
penjajahan kolonial. Salah satu yang membekas adalah peristiwa Geger Pecinan
pada kisaran tahun 1743.
Pak Toro memandu kami memasuki salah satu gang. Di Gang
Pecinan itu mobil kami berhenti.
“Kawasan ini rencananya akan kami kembangkan. Pecinan ini
memiliki potensi wisata sejarah yang sangat bagus” Pak Toro membuka cerita
tentang Pecinan saat kami memulai perjalanan di gang-gang itu. Bila dilihat,
kawasan ini masih belum begitu rapi dan bersih. Tergolong sepi, malah. Hal ini
dikarenakan deretan rumah itu memiliki bentuk yang khas. Yakni sebuah pintu
depan dengan atap dan halaman serta rumahnya tertutup oleh pagar tinggi
sehingga kehidupan warganya tidak banyak terlihat dari jalan.
Kami mampir ke salah satu rumah. Rumah itu dihuni Mak Lena,
seorang wanita yang sangat ramah. Disana ia tinggal bersama kerabatnya. Begitu
masuk, kami disambut sebuah rumah yang mengadopsi gaya China Belanda.
Pintu-pintu dan jendela yang tinggi, dan tiang-tiang dengan ornamen khas. Rumah
itu tidak terlalu luas. Dan saat sampai pada bagian belakang rumahnya, kami
menjumpai sebuah sumur, serta beberapa kamar gudang dan toilet yang terpisah
dari rumah utama. Detail artistik rumah ini masih asli. “Benar, masih asli
semua. Memang tidak pernah saya rubah. Asli sejak jaman dahulu. Nah kalau meja
kursi, dan peralatan lain itu nggak asli” Mak Lena menunjuk sebuah mesin cuci
sambil terkekeh.
Di Lasem, kehidupan antara etnis Tionghoa dan Jawa
terjalin harmonis. Ada sebuah pos yang menjadi simbol keharmonisan itu. Pos itu
berwarna merah bercorak China, dan pada salah satu sisinya terukir kaligrafi. Penduduk
Jawa identik dengan Muslim, sedangkan penduduk China rata-rata menganut
Konghuchu. “Mereka hidup damai, bila ada hajatan misalnya pengajian, maka
penduduk Tionghoa akan senang hati membantu. Begitu pula misal ada penduduk Tionghoa
yang meninggal, maka orang Jawa akan turut melayat” Ungkap Pak Danang. Toleransi
yang tinggi antar etnis seperti ini barangkali jarang kita temui ditempat lain.
**
Matahari mulai bergeser ke barat saat kami memasuki
halaman Kelenteng Cu An Kiong. Kelenteng ini terletak tidak jauh dari jalan
raya Pantura Lasem. Suasana tempat ibadah sore itu relatif sepi. Tidak lama
menunggu, kami dibukakan pintu oleh salah satu pengurus kelenteng.
Cu An Kiong, menurut informasi yang saya dapatkan dari
Pak Danang, dibangun pada tahun 1474 dan konon merupakan kelenteng tertua di
Lasem, bahkan di Jawa. Memasuki ruang utama kelenteng, kami disambut dengan dua
buah tiang besar terbuat dari kayu jati dengan ornamen yang menarik. Lantainya
indah sekali dengan padu-padan tegel-tegel kuno. “Mungkin waktu itu pesan di
LZ” batin saya ngawur. Pada sisi kanan-kiri tembok dalam, kami menemukan motif
lukisan hitam yang digambar pada batuan putih. Gambar-gambar itu dipercaya
sudah ada sejak kelenteng dibangun. Kualitasnya masih bagus dan terlihat jelas.
Hanya ada beberapa yang mulai kusam terutama dibagian bawah.
Dewa utama di kelenteng ini adalah Thian Siang Seng Bo
atau Dewi Samudera. Patungnya diletakkan pada bagian utama altar pemujaan.
Disampingnya, ada Dewa Bumi atau Kongcho Ho Tek Cing Sin. “Biasanya setahun
sekali ada acara semacam festival dalam rangka ulang tahun Makcho (Thian Siang
Seng Bo)” Berbagai pertunjukan digelar. Informasi yang saya dapatkan, biasanya juga digelar wayang kulit yang
lagi-lagi menandakan keharmonisan multi etnis di Lasem.
Satu lagi bukti toleransinya, ada di bagian belakang
kelenteng. Pak Danang memperlihatkan saya sebuah ruangan yang digunakan untuk
menyimpan tandu. Tandu-tandu itu digunakan untuk membawa Dewa-dewi. Satu tandu
yang unik, bertuliskan R. Panji Margono. Menurut cerita Pak Danang, R. Panji
Margono yang merupakan orang Jawa pada saat itu bahu membahu bersama orang
China dalam rangka melawan penjajah Belanda. R. Panji berujar bahwa di Lasem,
orang Jawa dan China selamanya akan hidup rukun.
lasem ini selain terkenal krn batiknya, jg bnyk sejarah trnyata :) Dan itu tegelnya sbnrnya bgs2 ya... papaku trmsuk yg suka dgn tegel klasik bgitu.. pas renov rumah aja, ada 1 bagian rumah yg sengaja dipasang tegel klasik..katanya, supaya inget ama rumahnya dulu di kampung :D
ReplyDelete@Fanny : Iya. Saya aslinya dijadwalkan ke sentra batik juga. Tapi karena udah malem jadi di tunda :D Beneran asik deh berkunjung ke Pabrik Tegel :D lain kali saya posting tentang tegel2 di Rembang ;)
ReplyDelete