Tuesday, March 4, 2014

Jelajah Perjuangan Diponegoro

Minggu, 2 Maret 2014
Sebelumnya saya sempat sedikit nggak enak pikiran karena melihat mendung diatas langit sana. Pagi ini mendekati pukul delapan, saya dan Tika telah sampai di Gedung Bakorwil Kedu, Jl. Diponegoro Magelang untuk mengikuti even Jelajah Perjuangan Diponegoro. Tampaknya hal yang serupa dengan even Djeladjah Petjinan #2 bulan lalu kembali terulang. Ya, berpuluh motor terlihat sudah terparkir dan beberapa puluh peserta juga sudah hadir memadati halaman Museum BPK. Kami langsung menyamperi Pakdhe Wotok untuk melakukan registrasi. Dengan lima ribu rupiah saja, kami mendapatkan booklet seputar perjuangan P. Diponegoro dan free satu botol air mineral yang belum dikasihkan. Hehehe..

Beberapa peserta rupanya baru bergabung mengikuti even untuk pertama kali. Saya bahkan terus terang tidak sempat berkenalan dengan para anggota baru tersebut. Dengan topi model Jepang warna cokelat, rupanya mas Meneer Rifki van Djogjakarta juga menyempatkan bertandang kesini jauh-jauh dari Surabaya. Mas Tony yang dari Sukoharjo juga rela berhujan-hujanan – sepagi ini di Mertoyudan dan Pak Bambang Gunadi yang membawa serta beberapa anggota keluarganya juga tampak semangat  meski harus berangkat dari Temanggung. Satu lagi, Ki Roni Sodewo, tamu spesial kita kali ini berangkat langsung dari Wates Kulonprogo.

Menjelang pukul 08,30 acara dibuka dengan briefing singkat oleh Gubernur KTM, Bagus Priyana. “saya mengucapkan terimakasih kepada kawan kawan yang hari ini dapat bergabung di even ini. Ini diluar perkiraan saya karena saya hanya mencetak 45 booklet padahal yang datang hingga saat ini mendekati 60-an, jadi mohon maaf apabila ada yang belum mendapatkan copy booklet” ujarnya. 
Briefing oleh Gubernur KTM
Bagus kemudian mempersilahkan Ki Roni Sodewo untuk memberikan sedikit sambutan. Untuk informasi, Ki Roni Sodewo ini merupakan turunan ke -7 dari Pangeran Diponegoro yang kini bertimpat tinggal di Wates. Keinginan beliau untuk menelusuri rekam jejak perjuangan Diponegoro menginspirasi Komunitas Kota Toea Magelang (KTM) sehingga terselenggaralah even kali ini. Beliau juga mengaku sangat mengpresiasi acara ini dan berterimakasih untuk partisipasi dari semua anggota yang terlibat.
Pemberian kenang-kenangan kepada Ki Roni Sodewo

Titik kunjungan kami yang pertama adalah Museum Diponegoro. Sebagai orang Magelang saya merasa gagal karena hingga diusia saya kali ini saya baru ini mengunjungi museum yang menempati satu ruang kecil di sayap kiri Gedung Eks. Karesidenan Kedu itu. Sekitar 15 menit sebelum kami memasuki museum, sebuah performance art dipertontonkan oleh seniman Magelang, mas Eka Pradhaning. Saya terus terang bertanya-tanya apakah maksudnya. Sebuah tarian dengan kedua tangan memegang lidi yang dibakar (lupa namanya), dan melangkah di jalur bunga di halaman gedung hingga ke tangga depan. Tapi selama saya mengamati yang dipentaskan olehnya, nampaknya inti pertunjukan tersebut adalah apresiasi dan pesan dari P. Diponegoro bahwa meskipun raganya kini telah tiada, namun semangat juangnya akan terus selalu ada. Begitu kira kira . ;) 
Special Performance Art by Mas Eka Pradhaning

Pak Joko, Pengurus Museum Diponegoro
Kami disambut oleh Pak Joko, pengurus Museum. Suaranya yang keras, mampu menjangkau semua peserta dan penjelasannya diikuti antusias oleh para peserta. Beliau menjelaskan tentang sepak terjang P Diponegoro hingga akhirnya di jebak oleh pihak Belanda di ruang yang kni dijadikan untuk museum tersebut. Mengingat ruang museum yang kecil, maka kunjungan  peserta dimohon untuk bergantian. Pak Joko juga mengatakan bahwa mulai tahun 2014-2015 akan diadakan peningkatan fasilitas museum dengan membangun sarana pendukung seperti replika makam dan ruang tahanan P. Diponegoro di samping gedung utama Karesidenan. 

Akhirnya kami pun berkesempatan masuk ke Museum. Ada satu set meja kursi dari kayu jati yang digunakan saat perundingan dengan Jenderal de Kock. Satu kursi yang dirawat diruang kaca, adalah tempat duduk P Diponegoro dengan bekas guratan kuku di bawah handle kanan kursi. Sementara, dibelakangnya ada sebuah jubah asli milik sang Pangeran yang ternyata sangat besar. Melihat ukuran jubahnya, diperkirakan tinggi P Diponegoro sekitar 200cm. Di sampingnya tersimpan tanpa pengawet, sebuah kitab Taqrib. Menurut penjelasan Pak Joko, kitab Taqrib ini berisi tentang strategi perang yang dipelajari oleh P Diponegoro. “kitab ini berasal dari Kyai di Pondok Mlangi Sleman Yogyakarta” paparya.
 
