Minggu, 2 Maret 2014
Sebelumnya saya sempat sedikit nggak
enak pikiran karena melihat mendung diatas langit sana. Pagi ini mendekati
pukul delapan, saya dan Tika telah sampai di Gedung Bakorwil Kedu, Jl.
Diponegoro Magelang untuk mengikuti even Jelajah Perjuangan Diponegoro.
Tampaknya hal yang serupa dengan even Djeladjah Petjinan #2 bulan lalu kembali
terulang. Ya, berpuluh motor terlihat sudah terparkir dan beberapa puluh
peserta juga sudah hadir memadati halaman Museum BPK. Kami langsung menyamperi
Pakdhe Wotok untuk melakukan registrasi. Dengan lima ribu rupiah saja, kami
mendapatkan booklet seputar perjuangan P. Diponegoro dan free satu botol air
mineral yang belum dikasihkan. Hehehe..
Beberapa peserta rupanya baru bergabung
mengikuti even untuk pertama kali. Saya bahkan terus terang tidak sempat berkenalan
dengan para anggota baru tersebut. Dengan topi model Jepang warna cokelat,
rupanya mas Meneer Rifki van Djogjakarta juga menyempatkan bertandang kesini
jauh-jauh dari Surabaya. Mas Tony yang dari Sukoharjo juga rela
berhujan-hujanan – sepagi ini di Mertoyudan dan Pak Bambang Gunadi yang membawa
serta beberapa anggota keluarganya juga tampak semangat meski harus berangkat dari Temanggung. Satu
lagi, Ki Roni Sodewo, tamu spesial kita kali ini berangkat langsung dari Wates
Kulonprogo.
Menjelang pukul 08,30 acara dibuka
dengan briefing singkat oleh Gubernur KTM, Bagus Priyana. “saya mengucapkan
terimakasih kepada kawan kawan yang hari ini dapat bergabung di even ini. Ini
diluar perkiraan saya karena saya hanya mencetak 45 booklet padahal yang datang
hingga saat ini mendekati 60-an, jadi mohon maaf apabila ada yang belum
mendapatkan copy booklet” ujarnya.
Briefing oleh Gubernur KTM |
Bagus kemudian mempersilahkan Ki Roni Sodewo
untuk memberikan sedikit sambutan. Untuk informasi, Ki Roni Sodewo ini
merupakan turunan ke -7 dari Pangeran Diponegoro yang kini bertimpat tinggal di
Wates. Keinginan beliau untuk menelusuri rekam jejak perjuangan Diponegoro
menginspirasi Komunitas Kota Toea Magelang (KTM) sehingga terselenggaralah even
kali ini. Beliau juga mengaku sangat mengpresiasi acara ini dan berterimakasih
untuk partisipasi dari semua anggota yang terlibat.
Pemberian kenang-kenangan kepada Ki Roni Sodewo |
Titik kunjungan kami yang pertama adalah
Museum Diponegoro. Sebagai orang Magelang saya merasa gagal karena hingga
diusia saya kali ini saya baru ini mengunjungi museum yang menempati satu ruang
kecil di sayap kiri Gedung Eks. Karesidenan Kedu itu. Sekitar 15 menit sebelum
kami memasuki museum, sebuah performance art dipertontonkan oleh seniman
Magelang, mas Eka Pradhaning. Saya terus terang bertanya-tanya apakah maksudnya.
