Pada masa pemerintahan Belanda di Magelang, kota Magelang merupakan tempat yang istimewa bagi para penguasa saat itu. Karena udara yang sejuk dan pemandangan yang mengitari kota Magelang sangatlah asri. Bisa dibayangkan bahwa kota Magelang dikelilingi oleh Gunung gunung. Di sebelah timur tampak Gunung Merbabu dan Merapi, di sebelah barat tampak Gunung Sumbing, dan dipusat kota Magelang sendiri ada bukit Tidar. Maka dari itu, pemerintahan Belanda akhirnya membuat saluran perairan untuk kepentingan warga di seputar kota Magelang. Air yang di ambil dari Kali Manggis, dan masuk ke Kota Magelang melalui sebuah parit yang pada masa itu disebut dengan istilah Boog Kotta Leiding. Peninggalan parit ini dapat kita jumpai di sepanjang Jl. A. Yani, bila kita melaju dari arah Semarang, sebelum memasuki kota, maka akan terlihat sebuah gundukan tanah di sebelah kanan jalan yang mana itulah boog yang berada lebih tinggi dari tanah jalan. Lalu sesampainya di perempatan RST, apabila kita ambil kanan ke arah taman Badakan maka akan terlihat sebuah jembatan air yang tertulis 1920. Ya, bangunan ini dibuat oleh Belanda tahun 1920. Bangunan ini memotong Jl. Ade Irma Suryani. Namun sayang sekali bangunan yang satu satunya masih aseli dan belum pernah dirombak ini terbengkelai. Dan kondisinya memprihatinkan.
tampak dari Jl. Ade Irma Suryani Badaan
Sedikit ke selatan lagi, pada perempatan RINDAM IV Diponegoro, pada arah Jl. Pierre Tendean, ada lagi sebuah jembatan air yang selama ini dikenal dengan istilah PLENGKUNG (mungkin karena bentuknya yang melengkung) berada dekat dengan GKJ Plengkung.Bangunan ini aselinya dibuat dengan konstruksi batu kali namun pada renovasi di tahun 2008 komposisi ini ditutup dengan semen. Dan seringkali jadi bahan corat coret tangan nakal. Padahal ini adalah plengkung yang dibangun paling pertama tahun 1883. Cukup memprihatinkan.
Saluran air ini lalu terus mengikuti gundukan tanah yang tinggi dan akhirnya sampai pada belakang kantor PDAM. Saluran ini akhirnya melewati bawah tanah dan menembus daerah Gereja Katholik Ignasius. Dan akhirnya melewati bawah tanah halaman Masjid Agung Kota Magelang, lalu agak melenceng sedikit lewat bawah gedung Bank Jateng cabang Magelang. Lalu terus melewati daerah kebon, dan akhirnya di Jl. Daha dapat kita jumpai lagi Jembatan air ini. Posisi jembatan ini lebih terawat dibandingkan dua yang lainnya. Ada di Jl. Daha. Plengkung ini seiring dengan majunya pembangunan perumahan dan pertokoan modern akhirnya direnovasi juga. Memang bila dilihat tampak terawat dan cantik. Dengan tiga lorong, satu lorong utama dan dua lorong kecil di kiri kanan. Namun, renovasi ini kurang memperhatikan aspek konstruksi asli sehingga kesan Bangunan Tua pun hilang.
Aliran ini selanjutnya menyusuri daerah Bayeman dan berakhir di Kampung Jagoan
referensi sejarah diambil dari http://kotatoeamagelang.wordpress.com/2011/03/30/riwayat-3-plengkung-dua-dirubah-satu-tidak-terawat/
plengkung di Jogja sama di Magelang beda ya bentuknya
ReplyDeleteplengkung jogja dimana mas adanya?
ReplyDeletelebih bagus yang dikota tulungagung
ReplyDeleteKapan2 tak ke Tulungagung mas :D makasih
Delete