Selayang Pandang :
Sepur berasal dari bahasa Belanda SPOOR yang berarti kereta
api. Karena saking nyamannya diucapkan dengan lidah jawa, jadilah kata SEPUR.
Magelang, sebagai salah satu kota tertua di Indonesia, tidak
lepas dari sejarah tentang perkereta apian. Ya, memang sekarang kereta api
hanyalah tinggal kenangan di Magelang dan sekitarnya.
Dimulainya zaman kereta api di Magelang adalah dengan
dibukanya trayek Jogja – Magelang yang dibuka secara resmi pada 1 Juli 1898
yang dioperasikan oleh NIS (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij).
Seiring berjalannya waktu, dengan semakin berkembangnya kawasan kota kota di
Jawa Tengah, maka pada tahun 1900an, adalah seorang Ho Tjong An yang didaulat
menjadi pemborong untuk pembukaan jalur jalur baru setelah aktifnya jalur
Semarang – Kedungjati – Ambarawa. Jalur jalur baru yang diborong oleh insinyur
kelahiran Tungkwan, Canton pada 1841 tersebut adalah jalur Ambarawa – Secang –
Parakan, dan Secang – Magelang.
Di dalam pengerjaannya, Ho Tjong An begitu menghargai
kepercayaan kepercayaan lokal yang dikenal dengan istilah kucing condromowo dan
asu belang menyungyang yang kurang lebih artinya bahwa di beberapa kawasan tertentu,
masyarakat pribumi masih percaya terhadap batu batu, atau pohon pohon serta
makam makam keramat yang tidak boleh di gusur untuk jalur kereta. Sehingga
hasilnya, beberapa lajur di daerah Payaman – Secang – Temanggung – Parakan
terlihat berkelak kelok.
Akhirnya jalur jalur baru tersebut beroperasi pada 15 Mei
1903 ( Magelang – Secang ), 3 Januari 1907 (Secang – Temanggung ), 1 Februari
1905 ( Secang – Ambarawa ), dan 1 Juli
1907 ( Temanggung – Parakan)
Sekilas perjalanan lalu :
Oya, sebelumnya, biarkanlah saya bercerita sedikit tentang
kegiatan saya yang terlaksana pada tanggal 8 bulan november tahun 2009 yang
sempat terekam oleh kamera saya.
Waktu itu, saya mengajak dua orang rekan saya Fandi dan
Arvis, untuk iseng berniat menjelajahi jalur sepur Sleman – Temanggung.
Perjalanan kami dimulai dari Eks. Stasiun Mlati Sleman yang
sekarang menjadi markas Sub Polsek Mlati. Menurut penuturan seorang polisi yang
bertugas di sana, bahwa bentuk asli stasiun ini sudah tidak terdeteksi lagi.
Yang tersisa hanyalah satu lajur rel yang kini berada di sebelah belakang
Polsek.
Setelah itu, kami menuju kawasan Jalan PJKA yang berada
dekat dengan Lapangan Denggung Sleman.
Yah, jalan ini dinamai Jl. PJKA karena
dulunya merupakan jalur rel yang melengkung. Tidak jauh darisitu, kami
menemukan Eks.stasiun Denggung yang kini digunakan sebagai markas koramil. Namun
karena sebab yang tidak bisa saya ingat, saya malah tidak memotret bangunan ini
*maklum masih amatiran*.
Selepas stasiun Denggung, kami beranjak ke Eks. Jembatan Beran.
Jembatan dengan kontruksi upper beam/ penyangga diatas ini masih terlihat begitu menawan,
terutama karena cat nya masih bagus. Mungkin karena habis di cat ulang kali
yah.
Dari tempat ini, kami mencari eks. Stasiun Medari, namun
kami tidak berhasil menemukannya. Sehingga kami memutuskan untuk menuju eks.
Jembatan Krasak.
Jembatan Kereta api yang sudah berulangkali diterjang lahar
dingin ini terlihat sangat rapuh dan teronggok diantara pepohonan. Untuk menuju
kesana kami harus memutar melalui kampong dan beberapa kali tersesat. Hehehe..
Dan sayang sekali waktu itu dua teman saya sudah kehabisan
semangat, sedangkan saya merasa tidak mungkin untuk meneruskan penjelajahan ini
sendirian.