Sebuah tarian dengan kedua tangan memegang lidi yang dibakar (lupa namanya),
dan melangkah di jalur bunga di halaman gedung hingga ke tangga depan. Tapi
selama saya mengamati yang dipentaskan olehnya, nampaknya inti pertunjukan
tersebut adalah apresiasi dan pesan dari P. Diponegoro bahwa meskipun raganya
kini telah tiada, namun semangat juangnya akan terus selalu ada. Begitu kira
kira . ;)
Special Performance Art by Mas Eka Pradhaning |
Pak Joko, Pengurus Museum Diponegoro |
Kami disambut oleh Pak Joko, pengurus
Museum. Suaranya yang keras, mampu menjangkau semua peserta dan penjelasannya
diikuti antusias oleh para peserta. Beliau menjelaskan tentang sepak terjang P
Diponegoro hingga akhirnya di jebak oleh pihak Belanda di ruang yang kni
dijadikan untuk museum tersebut. Mengingat ruang museum yang kecil, maka
kunjungan peserta dimohon untuk
bergantian. Pak Joko juga mengatakan bahwa mulai tahun 2014-2015 akan diadakan
peningkatan fasilitas museum dengan membangun sarana pendukung seperti replika
makam dan ruang tahanan P. Diponegoro di samping gedung utama Karesidenan.
Akhirnya kami pun berkesempatan masuk ke
Museum. Ada satu set meja kursi dari kayu jati yang digunakan saat perundingan
dengan Jenderal de Kock. Satu kursi yang dirawat diruang kaca, adalah tempat
duduk P Diponegoro dengan bekas guratan kuku di bawah handle kanan kursi.
Sementara, dibelakangnya ada sebuah jubah asli milik sang Pangeran yang
ternyata sangat besar. Melihat ukuran jubahnya, diperkirakan tinggi P
Diponegoro sekitar 200cm. Di sampingnya tersimpan tanpa pengawet, sebuah kitab
Taqrib. Menurut penjelasan Pak Joko, kitab Taqrib ini berisi tentang strategi
perang yang dipelajari oleh P Diponegoro. “kitab ini berasal dari Kyai di
Pondok Mlangi Sleman Yogyakarta” paparya.
Sebuah dipan kecil, yang lebih sering
disebut dengan balai-balai, terbuat alasnya dari gilar bambu, merupakan bekas
tempat shalat P Diponegoro yang didatangkan dari Gombong Kebumen. Selain
koleksi diatas, ada beberapa lukisan dan cerita tentang P Diponegoro.
para peserta befoto bersama di depan Gedung Eks. Karesidenan Kedu |
Rombongan motor kali ini siap-siap
berangkat ke arah Salaman dengan melewati jembatan Progo, Bandongan-Salam
Kanci-Tempuran- Salaman. Mas Bagus sebelumnya menceritakan bahwa selama
rombongan P Diponegoro menunggu kedatangan jenderal de Kock dari Batavia,
mereka dibuatkan kemah sementara di bantaran suangai Progo. Lokasi ini sudah
susah dideteksi, namun besar kemungkinan merupakan sebuah pulau sungai ataupun
pinggiran sungai yang kini dapat dilihat langsung dari Jembatan Progo dengan
menengok ke kanan.
Pukul 10,30 rombongan sampai di Kamal,
Menoreh Kecamatan Salaman. Kami memasuki kompleks MTs. Pangeran Diponegoro.
Sekolah yang berada berdampingan dengan Ponpes Nurul Falah ini memiliki sebuah
bangunan monumental di tengahnya. Ya, sebuah masjid yang bernama Langgar Agung.
Langgar Agung |
“tempat ini dahulu menurut cerita turun-temurun dari mbah-mbah kami, merupakan
petilasan tempat mujahadah rombongan P Diponegoro. Dahulunya merupakan sebuah
batu hingga pada tahun 1964 dibangun atas prakarsa Gubernur dan Bupati waktu
itu. Pembangunan sempat terhenti saat meletus G 30 September dan dilanjutkan
hingga selesai pada tahun 1967”. Begitu ungkap Pak Muhaiminul Hakim, yang saat
ini merupakan pengurus Yayasan Langgar Agung Pahlawan Nasional Pangeran (PNP) Diponegoro.
