Saya
sebenarnya sudah agak lama ingin ke Kebumen. Dulu jaman saya masih bekerja
sebagai teknisi fingerprint, cukup seringlah ke Kebumen. Tapi yang sebenarnya
membekas di hati adalah tentang perjalanan itu sendiri. Saya sering kali
bepergian menggunakan motor. Menyenangkan, memang. Dan dari
perjalanan-perjalanan itu kadang timbul rasa kangen. Kangen memang bisa
menyerang siapa saja dan di mana saja.
Rasanya kok
sudah lama sekali tidak lewat daerah sana. Rasanya pingin saja gitu lewat
jalanan pantai selatan jawa karena mungkin saya terakhir kali kesana sudah agak
lama. Terakhir malah hanya sampai Purworejo sekitar 4 tahun yang lalu.
Sebelumnya mungkin sudah sekitar tahun 2010. Sudah tujuh tahun berlalu, ya
maklum saja kalo sudah ngangenin.
Beberapa
kali saya merekomendasikan Tika untuk pergi ke Kebumen. Tetapi dia sepertinya
belum tertarik dan jauh, katanya. Lha kok ndilalah kemarin ada sedikit
pekerjaan yang mengharuskan saya kesana, saya bisa libur juga. Kebetulan pas sendiri
dirumah juga. Oke, akhirnya deal deh saya Sabtu kemarin (22/4/17) ke Kebumen.
Perjalanan berangkat dari Tegal Sikluwih |
Perjalanan
dimulai dari rumah Magelang dengan motor smash yang usianya sudah 10 tahun.
Kemarin ia habis servis dan ganti olie sehingga tarikannya nyaris sama seperti
motor NMAX.
Pukul 6 pagi saya berangkat dari rumah dengan harapan saya bisa pulang tidak
terlalu sore. Maklum musim hujan.
Saya pun
merasa sangat antusias. Dengan tangan kanan menggeber gas, dan tangan kiri
memegang pocket camera yang bisa selalu standby mengcapture suasana perjalanan.
Ah, tapi kamera poket saya sudah agak rusak. Tidak maksimal hasilnya. Beberapa
ruas jalan ternyata sudah berbenah. Diantaranya adalah jembatan yang dulu hanya
satu kini menjadi dua. Seperti di turunan daerah Bener, dan jembatan di Loano.
Gapura perbatasan Magelang - Purworejo |
Jembatan yang sudah berubah dari terakhir saya lewat |
Sesaat
sebelum sampai di alun-alun Purworejo, saya malah terhadang razia polisi.
Untung saya selalu komplit membawa surat-surat. Seperti surat nikah, sertifikat tanah, dan ijazah terakhir.
Akhirnya saya pun berhasil melenggang dengan sentausa. Dalam kota Purworejo
sendiri tidak banyak berubah. Tetapi bekas bioskop Bagelen ternyata sudah
dirubuhkan dan dibangun gedung kesenian. Ah, bioskop lawas..
Salah satu landmark kota Purworejo, Patung WR Supratman |
Perjalanan
selepas Purworejo, aspal sudah begitu lebar dan mulus semulus kaki wanita. Saya
pun memancal gas 1000 mil per minggu. Lumayan, sepagi ini udara masih begitu
bersih dan tak henti-hentinya saya lihat-lihat kanan kiri jalan mengingat ingat
.
“Dulu
disini tidak seperti ini, sekarang sudah berubah”.
Nggak tahu
kenapa rasanya seneng aja membanding-bandingkan. Asal tidak membandingkan istri
dengan istri tetangga..
Sarapan Nasi Penggel
Sesampainya
saya di Kutowinangun, saya terhenti karena ada pekerjaan perbaikan jembatan.
Antrian mengular hingga sekitar 1 kilometer. Untung saya membawa sigesit irit
sehingga bisa nelisip-nelisip meski tetap harus ikut buka tutup. Saya lihat jam
di hape ternyata sudah pukul delapan.