Sehingga cita cita saya menelusuri jalur kereta sampai di
temanggung akhirnya terlaksana lebih dari dua tahun kemudian. *deng deng deng*
Yuk, langsung saja kita menuju djeladjah yang sesungguhnya.
Minggu, 22 Januari 2012
Minggu pagi yang cerah, setelah malam sebelumnya saya harus
tidur dini hari jam 2 akibat dari kebanyakan nongkrong, pagi jam 5.30 saya
sudah harus dipaksa mendengarkan alarm hape saya dan terbangunlah saya dengan
begitu semangat untuk menjalani hari ini dengan acara Djeladjah Djaloer Spoor
yang di selenggarakan oleh Komunitas Kota Toea Magelang.
Persiapan yang cukup matang dirumah, sama seperti halnya
nasi yang telah matang sehingga saya berkesempatan menyantap beberapa suap nasi
sebelum berangkat. Pukul 6.20 pagi saya sudah take off dari rumah untuk
menghampiri Pak Gubernur KTM, Mas Agung Dragon. Butuh waktu sekitar 20 menit
hingga akhirnya saya temukan Pak Gubernur yang sudah stand by di kawasan
Pahlawan, Magelang dengan ransel dan beberapa barang bawaan.
Baru pukul 06.48, kami sudah sampai di Stasiun Magelang
Kotta (sub terminal Kebonpolo) yang akan menjadi titik start kami. Tidak lama menunggu, akhirnya
datanglah mas Yudha dengan varionya, kemudian seorang bapak bapak yang
selanjutnya saya ketahui bernama Pak Darmawan dengan tingkah humorisnya yang
mencengangkan saya karena saya merasa aneh (bapak bapak yang sudah agak tua kok
ikut acara ginian?) entah apa maksudnya namun saya buru buru melupakan semua
itu dan cairlah sudah pemikiran saya karena tidak lama kemudian satu persatu
peserta mulai berdatangan.
Beberapa peserta yang membuat saya heran adalah mas Zuhad
yang adalah tetangga saya sendiri, lalu mas Anton Udiyono yang nglegakke dari Wonosobo, dan
tidak ketinggalan, mbak Granita sekeluarga dengan mobil yang datang jauh jauh dari Sleman untuk
sekedar mengikuti acara ini.
Pukul 07.40, kira kira 20 peserta sudah hadir dan
melaksanakan daftar ulang dengan membarter 10K idr dengan sebuah booklet dan
penanda pita merah putih untuk begel belakang motor kami. Sesuai dengan
petunjuk teknis yang ada di booklet, acara pertama kami adalah perkenalan dan
penyampaian materi khususnya tentang Stasiun Magelang Kota.
Perkenalan dan pembukaan dipandu oleh mas Bagus Priyana,
sedangkan untuk materi, dipandu oleh mas Tommy Aditya yang merupakan salah satu
rail fans Indonesia yang kini tinggal di Bandung.
Stasiun Magelang Kota pada masanya adalah sebuah stasiun
besar yang dilengkapi dengan Depo Lokomotif dan memiliki banyak lajur rel. Sekarang
ini, stasiun ini sudah tidak ada bekasnya dan saya juga belum pernah melihat
foto jaman dulu yang bisa memperlihatkan bangunan asli dari stasiun ini. Di
Magelang sendiri, dahulunya ada dua stasiun yang satunya adalah Stasiun
Magelang Passar. Yang saat ini lokasinya berdiri Pasar Rejowinangun. Sedangkan,
di Alon Alon ada sebuah stopplaast. Yakni sebuah halte pemberhentian dengan
tata letak yang unik dimana loket halte berada di bagian timur alon alon
(panggung utama) dan kereta berhenti di seberang jalannya (depan MT).
Selepas penyampaian materi, kami semua bersiap siap untuk
pemberangkatan dengan diawali doa yang dipimpin oleh Pak Darmawan.
Kira kira pukul 08.00 kami segera menuju ke eks. Stasiun Secang
setelah mampir di SPBU untuk memberi kesempatan kepada peserta yang hendak
mengisi BBM sementara pak Gubernur membeli air putih untuk diperbagikan kepada
para peserta. Perjalanan dari Magelang ke Stasiun Secang tidaklah sulit.
Dengan
mengikuti jalur reguler dan belok kiri di Koramil Secang, disitu akan sudah terlihat
sebuah bangunan tua dan itulah Eks. Stasiun Secang.
