Kamis
(19/2) pagi ini bertepatan dengan limur Imlek 2015, jam tujuh pagi saya sudah
tiba di Terminal Tidar, Kota Magelang. Setelah menyempatkan sarapan dengan
bekal dari rumah, mas Yudha datang menghampiri saya. Kita memang sudah janjian,
saya minta tolong mbonceng menuju ke Metro Square.
Lokasi
titik kumpul kami ada di depan kios oleh-oleh Endang Jaya. Kiranya, sudah ada
50-an yang datang untuk mengikuti event hari ini. Ya, seperti biasa berdekatan
dengan perayaan Imlek, komunitas Kota Toea Magelang (KTM) rutin menggelar
kegiatan napak tilas sejarah. Sukses dengan agenda Djeladjah Petjinan #1 dan
#2, kali ini KTM mengambil trip yang agak jauh. Ke Muntilan.
para peserta berfoto sebelum keberangkatan |
Dalam
rangka tahun baru kambing ini, tajuk Djeladjah Petjinan sementara tidak
digunakan mengingat rangkaian acara nantinya, selain mengunjungi Kelenteng
Muntilan, kami juga akan melawat ke Pasturan sehingga disepakati tema Djeladjah
Moentilan.
Ada
banyak anggota-anggota baru dalam event kali ini. Luar biasa istimewa! Kalau saya
boleh jujur, banyak peserta yang saya belum kenal dan tidak sempat berkenalan. Setelah
semua peserta mendaftar ulang dengan membayar 15,000 rupiah kami mendapat
fasilitas snack, air mineral, makalah dan free service makan siang nantinya.
“terimakasih
kami ucapkan kepada seluruh peserta yang sudah mendaftar pada event kali ini. Pada
kegiatan ini jumlah peserta tembus hingga 100 orang” buka koordinator KTM,
Bagus Priyana dalam sambutan briefingnya. Dia menjelaskan tentang rute dan
jadwal kunjungan sementara sebagai pembuka, kami berdoa dipimpin oleh salah
seorang senior KTM, Pak Soli Saroso.
Pukul
08.00 kami bertolak menuju Muntilan. Hanya butuh waktu kurang dari 30 menit
kami sudah sampai di Warung Tempo Doeloe di bilangan Pucung. Para peserta
diminta memarkir motor disitu untuk kemudian langsung mengawali jelajah dengan
jalan kaki. Rute yang diambil melewati belakang Pasar Muntilan, kemudian masuk
melalui gang Tegalslerem. Saya berada dibagian agak belakang bersama
kawan-kawan akrab saya, Ryan, Anglir, Ake Ru, Gusta, Mameth dan Adhi Okta.
Para peserta tiba di WM Tempo Doeloe |
Awal jelajah |
Gang-gang
sempit Muntilan ternyata menawarkan pesona tersendiri. Tampaknya, sampai
sekarang ini gaya rumahnya bercampur baur. Lihat saja sebuah rumah hijau
bergaya art deco, atau rumah susun yang saya anggap mewakili model Thailand,
dan juga arsitektur jengki mewarnai sepanjang perjalanan. Bahkan di salah satu
rute, kami menemukan pemukiman padat dengan paduan sungai dan rumah sederhana
yang bertingkat-tingkat. “mirip dalam film Toy Story, eh Police Story” kata Ryan.
“Bisa untuk syuting James Bond” timpal saya diikuti cekikian kami. “Hahaha”
Tanpa
terasa kami menembus gang di sebelah Pegadaian yang artinya kami sudah sampai di
halaman Kelenteng Hok An Kiong. Disana nampak Om Andreas dan Mbak Maria
Kristina sibuk menyiapkan sesuatu. Owalah, jebulnya kami disuguh pertunjukan
pantomim yang diperagakan oleh Rebecca Anastasia Hartono, anaknya Om Andreas. Di
akhir pertunjukan, Rebecca yang bermakeup putih itu juga membagikan angpao
untuk peserta yang beruntung. ;)
Pertunjukan Pantomim |
Hio Lo Terbesar se Asia
Tenggara
Pak
Budi namanya, pria berrambut memutih itu menyambut kami dan memperkenalkan sekilas
tentang sejarah rumah ibadah TITD itu. “Kelenteng ini sudah ada sejak sekitar
tahun 1900. Lazimnya orang menyebut kelenteng ini dengan nama Kelenteng
Muntilan. Dahulunya disebelah kelenteng ini merupakan gedung hiburan sebelum
akhirnya dipergunakan menjadi gedung bioskop, Kartika namanya” paparnya. Saya langsung
terbayang masa kecil saya di kisaran tahun 1998 yang bila melewati depan gedung
bioskop itu selalu ada poster film “saru” yang bikin saya penasaran.