Penyebab kemacetan |
“Wah,
jangan-jangan sarapan dambaan saya nanti sudah habis..” batin saya kacau.
Lha lak
tenan, saya masuk kota Kebumen sudah lebih dari jam delapan. Itu artinya saya
gagal menepati target saya dua jam perjalanan. Gara-gara perbaikan jembatan,
sih. Ah sudahlah.
Kota
Kebumen sebenarnya tidak terlalu luas. Saya masuk kota dan menemui landmark
Kebumen, Tugu Lawet. Dari sana, saya mengarah saja ke alun-alun. Sepanjang
jalan Pahlawan, sebelum sampai alun-alun, median jalan dihiasi dengan
tulisan-tulisan Asmaul Husna. Seperti di Kota Demak.
Dulu saya
sering ke Kebumen dan waktu itu belum jamannya orang pamer makanan via media sosial.
Kalau ada sih, baru sedikit. Dan waktu itu pula saya belum tahu kalau di
Kebumen ada kuliner Nasi Penggel. Lha wong malah di acara MTMA juga si Densu
pernah pamer makan itu disana. Untuk menuju ke sentra nasi penggel, jalurnya
adalah dari alun-alun ke barat, kemudian belok kanan kemudian lurus, kemudian
Tanya orang… dan seterusnya. Tapi saya males sodara-sodara. Males nyarinya :D
Berdasar
beberapa referensi blog yang saya baca beberapa waktu sebelumnya, ada seorang
bapak penjual Nasi Penggel yang standby di alun-alun, seberang Masjid Agung
yang membuka dagangannya sedari pagi hingga sekitar jam 8-9. Nah, ini dia
tujuan saya sebenarnya.
Gerobak itu
tampak sederhana saja dan bertuliskan stiker merah berbunyi NASI PENGGEL.
Penjualnya seorang bapak yang sudah cukup sepuh. Tampaknya dagangannya sudah
ludes. Hal itu terlihat karena ia tampak beberes. Begitu saya memarkir motor
dan menghampirinya..
“Habis,
mas.. maklum liburan..” ucap si Bapak dengan logat ngapak.
“Waduh..
lentune mriki pundi, pak?” Tanya saya dalam bahasa jawa yang halus dan lembut
“Niko mas,
bawah pohon beringin besar, tapi beda lhooooo” balasnya sambil guyon.
Berdasarkan
informasi yang saya peroleh, sebenarnya nasi penggel bapak ini adalah salah
satu yang legend. Dan kalau ada lainnya, itu artinya ia tidak menjamin akan
kelezatannya. Ah, apa lacur, saya pun berucap terimakasih dan meluncur
mengitari alun-alun dan menemukan beberapa ibuk-ibuk bergerombol berjualan
tanpa ada tulisan. Namun, sepertinya itu yang dimaksud si bapak tadi.
“Jualan apa
buk?” sapa saya
“mau
dhahar, mas? Nasi penggel..”
Saya pun
segera memarkir motor dan si ibuk tadi mengambil selembar daun pisang sebagai
alas dari nasi yang telah dibunder-bunder. Ia mengambilkan saya sekitar 12
butir. Dan saya minta dikurangi sehingga ada 10 butir saja. Takut kekenyangan.
“sayur dan
lauk ambil sendiri, mas. Ada telur, babat, kikil..”
Dan saya
kemudian mengambil sayur teman nasi penggel. Sayur nangka dengan daun singkong
berkuah kental. Kemudian ada sayur tahu berkuah kuning kecokelatan, dan
lauk-lauk dengan kuah kekuningan. Yang praktis saja, dan saya memilih telur
semur sebagai lauk. Juga beberapa potong tempe mendoan.