Pada masa kejayaan kereta api, stasiun ini adalah stasiun yang besar karena
merupakan persimpangan antara jalur Ambarawa – Magelang – Parakan. Dilihat dari
luasnya area di sini, terlihat bahwa dahulunya stasiun ini memiliki banyak
lajur rel. Di main lobby stasiun ini masih tersisa sebuah bangku panjang tempat
tunggu penumpang dengan kondisinya yang sangat kotor. Salah satu ruangan di
stasiun ini sekarang digunakan sebagai ruang pertemuan.. dan ruang lainnya
seperti hasil intipan saya, tampak kumuh dan tidak terawat. Area di belakang
stasiun yang luas bahkan dimanfaatkan untuk parkir truk truk besar.
Selanjutnya peserta menuju ke eks. Stasiun Kranggan. Sebuah
stasiun yang belum pernah saya ketahui sebelumnya. Dari Secang, ikuti saja
jalan raya ke Temanggung
dan sesaat dari Pasar Kranggan tinggal belok kiri
masuk gang.
Sebuah stasiun yang kini dialihfungsikan menjadi rumah
tampak terawat dengan baik. Inilah tempat tinggal Pak Karim yang merupakan
mantan pegawai PJKA yang sudah menjalani pekerjaan sebagai pegawai kereta api
dalam tiga jaman yakni Belanda, Jepang, dan pasca kemerdekaan Indonesia. Siang
ini, kami hendak mendengarkan pak Karim bercerita.
Memasuki usia yang ke 88,
pak Karim nampak masih segar bugar dan ingatannya masih fresh. Pak Karim
menuturkan tentang cerita yang kini sangat mengakar di masyarakat Kranggan dan
sekitarnya yaitu tentang kecelakaan putusnya gerbong ke arah Temanggung yang
akhirnya terjatuh dan memakan banyak korban di sekitar Jembatan Progo – Stasiun
Kranggan dan Pak Karim ini adalah salah satu penolong para korban yang mana
diceritakan pada waktu itu selain kondisi para korban yang mengenaskan juga
tercecernya bahan bahan makanan seperti beras, minyak, gula, dan rokok. Waktu
itu bila akan menjadi kaya tinggal ambil saja barang barang itu dan bahkan ada
seorang perempuan yang diceritakan memiliki tubuh gendut dan putih dengan
banyak kalung berlian.
Selain itu, cerita tentang saat saat dimana pak Karim
menjadi kepala rombongan lori dan menemukan sebuah ranjau yang dipasang di
salah satu lajur rel. waktu di cek, eh malah Pak Karim yang menjadi tersangka
dan dianggap beliaulah yang memasang ranjau tersebut. Dengan posisi tertangkap
dan hampir saja terbunuh, setelah menunjukkan satu dari dua surat yang
dibawanya, akhirnya Pak Karim pun bisa selamat. Menurut penuturan Pak Karim
pula, bahwa stasiun Kranggan saat ini adalah yang ketiga kalinya karena pernah
dipindah dua kali.
Kami juga sempat diajak Pak Karim untuk meninjau lokasi
dimana dahulu terjadi kecelakaan gerbong. Jalur ini sekarang ditutup dengan
beton untuk mobilitas warga sekitar.
Dan hal hal yang saya takjub adalah saat
Pak Karim menuturkan beberapa istilah Belanda tentang tata kelola letak rel
ketika melintasi sebuah jalan air melewati atas atau bawah yang masih
diingatnya dengan baik seperti ANSLOKAN dan KAPELSLOKAN. Hehehe..
Hari semakin siang, akhirnya rombongan berpamitan dengan Pak
Karim dan keluarga.
Selanjutnya, rombongan menuju ke Eks. Jembatan Progo –
Kranggan. Tidak jauh jaraknya dari stasiun Kranggan. Hanya sekitar 400 meter. Disitu,
kami hanya bisa melihat pemandangan ini dari atas. Sebuah jembatan dengan
konstruksi under beam/ penyangga bawah terbentang dengan kondisi yang masih terlihat kokoh.
Rel rel yang bergelimpangan di sekitar jembatan ini juga *saya baru tahu* memiliki catatan tentang tahun pembuatan, yang saya temui adalah KRUPP 1901 N.I.S 28, dan KRUPP 1903 N.I.S 28. Dari pencerahan mas Tommy maksud dari tulisan tersebut adalah pabrik pembuat rel bernama KRUPP, pada tahun 1901/1903, pemesan adalah N.I.S, dan per meter dari rel ini beratnya 28 Kilogram. Wah, usia rel rel ini sudah lebih dari seabad ya..
