“Andai saja Belanda tidak menjajah kita,
tentu kita tidak akan capek capek hujan hujan hanya demi menyusuri bekas rel
kereta sepanjang 8 kilometer ini”. Itulah sedikit gumaman saya selama mengikuti
Trekking Jalur Sepur Secang – Candi Umbul Minggu (09/06) lalu.
Acara yang di prakarsai oleh Komunitas
Kota Toea Magelang (KTM) ini adalah Djeladjah Djaloer Spoor seri kedua dimana
sebelumnya sudah pernah diadakan acara yang sama dengan rute yang berbeda yang
pernah saya kupas disini.
Pukul 8.15 pagi, di Taman Badakan
Magelang, lengkap sudah peserta yang didominasi dari Magelang, dan sebagian
berasal dari Jogja, Solo, hingga Semarang. Setelah briefing dan penjelasan rute
oleh mas Bagus Priyana - Koordinator
KTM, kami yang berjumlah 37 orang bersiap mengadakan doa pemberangkatan yang
dipimpin oleh Pak Budiman – yang datang dari Jogja bersama puteranya dan
kebetulan merupakan peserta yang dituakan.
Ho
Tjong An, sang Pemborong Proyek Kereta Api
Berbeda dengan acara acara sebelumnya
yang biasa menggunakan sepeda motor, kali ini kami mencarter angkutan umum
untuk sampai di Stasiun Secang setelah sebelumnya kami menitipkan motor di
Nikita Futsal, Jl. Pahlawan Magelang. Dua puluh menit kemudian kami telah
sampai di Eks. Stasiun Secang.
“Stasiun ini pada jamannya merupakan
stasiun penting, karena merupakan pertemuan antara jalur Ambarawa – Magelang
dan – Temanggung Parakan. Bekas yang menunjukkannya adalah banyaknya ruas rel
yang berjumlah lima sehingga dapat dipastikan pada masanya stasiun ini besar
dan ramai. Bahkan stasiun Magelang Kota pun kalah ramai” Demikian penjelasan
dari Bagus Priyana sesaat setelah kami mengamati bekas stasiun yang kini
digunakan sebagai markas PEPABRI Cabang Secang ini.
Adalah Ho Tjong An, seorang annemeer, atau pemborong yang ditugasi
oleh Pemerintah Belanda waktu itu untuk mengerjakan pembukaan jalur kereta dari
Ambarawa – Secang – Magelang dan juga Secang – Temanggung – Parakan. Jalur
Secang – Ambarawa sendiri mulai beroperasi pada 1 Februari 1905. Berdasarkan
referensi dari Majalah Sinpo terbitan Tahun 1919 , selanjutnya menceritakan
bahwa Insinyur kelahiran tahun 1841 di Tungkwan, Canton itu memborong pekerjaan
dengan nilai 350.000 Gulden. Sebuah nilai yang luar biasa besar saat itu. Cukup
beralasan pastinya, mengingat rel kereta harus mendaki bukit bukit dan memotong
banyak jurang. Kulinya saja setiap harinya tidak kurang dari 3000 orang.
Kumuh, tidak terawat, dan kotor
sepertinya menjadi sebuah keniscayaan disini. Namun bekas kursi ruang tunggu
yang terbuat dari kayu jati lengkap dengan penyangga besinya tampak masih kokoh
di lobi. Bergeser ke belakang, tampak bekas emplasement dengan lantai keramik
tahu, demikian istilah yang biasa dipakai. Adalah keramik, lebih tepatnya tegel
berwarna orange dengan satu pasang merupakan 4 kotak berukuran sekitar 10x10 cm
persegi. Tepat dibaliknya, dapat ditemukan tulisan HOLLAND. Sebuah bukti bahwa
ini adalah peninggalan Belanda. Atau malah dulunya tegel ini didatangkan
langsung dari Belanda? Bicara mengenai kualitas, jangan salah, stasiun ini
sekarang sering dimanfaatkan sebagai tempat parkir truk besar dan sebagaimana
yang kami lihat, tegel tegel ini benar benar bertahan lebih dari satu abad.