Pak Budhi Hartaja (kanan) berbincang dengan Pak Thomas Panjanghari |
Rupanya
tidak banyak yang bisa diungkap dari sejarah Kelenteng yang bernama Hok An
Kiong ini. Namun dari sumber yang saya dapatkan, bahwa dahulu kelenteng ini ada
di seberang bangunan saat ini. Dan kemudian pada tahun 1920 dilakukan renovasi
(mungkin) sekaligus memindah gedung ke lokasi saat ini. Kelenteng ini tampak
lebih besar jika dibanding kelenteng Liong Hok Bio Magelang. Disini dilengkapi
dengan pagar dan disayap kiri ada semacam pagoda berwarna merah “Itu aslinya
ada dua, di kanan kiri. Tapi yang di kanan sudah dirubuhkan karena saat itu ada
perluasan gedung hiburan. Fungsinya untuk membakar uang emas atau kertas doa
setelah umat bersembahyang” jelas Pak Budi.
Kami
disarankan masuk melalui pintu kiri dengan istilah pintu Naga, ukiran Naga
memang terpampang besar dipintu ini. Begitu masuk, kami disambut dengan rak
berisi macam-macam hio/dupa lengkap dengan harga dan tulisan “langsung bayar”. Dibagian ini
ornamen-ornamen yang tampak adalah lukisan dan pahatan dinding yang berwujud
dewa-dewa.
Secara
umum, ada dua bagian didalam kelenteng ini. Ditempat saya berpijak merupakan ruang pertama
yang didominasi sebuah bejana tembaga besar berdiameter sekitar 1,5 meter. Informasi
yang saya dapatkan, bejana tersebut berfungsi untuk menancapkan Hio/dupa. Benda
tersebut bernama Hio Lo yang didatangkan langsung dari Negeri Tiongkok dan
konon merupakan yang terbesar se Asia Tenggara.
Ruang
selanjutnya adalah altar utama. Saya berjumpa dengan Pak Nur Rahmat. Pria 79
tahun itu menjelaskan kepada saya tentang dewa-dewa yang ada di tempat ibadah
ini. “Dewa utamanya dewa bumi atau Kong Co Ho Tek Theng Shin” seraya menujuk
patung utama. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa dibagian kiri merupakan
empat altar dewa yaitu, Buddha Muda, Buddha Tua, Nabi Konghuchu dan Dewi Kwan
Im. “bila disebelah kanan ada beberapa dewa diantaranya, dewa keadilan untuk
berdoa mencari barang yang hilang, atau dewa welas asih untuk berdoa memohon
jodoh, dan juga dewa obat untuk berdoa memohon kesembuhan. Semua doa
disesuaikan dengan maksud doanya” tutup pria yang mengaku sudah bekerja selama
18 tahun itu. Saya pun berterimakasih dan kemudian beranjak keluar karena waktu
kunjungan tampaknya sudah habis.
Para peserta berfoto dengan latar gerbang Kelenteng |
Lepas
dari Hok An Kiong, kami menyusur pecinan Jalan Pemuda dan memotreti
bangunan-bangunan yang khas dan terkesan heritage. Rata-rata model bangunannya
kolonial dengan sentuhan cina. Gusta yang selama ini terkenal dengan “mblusukmen”
nya tertantang untuk mencari dan memotret tegel khas.
Selain
itu kami juga dilewatkan melalui Pasar Jambu. Sebuah simpul ekonomi yang
memanfaatkan sebuah gang sebagai pasar. Bila dilihat hampir sama seperti Pasar
Gang Tengkon Magelang. Barang-barang yang dijajakan selain jajanan khas pasar,
juga kebutuhan dapur sehari-hari. Namun sayangnya, tempat ini cukup kumuh. Lihat
saja atap peneduh bagian tengah yang dibuat seadanya dengan kain/plastik.
**
Mengenang Rm. Van Lith
Pukul
setengah sebelas siang, kami sampai di kompleks Pasturan. Begitu datang kami
disambut dengan kemegahan Gereja Santo Antonius, belum selesai mengagumi
keindahan arsitekturnya, tidak kalah adalah Gedung Pasturan. Bangunan art deco
itu dibangun tahun 1916 bertingkat tiga. Model bangunannya amazing sekali.
Gereja St. Antonius |
Gedung Pasturan |
Sembari
menunggu Sang Romo, kami beristirahat dan sesekali mengobrol. Saya termasuk
yang beruntung mendapat buku gratis yang masih kinyis-kinyis walaupun ternyata
setelah saya lihat itu buku tahun 1994. Untuk masuk gedung pasturan ini harus
melalui tangga utama dan berjumpa dengan sebuah teras luas khas Eropa. Tegel yang
digunakan sangat klasik sekali. Kali ini teman saya Gusta dan Mameth yang
kegirangan melihat seni tegel itu.