Pak Muhaiminul Hakim |
Tidak banyak cerita
yang bisa diungkap tentang keberadaan masjid ini karena sumber yang valid saat
ini masih belum dapat ditemukan. Termasuk sebuah Alqur’an tulisan tangan yang
masih menurut cerita turun temurun, merupakan peninggalan dari Pangeran
Diponegoro. Alqur’an berukuran sekitar 25x35 cm tersebut kini disimpan oleh
pengurus Ponpes. Tidak ada tulisan/tulisan disebuah sisi nampaknya sudah sangat
kabur dan tidak bisa dibaca lagi untuk mengungkap kapan mushaf Alqur’an itu
ditulis, termasuk siapa penulisnya. Pada surat pembuka, nampak hiasan motif
warna dengan sangat detail dengan tinta emas. Subhanallah luar biasa.
Al Quran peninggalan P Diponegoro |
Kunjungan
selanjutnya, tidak ada kaitan dengan Pangeran Diponegoro. Ya, tidak jauh dari
Langgar Agung, kami dapat mengunjungi sebuah bangunan peninggalan era kolonial.
Plengkung Pitu namanya. Merupakan sebuah sistem saluran air yang melewati atas
sungai. Dapat dibilang sungai mengalir diatas sungai. Karena saking panjangnya,
jumlah lengkung dibawahnya berjumlah tujuh. Sementara diatas saluran air,
ditutup dengan beton. Dengan lebar kurang lebih 1,25 meter saluran ini juga
berfungsi sebagai jembatan yang bisa dilalui oleh pejalan kaki maupun kendaraan
roda dua. Tempat ini luar biasa cantik. Dengan hamparan sawah yang menghijau
dan bukit menoreh di belakang sana, serta gemercik air dibawah, membuat suasana
menjadi syahdu. Hehehe.
Suasana romantis di Plengkung Pitu |
Waktu semakin siang ketika beberapa
diantara kami termasuk saya, merupakan rombongan yang tertinggal untuk
mengunjungi tempat selanjutnya. Dengan medan yang sedikit ekstrim, dengan
tanjakan dan beberapa jalan yang rusak, sekitar 10 kilometer dari lokasi Plengkung
Pitu, kami menuju ke Goa Lawa. Mendekati lokasi utama, kami disambut dengan
sebuah tugu tinggi dan sebuah pabrik. PT Margola, sebagaimana tertulis disebuah
papan setelah pintu masuk. Ternyata tempat ini sekarang digunakan sebagai
tempat tambang batu marmer.
Bukit tempat Goa Lawa berada |
Merupakan keberuntungan, kami diperbolehkan masuk
ke lokasi tambang untuk melihat lebih dekat sosok Goa Lawa itu. Berjalan kaki
dengan pemandangan yang luar biasa indah, sekitar 400 meter dari kantor Pabrik
disebuah bukit terjal, tampak lobang mengaga.
Goa Lawa, sebuah lobang di atas bukit |
“Itulah Goa Lawa. Sebelum tahun
2000, goa itu dapat dikunjugi. Termasuk saya juga pernah main kesitu.
Dimensinya sekitar 2x2 meter luasan lebar dan tinggi goa. Untuk kedalaman goa,
belum bisa diprediksi. Sementara lantai goa tertutup lumpur yang cukup dalam”
Penjelasan singkat oleh Pak Narwan Sastra Kelana, yang merupakan member KTM
spesial daerah Salaman :D
Lebih jauh Pak Narwan menjelaskan bahwa
tempat ini dahulunya merupakan tempat
beristirahat Laskar Diponegoro setelah dari Bagelen Purworejo dan menaklukkan
bukit menoreh. Mengenai penamaan, memang karena dahulu goa itu merupakan sarang
kelelawar. Saat ini, kelelawar itu sudah tidak terlihat lagi, terganti dengan
beberapa ekor banyak yang ternyata ingon-ingon milik Pabrik atau warga sekitar.
Hehehe.. “mengingat kondisi goa berada di kawasan tambang dan juga bukit sangat
terjal, maka pengunjung dilarang mendekati ataupun masuk ke dalam goa, selain
telah memiliki ijin khusus” tutup Pak Narwan.
