Monday, May 8, 2017

Melancong Sebentar ke Kebumen



Saya sebenarnya sudah agak lama ingin ke Kebumen. Dulu jaman saya masih bekerja sebagai teknisi fingerprint, cukup seringlah ke Kebumen. Tapi yang sebenarnya membekas di hati adalah tentang perjalanan itu sendiri. Saya sering kali bepergian menggunakan motor. Menyenangkan, memang. Dan dari perjalanan-perjalanan itu kadang timbul rasa kangen. Kangen memang bisa menyerang siapa saja dan di mana saja.

Rasanya kok sudah lama sekali tidak lewat daerah sana. Rasanya pingin saja gitu lewat jalanan pantai selatan jawa karena mungkin saya terakhir kali kesana sudah agak lama. Terakhir malah hanya sampai Purworejo sekitar 4 tahun yang lalu. Sebelumnya mungkin sudah sekitar tahun 2010. Sudah tujuh tahun berlalu, ya maklum saja kalo sudah ngangenin.

Beberapa kali saya merekomendasikan Tika untuk pergi ke Kebumen. Tetapi dia sepertinya belum tertarik dan jauh, katanya. Lha kok ndilalah kemarin ada sedikit pekerjaan yang mengharuskan saya kesana, saya bisa libur juga. Kebetulan pas sendiri dirumah juga. Oke, akhirnya deal deh saya Sabtu kemarin (22/4/17) ke Kebumen.
Perjalanan berangkat dari Tegal Sikluwih

Perjalanan dimulai dari rumah Magelang dengan motor smash yang usianya sudah 10 tahun. Kemarin ia habis servis dan ganti olie sehingga tarikannya nyaris sama seperti motor NMAX. Pukul 6 pagi saya berangkat dari rumah dengan harapan saya bisa pulang tidak terlalu sore. Maklum musim hujan.

Saya pun merasa sangat antusias. Dengan tangan kanan menggeber gas, dan tangan kiri memegang pocket camera yang bisa selalu standby mengcapture suasana perjalanan. Ah, tapi kamera poket saya sudah agak rusak. Tidak maksimal hasilnya. Beberapa ruas jalan ternyata sudah berbenah. Diantaranya adalah jembatan yang dulu hanya satu kini menjadi dua. Seperti di turunan daerah Bener, dan jembatan di Loano. 
Gapura perbatasan Magelang - Purworejo

Jembatan yang sudah berubah dari terakhir saya lewat

Sesaat sebelum sampai di alun-alun Purworejo, saya malah terhadang razia polisi. Untung saya selalu komplit membawa surat-surat. Seperti surat nikah, sertifikat tanah, dan ijazah terakhir. Akhirnya saya pun berhasil melenggang dengan sentausa. Dalam kota Purworejo sendiri tidak banyak berubah. Tetapi bekas bioskop Bagelen ternyata sudah dirubuhkan dan dibangun gedung kesenian. Ah, bioskop lawas..
Salah satu landmark kota Purworejo, Patung WR Supratman

Perjalanan selepas Purworejo, aspal sudah begitu lebar dan mulus semulus kaki wanita. Saya pun memancal gas 1000 mil per minggu. Lumayan, sepagi ini udara masih begitu bersih dan tak henti-hentinya saya lihat-lihat kanan kiri jalan mengingat ingat .

“Dulu disini tidak seperti ini, sekarang sudah berubah”.

Nggak tahu kenapa rasanya seneng aja membanding-bandingkan. Asal tidak membandingkan istri dengan istri tetangga..

Sarapan Nasi Penggel
Selamat datang di Kebumen
Sesampainya saya di Kutowinangun, saya terhenti karena ada pekerjaan perbaikan jembatan. Antrian mengular hingga sekitar 1 kilometer. Untung saya membawa sigesit irit sehingga bisa nelisip-nelisip meski tetap harus ikut buka tutup. Saya lihat jam di hape ternyata sudah pukul delapan.
Penyebab kemacetan

“Wah, jangan-jangan sarapan dambaan saya nanti sudah habis..” batin saya kacau.