Limabelasan
menit kemudian, Romo pun keluar dengan pakaian santai. Berkaus biru, celana
jeans dan sandal jepit, beliau mulai menyambut kami “ Terimakasih sekali saya
ucapkan kepada kawan-kawan Komunitas Kota Toea Magelang. Bahwa tempat ini
memang merupakan sebuah kompleks yang sangat bersejarah” Romo bernama Kristiono Purwadi itu tampak santai, humoris tapi berwibawa. Beliau menjelaskan sepak
terjang misionaris Katholik di Jawa yang berawal dari Kota Muntilan ini. Bahwa pada
sekitar pertengahan tahun 1800, penyebaran Katholik di Jawa di mulai. Sekolah yang
kini merupakan SMA Van Lith, sebelumnya adalah SPG Van Lith dan jauh sebelumnya
merupakan sekolah kolese bagi para calon pastor. “beberapa orang penting dalam
misi agama Katholik merupakan lulusan sekolah itu. Ada Cornelius Simanjuntak,
MGR Soegijapranata, dan lain-lain” sambungnya.
Romo Kristiono Purwadi memberikan penjelasan |
Sang
Romo yang berrambut gondrong itu juga bercerita tentang tokoh yang sangat
terkenal. Van Lith namanya. Van Lith merupakan utusan dari Kerajaan Belanda yang
ditugaskan untuk misi penyebaran agama Katholik yang ditugaskan di Muntilan. Berbeda
dengan misionaris lain, Van Lith dalam dakwahnya menggunakan pendekatan budaya.
Dimana dia senantiasa menghargai adat istiadat orang Jawa. Langkah itu tidak
juga berjalan mulus hingga dia pun panen kritikan. Sampai pada suatu saat
tersebutlah kisah Sarikromo yang merupakan warga wilayah Sendangsono kala itu
sakit kakinya hingga tidak bisa berjalan. Karena lukanya yang mengeluarkan bau
tidak sedap, Sarikromo bahkan setiap harinya harus tidur di luar rumah. Melalui
firasat mimpinya yang ditemui oleh seorang berjubah putih, Sarikromo berjalan ngesot hingga Muntilan dan bertemu
dengan Van Lith. Oleh Romo, Sarikromo diobati hingga sembuh dan dapat berjalan
normal kembali sehingga dia sangat segan dan hormat kepada Van Lith dan
akhirnya memeluk ajaran Katholik serta dibaptis dengan nama Barnabas.
Berbekal
Alkitab pemberian Sang Romo, Barnabas Sarikromo pulang ke kampung halaman dan memulai
berdakwah. Dalam waktu singkat, dia bahkan sanggup mengajak 171 warga
kampungnya untuk memeluk ajaran Katholik. Prosesi pembaptisan 171 orang
tersebut dilakukan oleh Van Lith bertempat di sebuah mata air yang kini
terkenal dengan nama Sendang Sono. Mata air yang dahulunya dikeramatkan
penduduk sekitar, kini berkembang menjadi tempat sakral dan menjadi jujugan
peziarah.
Para peserta berfoto bersama di depan gedung Pasturan |
Puas
mendengarkan kiprah Van Lith, kami
diajak mengunjungi Gereja Santo Antonius. Gereja ini sudah ada sebelum Pasturan
ada. Menurut informasi yang saya dapat pembangunan gereja itu sudah sejak tahun
1914. Bila pernah melihat klip November Rain, gambaran interior gereja kurang
lebih sama. Romo Kris menjelaskan kepada kami dari atas mimbar khotbah. “Arsitektur
bangunan ini memang diusahakan menjauhi kesan londo (belanda) diupayakan dengan
model Jawa. Contohnya adalah lukisan dedaunan pada altar utama. Itu adalah
kebudayaan kita, kebudayaan Jawa” paparnya.
Interior gereja |
Saya
juga berkesempatan menaiki lantai dua yang digunakan sebagai tempat menyimpan
gamelan. Selain itu, di sisi kanan gereja, ada tiga ruangan yang digunakan
sebagai ruang pengakuan dosa. Saya sempat masuk ke dalamnya. Ada sebuah kursi
dingklik berbusa yang digunakan oleh jemaat dengan cara berlutut menghadap Romo
yang ditunjuk sesuai dengan nama yang tertera pada bidang kamar yang
berhadapan.
Karena
waktu yang terbatas, akhirnya kunjungan di Gereja Santo Antonius harus berakhir
dan kami segera melanjutkan ke lokasi selanjutnya masih di kompleks Pasturan.