Beberapa diantara kami sepertinya sudah
lapar. Terlihat sekali muka-muka kelaparan yang paling jelas sepertinya muka
saya. :D terbayang nasi Megono buatan mbak Ayu Kusuma Dewi yang sedari tadipagi
terdiam di mobil Kijang biru. Namun bayangan itu harus dipendam lagi karena
kami masih harus berjibaku dengan tanjakan tanjakan yang lebih ekstrim untuk
menuju lokasi selanjutnya. Motor kami terhenti disebuah kampung, Kalipucung
namanya. Sangat dekat dengan puncak bukit menoreh. Setelah bejalan kaki
sejenak, kami sampai di kediaman Pak Haryono, yang sedang tidak berada
dirumah. Sebagai gantinya, kami disambut oleh kerabatnya yang bernama Pak
Suradi. Mengingat keterbatasan tempat, banyak diantara kami memilih untuk
berdiri disekitar halaman rumah.
Pak Narwan menjelaskan bahwa penduduk
kampung ini, keluarga Pak Haryono merupakan keturunan ke – 5 dari prajurit
Diponegoro. Berdasarkan cerita, saat itu Pangeran Diponegoro meninggalkan dua
prajurit. Mereka diberi amanah berupa ikat kepala dan jubah. Kedua prajurit itu
bernama Kyai Saleh Aji dan Demang Kyai Sampir. Sebegitu amanahnya sang Demang,
jubah titipan P Diponegoro tidak berani dipakainya. Hanya disampirkan saja di
pundak sehingga beliau dijuluki Kyai Sampir. Makam mereka kini masih ada di
kampung ini dan mereka lah sesepuh dan cikal bakal kampung ini.
Tidak lama kemudian, sebuah kotak dibawa
ke ruang tamu. Jeprat-jepret langsung saat kotak itu dibuka. Ikat kepala yang
terbuat dari salah satu bagian pohon kelapa, dan sebuah jubah yang sudah rusak
lengkap dengan gesper/sabuknya. Peninggalan itu meski terkesan kurang terawat,
namun selalu dijaga oleh para keturunannya. Pada era Presiden Soekarno,
barang-barang berharga itu hendak dimuseumkan di Jakarta, namun anehnya mobil
yang hendak membawa seketika mati semua sehingga mereka mengurungkan niat untuk
membawanya.
Mereka, para ahli waris dari Kyai Saleh
Aji maupun Demang Kyai Sampir mengatakan bahwa sampai kapanpun barang itu akan
disimpan hingga rusak dimakan usia karena itu adalah amanah turun temurun.
Pukul dua siang, kami dengan berjalan
kaki sejenak, sampai di sebuah hutan disebuah lereng pinggir kampung. Tempat
itu ditandai dengan dua pohon beringin kembar ukuran besar. Sekelilingnya
nampak pagar yang sudah ambrol. Ditempat ini, adalah titik tempat pemberian
ikat kepala dan jubah dari Pangeran Diponegoro kepada dua prajuritnya yang
ditinggal di kampung tersebut. Dahulu sebagai tanda ada pohon Wadang yang
tingginya mencapi tujuh puluhan meter dan sudah rubuh sehingga diganti dengan
pohon beringin.
Akhirnya, acara Jelajah Perjuangan
Diponegoro kali ini harus ditutup di tempat tersebut. Sebuah acara yang sangat
emosional, menguras energi, dan bensin juga memaksa kami makan siang lebih banyak
dari biasanya. Untungnya, saat perjalanan pulang, sebagian dari kami sempat
menikmati nasi megono buatan Mba Ayu. Sebuah nasi campur sayur dan parutan
kelapa, dipadu dengan ikan asin, dan dimakan dipincuk daun pisang, melengkapi
acara penutupan even kali ini.
Pak Widoyoko dan istri, fotografer KTM paling handal, big thanks ;) |
No comments:
Post a Comment