Pagi di
kota orang, cuaca cerah, hawane adem, dan sarapan makanan khas. Maka nikmat
apakah yang kau dustakan? Slurp.. Nasi Penggel ini nasi yang dibuletin semacam
onigiri, mungkin. Hehehe. Nasinya gurih dan setelah bercampur dengan kuah dan
sayurannya tampilannya biasa saja seperti nasi pada umumnya. Citarasa sayurnya
cenderung ke arah manis. Overall, secara rasa sebenarnya tidak ada yang spesial. Hanya kekhasan dan
keunikannya itu yang istimewa. Harganya, untuk seporsi nasi penggel dengan lauk
telur, segelas teh hangat, dan sepotong mendoan cukup 12 ribu. Harga yang
pantas.
Perut telah
kenyang, saatnya menunaikan tugas. Saya pun langsung menuju arah timur laut
kota dan mengerjakan apa yang harus saya kerjakan. Mburuh membetulkan aplikasi
absen digital. Dan seperti yang sudah saya kira dari rumah, masalah ini tidak
terlalu pelik. Hanya butuh ketelitian. Dan setelah satu jam lebih sedikit
masalah pun teratasi dan tuntas!
Menyambangi Roemah Martha Tilaar
Waktu
menunjukkan pukul 10 lebih sedikit. Saya pun akhirnya memutuskan untuk tidak
langsung pulang. Tapi, mending saya bablas sebentar ke Gombong untuk menuju ke
salah satu tempat wisata heritage yang tengah hits. Roemah Martha Tilaar.
Perjalanan ke Gombong berpapasan bus Eka Surabaya - Purwokerto |
Agak sulit
menemukan lokasi ini. Patokannya hanya satu. Jalan Sempor Lama, Gombong. Ciri-ciri
jalan ini adalah jalan yang lebarnya sedang, dan banyak bangunan tua
bernafaskan arsitektur Tiongkok. Nah jika sudah ketemu jalan itu, langsung saja
masuk gang dan sekitar 300 meter kemudian TKP sudah bisa ditemukan di kiri
jalan.
Roemah
Martha Tilaar, adalah sebuah museum yang telah dibuka sejak Desember 2014 lalu.
Martha Handana yang kini dikenal dengan Martha Tilaar, lahir dan menghabiskan
masa kecilnya di Gombong hingga usia 10 tahun. Di rumah inilah ia tinggal dan
mewarisi bekal-bekal ilmu peracikan jejamuan dari orang tuanya.
Cerita
tentang rumah berangka tahun 1920 ini berawal dari seorang pengusaha Tiongkok
bernama Liem Siauw Lan yang kala itu menjadi bisnisman sukses di bidang usaha
logistik.
Beberapa komoditi
yang ia tangani adalah produsen kopra, susu dan daging untuk dipasok ke tangsi
militer Belanda di Fort General Cochuis (kini Benteng van der Wijck). Kelak,
Liem Siaw Lan ini memiliki cucu yang bernama Martha Tilaar.
Setelah
membeli tiket seharga Rp. 15,000,- saya kemudian diajak Tony- pemandu, untuk
berkeliling dan ia pun mulai bercerita tentang segala sesuatu di rumah ini.
Kehidupan
Martha sejak kecil telah tertanam jiwa wirausaha. Ia belajar membuat aksesoris
dari biji-bijian dan menjualnya didepan rumah. Selain itu, ia juga acapkali
menjual mangga yang berbuah didepan rumahnya kepada orang-orang yang lewat. Malahan ia
panjat sendiri itu pohon mangga yang kini masih menjulang didepan rumah.
Rumah
bergaya arsitektur indische empire ini dibangun pada 1920 dan memiliki beberapa
ruang. Diantaranya teras dengan perabotan mebel yang kuno, dengan lantai tegel
yang masih asli, kemudian ruang tamu dengan salah satu bagiannya adalah altar
untuk berdoa, juga beberapa kamar tidur yang susunannya simetris.
