Friday, January 27, 2012

Djeladjah Djaloer Spoor 22 Januari 2012




Selayang Pandang :

Sepur berasal dari bahasa Belanda SPOOR yang berarti kereta api. Karena saking nyamannya diucapkan dengan lidah jawa, jadilah kata SEPUR. 

Magelang, sebagai salah satu kota tertua di Indonesia, tidak lepas dari sejarah tentang perkereta apian. Ya, memang sekarang kereta api hanyalah tinggal kenangan di Magelang dan sekitarnya. 

Dimulainya zaman kereta api di Magelang adalah dengan dibukanya trayek Jogja – Magelang yang dibuka secara resmi pada 1 Juli 1898 yang dioperasikan oleh NIS (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij). Seiring berjalannya waktu, dengan semakin berkembangnya kawasan kota kota di Jawa Tengah, maka pada tahun 1900an, adalah seorang Ho Tjong An yang didaulat menjadi pemborong untuk pembukaan jalur jalur baru setelah aktifnya jalur Semarang – Kedungjati – Ambarawa. Jalur jalur baru yang diborong oleh insinyur kelahiran Tungkwan, Canton pada 1841 tersebut adalah jalur Ambarawa – Secang – Parakan, dan Secang – Magelang. 

Di dalam pengerjaannya, Ho Tjong An begitu menghargai kepercayaan kepercayaan lokal yang dikenal dengan istilah kucing condromowo dan asu belang menyungyang yang kurang lebih artinya bahwa di beberapa kawasan tertentu, masyarakat pribumi masih percaya terhadap batu batu, atau pohon pohon serta makam makam keramat yang tidak boleh di gusur untuk jalur kereta. Sehingga hasilnya, beberapa lajur di daerah Payaman – Secang – Temanggung – Parakan terlihat berkelak kelok. 

Akhirnya jalur jalur baru tersebut beroperasi pada 15 Mei 1903 ( Magelang – Secang ), 3 Januari 1907 (Secang – Temanggung ), 1 Februari 1905 (  Secang – Ambarawa ), dan 1 Juli 1907 ( Temanggung – Parakan)

Sekilas perjalanan lalu :

Oya, sebelumnya, biarkanlah saya bercerita sedikit tentang kegiatan saya yang terlaksana pada tanggal 8 bulan november tahun 2009 yang sempat terekam oleh kamera saya. 

Waktu itu, saya mengajak dua orang rekan saya Fandi dan Arvis, untuk iseng berniat menjelajahi jalur sepur Sleman – Temanggung

Perjalanan kami dimulai dari Eks. Stasiun Mlati Sleman yang sekarang menjadi markas Sub Polsek Mlati. Menurut penuturan seorang polisi yang bertugas di sana, bahwa bentuk asli stasiun ini sudah tidak terdeteksi lagi. Yang tersisa hanyalah satu lajur rel yang kini berada di sebelah belakang Polsek. 

Setelah itu, kami menuju kawasan Jalan PJKA yang berada dekat dengan Lapangan Denggung Sleman. 
Yah, jalan ini dinamai Jl. PJKA karena dulunya merupakan jalur rel yang melengkung. Tidak jauh darisitu, kami menemukan Eks.stasiun Denggung yang kini digunakan sebagai markas koramil. Namun karena sebab yang tidak bisa saya ingat, saya malah tidak memotret bangunan ini *maklum masih amatiran*.

Selepas stasiun Denggung, kami beranjak ke Eks. Jembatan Beran.
Jembatan dengan kontruksi upper beam/ penyangga diatas ini masih terlihat begitu menawan, terutama karena cat nya masih bagus. Mungkin karena habis di cat ulang kali yah.

Dari tempat ini, kami mencari eks. Stasiun Medari, namun kami tidak berhasil menemukannya. Sehingga kami memutuskan untuk menuju eks. Jembatan Krasak. 
 Jembatan Kereta api yang sudah berulangkali diterjang lahar dingin ini terlihat sangat rapuh dan teronggok diantara pepohonan. Untuk menuju kesana kami harus memutar melalui kampong dan beberapa kali tersesat. Hehehe..

Dan sayang sekali waktu itu dua teman saya sudah kehabisan semangat, sedangkan saya merasa tidak mungkin untuk meneruskan penjelajahan ini sendirian.