Sebuah dipan kecil, yang lebih sering disebut dengan balai-balai, terbuat alasnya dari gilar bambu, merupakan bekas tempat shalat P Diponegoro yang didatangkan dari Gombong Kebumen. Selain koleksi diatas, ada beberapa lukisan dan cerita tentang P Diponegoro.
para peserta befoto bersama di depan Gedung Eks. Karesidenan Kedu

Rombongan motor kali ini siap-siap berangkat ke arah Salaman dengan melewati jembatan Progo, Bandongan-Salam Kanci-Tempuran- Salaman. Mas Bagus sebelumnya menceritakan bahwa selama rombongan P Diponegoro menunggu kedatangan jenderal de Kock dari Batavia, mereka dibuatkan kemah sementara di bantaran suangai Progo. Lokasi ini sudah susah dideteksi, namun besar kemungkinan merupakan sebuah pulau sungai ataupun pinggiran sungai yang kini dapat dilihat langsung dari Jembatan Progo dengan menengok ke kanan.

Pukul 10,30 rombongan sampai di Kamal, Menoreh Kecamatan Salaman. Kami memasuki kompleks MTs. Pangeran Diponegoro. Sekolah yang berada berdampingan dengan Ponpes Nurul Falah ini memiliki sebuah bangunan monumental di tengahnya. Ya, sebuah masjid yang bernama Langgar Agung. 
Langgar Agung
“tempat ini dahulu menurut cerita turun-temurun dari mbah-mbah kami, merupakan petilasan tempat mujahadah rombongan P Diponegoro. Dahulunya merupakan sebuah batu hingga pada tahun 1964 dibangun atas prakarsa Gubernur dan Bupati waktu itu. Pembangunan sempat terhenti saat meletus G 30 September dan dilanjutkan hingga selesai pada tahun 1967”. Begitu ungkap Pak Muhaiminul Hakim, yang saat ini merupakan pengurus Yayasan Langgar Agung Pahlawan Nasional Pangeran (PNP) Diponegoro. 
Pak Muhaiminul Hakim
Tidak banyak cerita yang bisa diungkap tentang keberadaan masjid ini karena sumber yang valid saat ini masih belum dapat ditemukan. Termasuk sebuah Alqur’an tulisan tangan yang masih menurut cerita turun temurun, merupakan peninggalan dari Pangeran Diponegoro. Alqur’an berukuran sekitar 25x35 cm tersebut kini disimpan oleh pengurus Ponpes. Tidak ada tulisan/tulisan disebuah sisi nampaknya sudah sangat kabur dan tidak bisa dibaca lagi untuk mengungkap kapan mushaf Alqur’an itu ditulis, termasuk siapa penulisnya. Pada surat pembuka, nampak hiasan motif warna dengan sangat detail dengan tinta emas. Subhanallah luar biasa.
Al Quran peninggalan P Diponegoro

 Kunjungan selanjutnya, tidak ada kaitan dengan Pangeran Diponegoro. Ya, tidak jauh dari Langgar Agung, kami dapat mengunjungi sebuah bangunan peninggalan era kolonial. Plengkung Pitu namanya. Merupakan sebuah sistem saluran air yang melewati atas sungai. Dapat dibilang sungai mengalir diatas sungai. Karena saking panjangnya, jumlah lengkung dibawahnya berjumlah tujuh. Sementara diatas saluran air, ditutup dengan beton. Dengan lebar kurang lebih 1,25 meter saluran ini juga berfungsi sebagai jembatan yang bisa dilalui oleh pejalan kaki maupun kendaraan roda dua. Tempat ini luar biasa cantik. Dengan hamparan sawah yang menghijau dan bukit menoreh di belakang sana, serta gemercik air dibawah, membuat suasana menjadi syahdu. Hehehe. 
Suasana romantis di Plengkung Pitu

Waktu semakin siang ketika beberapa diantara kami termasuk saya, merupakan rombongan yang tertinggal untuk mengunjungi tempat selanjutnya. Dengan medan yang sedikit ekstrim, dengan tanjakan dan beberapa jalan yang rusak, sekitar 10 kilometer dari lokasi Plengkung Pitu, kami menuju ke Goa Lawa. Mendekati lokasi utama, kami disambut dengan sebuah tugu tinggi dan sebuah pabrik. PT Margola, sebagaimana tertulis disebuah papan setelah pintu masuk. Ternyata tempat ini sekarang digunakan sebagai tempat tambang batu marmer. 
Bukit tempat Goa Lawa berada
Merupakan keberuntungan, kami diperbolehkan masuk ke lokasi tambang untuk melihat lebih dekat sosok Goa Lawa itu. Berjalan kaki dengan pemandangan yang luar biasa indah, sekitar 400 meter dari kantor Pabrik disebuah bukit terjal, tampak lobang mengaga. 
Goa Lawa, sebuah lobang di atas bukit
“Itulah Goa Lawa. Sebelum tahun 2000, goa itu dapat dikunjugi. Termasuk saya juga pernah main kesitu. Dimensinya sekitar 2x2 meter luasan lebar dan tinggi goa. Untuk kedalaman goa, belum bisa diprediksi. Sementara lantai goa tertutup lumpur yang cukup dalam” Penjelasan singkat oleh Pak Narwan Sastra Kelana, yang merupakan member KTM spesial daerah Salaman :D
 