Lorong
utama rumah ini menghubungkan langsung teras depan dengan teras belakang yang
juga berfungsi sebagai ruang makan. Di dinding-dinding ruangan, terpajang
foto-foto keluarga Liem Siaw Lan bahkan foto Martha Tilaar sewaktu kecil juga
ada. Selain itu, juga dipajang silsilah keluarga secara mendetail.
Di rumah
bagian belakang, ada beberapa kursi taman dibawah rindangnya pepohonan dengan
suasana yang adem sejuk dan lega. Pikiran pun membayangkan suasana waktu dulu,
orang-orang membangun rumah dengan sangat detail dan megah dengan kenyamanan
yang terjamin.
Disamping
kiri kanan bangunan utama, dihubungkan oleh selasar dan merupakan kamar-kamar
yang dahulu ditempati oleh Yakob Handana, ayah Martha Tilaar dan istrinya, dan
juga kamar anak-anak.
Sebelum
direhab, rumah ini sempat tidak terawat dan bahkan julukan rumah hantu sudah
melekat dibenak masyarakat sekitar. Kini, rumah bercat krem-kuning ini tampak
bersih dan indah. Semua perabotan ditata semirip mungkin dengan kondisi
aslinya. Rumah ini kini difungsikan sebagai tempat wisata heritage edukasi dengan
manajemen yang bisa saya bilang, profesional.
Isi salah satu kamar |
Teras belakang |
Suasana teras yang asri |
Gaya teras impian saya :D |
**
Panjer dan Bioskop STAR Bodol
Cuaca
jalur pantai selatan siang ini terasa begitu terik. Mungkin muka saya sudah
kusam dan butuh disiram dengan sabun muka supaya segar. Perjalanan
Gombong-Kebumen yang sebenarnya tidak terlalu jauh nyatanya memang terasa tidak
lama. Lha iya. Sampai di Kebumen, saya ingat beberapa artikel yang pernah saya
baca tempo hari. Tentang sebuah daerah bernama Panjer.
Dari
Tugulawet saya melintasi jalan Pemuda ke arah selatan dan tidak lama kemudian,
di kiri-kanan jalan terlihat beberapa rumah yang terlihat sangat kolonial.
Sebagai penggemar heritage, saya pun tiap kesempatan datang langsung menepi dan
memotret. Rupa-rupanya tidak terasa saya sudah sampai di pertigaan dengan
sebuah bangunan besar di sudutnya. GOR Gembira, namanya.
Gor Gembira yang suasananya siang itu tidak begitu menggembirakan |
Sedikit
melintas sejarah, GOR Gembira dahulunya adalah satu dari dua gedung bioskop di
Kebumen. Namanya Bioskop Gembira. Satunya lagi adalah bioskop STAR yang tutup
beroperasi sekitar 2010 lalu. Ada cerita unik tentang perbioskopan ini. Dahulu
jaman kejayaan bioskop (era 80an) bioskop STAR yang ada di pusat kota, terpaksa
pindah ke daerah agak pinggir kota. Bioskop bekas yang berlokasi didekat
Tugulawet itupun sempat dibiarkan mangkrak dan oleh masyarakat sekitar disebut
dengan STAR Bodol (bodol :rusak). Seiring perkembangan jaman, bioskop
Gembira yang beroperasi dikelas bawah pelan pelan tutup. Kemudian, era kejayaan
bioskop STAR sendiri sempat sedikit terhempas naik saat sekitar tahun 2000an
memutar film-film semacam Ada Apa Dengan Cinta, Eiffel Im in Love, dan lain
sebagainya. Ya, meski film itu ditayangkan sudah telat dari jadwal resminya,
nyatanya pengunjung datang membludak. Kemungkinan, saat itu masyarakat dan
kawula muda merasa ikut trend jika sudah ikut menonton film hits itu di
bioskop. Sama, sih seperti kondisi saya dan bioskop di Magelang, saat itu.
Sayang
seribu sayang, tidak sanggup melewati ganasnya persaingan dengan bioskop
modern, akhirnya bioskop STAR tumbang juga. Kini bangunannya tertutup pagar dan
diselimuti semak belukar. Nyaris tidak ada celah untuk sekedar mengintip.