Luar biasa!
Bagian Belakang Tegel Tahu |
Bekas
Jembatan Kereta
Dimulai dari Eks Stasiun Secang inilah trekking
dimulai. Pada kilometer awal, kami masih melintasi perkampungan padat, Krajan
dan memotong Jl. Raya Secang – Temanggung. Bekas jalur ini sekarang banyak
ditutup semen untuk jalan kampung. Rel rel pun masih tersisa utuh.
Jalur rel ke
arah Ambarawa ini memotong lagi Jl. Raya Magelang – Semarang sehingga kami
otomatis masuk wilayah Krincing. Tidak sampai sepuluh rumah kami lalui, sawah
luas menyapa kami. Ya, kami mulai trekking yang sesungguhnya. Jalur ini rata
rata merupakan gundukan buatan dengan pemadatan menggunakan batu batuan untuk
menopang rel. Bekas bekas tiang sinyal juga kami temui di beberapa titik.
Sepanjang lebih kurang 3 kilometer
jauhnya, kami harus berjibaku dengan medan yang berat. “lebih berat dari yang
saya bayangkan!” kata saya dalam hati. Bagaimana tidak, di daerah Krincing
hingga…. Ini, tim bahkan terpaksa harus terbagi menjadi beberapa kelompok
karena perbedaan daya tahan dan kecepatan berjalan. Belum jauh kami melangkah,
terdengar suara jeritan yang diikuti dengan tawa cekikikan. Rupanya, Maria
Kristina – salah satu peserta harus merelakan sandalnya putus saat melintasi
salah satu pematang sawah yang kondisinya licin. Tidak hanya itu, beberapa
peserta juga meski rela terjatuh ataupun terpeleset namun untungnya tidak ada
yang sampai fatal.
Di beberapa tempat, bekas rel ini
terlihat dengan jelas. “KRUPP adalah pabrik pembuat rel, NIS adalah pemesannya,
yaitu maskapai perkeretaapian pada jaman Belanda, singkatan dari Nederlandsch Indische Spoorwegmaatschappij.
1903 adalah tahun pembuatan dan 98 adalah berat rel dalam hitungan Kg per
satu lonjor” demikian ujar saya kepada salah satu peserta yang tengah memotret
salah satu sisi rel yang bertuliskan kode kode diatas. Ya, informasi ini saya
ingat betul dari mas Tommy yang merupakan Railfans
yang dulu mengikuti Djelajah Djaloer Spoor seri satu. “KRUPP sendiri adalah
pabrik di Jerman” tutup saya sembari melanjutkan langkah.
Kami juga menjumpai dua buah talang air
yang melintas di atas rel kereta. Talang air ini terbuat dari baja dan melihat
dari warna dan struktur bangunannya, pastilah ini talang air tua. Sebelum
melintasi sungai kecil yang memaksa beberapa dari kami melepas sepatu, kami
sampai pada sebuah tempat dimana suasana sangat sunyi. Tidak ada bunyi bunyian
selain suara hewan hewan sawah dan gemercik air. Coba saya tarik nafas panjang
dan benar benar terasa damai. Disinilah tepatnya talang air satunya berada.
Bangunannya menggunakan semen yang menandakan usianya belum setua talang air
pertama tadi. Berdasarkan informasi dari ketua tim, kanan kiri yang merupakan
bukit kecil ini dahulunya adalah satu bukit yang dikepras atau dibelah untuk
jalan kereta.
Inilah bukit yang tengahnya dikepras tersebut |
Pemandangan di sekitar situ sangatlah mempesona, lembah,
persawahan terasering, dan beberapa bagian kampung serta pemandangan kota
Magelang dari kejauhan nampak dari sini. “Lihat! Artos dan Atria Hotel terlihat
jelas dari sini…!” terang mas Yoga kegirangan. “dari sebelah sini” seraya
tangannya menunjuk dua buah gedung tinggi yang nampak dari kejauhan, sambung
peserta yang selalu aktif di forum skyscrapercity
bersama saya, forum yang membahas seputar perkembangan pembangunan dan
proyek di Magelang.