Sehingga cita cita saya menelusuri jalur kereta sampai di temanggung akhirnya terlaksana lebih dari dua tahun kemudian. *deng deng deng*

Yuk, langsung saja kita menuju djeladjah yang sesungguhnya.

Minggu, 22 Januari 2012

Minggu pagi yang cerah, setelah malam sebelumnya saya harus tidur dini hari jam 2 akibat dari kebanyakan nongkrong, pagi jam 5.30 saya sudah harus dipaksa mendengarkan alarm hape saya dan terbangunlah saya dengan begitu semangat untuk menjalani hari ini dengan acara Djeladjah Djaloer Spoor yang di selenggarakan oleh Komunitas Kota Toea Magelang.
 
Persiapan yang cukup matang dirumah, sama seperti halnya nasi yang telah matang sehingga saya berkesempatan menyantap beberapa suap nasi sebelum berangkat. Pukul 6.20 pagi saya sudah take off dari rumah untuk menghampiri Pak Gubernur KTM, Mas Agung Dragon. Butuh waktu sekitar 20 menit hingga akhirnya saya temukan Pak Gubernur yang sudah stand by di kawasan Pahlawan, Magelang dengan ransel dan beberapa barang bawaan.

Baru pukul 06.48, kami sudah sampai di Stasiun Magelang Kotta (sub terminal Kebonpolo) yang akan menjadi titik start kami. Tidak lama menunggu, akhirnya datanglah mas Yudha dengan varionya, kemudian seorang bapak bapak yang selanjutnya saya ketahui bernama Pak Darmawan dengan tingkah humorisnya yang mencengangkan saya karena saya merasa aneh (bapak bapak yang sudah agak tua kok ikut acara ginian?) entah apa maksudnya namun saya buru buru melupakan semua itu dan cairlah sudah pemikiran saya karena tidak lama kemudian satu persatu peserta mulai berdatangan.

Beberapa peserta yang membuat saya heran adalah mas Zuhad yang adalah tetangga saya sendiri, lalu mas Anton Udiyono yang nglegakke dari Wonosobo, dan tidak ketinggalan, mbak Granita sekeluarga dengan mobil yang datang jauh jauh dari Sleman untuk sekedar mengikuti acara ini.

Pukul 07.40, kira kira 20 peserta sudah hadir dan melaksanakan daftar ulang dengan membarter 10K idr dengan sebuah booklet dan penanda pita merah putih untuk begel belakang motor kami. Sesuai dengan petunjuk teknis yang ada di booklet, acara pertama kami adalah perkenalan dan penyampaian materi khususnya tentang Stasiun Magelang Kota.

Perkenalan dan pembukaan dipandu oleh mas Bagus Priyana, sedangkan untuk materi, dipandu oleh mas Tommy Aditya yang merupakan salah satu rail fans Indonesia yang kini tinggal di Bandung.

Stasiun Magelang Kota pada masanya adalah sebuah stasiun besar yang dilengkapi dengan Depo Lokomotif dan memiliki banyak lajur rel. Sekarang ini, stasiun ini sudah tidak ada bekasnya dan saya juga belum pernah melihat foto jaman dulu yang bisa memperlihatkan bangunan asli dari stasiun ini. Di Magelang sendiri, dahulunya ada dua stasiun yang satunya adalah Stasiun Magelang Passar. Yang saat ini lokasinya berdiri Pasar Rejowinangun. Sedangkan, di Alon Alon ada sebuah stopplaast. Yakni sebuah halte pemberhentian dengan tata letak yang unik dimana loket halte berada di bagian timur alon alon (panggung utama) dan kereta berhenti di seberang jalannya (depan MT).

Selepas penyampaian materi, kami semua bersiap siap untuk pemberangkatan dengan diawali doa yang dipimpin oleh Pak Darmawan. 
Kira kira pukul 08.00 kami segera menuju ke eks. Stasiun Secang setelah mampir di SPBU untuk memberi kesempatan kepada peserta yang hendak mengisi BBM sementara pak Gubernur membeli air putih untuk diperbagikan kepada para peserta. Perjalanan dari Magelang ke Stasiun Secang tidaklah sulit.
Dengan mengikuti jalur reguler dan belok kiri di Koramil Secang, disitu akan sudah terlihat sebuah bangunan tua dan itulah Eks. Stasiun Secang.

Pada masa kejayaan kereta api, stasiun ini adalah stasiun yang besar karena merupakan persimpangan antara jalur Ambarawa – Magelang – Parakan. Dilihat dari luasnya area di sini, terlihat bahwa dahulunya stasiun ini memiliki banyak lajur rel. Di main lobby stasiun ini masih tersisa sebuah bangku panjang tempat tunggu penumpang dengan kondisinya yang sangat kotor. Salah satu ruangan di stasiun ini sekarang digunakan sebagai ruang pertemuan.. dan ruang lainnya seperti hasil intipan saya, tampak kumuh dan tidak terawat. Area di belakang stasiun yang luas bahkan dimanfaatkan untuk parkir truk truk besar. 

Selanjutnya peserta menuju ke eks. Stasiun Kranggan. Sebuah stasiun yang belum pernah saya ketahui sebelumnya. Dari Secang, ikuti saja jalan raya ke Temanggung 
dan sesaat dari Pasar Kranggan tinggal belok kiri masuk gang. 
 
Sebuah stasiun yang kini dialihfungsikan menjadi rumah tampak terawat dengan baik. Inilah tempat tinggal Pak Karim yang merupakan mantan pegawai PJKA yang sudah menjalani pekerjaan sebagai pegawai kereta api dalam tiga jaman yakni Belanda, Jepang, dan pasca kemerdekaan Indonesia. Siang ini, kami hendak mendengarkan pak Karim bercerita. 

Memasuki usia yang ke 88, pak Karim nampak masih segar bugar dan ingatannya masih fresh. Pak Karim menuturkan tentang cerita yang kini sangat mengakar di masyarakat Kranggan dan sekitarnya yaitu tentang kecelakaan putusnya gerbong ke arah Temanggung yang akhirnya terjatuh dan memakan banyak korban di sekitar Jembatan Progo – Stasiun Kranggan dan Pak Karim ini adalah salah satu penolong para korban yang mana diceritakan pada waktu itu selain kondisi para korban yang mengenaskan juga tercecernya bahan bahan makanan seperti beras, minyak, gula, dan rokok. Waktu itu bila akan menjadi kaya tinggal ambil saja barang barang itu dan bahkan ada seorang perempuan yang diceritakan memiliki tubuh gendut dan putih dengan banyak kalung berlian. 

Selain itu, cerita tentang saat saat dimana pak Karim menjadi kepala rombongan lori dan menemukan sebuah ranjau yang dipasang di salah satu lajur rel. waktu di cek, eh malah Pak Karim yang menjadi tersangka dan dianggap beliaulah yang memasang ranjau tersebut. Dengan posisi tertangkap dan hampir saja terbunuh, setelah menunjukkan satu dari dua surat yang dibawanya, akhirnya Pak Karim pun bisa selamat. Menurut penuturan Pak Karim pula, bahwa stasiun Kranggan saat ini adalah yang ketiga kalinya karena pernah dipindah dua kali.  

Kami juga sempat diajak Pak Karim untuk meninjau lokasi dimana dahulu terjadi kecelakaan gerbong. Jalur ini sekarang ditutup dengan beton untuk mobilitas warga sekitar.
Dan hal hal yang saya takjub adalah saat Pak Karim menuturkan beberapa istilah Belanda tentang tata kelola letak rel ketika melintasi sebuah jalan air melewati atas atau bawah yang masih diingatnya dengan baik seperti ANSLOKAN dan KAPELSLOKAN. Hehehe.. 

Hari semakin siang, akhirnya rombongan berpamitan dengan Pak Karim dan keluarga.
Selanjutnya, rombongan menuju ke Eks. Jembatan Progo – Kranggan. Tidak jauh jaraknya dari stasiun Kranggan. Hanya sekitar 400 meter. Disitu, kami hanya bisa melihat pemandangan ini dari atas. Sebuah jembatan dengan konstruksi under beam/ penyangga bawah terbentang dengan kondisi yang masih terlihat kokoh. 
Rel rel yang bergelimpangan di sekitar jembatan ini juga *saya baru tahu* memiliki catatan tentang tahun pembuatan, yang saya temui adalah KRUPP 1901 N.I.S 28, dan KRUPP 1903 N.I.S 28. Dari pencerahan mas Tommy maksud dari tulisan tersebut adalah pabrik pembuat rel bernama KRUPP, pada tahun 1901/1903, pemesan adalah N.I.S, dan per meter dari rel ini beratnya 28 Kilogram. Wah, usia rel rel ini sudah lebih dari seabad ya.. 

Oke, kemudian kami menuju ke Plengkung Campursari, Bulu, Temanggung yang katanya mas Bagus akan membutuhkan perjalanan sekitar setengah jaman dari jembatan ini. Perjalanan melintasi Kota Temanggung dan sekitar 30 menit kemudian, kami sampai di sebuah Plengkung yang selama ini sudah sering saya lihat dan saya salah sangka. Saya kira plengkung itu adalah bekas jalur air, namun ternyata sebuah bekas rel kereta api. Dengan warna merah, plengkung ini sekarang dialihfungsikan menjadi jembatan penyeberangan. Dibawahnya dengan tiga buah terowongan kecil, bisa dilewati kendaraan kendaraan kecil. Lokasi plengkung yang tinggi mengindikasikan bahwa tanah sekitarnya seharusnya tinggi. Namun berdasarkan pantauan kami, tanah disekitarnya kini sudah di kepras menyesuaikan dengan rendahnya kawasan sekitar. 

Perjalanan dilanjutkan ke eks. Stasiun Parakan yang berada tidak jauh dari plengkung campursari. Berada di pinggiran kota Parakan, stasiun ini memiliki bentuk asli yang sedikit dimodifikasi. Bentuknya sangatlah bagus. Dengan model khas indische, stasiun penghabisan ini kini digunakan sebagai kantor Sub Divisi Properti dan Periklanan PT KAI
Salah satu ruang di stasiun ini digunakan sebagai tempat tinggal oleh Pak Slamet. Tidak banyak sejarah yang kami ketahui dari Pak Slamet ini karena beliau juga belum begitu lama tinggal disitu. Bagian pinggir dari stasiun ini memiliki semacam sayap yang saya sendiri kurang tahu apa maksudnya. 
Di bagian emplasment atau teras dalam tempat menunggu kereta datang, konstruksi lantai tegel dengan warna kekuningan kami jumpai sama dengan di Stasiun Secang. Keramik model belanda ini terlhat tidak berlumut dan kuat sekali. Bahkan kemungkinan memiliki rongga rongga sehingga air yang menggenang bisa meresap. 

Kami juga dibilangi Pak Slamet bahwa tidak jauh dari situ ada sebuah bangunan yang merupakan bekas toilet stasiun. Kini, depannya digunakan sebagai warung makan. Sebagai stasiun penghabisan, stasiun ini seharusnya memiliki turn table (pemutar arah loko) namun sampai sekarang tidak diketahui bekasnya. Pemandangan kumuh juga tercipta di salah satu sudut stasiun dengan bercecernya bermacam macam sampah. 

Puas menikmati eksotisme eks stasiun Parakan, kami menuju ke Stasiun Kedu. Oya, mas Anton yang merupakan peserta dari Wonosobo sekalian berpamitan pulang karena tidak mungkin bolak balik ke Magelang lagi. Hehe. 

Saya juga sempat melihat sebuah bekas jembatan kereta di salah satu sudut kota Parakan yang memotong sungai Parakan. Dengan mengira ira, dari Stasiun Parakan ini jalur rel kereta tampak sangat memutar, dengan melewati Plengkung Campursari, kemudian memotong persawahan kemudian memotong jalan raya Temanggung – Parakan via Kedu, hingga sampailah di Stasiun kedu. 

Sebuah bangunan yang tidak tampak tua teronggok di sebelah rumah mewah. Rel kereta yang terpampang sebagai pagar, dan salah satu alat pemutar kawat pengirim sinyal palang tanda kedatangan kereta yang masih dalam kondisi baik. Gedung bercat kuning ini menurut saya adalah bangunan Indonesia karena bentuknya yang standar sekali. 
Kemungkinan, dahulunya hanya merupakan stasiun kecil dari bambu atau kayu pada masa Belanda yang kemudian direnovasi. Tidak banyak yang bisa kami selidiki di stasiun ini dan kami hendak langsung melanjutkan perjalanan ke Temanggung.

Waktu menunjukkan pukul 12.30 siang dan tim Djeladjah memutuskan untuk ishoma di kawasan alon alon Temanggung. Tidak butuh waktu lama, akhirnya motor motor kami segera terparkir rapi di sebelah barat alon alon. Saya, pak gubernur, mas Yudha, dan mas agus segera menuju masjid untuk menunaikan shalat dhuhur. Kemudian, warung ijo di sebelah tenggara alon alon menjadi pilihan kami selanjutnya tanpa dengan mas Yudha karena sedang puasa. 

Nasi rames dengan lauk ikan pindang dengan segelas esteh serasa cukup masuk akal dengan harga 9K idr siang itu. Habis makan, kami segera berkumpul untuk segera menuju ke eks. Stasiun Temanggung.
 
Bangunan tua yang kini sangat terawat dan digunakan sebagai Gedung Juang 45 ini terletak di sebelas selatan Kantor Bupati Temanggung. 
Dari semua stasiun yang kami kunjungi, hanya ini satu satunya stasiun yang dirawat dengan benar, bahkan sedikit dimodifikasi dengan batu palsu di salah satu pojok temboknya (hehehe) bangunan ini juga telah ditambah dengan sebuah ruang pertemuan yang bila kita lihat keramik terasnya akan tampak perbedaan yang begitu nyata :D
Gedung ini saya sendiri kurang tahu selama ini digunakan untuk apa, namun saya kira, kadang kadang saja gedung ini dibuka. Saya dan rombongan harus puas hanya bisa menikmati bekas stasiun ini dari luar. 

Lepas dari eks Stasiun Temanggung, akhirnya kami harus pulang ke Magelang untuk mengunjungi eks Stasiun Payaman yang merupakan tujuan terakhir kami. Berada tidak jauh dari pasar Payaman, bekas stasiun kecil ini sangat memprihatinkan. Halaman emplasment nya kini dibangun sebuah tembok dan difungsikan sebagai garasi entah oleh siapa. Yang masih tersisa di stasiun ini adalah sebuah bangunan yang dulunya dipercaya sebagai toiletnya stasiun ini. Selain itu juga ada semacam rel yang terpasang melintang yang berhadapan secara frontal dari arah Secang menuju ke stasiun ini. Berdasar info dari mas Tommy, gunanya untuk menghentikan laju lokomotif apabila rem blong biar nggak nabrak stasiunnya.  (hehe, mungkin nggak sih?) namun bila dipikir pikir mungkin betul juga. 

Alhamdulillah Djeladjah Djaloer Spoor ini sukses terlaksana dan beberapa anggota djeladjah berpamitan antara lain mbak Granita dari Jogja dan Pak Darmawan. Tujuan kami selanjutnya adalah menunjungi rumah mbak Nana Listyani yang merupakan member aktif di facebook KTM, dia ini asli Magelang dan tinggal di Jakarta. Dengan keluarganya yang berasal dari kalangan Tionghoa, menjadikan cerita cerita mbak Nana ini sangat berpengaruh terutama  kaitan kaitannya dengan  sejarah kawasan Pecinan Magelang yang juga merupakan kawasan tua Magelang. 

Dirumah mbak Nana ini sedang ada upacara ritual dalam rangka menyambut Imlek. Setelah kami bertemu dan kenalan (karena diantara kami tidak ada yang pernah ketemu dengan mbak Nana), kami segera duduk di kursi yang di sediakan dan tanpa diminta, mbak Nana langsung bercerita tentang ritual yang tujuannya untuk mendoakan arwah arwah leluhur. Dan tentang pemberian angpao yang dimaksudkan untuk menangkal setan. Dan juga masih banyak yang diceritakan tentang ritual ritual orang keturunan Tionghoa ini. 
 
Bagi kami, kunjungan terakhir ini benar benar seperti mengunjungi Stopplaast Kramat yang belum terdeteksi itu karena rumah mbak Nana ini berada di kawasan Kramat. Hehehe..
Oya, dari stasiun stasiun yang kami kunjungi tadi, saya tidak menemukan prasasti yang menandakan kapan dibangunnya stasin stasiun tersebut, namun kuat dugaan saya, mereka dibangun bersamaan dengan dibukanya jalur jalur kereta api tersebut pada akhir 1800 hingga awal 1900an..

Waktu segera sore, dan kami akhirnya barji barbeh alias bubar siji bubar kabeh, saya mengantarkan pak Gubernur ke kawasan Pahlawan untuk kemudian segera melanjutkan perjalanan ke rumah saya. 

Alhamdulillah even kali ini kami tidak bertemu dengan hujan sehingga suasana terasa kondusif.. 
thanks to : Komunitas Kota Toea Magelang dan materi dari Booklet Djeladjah Djaloer Spoor.
 

14 comments:

  1. jos gandooooossss.....mantaaaaap bunggg.

    ReplyDelete
  2. Rugi bandar deh ngga tau ada event ini, padahal 3 hari nganggur di Semarang. Huhuhuhuhu .. :(

    ReplyDelete
  3. @ Anonymous : eh, mas bagus po? hehehe.. maturnuwun... inilah kelanjutan cita cita yang tertunda lebih dari dua tahun .. wkwkwkwk

    @noerazhka : wah, rugi banget mbak.. gini mbak, masih ada beberapa event KTM mendatang diantaranya
    - jelajah sejarah perairan di magelang. rute : kawasan menowo melewati plengkung sampai water toren alon alon dan ke kota arah selatan jalan kaki.
    - trekking bekas jalur kereta secang - grabag.
    - djeladjah spoor edisi dua (kemungkinan magelang - jogja)

    bagaimana? berminat?

    ReplyDelete
  4. waaaaah :D
    seru bgt yaaah,
    terimakasih info lengkapnya,. sudah bisa membayangkan bagaimana serunya jelajah ini, walaupun tidak bisa turut serta langsung, hiks

    ReplyDelete
  5. thank mas....mntap..semoga bisa ketemu lagi di lain kesempatan

    ReplyDelete
  6. @ Anglir : betul mbak, anda jangan jangan nyesel seumur hidup gara gara nggak ikut? hehehehe..

    @ mas anton : iya mas sama sama.. lain kali kalo ada even mas anton di undang lagi ya?

    ReplyDelete
  7. Bkanna pmrintah jnji mo idupin rel KAIna lgi y!

    ReplyDelete
  8. @ atas : itu kan cuma baru rencana mas.. kalau sekarang magelang - jogja kalau nggak bikin rute baru udah susah ngidupin rel lama..

    ReplyDelete
  9. Triady Setiawan SusantoJuly 15, 2012 at 3:16 AM

    Jadi pengen deh ikut jelajah Rel Spoor nya ....Moga Rencana pemerintah untuk hidupin Rel kereta apinya terealisasi deh ... klo emang sangat susah untuk pake jalur lama , paling tidak beberapa di bikn jalur baru , dan beberapa jika memungkin kan pake di Jalur lama, Stasiun nya klo bisa stasiun yang Lama aja...dan juga moga anggarannya gak DI KORUPSI lagi ya .... MUGI MUGI deh ..

    ReplyDelete
  10. @ mas Triady : hehehe.. rencana reaktivasi jalur kereta masih simpang siur.. kita tunggu saja gebrakan pemerintah nantinya..

    makasih atas kunjungan dan komentarnya

    ReplyDelete
  11. mas letak eks stasiun Parakan kalau dari plengkung Campursari ke arah mana,kalau dari arah Magelang

    ReplyDelete
  12. @rumputilalang : dari plengkung campursari masuk kota parakan , yang tugu pertigaan setelah jembatan RSK Ngesti Waluyo itu ke kanan teruuus saja. Nanti kiri jalan (Tapi dari tugu tidak bisa langsung ke kanan karena forbidden)

    ReplyDelete
  13. Itu sudah masuk kota parakan mas. Kalo ke kiri lurus kan ke Wonosobo, kalo kiri terus kanan yang ke Weleri. Nah, ikut yang weleri, terus muter ikut yang ke magelang lagi... tanya orang saja mas.. Hehe, agak susah jelasinnya

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...