Lha lak tenan, saya masuk kota Kebumen sudah lebih dari jam delapan. Itu artinya saya gagal menepati target saya dua jam perjalanan. Gara-gara perbaikan jembatan, sih. Ah sudahlah.
Tugu Lawet, landmark Kota Kebumen
Kota Kebumen sebenarnya tidak terlalu luas. Saya masuk kota dan menemui landmark Kebumen, Tugu Lawet. Dari sana, saya mengarah saja ke alun-alun. Sepanjang jalan Pahlawan, sebelum sampai alun-alun, median jalan dihiasi dengan tulisan-tulisan Asmaul Husna. Seperti di Kota Demak.

Dulu saya sering ke Kebumen dan waktu itu belum jamannya orang pamer makanan via media sosial. Kalau ada sih, baru sedikit. Dan waktu itu pula saya belum tahu kalau di Kebumen ada kuliner Nasi Penggel. Lha wong malah di acara MTMA juga si Densu pernah pamer makan itu disana. Untuk menuju ke sentra nasi penggel, jalurnya adalah dari alun-alun ke barat, kemudian belok kanan kemudian lurus, kemudian Tanya orang… dan seterusnya. Tapi saya males sodara-sodara. Males nyarinya :D

Berdasar beberapa referensi blog yang saya baca beberapa waktu sebelumnya, ada seorang bapak penjual Nasi Penggel yang standby di alun-alun, seberang Masjid Agung yang membuka dagangannya sedari pagi hingga sekitar jam 8-9. Nah, ini dia tujuan saya sebenarnya.

Gerobak itu tampak sederhana saja dan bertuliskan stiker merah berbunyi NASI PENGGEL. Penjualnya seorang bapak yang sudah cukup sepuh. Tampaknya dagangannya sudah ludes. Hal itu terlihat karena ia tampak beberes. Begitu saya memarkir motor dan menghampirinya..

“Habis, mas.. maklum liburan..” ucap si Bapak dengan logat ngapak.
“Waduh.. lentune mriki pundi, pak?” Tanya saya dalam bahasa jawa yang halus dan lembut
“Niko mas, bawah pohon beringin besar, tapi beda lhooooo” balasnya sambil guyon.

Berdasarkan informasi yang saya peroleh, sebenarnya nasi penggel bapak ini adalah salah satu yang legend. Dan kalau ada lainnya, itu artinya ia tidak menjamin akan kelezatannya. Ah, apa lacur, saya pun berucap terimakasih dan meluncur mengitari alun-alun dan menemukan beberapa ibuk-ibuk bergerombol berjualan tanpa ada tulisan. Namun, sepertinya itu yang dimaksud si bapak tadi.




“Jualan apa buk?” sapa saya
“mau dhahar, mas? Nasi penggel..”

Saya pun segera memarkir motor dan si ibuk tadi mengambil selembar daun pisang sebagai alas dari nasi yang telah dibunder-bunder. Ia mengambilkan saya sekitar 12 butir. Dan saya minta dikurangi sehingga ada 10 butir saja. Takut kekenyangan.

“sayur dan lauk ambil sendiri, mas. Ada telur, babat, kikil..”

Dan saya kemudian mengambil sayur teman nasi penggel. Sayur nangka dengan daun singkong berkuah kental. Kemudian ada sayur tahu berkuah kuning kecokelatan, dan lauk-lauk dengan kuah kekuningan. Yang praktis saja, dan saya memilih telur semur sebagai lauk. Juga beberapa potong tempe mendoan.
 