Rel rel yang bergelimpangan di sekitar jembatan ini juga *saya baru tahu* memiliki catatan tentang tahun pembuatan, yang saya temui adalah KRUPP 1901 N.I.S 28, dan KRUPP 1903 N.I.S 28. Dari pencerahan mas Tommy maksud dari tulisan tersebut adalah pabrik pembuat rel bernama KRUPP, pada tahun 1901/1903, pemesan adalah N.I.S, dan per meter dari rel ini beratnya 28 Kilogram. Wah, usia rel rel ini sudah lebih dari seabad ya..
Oke, kemudian kami menuju ke Plengkung Campursari, Bulu,
Temanggung yang katanya mas Bagus akan membutuhkan perjalanan sekitar setengah
jaman dari jembatan ini. Perjalanan melintasi Kota Temanggung dan sekitar 30
menit kemudian, kami sampai di sebuah Plengkung yang selama ini sudah sering
saya lihat dan saya salah sangka. Saya kira plengkung itu adalah bekas jalur
air, namun ternyata sebuah bekas rel kereta api. Dengan warna merah, plengkung
ini sekarang dialihfungsikan menjadi jembatan penyeberangan. Dibawahnya dengan
tiga buah terowongan kecil, bisa dilewati kendaraan kendaraan kecil. Lokasi
plengkung yang tinggi mengindikasikan bahwa tanah sekitarnya seharusnya tinggi.
Namun berdasarkan pantauan kami, tanah disekitarnya kini sudah di kepras
menyesuaikan dengan rendahnya kawasan sekitar.
Perjalanan dilanjutkan ke eks. Stasiun Parakan yang berada tidak
jauh dari plengkung campursari. Berada di pinggiran kota Parakan, stasiun ini
memiliki bentuk asli yang sedikit dimodifikasi. Bentuknya sangatlah bagus.
Dengan model khas indische, stasiun penghabisan ini kini digunakan sebagai kantor Sub Divisi Properti dan Periklanan PT KAI.
Salah
satu ruang di stasiun ini digunakan sebagai tempat tinggal oleh Pak Slamet.
Tidak banyak sejarah yang kami ketahui dari Pak Slamet ini karena beliau juga
belum begitu lama tinggal disitu. Bagian pinggir dari stasiun ini memiliki
semacam sayap yang saya sendiri kurang tahu apa maksudnya.
Di bagian emplasment
atau teras dalam tempat menunggu kereta datang, konstruksi lantai tegel dengan
warna kekuningan kami jumpai sama dengan di Stasiun Secang. Keramik model
belanda ini terlhat tidak berlumut dan kuat sekali. Bahkan kemungkinan memiliki
rongga rongga sehingga air yang menggenang bisa meresap.
Kami juga dibilangi Pak Slamet bahwa tidak jauh dari situ
ada sebuah bangunan yang merupakan bekas toilet stasiun. Kini, depannya
digunakan sebagai warung makan. Sebagai stasiun penghabisan, stasiun ini
seharusnya memiliki turn table (pemutar arah loko) namun sampai sekarang tidak
diketahui bekasnya. Pemandangan kumuh juga tercipta di salah satu sudut stasiun
dengan bercecernya bermacam macam sampah.
Puas menikmati eksotisme eks stasiun Parakan, kami menuju ke
Stasiun Kedu. Oya, mas Anton yang merupakan peserta dari Wonosobo sekalian
berpamitan pulang karena tidak mungkin bolak balik ke Magelang lagi. Hehe.
Saya juga sempat melihat sebuah bekas jembatan kereta di
salah satu sudut kota Parakan yang memotong sungai Parakan. Dengan mengira ira,
dari Stasiun Parakan ini jalur rel kereta tampak sangat memutar, dengan
melewati Plengkung Campursari, kemudian memotong persawahan kemudian memotong
jalan raya Temanggung – Parakan via Kedu, hingga sampailah di Stasiun kedu.
Sebuah bangunan yang tidak tampak tua teronggok di sebelah
rumah mewah. Rel kereta yang terpampang sebagai pagar, dan salah satu alat
pemutar kawat pengirim sinyal palang tanda kedatangan kereta yang masih dalam
kondisi baik. Gedung bercat kuning ini menurut saya adalah bangunan Indonesia
karena bentuknya yang standar sekali.
