Saturday, February 21, 2015

Djeladjah Moentilan : Mengenal Lebih Dekat Kelenteng Hok An Kiong dan Pasturan Muntilan


Kamis (19/2) pagi ini bertepatan dengan limur Imlek 2015, jam tujuh pagi saya sudah tiba di Terminal Tidar, Kota Magelang. Setelah menyempatkan sarapan dengan bekal dari rumah, mas Yudha datang menghampiri saya. Kita memang sudah janjian, saya minta tolong mbonceng menuju ke Metro Square.

Lokasi titik kumpul kami ada di depan kios oleh-oleh Endang Jaya. Kiranya, sudah ada 50-an yang datang untuk mengikuti event hari ini. Ya, seperti biasa berdekatan dengan perayaan Imlek, komunitas Kota Toea Magelang (KTM) rutin menggelar kegiatan napak tilas sejarah. Sukses dengan agenda Djeladjah Petjinan #1 dan #2, kali ini KTM mengambil trip yang agak jauh. Ke Muntilan.
para peserta berfoto sebelum keberangkatan

Dalam rangka tahun baru kambing ini, tajuk Djeladjah Petjinan sementara tidak digunakan mengingat rangkaian acara nantinya, selain mengunjungi Kelenteng Muntilan, kami juga akan melawat ke Pasturan sehingga disepakati tema Djeladjah Moentilan.

Ada banyak anggota-anggota baru dalam event kali ini. Luar biasa istimewa! Kalau saya boleh jujur, banyak peserta yang saya belum kenal dan tidak sempat berkenalan. Setelah semua peserta mendaftar ulang dengan membayar 15,000 rupiah kami mendapat fasilitas snack, air mineral, makalah dan free service makan siang nantinya.

“terimakasih kami ucapkan kepada seluruh peserta yang sudah mendaftar pada event kali ini. Pada kegiatan ini jumlah peserta tembus hingga 100 orang” buka koordinator KTM, Bagus Priyana dalam sambutan briefingnya. Dia menjelaskan tentang rute dan jadwal kunjungan sementara sebagai pembuka, kami berdoa dipimpin oleh salah seorang senior KTM, Pak Soli Saroso. 

Pukul 08.00 kami bertolak menuju Muntilan. Hanya butuh waktu kurang dari 30 menit kami sudah sampai di Warung Tempo Doeloe di bilangan Pucung. Para peserta diminta memarkir motor disitu untuk kemudian langsung mengawali jelajah dengan jalan kaki. Rute yang diambil melewati belakang Pasar Muntilan, kemudian masuk melalui gang Tegalslerem. Saya berada dibagian agak belakang bersama kawan-kawan akrab saya, Ryan, Anglir, Ake Ru, Gusta, Mameth dan Adhi Okta. 
Para peserta tiba di WM Tempo Doeloe
Awal jelajah

Gang-gang sempit Muntilan ternyata menawarkan pesona tersendiri. Tampaknya, sampai sekarang ini gaya rumahnya bercampur baur. Lihat saja sebuah rumah hijau bergaya art deco, atau rumah susun yang saya anggap mewakili model Thailand, dan juga arsitektur jengki mewarnai sepanjang perjalanan. Bahkan di salah satu rute, kami menemukan pemukiman padat dengan paduan sungai dan rumah sederhana yang bertingkat-tingkat. “mirip dalam film Toy Story, eh Police Story” kata Ryan. “Bisa untuk syuting James Bond” timpal saya diikuti cekikian kami. “Hahaha”
 
Rumah hijau bergaya art decco
Tanpa terasa kami menembus gang di sebelah Pegadaian yang artinya kami sudah sampai di halaman Kelenteng Hok An Kiong. Disana nampak Om Andreas dan Mbak Maria Kristina sibuk menyiapkan sesuatu. Owalah, jebulnya kami disuguh pertunjukan pantomim yang diperagakan oleh Rebecca Anastasia Hartono, anaknya Om Andreas. Di akhir pertunjukan, Rebecca yang bermakeup putih itu juga membagikan angpao untuk peserta yang beruntung. ;)
Pertunjukan Pantomim

Hio Lo Terbesar se Asia Tenggara
Pak Budi namanya, pria berrambut memutih itu menyambut kami dan memperkenalkan sekilas tentang sejarah rumah ibadah TITD itu. “Kelenteng ini sudah ada sejak sekitar tahun 1900. Lazimnya orang menyebut kelenteng ini dengan nama Kelenteng Muntilan. Dahulunya disebelah kelenteng ini merupakan gedung hiburan sebelum akhirnya dipergunakan menjadi gedung bioskop, Kartika namanya” paparnya. Saya langsung terbayang masa kecil saya di kisaran tahun 1998 yang bila melewati depan gedung bioskop itu selalu ada poster film “saru” yang bikin saya penasaran.
Pak Budhi Hartaja (kanan) berbincang dengan Pak Thomas Panjanghari