Bangunannya mulai hancur. Kalau mau dihidupkan lagi butuh dana besar. Renovasi
gedung, digitalisasi bioskop dan kerjasama distribusi film. Tapi duite sopo,
lhawong proyektor bekas aja harganya paling murah 750 juta je.
Kembali
ke Panjer, kawasan ini diperkirakan adalah kawasan pusat pemerintahan pertama
sebelum ada kebumen. Dalam sumber disebutkan bahwa dahulu wilayah Kebumen
disebut dengan Panjer dengan diangkatnya seorang Bupati/Adipati dibawah Sultan
Mataram. Hingga kemudian pada tahun 1830an, penguasa saat itu yang bernama
Arungbinang, memindahkan pusat pemerintahan sedikit ke arah barat laut dengan
membangun alun-alun, masjid dan rumah serta kantor bupati.
Masjid Agung Kebumen |
DPRD Kebumen selatan alun-alun |
Wilayah
Panjer sendiri, berkembang berkat adanya salah satu pabrik minyak kelapa Sari
Nabati yang kini pun hanya tinggal kenangan. Selain itu, disana juga dibangun
pusat kesehatan Zending yang pada masa kolonial merupakan layanan kesehatan
sekaligus tempat pengabaran Injil (penyebaran agama Kristen). Zending tersebut
hingga beberapa tahun yang lalu menjadi RSUD Kebumen. Masyarakat setempat
menyebutnya sendeng. Namun sejak 2013, bangunan ini mulai ditinggalkan karena
sudah kurang representatif dan Pemda setempat membangun rumah sakit baru yang
jauh lebih layak di Jl. Lingkar Selatan. Tidak jauh pula dari situ, juga
terbangun kawasan perumahan militer dan stasiun kereta api.
Panorama bekas kompleks Sendeng |
Rumah di sekitaran RSUD |
Bangunan tua di sepanjang Jl. Pemuda (beberapa kondisinya terlihat baik) |
Kantor GKJ Klasis Kebumen |
GKJ Kebumen |
GKJ Kebumen |
**
Menyeruput Dawet Jembut
Setelah
agak puas berkeliling Kebumen, saya pun memutuskan untuk pulang. Sebenarnya
saya pingin sekali mencoba makan sate ambal. Tapi kok ya saya masih agak
kenyang juga. Nggak usahlah daripada nanti uangnya habis untuk foya foya belaka.
Kira-kira siang itu sudah pas tengah hari. Saya melajukan motor ke arah timur.
Ada beberapa pekerjaan perbaikan jalan yang mengharuskan saya untuk berhenti
sejenak.
Haus
pun melanda, dan setelah sampai di perbatasan Kebumen-Purworejo, saya bersiap
mencari penjual dawet ireng disebelah kanan jalan. Ah, itu dia. Warung dawet
sebelah jembatan Butuh yang sangat ramai, siang itu. Tampak mobil-mobil dan
motor berjejer parkir.
“Dawet
setunggal, pak”
Pinta
saya kepada Pak Wagiman, penjual dawet yang sibuk melayani pembeli. Cendol
irengnya ditaruh disebuah plastik besar dimasukkan kedalam tenggok.
Akhirnya
semangkuk dawet ireng tersaji didepan saya. Langsung saya slurp... Segar
membahana.. Meminum dawet ini mengingatkan saya kepada sensasi saru si dawet
ini. Ya, walaupun bernama Dawet hitam manis Pak Wagiman, namun dawet ini
kelewat hits dengan nama Dawet Jembut, atau Dawet Jembut Kecabut. Saru, kan?
Jembut Kecabut berarti Jembatan Butuh Kecamatan Butuh.