Kemungkinan, dahulunya hanya merupakan
stasiun kecil dari bambu atau kayu pada masa Belanda yang kemudian direnovasi. Tidak
banyak yang bisa kami selidiki di stasiun ini dan kami hendak langsung
melanjutkan perjalanan ke Temanggung.
Waktu menunjukkan pukul 12.30 siang dan tim Djeladjah
memutuskan untuk ishoma di kawasan alon alon Temanggung. Tidak butuh waktu
lama, akhirnya motor motor kami segera terparkir rapi di sebelah barat alon
alon. Saya, pak gubernur, mas Yudha, dan mas agus segera menuju masjid untuk menunaikan
shalat dhuhur. Kemudian, warung ijo di sebelah tenggara alon alon menjadi
pilihan kami selanjutnya tanpa dengan mas Yudha karena sedang puasa.
Nasi rames dengan lauk ikan pindang dengan segelas esteh
serasa cukup masuk akal dengan harga 9K idr siang itu. Habis makan, kami segera
berkumpul untuk segera menuju ke eks. Stasiun Temanggung.
Bangunan tua yang kini sangat terawat dan digunakan sebagai
Gedung Juang 45 ini terletak di sebelas selatan Kantor Bupati Temanggung.
Dari semua
stasiun yang kami kunjungi, hanya ini satu satunya stasiun yang dirawat dengan
benar, bahkan sedikit dimodifikasi dengan batu palsu di salah satu pojok
temboknya (hehehe) bangunan ini juga telah ditambah dengan sebuah ruang
pertemuan yang bila kita lihat keramik terasnya akan tampak perbedaan yang
begitu nyata :D
Gedung ini saya sendiri kurang tahu selama ini digunakan
untuk apa, namun saya kira, kadang kadang saja gedung ini dibuka. Saya dan
rombongan harus puas hanya bisa menikmati bekas stasiun ini dari luar.
Lepas dari eks Stasiun Temanggung, akhirnya kami harus
pulang ke Magelang untuk mengunjungi eks Stasiun Payaman yang merupakan tujuan
terakhir kami. Berada tidak jauh dari pasar Payaman, bekas stasiun kecil ini
sangat memprihatinkan. Halaman emplasment nya kini dibangun sebuah tembok dan
difungsikan sebagai garasi entah oleh siapa. Yang masih tersisa di stasiun ini
adalah sebuah bangunan yang dulunya dipercaya sebagai toiletnya stasiun ini. Selain
itu juga ada semacam rel yang terpasang melintang yang berhadapan secara frontal
dari arah Secang menuju ke stasiun ini. Berdasar info dari mas Tommy, gunanya
untuk menghentikan laju lokomotif apabila rem blong biar nggak nabrak
stasiunnya. (hehe, mungkin nggak sih?)
namun bila dipikir pikir mungkin betul juga.
Alhamdulillah Djeladjah Djaloer Spoor ini sukses terlaksana
dan beberapa anggota djeladjah berpamitan antara lain mbak Granita dari Jogja
dan Pak Darmawan. Tujuan kami selanjutnya adalah menunjungi rumah mbak Nana
Listyani yang merupakan member aktif di facebook KTM, dia ini asli Magelang dan
tinggal di Jakarta. Dengan keluarganya yang berasal dari kalangan Tionghoa,
menjadikan cerita cerita mbak Nana ini sangat berpengaruh terutama kaitan kaitannya dengan sejarah kawasan Pecinan Magelang yang juga merupakan
kawasan tua Magelang.
Dirumah mbak Nana ini sedang ada upacara ritual dalam rangka
menyambut Imlek. Setelah kami bertemu dan kenalan (karena diantara kami tidak
ada yang pernah ketemu dengan mbak Nana), kami segera duduk di kursi yang di
sediakan dan tanpa diminta, mbak Nana langsung bercerita tentang ritual yang
tujuannya untuk mendoakan arwah arwah leluhur. Dan tentang pemberian angpao
yang dimaksudkan untuk menangkal setan. Dan juga masih banyak yang diceritakan
tentang ritual ritual orang keturunan Tionghoa ini.
Bagi kami, kunjungan terakhir ini benar benar seperti
mengunjungi Stopplaast Kramat yang belum terdeteksi itu karena rumah mbak Nana
ini berada di kawasan Kramat. Hehehe..