Sejak kami memulai jalur persawahan
tadi, hingga saat ini kami masih hanya melintasi sawah, dan hutan. Di beberapa
lokasi, bekas jalur kereta ini sekarang benar benar tidak pernah dilewati
bahkan hanya sekedar untuk mobilitas petani setempat misalnya. Semak belukar
tumbuh yang tertinggi sampai ukuran perut orang dewasa. Beberapa puluh meter
mendekati Sungai Elo, kami dapat rehat sejenak dan mencuci kaki di sebuah
saluran irigasi. Tidak jauh dari tempat ini, rute trekking memutar jauh
melewati sebuah jembatan panjang. Sekitar seratus meter dari situ, tampak bekas
jembatan kereta yang terlihat masih kokoh.
“Yang berani silakan lewat situ.. Tapi
hati hati. Kalau terjadi apa apa tidak saya tanggung” teriak Bagus Priyana
kepada kami rombongan yang berada di belakang. Saya dan beberapa peserta
tertantang untuk melintasinya. Tapi rupanya, hanya Adi Okta, dan saya yang
berani melintasi jembatan yang kini bantalan rel – yang terbuat dari kayu jati
– nya habis dicuri orang. Rel yang tersisa berkode UMH 1910 NIS 98 melintang
diatas jembatan nan kokoh ini. Kemungkinan rel jembatan ini pernah mengalami
penggantian. Dua sayap di kiri kanan ini salah satunya menjadi tempat istirahat
saya , lebih tepatnya istirahat perasaan karena saya terus terang deg degan
juga saat melintasi besi yang lebarnya dari 15 hingga 30 centimter ini. “Tempat
itu adalah tempat petugas kereta api dalam mengecek kondisi rel dan jembatan”
jawab mas Bagus ketika saya menanyakannya. Sampai di ujung jembatan, satu
peserta lagi, Edi Purnomo yang berani menaklukkan jembatan besi ini. Rupanya
ini pengalaman keduanya setelah beberapa waktu lalu dia mengikuti survey lokasi
bersama KTM.
Tiga setengah kilometer sudah kami
berjalan. Sejenak melepas penat, cuaca diatas mulai mendung, perjalanan pun
dilanjutkan. Sesaat sebelum memotong Jl. Raya Grabag, tepatnya di Kampung
Brangkal kiri jalan terdapat sebuah pondasi
yang dahulunya adalah sebuah halte. Istilahnya pada saat itu adalah
stoopplast, sebuah tempat pemberhentian kereta tanpa pembelian tiket. Cuaca
semakin tidak bersahabat saat kami meninggalkan Stopplast Brangkal, menyeberang
jalan raya dan kembali dihadapkan pada rute yang tidak mudah. Acapkali kami
harus melewati genangan genangan air dan membuka jalan dikarenakan rumput yang
sudah tinggi. Semarak suasana panen disepanjang persawahan yang kami temui
sontak melihat kami dan memberitahu kami bahwa Candi Umbul masih jauh. Benar
benar kalimat yang membuat kami semakin loyo.
Akhirnya
rintik rintik hujan jatuh juga. Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan
mantol atau payung. Ya, memang sebelumnya sudah diinformasikan perihal
perlengkapan ini untuk mengantaisipasi cuaca yang akhir akhir ini kurang
bersahabat. Beberapa peserta akhirnya menggunakan banner dan daun pisang karena
tidak membawa perlengkapan. Badan rasanya lemas, kaki pegal, kotor dan lengkap
sudah hingga kami menjumpai sebuah jembatan dengan konstruksi beberapa rel yang
dipasang berjejer selebar 2 meter. Alhamdulillah
beberapa langkah darisitu tampak dau buah bangunan setengah hancur tanpa
atap. Kami telah sampai di titik finish trekking
kami.