Melawat ke Museum Misi
Latar depan Museum Misi Muntilan. Tampak Patung Rm Van Lith |
Adalah
Museum Misi. Sebuah bangunan baru dengan dilengkapi kolam dibagian depannya. Patung
Van Lith menghiasi bagian tengah kolam tersebut. Dibangun pada sekitar tahun
2008, museum ini berfungsi sebagai tempat koleksi barang-barang peninggalan
para Romo, Uskup, Pastur dan sebagainya. Kami disambut oleh Pak Gito yang
memutarkan film tentang kiprah Van Lith. Setelah itu kami diajak untuk berkeliling hingga lantai dua
untuk melihat koleksi museum. Secara ringkas, koleksi yang ada disini adalah
baju-baju para Uskup, para Romo, para Pastur, kemudian juga ada kursi, altar
dan mimbar yang digunakan oleh Paus Yohannes Paulus II saat perayaan misa akbar
di Yogyakarta 1989 silam.
Masih
ditempat yang sama, beragam koleksi foto juga ditampilkan untuk menambah
pengetahuan tentang sejarah serta perkembangan agama Katholik khususnya di Jawa
Tengah.
Belum
lengkap rasanya jika kunjungan kami
belum sampai di Kerkhoff. Lidah jawa biasa menyebutnya Kerkop. Lokasinya ada di
seberang SMA Van Lith. Kerkhoff ini merupakan salah satu tempat ziarah umat
Katholik dan salah satu nisan adalah tempat dimana Van Lith bersemayam. Di kerkhoff
yang hijau dan asri ini juga ditemui sebuah tempat semacam tempat berdoa
(ekaristi?) dengan belasan makam model loker yang nama-namanya terpahat pada
batu dimasing-masing makamnya, lengkap dengan tempat lilin.
Hujan
gerimis mulai turun, waktu menunjukkan pukul 12.30. Beberapa diantara kami
segera membuka payung dan jas hujan untuk perjalanan pulang ke Warung Makan
Tempo Doeloe. 20 menit kemudian kami sampai dan disambut oleh hidangan
pedesaan. Kluban dengan lauk tahu tempe goreng ditambah dengan peyek teri plus
minuman kesegaran, es beras kencur. Warung makan yang tidak terlalu luas
membuat beberapa peserta terpaksa lesehan. Tapi tetap tidak mengurangi
kenikmatan makan siang setelah berjalan bolak-balik sekitar 2,5 Km PP ini.
Menu makan siang (inzet) |
Pukul
13,45 acara ditutup dan saya pun segera bergegas untuk menuju ke Terminal
Muntilan untuk menunaikan shalat dhuhur, mandi dan mencegat bis ke Semarang.
Sampai jumpa di event selanjutnya!
Gambar lainnya :
Persiapan pemberangkatan |
Pakdhe Wotok dan Mas Agus (kru KTM) |
Rumah bergaya Jengki |
Rumah model Thailand |
Gang Tegalslerem komoditas arang |
Rumah agak modern |
Gerbang TITD Hok An Kiong |
Ornamen dalam Keleteng |
Hamid Anwar |
Eks. Bioskop Arjuna |
Rumah bergaya kolonial perpaduan china |
Hotel Purnama I. Hotel yang ingin saya coba :D |
Salah satu rumah tua |
Kompleks SMP Kanisius Muntilan |
Kursi jemaat di Gereja St. Antonius (kursi asli?) |
Gereja St. Antonius tampak dari Jl. Kartini |
Bruderan FIC |
Perjalanan pulang |
Rumah heritage |
Suasana makan siang |
wah, seneng ya kalau bisa lihat kerukunan umat beragama kyak gini..
ReplyDelete@i Jeverson :
ReplyDeleteiya dong. Makanya ayok ke Magelang ikut trip trip seru selanjutnya :D :D
postingnya manteb mas Hamid!
ReplyDeletebikin kangen Muntilan.. :)
Salam Kenal ya,
@Indra :
ReplyDeleteHehe.. terimakasih mas. Salam kenal juga.
Salam..
mas kalo mau join event2 ktm gmn yah?
ReplyDelete@Sasa : join aja FB Kota Toea Magelang. Setiap ada event selalu terbuka untuk umum. Tinggal ikuti informasinya dan daftar.
ReplyDeleteAq jg orang muntilan asli setiap pulang sekolah pasti lewat depan klenteng dan jga sering bermain sepak bola di lap.pasturan tapi belum pernah menjelajahi sejarahnya😣😣
ReplyDeleteNah tu kaan
Deleteweh jd kangen gudheg mbah djayus sm kupat tahu sayangan.... teringa inga waktu sekul tk sd smp d muntilan..he he
ReplyDeleteTerimakasih sudah mampir blog saya, ya!
DeleteWah hebat mas, sy wong muntilan malah blm pernah jelajahi spt ini .
ReplyDeleteBagus... Mantab... Lanjut mas bro.