Pagi di kota orang, cuaca cerah, hawane adem, dan sarapan makanan khas. Maka nikmat apakah yang kau dustakan? Slurp.. Nasi Penggel ini nasi yang dibuletin semacam onigiri, mungkin. Hehehe. Nasinya gurih dan setelah bercampur dengan kuah dan sayurannya tampilannya biasa saja seperti nasi pada umumnya. Citarasa sayurnya cenderung ke arah manis. Overall, secara rasa sebenarnya tidak ada yang spesial. Hanya kekhasan dan keunikannya itu yang istimewa. Harganya, untuk seporsi nasi penggel dengan lauk telur, segelas teh hangat, dan sepotong mendoan cukup 12 ribu. Harga yang pantas.

Perut telah kenyang, saatnya menunaikan tugas. Saya pun langsung menuju arah timur laut kota dan mengerjakan apa yang harus saya kerjakan. Mburuh membetulkan aplikasi absen digital. Dan seperti yang sudah saya kira dari rumah, masalah ini tidak terlalu pelik. Hanya butuh ketelitian. Dan setelah satu jam lebih sedikit masalah pun teratasi dan tuntas!

Menyambangi Roemah Martha Tilaar
Perjalanan dari Kebumen ke Gombong naik kereta api
Waktu menunjukkan pukul 10 lebih sedikit. Saya pun akhirnya memutuskan untuk tidak langsung pulang. Tapi, mending saya bablas sebentar ke Gombong untuk menuju ke salah satu tempat wisata heritage yang tengah hits. Roemah Martha Tilaar.
Perjalanan ke Gombong berpapasan bus Eka Surabaya - Purwokerto
 
Agak sulit menemukan lokasi ini. Patokannya hanya satu. Jalan Sempor Lama, Gombong. Ciri-ciri jalan ini adalah jalan yang lebarnya sedang, dan banyak bangunan tua bernafaskan arsitektur Tiongkok. Nah jika sudah ketemu jalan itu, langsung saja masuk gang dan sekitar 300 meter kemudian TKP sudah bisa ditemukan di kiri jalan.

Roemah Martha Tilaar, adalah sebuah museum yang telah dibuka sejak Desember 2014 lalu. Martha Handana yang kini dikenal dengan Martha Tilaar, lahir dan menghabiskan masa kecilnya di Gombong hingga usia 10 tahun. Di rumah inilah ia tinggal dan mewarisi bekal-bekal ilmu peracikan jejamuan dari orang tuanya.
 
Cerita tentang rumah berangka tahun 1920 ini berawal dari seorang pengusaha Tiongkok bernama Liem Siauw Lan yang kala itu menjadi bisnisman sukses di bidang usaha logistik. Beberapa komoditi yang ia tangani adalah produsen kopra, susu dan daging untuk dipasok ke tangsi militer Belanda di Fort General Cochuis (kini Benteng van der Wijck). Kelak, Liem Siaw Lan ini memiliki cucu yang bernama Martha Tilaar.
 

Setelah membeli tiket seharga Rp. 15,000,- saya kemudian diajak Tony- pemandu, untuk berkeliling dan ia pun mulai bercerita tentang segala sesuatu di rumah ini.

Kehidupan Martha sejak kecil telah tertanam jiwa wirausaha. Ia belajar membuat aksesoris dari biji-bijian dan menjualnya didepan rumah. Selain itu, ia juga acapkali menjual mangga yang berbuah didepan rumahnya kepada orang-orang yang lewat. Malahan ia panjat sendiri itu pohon mangga yang kini masih menjulang didepan rumah.
 
Rumah bergaya arsitektur indische empire ini dibangun pada 1920 dan memiliki beberapa ruang. Diantaranya teras dengan perabotan mebel yang kuno, dengan lantai tegel yang masih asli, kemudian ruang tamu dengan salah satu bagiannya adalah altar untuk berdoa, juga beberapa kamar tidur yang susunannya simetris.
 
Lorong utama rumah ini menghubungkan langsung teras depan dengan teras belakang yang juga berfungsi sebagai ruang makan. Di dinding-dinding ruangan, terpajang foto-foto keluarga Liem Siaw Lan bahkan foto Martha Tilaar sewaktu kecil juga ada. Selain itu, juga dipajang silsilah keluarga secara mendetail.

Di rumah bagian belakang, ada beberapa kursi taman dibawah rindangnya pepohonan dengan suasana yang adem sejuk dan lega. Pikiran pun membayangkan suasana waktu dulu, orang-orang membangun rumah dengan sangat detail dan megah dengan kenyamanan yang terjamin.
 
Disamping kiri kanan bangunan utama, dihubungkan oleh selasar dan merupakan kamar-kamar yang dahulu ditempati oleh Yakob Handana, ayah Martha Tilaar dan istrinya, dan juga kamar anak-anak.

Sebelum direhab, rumah ini sempat tidak terawat dan bahkan julukan rumah hantu sudah melekat dibenak masyarakat sekitar. Kini, rumah bercat krem-kuning ini tampak bersih dan indah. Semua perabotan ditata semirip mungkin dengan kondisi aslinya. Rumah ini kini difungsikan sebagai tempat wisata heritage edukasi dengan manajemen yang bisa saya bilang, profesional.



Isi salah satu kamar



Teras belakang


Suasana teras yang asri
Gaya teras impian saya :D



**
Panjer dan Bioskop STAR Bodol


Cuaca jalur pantai selatan siang ini terasa begitu terik. Mungkin muka saya sudah kusam dan butuh disiram dengan sabun muka supaya segar. Perjalanan Gombong-Kebumen yang sebenarnya tidak terlalu jauh nyatanya memang terasa tidak lama. Lha iya. Sampai di Kebumen, saya ingat beberapa artikel yang pernah saya baca tempo hari. Tentang sebuah daerah bernama Panjer.

Dari Tugulawet saya melintasi jalan Pemuda ke arah selatan dan tidak lama kemudian, di kiri-kanan jalan terlihat beberapa rumah yang terlihat sangat kolonial. Sebagai penggemar heritage, saya pun tiap kesempatan datang langsung menepi dan memotret. Rupa-rupanya tidak terasa saya sudah sampai di pertigaan dengan sebuah bangunan besar di sudutnya. GOR Gembira, namanya.
Gor Gembira yang suasananya siang itu tidak begitu menggembirakan

Sedikit melintas sejarah, GOR Gembira dahulunya adalah satu dari dua gedung bioskop di Kebumen. Namanya Bioskop Gembira. Satunya lagi adalah bioskop STAR yang tutup beroperasi sekitar 2010 lalu. Ada cerita unik tentang perbioskopan ini. Dahulu jaman kejayaan bioskop (era 80an) bioskop STAR yang ada di pusat kota, terpaksa pindah ke daerah agak pinggir kota. Bioskop bekas yang berlokasi didekat Tugulawet itupun sempat dibiarkan mangkrak dan oleh masyarakat sekitar disebut dengan STAR Bodol (bodol :rusak). Seiring perkembangan jaman, bioskop Gembira yang beroperasi dikelas bawah pelan pelan tutup. Kemudian, era kejayaan bioskop STAR sendiri sempat sedikit terhempas naik saat sekitar tahun 2000an memutar film-film semacam Ada Apa Dengan Cinta, Eiffel Im in Love, dan lain sebagainya. Ya, meski film itu ditayangkan sudah telat dari jadwal resminya, nyatanya pengunjung datang membludak. Kemungkinan, saat itu masyarakat dan kawula muda merasa ikut trend jika sudah ikut menonton film hits itu di bioskop. Sama, sih seperti kondisi saya dan bioskop di Magelang, saat itu.
Bioskop STAR 'baru' yang menyusul bodol.. (google streetview)
Sayang seribu sayang, tidak sanggup melewati ganasnya persaingan dengan bioskop modern, akhirnya bioskop STAR tumbang juga. Kini bangunannya tertutup pagar dan diselimuti semak belukar. Nyaris tidak ada celah untuk sekedar mengintip. Bangunannya mulai hancur. Kalau mau dihidupkan lagi butuh dana besar. Renovasi gedung, digitalisasi bioskop dan kerjasama distribusi film. Tapi duite sopo, lhawong proyektor bekas aja harganya paling murah 750 juta je.  

Kembali ke Panjer, kawasan ini diperkirakan adalah kawasan pusat pemerintahan pertama sebelum ada kebumen. Dalam sumber disebutkan bahwa dahulu wilayah Kebumen disebut dengan Panjer dengan diangkatnya seorang Bupati/Adipati dibawah Sultan Mataram. Hingga kemudian pada tahun 1830an, penguasa saat itu yang bernama Arungbinang, memindahkan pusat pemerintahan sedikit ke arah barat laut dengan membangun alun-alun, masjid dan rumah serta kantor bupati.
Pendopo Rumah Dinas Bupati Kebumen (streetview)
Masjid Agung Kebumen

DPRD Kebumen selatan alun-alun


Wilayah Panjer sendiri, berkembang berkat adanya salah satu pabrik minyak kelapa Sari Nabati yang kini pun hanya tinggal kenangan. Selain itu, disana juga dibangun pusat kesehatan Zending yang pada masa kolonial merupakan layanan kesehatan sekaligus tempat pengabaran Injil (penyebaran agama Kristen). Zending tersebut hingga beberapa tahun yang lalu menjadi RSUD Kebumen. Masyarakat setempat menyebutnya sendeng. Namun sejak 2013, bangunan ini mulai ditinggalkan karena sudah kurang representatif dan Pemda setempat membangun rumah sakit baru yang jauh lebih layak di Jl. Lingkar Selatan. Tidak jauh pula dari situ, juga terbangun kawasan perumahan militer dan stasiun kereta api.
Bekas gedung RSUD
Panorama bekas kompleks Sendeng
Melihat kondisi Panjer saat ini, masuk akal jika wilayah tersebut diperkirakan pernah menjadi pusat wilayah. Selain itu, juga banyak bangunan-bangunan tua yang masih terawat hingga kini. 

Rumah di sekitaran RSUD




Bangunan tua di sepanjang Jl. Pemuda (beberapa kondisinya terlihat baik)

Kantor GKJ Klasis Kebumen

GKJ Kebumen

GKJ Kebumen


**
Menyeruput Dawet Jembut

Setelah agak puas berkeliling Kebumen, saya pun memutuskan untuk pulang. Sebenarnya saya pingin sekali mencoba makan sate ambal. Tapi kok ya saya masih agak kenyang juga. Nggak usahlah daripada nanti uangnya habis untuk foya foya belaka. Kira-kira siang itu sudah pas tengah hari. Saya melajukan motor ke arah timur. Ada beberapa pekerjaan perbaikan jalan yang mengharuskan saya untuk berhenti sejenak.


Haus pun melanda, dan setelah sampai di perbatasan Kebumen-Purworejo, saya bersiap mencari penjual dawet ireng disebelah kanan jalan. Ah, itu dia. Warung dawet sebelah jembatan Butuh yang sangat ramai, siang itu. Tampak mobil-mobil dan motor berjejer parkir.

“Dawet setunggal, pak”


Pinta saya kepada Pak Wagiman, penjual dawet yang sibuk melayani pembeli. Cendol irengnya ditaruh disebuah plastik besar dimasukkan kedalam tenggok.

Akhirnya semangkuk dawet ireng tersaji didepan saya. Langsung saya slurp... Segar membahana.. Meminum dawet ini mengingatkan saya kepada sensasi saru si dawet ini. Ya, walaupun bernama Dawet hitam manis Pak Wagiman, namun dawet ini kelewat hits dengan nama Dawet Jembut, atau Dawet Jembut Kecabut. Saru, kan? Jembut Kecabut berarti Jembatan Butuh Kecamatan Butuh.
Ndilalah kok ya walaupun sepanjang daerah situ banyak penjual dawet ireng, dawet jembut ini memang paling laris. Apakah karena ada jembutnya atau gimana.. Tapi berdasarkan informasi sih, dawet ini adalah yang pertama ada. Jadi bisa dibilang legend, lah. Kok ya namanya juga menjual banget jadilah tempat ini ramai. Pengunjung sampai ada yang minum dawetnya diteras rumah, dikebun kebun, atau duduk di motor. Saking terbatasnya tempat berjualan yang hanya semacam gubuk berukuran sekitar 6 meter persegi. Harganya worth it, kok. 4000 per mangkuk.
 
Suasana penjualan dawet
***
Kutoarjo Dalam Perjalanan Pulang
Saya sampai Kutoarjo sekitar pukul satu siang. Sudah saatnya saya beristirahat untuk menunaikan ibadah shalat dhuhur. Ini keduakalinya saya mampir di Masjid Agung Kutoarjo. Sebuah masjid dengan lajur shaf yang sangat miring. Kemungkinan saat pembangunannya dahulu ada kekeliruan dalam menentukan arah kiblat. 

Sebagai sebuah kota yang cukup tua, Kutoarjo memiliki beberapa tempat yang cukup storyable secara heritage. Kutoarjo, yang dahulu merupakan sebuah kabupaten dibawah karesidenan Bagelen, memiliki beberapa pusat kegiatan politik dan publik. Dari masjid ini, terlihat hamparan alun-alun yang luas. Disebelah utara alun-alun ada sebuah pintu dengan lorong yang terhubung langsung ke bekas kantor Kawedanan. Jauh sebelum menjadi Kawedanan, bangunan beraksitektur cantik ini adalah kantor bupati yang mana dahulunya wilayah kutoarjo bernama Kabupaten Semawung. Secara bangunan, gedung ini mengadopsi gaya bangunan kolonial dan jawa. Saat ini, rumah ini menjadi rumah dinas Wakil Bupati Purworejo. Beruntunglah pak wakil bupati, njenengan bisa tinggal dirumah klasik nan historis..
Bekas gedung kawedanan (sumber : Lengkong Sanggar)

Konstruksi gedung kawedanan (sumber : Lengkong Sanggar)

Disebelah barat daya, ada tower air yang tinggi menjulang, sedangkan disebelah belakang kantor kawedanan, ada bekas rumah Patih, dan bekas rumah kontrolir. Bangunan-bangunan ini hingga hari ini masih cukup terjaga keasliannya.

Sementara itu, setelah kota Kutoarjo arah ke Purworejo, saya menemukan bangunan legend berikut ini yang merupakan asli jembatan era kolonial yang kini sudah digantikan dengan yang baru. Memang kalau ada yang baru yang lama kemudian ditinggalkan tanpa berperasaan..

Sarana melancong dengan latar belakang jembatan bayan
Selengkapnya tentang sejarah Kutoarjo di sini


**
Perjalanan pulang ke Magelang, saya agak galau antara harus mampir makan siang atau bablas. Lha langit terlihat mendung, saya males nek kehujanan je. Dari Kutoarjo, saya berfikir nanti lah di Purworejo mampir makan. Ahtapi, sesampainya di Purworejo saya hanya njepret-njepret bangunan tua sebentar lalu segera pulang. Nanti saja di Salaman makan siang.
Kantor Bupati Purworejo yang dahulunya merupakan kantor Residen Bagelen


Gereja sebelah selatan alun-alun Purworejo.
Stasiun Purworejo (tidak sempat mampir dan motret selak mendung) sumber streetview
Sampai di Salaman, cuaca semakin buruk. Sepanjang perjalanan Salaman – Borobudur angin bertiup kencang dan gelap menandakan sebentar lagi turun hujan. Akhirnya sekitar 200 meter sebelum sampai rumah, hujan turun dengan menggelora. Dan saya pada akhirnya makan siang dirumah.. Aku rapopo daripada kudanan mending ora sido tuku sate ambal..


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...