Rupanya tidak banyak yang bisa diungkap dari sejarah Kelenteng yang bernama Hok An Kiong ini. Namun dari sumber yang saya dapatkan, bahwa dahulu kelenteng ini ada di seberang bangunan saat ini. Dan kemudian pada tahun 1920 dilakukan renovasi (mungkin) sekaligus memindah gedung ke lokasi saat ini. Kelenteng ini tampak lebih besar jika dibanding kelenteng Liong Hok Bio Magelang. Disini dilengkapi dengan pagar dan disayap kiri ada semacam pagoda berwarna merah “Itu aslinya ada dua, di kanan kiri. Tapi yang di kanan sudah dirubuhkan karena saat itu ada perluasan gedung hiburan. Fungsinya untuk membakar uang emas atau kertas doa setelah umat bersembahyang” jelas Pak Budi.
 
Kami disarankan masuk melalui pintu kiri dengan istilah pintu Naga, ukiran Naga memang terpampang besar dipintu ini. Begitu masuk, kami disambut dengan rak berisi macam-macam hio/dupa lengkap dengan  harga dan tulisan “langsung bayar”. Dibagian ini ornamen-ornamen yang tampak adalah lukisan dan pahatan dinding yang berwujud dewa-dewa. 

Secara umum, ada dua bagian didalam kelenteng ini.  Ditempat saya berpijak merupakan ruang pertama yang didominasi sebuah bejana tembaga besar berdiameter sekitar 1,5 meter. Informasi yang saya dapatkan, bejana tersebut berfungsi untuk menancapkan Hio/dupa. Benda tersebut bernama Hio Lo yang didatangkan langsung dari Negeri Tiongkok dan konon merupakan yang terbesar se Asia Tenggara.

Ruang selanjutnya adalah altar utama. Saya berjumpa dengan Pak Nur Rahmat. Pria 79 tahun itu menjelaskan kepada saya tentang dewa-dewa yang ada di tempat ibadah ini. “Dewa utamanya dewa bumi atau Kong Co Ho Tek Theng Shin” seraya menujuk patung utama. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa dibagian kiri merupakan empat altar dewa yaitu, Buddha Muda, Buddha Tua, Nabi Konghuchu dan Dewi Kwan Im. “bila disebelah kanan ada beberapa dewa diantaranya, dewa keadilan untuk berdoa mencari barang yang hilang, atau dewa welas asih untuk berdoa memohon jodoh, dan juga dewa obat untuk berdoa memohon kesembuhan. Semua doa disesuaikan dengan maksud doanya” tutup pria yang mengaku sudah bekerja selama 18 tahun itu. Saya pun berterimakasih dan kemudian beranjak keluar karena waktu kunjungan tampaknya sudah habis.
Para peserta berfoto dengan latar gerbang Kelenteng

Lepas dari Hok An Kiong, kami menyusur pecinan Jalan Pemuda dan memotreti bangunan-bangunan yang khas dan terkesan heritage. Rata-rata model bangunannya kolonial dengan sentuhan cina. Gusta yang selama ini terkenal dengan “mblusukmen” nya tertantang untuk mencari dan memotret tegel khas.

Selain itu kami juga dilewatkan melalui Pasar Jambu. Sebuah simpul ekonomi yang memanfaatkan sebuah gang sebagai pasar. Bila dilihat hampir sama seperti Pasar Gang Tengkon Magelang. Barang-barang yang dijajakan selain jajanan khas pasar, juga kebutuhan dapur sehari-hari. Namun sayangnya, tempat ini cukup kumuh. Lihat saja atap peneduh bagian tengah yang dibuat seadanya dengan kain/plastik.

**
Mengenang Rm. Van Lith
Pukul setengah sebelas siang, kami sampai di kompleks Pasturan. Begitu datang kami disambut dengan kemegahan Gereja Santo Antonius, belum selesai mengagumi keindahan arsitekturnya, tidak kalah adalah Gedung Pasturan. Bangunan art deco itu dibangun tahun 1916 bertingkat tiga. Model bangunannya amazing sekali.
Gereja St. Antonius

Gedung Pasturan
Sembari menunggu Sang Romo, kami beristirahat dan sesekali mengobrol. Saya termasuk yang beruntung mendapat buku gratis yang masih kinyis-kinyis walaupun ternyata setelah saya lihat itu buku tahun 1994. Untuk masuk gedung pasturan ini harus melalui tangga utama dan berjumpa dengan sebuah teras luas khas Eropa. Tegel yang digunakan sangat klasik sekali. Kali ini teman saya Gusta dan Mameth yang kegirangan melihat seni tegel itu.