Oya, dari stasiun stasiun yang kami kunjungi tadi, saya tidak menemukan prasasti yang menandakan kapan dibangunnya stasin stasiun tersebut, namun kuat dugaan saya, mereka dibangun bersamaan dengan dibukanya jalur jalur kereta api tersebut pada akhir 1800 hingga awal 1900an..
Oya, dari stasiun stasiun yang kami kunjungi tadi, saya tidak menemukan prasasti yang menandakan kapan dibangunnya stasin stasiun tersebut, namun kuat dugaan saya, mereka dibangun bersamaan dengan dibukanya jalur jalur kereta api tersebut pada akhir 1800 hingga awal 1900an..
Waktu segera sore, dan kami akhirnya barji barbeh alias
bubar siji bubar kabeh, saya mengantarkan pak Gubernur ke kawasan Pahlawan
untuk kemudian segera melanjutkan perjalanan ke rumah saya.
Alhamdulillah even kali ini kami tidak bertemu dengan hujan
sehingga suasana terasa kondusif..
thanks to : Komunitas Kota Toea Magelang dan materi dari Booklet Djeladjah Djaloer Spoor.
jos gandooooossss.....mantaaaaap bunggg.
ReplyDeleteRugi bandar deh ngga tau ada event ini, padahal 3 hari nganggur di Semarang. Huhuhuhuhu .. :(
ReplyDelete@ Anonymous : eh, mas bagus po? hehehe.. maturnuwun... inilah kelanjutan cita cita yang tertunda lebih dari dua tahun .. wkwkwkwk
ReplyDelete@noerazhka : wah, rugi banget mbak.. gini mbak, masih ada beberapa event KTM mendatang diantaranya
- jelajah sejarah perairan di magelang. rute : kawasan menowo melewati plengkung sampai water toren alon alon dan ke kota arah selatan jalan kaki.
- trekking bekas jalur kereta secang - grabag.
- djeladjah spoor edisi dua (kemungkinan magelang - jogja)
bagaimana? berminat?
waaaaah :D
ReplyDeleteseru bgt yaaah,
terimakasih info lengkapnya,. sudah bisa membayangkan bagaimana serunya jelajah ini, walaupun tidak bisa turut serta langsung, hiks
thank mas....mntap..semoga bisa ketemu lagi di lain kesempatan
ReplyDelete@ Anglir : betul mbak, anda jangan jangan nyesel seumur hidup gara gara nggak ikut? hehehehe..
ReplyDelete@ mas anton : iya mas sama sama.. lain kali kalo ada even mas anton di undang lagi ya?
Bkanna pmrintah jnji mo idupin rel KAIna lgi y!
ReplyDelete@ atas : itu kan cuma baru rencana mas.. kalau sekarang magelang - jogja kalau nggak bikin rute baru udah susah ngidupin rel lama..
ReplyDeleteJadi pengen deh ikut jelajah Rel Spoor nya ....Moga Rencana pemerintah untuk hidupin Rel kereta apinya terealisasi deh ... klo emang sangat susah untuk pake jalur lama , paling tidak beberapa di bikn jalur baru , dan beberapa jika memungkin kan pake di Jalur lama, Stasiun nya klo bisa stasiun yang Lama aja...dan juga moga anggarannya gak DI KORUPSI lagi ya .... MUGI MUGI deh ..
ReplyDelete@ mas Triady : hehehe.. rencana reaktivasi jalur kereta masih simpang siur.. kita tunggu saja gebrakan pemerintah nantinya..
ReplyDeletemakasih atas kunjungan dan komentarnya
mas letak eks stasiun Parakan kalau dari plengkung Campursari ke arah mana,kalau dari arah Magelang
ReplyDelete@rumputilalang : dari plengkung campursari masuk kota parakan , yang tugu pertigaan setelah jembatan RSK Ngesti Waluyo itu ke kanan teruuus saja. Nanti kiri jalan (Tapi dari tugu tidak bisa langsung ke kanan karena forbidden)
ReplyDeletekalau ke kiri masuk kota Parakan ya mas?
DeleteItu sudah masuk kota parakan mas. Kalo ke kiri lurus kan ke Wonosobo, kalo kiri terus kanan yang ke Weleri. Nah, ikut yang weleri, terus muter ikut yang ke magelang lagi... tanya orang saja mas.. Hehe, agak susah jelasinnya
ReplyDelete