Lebih jauh Pak Narwan menjelaskan bahwa tempat ini dahulunya  merupakan tempat beristirahat Laskar Diponegoro setelah dari Bagelen Purworejo dan menaklukkan bukit menoreh. Mengenai penamaan, memang karena dahulu goa itu merupakan sarang kelelawar. Saat ini, kelelawar itu sudah tidak terlihat lagi, terganti dengan beberapa ekor banyak yang ternyata ingon-ingon milik Pabrik atau warga sekitar. Hehehe.. “mengingat kondisi goa berada di kawasan tambang dan juga bukit sangat terjal, maka pengunjung dilarang mendekati ataupun masuk ke dalam goa, selain telah memiliki ijin khusus” tutup Pak Narwan.

Beberapa diantara kami sepertinya sudah lapar. Terlihat sekali muka-muka kelaparan yang paling jelas sepertinya muka saya. :D terbayang nasi Megono buatan mbak Ayu Kusuma Dewi yang sedari tadipagi terdiam di mobil Kijang biru. Namun bayangan itu harus dipendam lagi karena kami masih harus berjibaku dengan tanjakan tanjakan yang lebih ekstrim untuk menuju lokasi selanjutnya. Motor kami terhenti disebuah kampung, Kalipucung namanya. Sangat dekat dengan puncak bukit menoreh. Setelah bejalan kaki sejenak, kami sampai di kediaman Pak Haryono, yang sedang tidak berada dirumah. Sebagai gantinya, kami disambut oleh kerabatnya yang bernama Pak Suradi. Mengingat keterbatasan tempat, banyak diantara kami memilih untuk berdiri disekitar halaman rumah.

Pak Narwan menjelaskan bahwa penduduk kampung ini, keluarga Pak Haryono merupakan keturunan ke – 5 dari prajurit Diponegoro. Berdasarkan cerita, saat itu Pangeran Diponegoro meninggalkan dua prajurit. Mereka diberi amanah berupa ikat kepala dan jubah. Kedua prajurit itu bernama Kyai Saleh Aji dan Demang Kyai Sampir. Sebegitu amanahnya sang Demang, jubah titipan P Diponegoro tidak berani dipakainya. Hanya disampirkan saja di pundak sehingga beliau dijuluki Kyai Sampir. Makam mereka kini masih ada di kampung ini dan mereka lah sesepuh dan cikal bakal kampung ini.

Tidak lama kemudian, sebuah kotak dibawa ke ruang tamu. Jeprat-jepret langsung saat kotak itu dibuka. Ikat kepala yang terbuat dari salah satu bagian pohon kelapa, dan sebuah jubah yang sudah rusak lengkap dengan gesper/sabuknya. Peninggalan itu meski terkesan kurang terawat, namun selalu dijaga oleh para keturunannya. Pada era Presiden Soekarno, barang-barang berharga itu hendak dimuseumkan di Jakarta, namun anehnya mobil yang hendak membawa seketika mati semua sehingga mereka mengurungkan niat untuk membawanya.
 
Mereka, para ahli waris dari Kyai Saleh Aji maupun Demang Kyai Sampir mengatakan bahwa sampai kapanpun barang itu akan disimpan hingga rusak dimakan usia karena itu adalah amanah turun temurun.

Pukul dua siang, kami dengan berjalan kaki sejenak, sampai di sebuah hutan disebuah lereng pinggir kampung. Tempat itu ditandai dengan dua pohon beringin kembar ukuran besar. Sekelilingnya nampak pagar yang sudah ambrol. Ditempat ini, adalah titik tempat pemberian ikat kepala dan jubah dari Pangeran Diponegoro kepada dua prajuritnya yang ditinggal di kampung tersebut. Dahulu sebagai tanda ada pohon Wadang yang tingginya mencapi tujuh puluhan meter dan sudah rubuh sehingga diganti dengan pohon beringin.
 
Akhirnya, acara Jelajah Perjuangan Diponegoro kali ini harus ditutup di tempat tersebut. Sebuah acara yang sangat emosional, menguras energi, dan bensin juga memaksa kami makan siang lebih banyak dari biasanya. Untungnya, saat perjalanan pulang, sebagian dari kami sempat menikmati nasi megono buatan Mba Ayu. Sebuah nasi campur sayur dan parutan kelapa, dipadu dengan ikan asin, dan dimakan dipincuk daun pisang, melengkapi acara penutupan even kali ini.

Pak Widoyoko dan istri, fotografer KTM paling handal, big thanks ;)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...