Stasiun
Candi Umbul
Bekas Stasiun Candi Umbul |
Lokasi kami berada di Desa Kertoharjo
Kecamatan Grabag. Usut punya usut, stasiun ini dahulunnya sengaja dibangun
untuk melayani rute wisata untuk Sinyo Noni Belanda yang hendak berwisata ke
Pemandian Air Hangat Candi Umbul yang berada tidak jauh dari stasiun ini. Sedangkan bangunan satunya yang terletak di
sebelahnya adalah bekas Rumah Dinas Stasiun. Rupanya pada waktu itu pemandian
peninggalan Kerajaan Hindu ini sudah menjadi obyek wisata. Setelah puas berfoto
dan selonjoran, kami melanjutkan langkah menuju ke Candi Umbul yang dapat
ditempuh sekitar 10 menit dengan berjalan kaki.
Capek capek kaki terasa rileks saat saya
menyemplungkan kaki ke air hangat itu. Kolam pemandian ini terdiri dari dua
kolam yang mana kolam utamanya berada lebih tinggi dan tingkat panasnya lebih
tinggi juga. Konstruksi kolam menggunakan batu andesit. Beberapa relief dan candi
berjejer di sekeliling kolam.
Pukul setengah tiga sore, kami sudah
siap untuk pulang karena tiga angkot carteran yang akan mengantar kami kembali
ke Magelang juga sudah menunggu kami di depan gerbang. Dan dengan demikian,
berakhir pulalah trekking jalur kereta Secang – Candi Umbul ini.
More pics:
Sts. Secang kini |
Me at Jembatan Besi |
Tim @ Bekas Stasiun Candi Umbul |
Candi Umbul, Pemandian dari Masa Lalu oleh Fahmi Anhar disini
Djeladjah Djaloer Spoor oleh Agus Mulyadi disini
Wedian, aku kalah lengkap ki... mantep kang..
ReplyDeleteWah, suwun lho kang, wis mbacklink, hehehe
@Agus Mulyadi : Halo mas, saya beberapa kali baca blog njenengan dan ternyata kemarin ketemu . Hahahah
ReplyDeleteterimakasih kunjungannya
bikin jeouleus ni pic pic nya kkkk
DeleteHehehe,, galau nggak bisa ikut ya mas?
DeleteKeren!! kemarin mau ikut malah nggak jadi. dan baru tahu kalau ada STASIUN CANDI UMBUL *melongo*
ReplyDelete@Fahmi Anhar :
ReplyDeleteWah nyesel mas nek gajadi ikut. Hehehe..
Makasih kunjungannya
salam kunjungan nih.
ReplyDeletePertama thanks dah berbagi posting yang menarik dan bermanfaat ini
Semoga sukses
@what then
ReplyDeleteOkay terimakasih kunjungan dan komentarnya..
:)
ternyata didekat Candi Umbul ada stasiunnya juga.baru tahu mas
ReplyDelete@rumputilalang :
ReplyDeleteBetul mas, saya juga baru tahu kemaren :D :D
Halo mas Hamid... Salam kenal...
ReplyDeleteBaru tahu kalo sampeyan blogger juga... Pokoke salam kenal dari salah satu peserta Djeladjah Djaloer Spoor kmaren hehe... :)
@Jejakbocahilang :
ReplyDeleteHahaha.. muka muka blogger emang susah dikenalin mas.. Salam kenal juga
;)
Mas hamid saya ini bukan bloger , tapi suka baca* ttg kampung nenekku di banyubiru , begitu search ketemu artikel ini lah malah kepingin melu tahun ngarep mas ? Piye carane mas ?
ReplyDelete@atas : hehehheee.. gabung aja di facebook Kota Toea Magelang mas ;)
ReplyDeleteMenjadi bagian dari dokumentasi sejarah perkeretaapian Jawa Tengah yang sangat berharga. Terima kasih Mas. sudah berbagi melalui postingan lengkap menarik ini. Salam
ReplyDelete@prih : Sama sama . terimakasih kunjungannya. Salam
ReplyDeleteSaya yg tinggal di Grabag, malah belum pernah menapak tilas jalur kereta api, , jadi malu, ,hehe
ReplyDelete@achmad :
ReplyDeletewah. Iya. memang memalukan sekali :D hehehe.
terimakasih sudah berkunjung