Ndilalah
kok ya walaupun sepanjang daerah situ banyak penjual dawet ireng, dawet jembut
ini memang paling laris. Apakah karena ada jembutnya atau gimana.. Tapi
berdasarkan informasi sih, dawet ini adalah yang pertama ada. Jadi bisa
dibilang legend, lah. Kok ya namanya juga menjual banget jadilah tempat ini
ramai. Pengunjung sampai ada yang minum dawetnya diteras rumah, dikebun kebun,
atau duduk di motor. Saking terbatasnya tempat berjualan yang hanya semacam
gubuk berukuran sekitar 6 meter persegi. Harganya worth it, kok. 4000 per
mangkuk.
***
Kutoarjo Dalam Perjalanan Pulang
Saya
sampai Kutoarjo sekitar pukul satu siang. Sudah saatnya saya beristirahat untuk
menunaikan ibadah shalat dhuhur. Ini keduakalinya saya mampir di Masjid Agung
Kutoarjo. Sebuah masjid dengan lajur shaf yang sangat miring. Kemungkinan saat
pembangunannya dahulu ada kekeliruan dalam menentukan arah kiblat.
Sebagai
sebuah kota yang cukup tua, Kutoarjo memiliki beberapa tempat yang cukup
storyable secara heritage. Kutoarjo, yang dahulu merupakan sebuah kabupaten
dibawah karesidenan Bagelen, memiliki beberapa pusat kegiatan politik dan
publik. Dari masjid ini, terlihat hamparan alun-alun yang luas. Disebelah utara
alun-alun ada sebuah pintu dengan lorong yang terhubung langsung ke bekas
kantor Kawedanan. Jauh sebelum menjadi Kawedanan, bangunan beraksitektur cantik
ini adalah kantor bupati yang mana dahulunya wilayah kutoarjo bernama Kabupaten Semawung. Secara bangunan, gedung ini mengadopsi gaya bangunan
kolonial dan jawa. Saat ini, rumah ini menjadi rumah dinas Wakil Bupati
Purworejo. Beruntunglah pak wakil bupati, njenengan bisa tinggal dirumah klasik
nan historis..
Bekas gedung kawedanan (sumber : Lengkong Sanggar) |
Konstruksi gedung kawedanan (sumber : Lengkong Sanggar) |
Disebelah
barat daya, ada tower air yang tinggi menjulang, sedangkan disebelah belakang
kantor kawedanan, ada bekas rumah Patih, dan bekas rumah kontrolir.
Bangunan-bangunan ini hingga hari ini masih cukup terjaga keasliannya.
Sementara itu, setelah kota Kutoarjo arah ke Purworejo, saya menemukan bangunan legend berikut ini yang merupakan asli jembatan era kolonial yang kini sudah digantikan dengan yang baru. Memang kalau ada yang baru yang lama kemudian ditinggalkan tanpa berperasaan..
Sarana melancong dengan latar belakang jembatan bayan |
**
Perjalanan
pulang ke Magelang, saya agak galau antara harus mampir makan siang atau
bablas. Lha langit terlihat mendung, saya males nek kehujanan je. Dari
Kutoarjo, saya berfikir nanti lah di Purworejo mampir makan. Ahtapi,
sesampainya di Purworejo saya hanya njepret-njepret bangunan tua sebentar lalu
segera pulang. Nanti saja di Salaman makan siang.
Kantor Bupati Purworejo yang dahulunya merupakan kantor Residen Bagelen |
Gereja sebelah selatan alun-alun Purworejo. |
Stasiun Purworejo (tidak sempat mampir dan motret selak mendung) sumber streetview |
Sampai
di Salaman, cuaca semakin buruk. Sepanjang perjalanan Salaman – Borobudur angin
bertiup kencang dan gelap menandakan sebentar lagi turun hujan. Akhirnya
sekitar 200 meter sebelum sampai rumah, hujan turun dengan menggelora. Dan saya
pada akhirnya makan siang dirumah.. Aku rapopo daripada kudanan mending ora
sido tuku sate ambal..
No comments:
Post a Comment