Friday, April 18, 2014

Makan Steak ala Eropa


Jam tangan yang saya lepas beberapa waktu lalu hampir menunjukkan pukul delapan malam. Rupanya warung steak depan kost Tika malah tambah ramai karena ada beberapa puluh jemaat gereja yang habis beribadah dalam rangka Paskah mampir ke tempat makan baru yang berada persis di sebelah Gereja Kristus Raja Ungaran itu.

Akhirnya kami menunggu barang beberapa menit supaya agak sepi. Rumah makan steak yang berawal dari Jogja ini sebenarnya sudah sangat terkenal karena memiliki banyak cabang dan kali ini membuka gerai yang ke sekiannya di Jl Diponegoro Ungaran. Dalam minggu-minggu pertama ini pengunjung selalu ramai. Ya, rumah makan bernama Waroeng Steak and Shake ini memang menyasar kalangan menengah dengan harganya yang terkenal murah namun dengan suasana yang cukup semarak dan cozy. 

Saya sendiri sudah lama sekali tidak makan steak. Jujur saja sih, saya tidak begitu cocok dengan makanan seperti ini. Mending mah rendang di masakan padang. Tu baru nendang! :p tapi malam ini saya mengiyakan ajakan Tika, lagipula worth it juga sih. Buat saya, tempat makan ini spesial karena berada di depan kantor Tika, depan kost Tika, dan kami juga menjadi saksi kelahirannya sejak pembangunannya yang tiap malam ‘mbribeni’ kami :D

Akhirnya dengan melangkahkan kaki, kami segera mencari tempat duduk yang hanya ada satu yang kosong. Karena para pelayan sedang sibuk, saya mengambil sendiri daftar menu dan dibilangin bahwa menu yang tersisa hanya double sirloin dan double tenderloin. