Idul Adha. Ya, hari
raya kurban yang dirayakan oleh umat muslim di seluruh dunia setiap tahun pada
tanggal 10 bulan Dzulhijjah. Untuk sebagian umat muslim yang sanggup mengadakan
perjalanan ke tanah suci diwajibkan oleh Allah untuk melaksakan salah satu
rukun Islam yaitu melaksanakan ibadah haji. Sedangkan untuk kita kita yang
belum sanggup baik secara materi ataupun jasmani di perintahkan oleh Allah
untuk berkurban menyembelih hewan kurban diantaranya kambing, domba, sapi,
kerbau, atau unta. (Kuda boleh nggak ya?)
Anyway, pagi ini saya
bangun pagi setelah badan capek capek karena tadi malam saya melakukan
perjalanan bersama smash dari Ungaran – Semarang – Weleri – Muntilan. What a
seriuous journey? Tapi lupakan lah itu
karena tadi pagi saya berhasil mengikuti shalat Id di Masjid Pondok Pabelan.
Khutbah di isi oleh KH. Drs. Ahmad Mustofa, SH. Beliau memaparkan tentang
sejarah dan esensi dari Idul Adha.
Salah beberapa yang
bisa saya ingat adalah tentang pengorbanan yang dilakukan oleh Siti Hajar
(Istri Nabi Ibrahim AS) yang waktu itu ditinggal oleh suami dan Hajar harus
merawat Ismail yang kala itu masih kecil. Mereka berdua kehausan dan kelaparan
di padang yang tandus hingga akhirnya Hajar berlari lari kecil berbolak balik
dari Bukit Sofa ke Bukit Marwah untuk mencari air. Dan tidak ketemu juga hingga
akhirnya atas ijin Allah kaki Ismail yang menjejak jejak tanah akhirnya
mengeluarkan air yang sampai sekarang kita kenal dengan mata air Zam Zam.
Pelajaran yang bisa dipetik dari kisah ini adalah tentang kesetiaan seorang
istri kepada suami dan anaknya. Dalam kondisi yang mepet sekalipun Hajar
mengajarkan untuk tetap semangat mencari solusi atas permasalahan dengan cara
yang baik. Sofa berarti Baik, Marwah berarti Puas. Jadi intinya untuk mencari
kepuasan entah kepuasan apapun itu harus dilakukan dengan jalan yang baik. Gitu
kira kira.
Yang kedua, tentang
pengorbanan yang pernah saya tulis juga di sini. Jadi, pengorbanan seorang
Ibrahim AS yang diperintahkan Allah untuk menyembelih anaknya, Ismail,
dilakukan dengan penuh tawakkal. Menunjukkan bahwa cinta kepada Allah lebih
dari segala galanya. Hal yang baik juga ditunjukkan oleh Ismail AS dimana saat
beliau masih anak anak, beliau sudah dapat mengerti dan bersabar untuk
merelakan dirinya di sembelih karena untuk menunaikan perintah Allah. Hingga
akhirnya Allah mengganti kurban Ibrahim AS dengan seekor kambing gibas. Dan
Ismail tidak jadi di sembelih deh (horeee)
Jadi, esensi kurban itu
apa? Menurut pandangan saya (mohon dikoreksi apabila salah), kurban bukanlah
seperti yang di ceritakan oleh orang orang bahwa hewan kurban itu nantinya di
Akherat akan menjadi kendaraan kita saat melewati jembatan menuju ke Sorga.
Tapi jauh dibalik cerita itu, inti dari kurban adalah kita diperintah oleh
Allah untuk mengorbankan harta yang kita punya dalam hal ini kita di perintah
untuk berkorban. Allah hendak menguji kita apakah kita termasuk orang yang mau
berkorban untuk menjalankan perintah Allah tidak? Ibrahim saja mau menyembelih
anaknya sendiri, masak kita nggak mau hanya disuruh menyembelih hewan? Nah itu
dia. Jadi yang di nilai oleh Allah itu adalah jiwa berkurban kita. Niat kita
untuk berkurban. Dan juga disamping itu, kita diajarkan oleh Allah untuk
berbagi kepada sesama.
Oke, sepertinya seperti
itu lah ya… Nah, tapi ada satu yang masih mengganjal di otak saya. Hmm,
beberapa waktu terakhir ini saya (ikut ikutan) mengerjakan tugasnya Nona. Dan
tugas itu tentang Manajemen Lingkungan. Dua tugas yang saya kerjakan adalah
tentang prinsip – prinsip ekologi dan prinsip – prinsip etika lingkungan hidup.
Inti dari prinsip
prinsip itu adalah bahwa alam merupakan sebuah sistem yang harus seimbang. Di
alam juga terjadi hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya.
Dan mau tidak mau harus ada produsen dan konsumen. Saling memakan adalah sebuah
kemutlakan di sistem tersebut. Misalnya kucing makan tikus, macan makan kijang,
dan sebagainya. Sedangkan manusia adalah termasuk golongan omnivora yang
berarti memakan segala galanya baik tumbuhan maupun hewan.
Untuk menjaga
keseimbangan alam, manusia di rekomendasikan untuk menyayangi makhluk hidup.
Tidak merusak alam, ekosistem. Padahal dalam pemenuhan kebutuhan kehidupan
manusia, mau tidak mau manusia harus memanfaatkan alam. Namun harus dengan
bijak dan memegang teguh (huaaa, bahasane marai ngekek) prinsip prinsip etika
lingkungan hidup. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan
memanfaatkan sumber daya alam secukupnya. Disini dapat saya artikan salah
satunya adalah dengan memakan tumbuh tumbuhan dan memakan hewan secukupnya.
Betul tidak?
Lalu, apa hubungannya
dengan Idul Adha?
Lha ini yang saya coba
kaji. Beberapa orang termasuk saya mungkin adalah orang orang yang menyayangi
binatang. Menyayangi binatang adalah salah satu prinsip etika lingkungan hidup
yang merupakan prinsip solidaritas. Bukannya gimana gimana, tapi alangkah
baiknya saat kita menghargai binatang, adalah dengan merasakan bahwa binatang
itu juga punya rasa sakit. Jadi saat mereka disakiti (katakanlah disembelih)
kita juga ikut sakit. Mencoba merasa menjadi hewan yang melihat hewan hewan
lain disembelih, sementara kita ikut antri untuk di sembelih. Benar benar
menyakitkan hati. Beberapa kalangan khususnya di negara negara Eropa, hal hal
seperti ini menjadi sebuah pemikiran yang menarik. Dimana contohnya di Inggris,
pemerintah membuat kebijakan bahwa dalam rangka meminimalkan rasa sakit pada
hewan, proses penyembelihan hewan harus melalui proses pemingsanan hewan
terlebih dahulu. Jadi hewan itu disuntik sampai pingsan, baru disembelih. Jadi
hewan itu tidak merasa sakit deh waktu di sembelih. Saya sih sebagai orang yang
tidak tegaan, merasa setuju dengan kebijakan seperti itu. Namun, bagaimana
dengan ajaran agama Islam?
Coba saya kaitkan
dengan proses penyembelihan yang pernah saya lihat di kampung saya waktu kecil.
(Seumur hidup saya baru melihat penyembelihan hewan, termasuk ayam dua kali.
Itu sudah cukup bagi saya, karena saya pernah sampai menangis melihat sapi yang
menangis melihat temannya di sembelih …. T.T dan sampai sekarang saya tidak
tega melihat proses proses peyembelihan itu apalagi disuruh menyembelih).
Katakanlah saya lebai, freak atau apa. But, its true! Proses penyembelihan
seekor sapi diawali dengan menjatuhkan sapi. Bisa dengan mengikat kakinya, lalu
di jegal sehingga sapi terjatuh. Saat terjatuh, sapi langsung di iris lehernya.
Nah, yang membuat saya sedih adalah proses penjegalan yang membuat sapi meronta
– ronta. Saya rasa, sapi itu tidak sama dengan kasus Ismail. Karena Ismail itu
tahu bahwa penyembelihan dirinya adalah perintah Allah, jadi kalaupun misalnya
Allah menakdirkan penyembelihan itu terjadi, tidak mungkin Ismail meronta ronta
dan mencoba melarikan diri. Namun, sapi sapi dan kambing itu (wallahu a’lam
bisshowab) (mungkin) tidak tahu kenapa dia di sembelih. Andai mereka tahu bahwa
itu perintah Allah, dan sapi itu memiliki perasaan yang berserah diri kepada
Allah, tidak mungkin saya akan melihat kambing kambing dan sapi sapi yang
berusaha melarikan diri, meronta ronta, bahkan menangis menunggu giliran untuk
disembelih. Salah satu syarat penyembelihan adalah dengan menggunakan pisau
yang tajam. Nah, ini sih bagus. Karena lebih cepat mati lebih baik.
Sek, sek, sek. Kenapa
saya jadi mblayang? Hm, saya kaitkan dulu kurban dengan etika lingkungan hidup.
Kurban adalah perintah agama. Sedangkan etika lingkungan hidup mengajarkan kita
untuk memanfaatkan alam seperlunya saja. Jadi, kurban itu tidak menyalahi etika
lingkungan hidup terutama prinsip tentang keseimbangan. Karena kurban
dilaksanakan setahun sekali, jadi merupakan suatu kewajaran apabila manusia
menyembelih dan mengkonsumsi hewan hewan tersebut. Karena nggak tiap hari.
Tetapi, proses proses
penyembelihan yang (menurut saya) sadis itu bertentangan dengan prinsip
solidaritas yang merupakan satu dari sembilan prinsip etika lingkungan hidup.
Namun, perasaan seperti ini mungkin hanya segelintir saja yang mengalami dan
kebetulan saya termasuk salah satunya. Apapun itu, kurban adalah perintah
Allah. Kembali lagi kepada esensi kurban bahwa pengorbanan kita itu yang
dinilai adalah jiwa kurban kita. Jiwa tawakkal kita, berserah diri kepada Allah
dan mentaati segala perintah Allah.
Mungkin kedepan akan
ada kajian yang dapat menjembatani permasalahan seperti ini. (Wallahu A’lam)
No comments:
Post a Comment