Limabelasan menit kemudian, Romo pun keluar dengan pakaian santai. Berkaus biru, celana jeans dan sandal jepit, beliau mulai menyambut kami “ Terimakasih sekali saya ucapkan kepada kawan-kawan Komunitas Kota Toea Magelang. Bahwa tempat ini memang merupakan sebuah kompleks yang sangat bersejarah” Romo  bernama Kristiono Purwadi itu tampak santai, humoris tapi berwibawa. Beliau menjelaskan sepak terjang misionaris Katholik di Jawa yang berawal dari Kota Muntilan ini. Bahwa pada sekitar pertengahan tahun 1800, penyebaran Katholik di Jawa di mulai. Sekolah yang kini merupakan SMA Van Lith, sebelumnya adalah SPG Van Lith dan jauh sebelumnya merupakan sekolah kolese bagi para calon pastor. “beberapa orang penting dalam misi agama Katholik merupakan lulusan sekolah itu. Ada Cornelius Simanjuntak, MGR Soegijapranata, dan lain-lain” sambungnya.
Romo Kristiono Purwadi memberikan penjelasan

Sang Romo yang berrambut gondrong itu juga bercerita tentang tokoh yang sangat terkenal. Van Lith namanya. Van Lith merupakan utusan dari Kerajaan Belanda yang ditugaskan untuk misi penyebaran agama Katholik yang ditugaskan di Muntilan. Berbeda dengan misionaris lain, Van Lith dalam dakwahnya menggunakan pendekatan budaya. Dimana dia senantiasa menghargai adat istiadat orang Jawa. Langkah itu tidak juga berjalan mulus hingga dia pun panen kritikan. Sampai pada suatu saat tersebutlah kisah Sarikromo yang merupakan warga wilayah Sendangsono kala itu sakit kakinya hingga tidak bisa berjalan. Karena lukanya yang mengeluarkan bau tidak sedap, Sarikromo bahkan setiap harinya harus tidur di luar rumah. Melalui firasat mimpinya yang ditemui oleh seorang berjubah putih, Sarikromo berjalan ngesot hingga Muntilan dan bertemu dengan Van Lith. Oleh Romo, Sarikromo diobati hingga sembuh dan dapat berjalan normal kembali sehingga dia sangat segan dan hormat kepada Van Lith dan akhirnya memeluk ajaran Katholik serta dibaptis dengan nama Barnabas.

Berbekal Alkitab pemberian Sang Romo, Barnabas Sarikromo pulang ke kampung halaman dan memulai berdakwah. Dalam waktu singkat, dia bahkan sanggup mengajak 171 warga kampungnya untuk memeluk ajaran Katholik. Prosesi pembaptisan 171 orang tersebut dilakukan oleh Van Lith bertempat di sebuah mata air yang kini terkenal dengan nama Sendang Sono. Mata air yang dahulunya dikeramatkan penduduk sekitar, kini berkembang menjadi tempat sakral dan menjadi jujugan peziarah.
Para peserta berfoto bersama di depan gedung Pasturan

Puas mendengarkan kiprah Van Lith,  kami diajak mengunjungi Gereja Santo Antonius. Gereja ini sudah ada sebelum Pasturan ada. Menurut informasi yang saya dapat pembangunan gereja itu sudah sejak tahun 1914. Bila pernah melihat klip November Rain, gambaran interior gereja kurang lebih sama. Romo Kris menjelaskan kepada kami dari atas mimbar khotbah. “Arsitektur bangunan ini memang diusahakan menjauhi kesan londo (belanda) diupayakan dengan model Jawa. Contohnya adalah lukisan dedaunan pada altar utama. Itu adalah kebudayaan kita, kebudayaan Jawa” paparnya. 
Interior gereja
Saya juga berkesempatan menaiki lantai dua yang digunakan sebagai tempat menyimpan gamelan. Selain itu, di sisi kanan gereja, ada tiga ruangan yang digunakan sebagai ruang pengakuan dosa. Saya sempat masuk ke dalamnya. Ada sebuah kursi dingklik berbusa yang digunakan oleh jemaat dengan cara berlutut menghadap Romo yang ditunjuk sesuai dengan nama yang tertera pada bidang kamar yang berhadapan. 

Karena waktu yang terbatas, akhirnya kunjungan di Gereja Santo Antonius harus berakhir dan kami segera melanjutkan ke lokasi selanjutnya masih di kompleks Pasturan. 

Melawat ke Museum Misi
Latar depan Museum Misi Muntilan. Tampak Patung Rm Van Lith
Adalah Museum Misi. Sebuah bangunan baru dengan dilengkapi kolam dibagian depannya. Patung Van Lith menghiasi bagian tengah kolam tersebut. Dibangun pada sekitar tahun 2008, museum ini berfungsi sebagai tempat koleksi barang-barang peninggalan para Romo, Uskup, Pastur dan sebagainya. Kami disambut oleh Pak Gito yang memutarkan film tentang kiprah Van Lith. Setelah itu kami  diajak untuk berkeliling hingga lantai dua untuk melihat koleksi museum. Secara ringkas, koleksi yang ada disini adalah baju-baju para Uskup, para Romo, para Pastur, kemudian juga ada kursi, altar dan mimbar yang digunakan oleh Paus Yohannes Paulus II saat perayaan misa akbar di Yogyakarta 1989 silam.
 

Masih ditempat yang sama, beragam koleksi foto juga ditampilkan untuk menambah pengetahuan tentang sejarah serta perkembangan agama Katholik khususnya di Jawa Tengah. 

Belum lengkap rasanya jika  kunjungan kami belum sampai di Kerkhoff. Lidah jawa biasa menyebutnya Kerkop. Lokasinya ada di seberang SMA Van Lith. Kerkhoff ini merupakan salah satu tempat ziarah umat Katholik dan salah satu nisan adalah tempat dimana Van Lith bersemayam. Di kerkhoff yang hijau dan asri ini juga ditemui sebuah tempat semacam tempat berdoa (ekaristi?) dengan belasan makam model loker yang nama-namanya terpahat pada batu dimasing-masing makamnya, lengkap dengan tempat lilin. 
 
Kherkoff Muntilan

Makam Van Lith
Makam model loker
Hujan gerimis mulai turun, waktu menunjukkan pukul 12.30. Beberapa diantara kami segera membuka payung dan jas hujan untuk perjalanan pulang ke Warung Makan Tempo Doeloe. 20 menit kemudian kami sampai dan disambut oleh hidangan pedesaan. Kluban dengan lauk tahu tempe goreng ditambah dengan peyek teri plus minuman kesegaran, es beras kencur. Warung makan yang tidak terlalu luas membuat beberapa peserta terpaksa lesehan. Tapi tetap tidak mengurangi kenikmatan makan siang setelah berjalan bolak-balik sekitar 2,5 Km PP ini.
Menu makan siang (inzet)

Pukul 13,45 acara ditutup dan saya pun segera bergegas untuk menuju ke Terminal Muntilan untuk menunaikan shalat dhuhur, mandi dan mencegat bis ke Semarang. Sampai jumpa di event selanjutnya!

Gambar lainnya :





Persiapan pemberangkatan





Pakdhe Wotok dan Mas Agus (kru KTM)

Rumah bergaya Jengki

Rumah model Thailand

Gang Tegalslerem komoditas arang





Rumah agak modern
 
Gerbang TITD Hok An Kiong



Ornamen dalam Keleteng



Hamid Anwar

Eks. Bioskop Arjuna


 
Rumah bergaya kolonial perpaduan china

Hotel Purnama I. Hotel yang ingin saya coba :D

Salah satu rumah tua

Kompleks SMP Kanisius Muntilan
 
Kursi jemaat di Gereja St. Antonius (kursi asli?)



Gereja St. Antonius tampak dari Jl. Kartini

Bruderan FIC




Perjalanan pulang

Rumah heritage



Suasana makan siang

11 comments:

  1. wah, seneng ya kalau bisa lihat kerukunan umat beragama kyak gini..

    ReplyDelete
  2. @i Jeverson :
    iya dong. Makanya ayok ke Magelang ikut trip trip seru selanjutnya :D :D

    ReplyDelete
  3. postingnya manteb mas Hamid!
    bikin kangen Muntilan.. :)

    Salam Kenal ya,

    ReplyDelete
  4. @Indra :
    Hehe.. terimakasih mas. Salam kenal juga.

    Salam..

    ReplyDelete
  5. mas kalo mau join event2 ktm gmn yah?

    ReplyDelete
  6. @Sasa : join aja FB Kota Toea Magelang. Setiap ada event selalu terbuka untuk umum. Tinggal ikuti informasinya dan daftar.

    ReplyDelete
  7. Aq jg orang muntilan asli setiap pulang sekolah pasti lewat depan klenteng dan jga sering bermain sepak bola di lap.pasturan tapi belum pernah menjelajahi sejarahnya😣😣

    ReplyDelete
  8. weh jd kangen gudheg mbah djayus sm kupat tahu sayangan.... teringa inga waktu sekul tk sd smp d muntilan..he he

    ReplyDelete
  9. Wah hebat mas, sy wong muntilan malah blm pernah jelajahi spt ini .
    Bagus... Mantab... Lanjut mas bro.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...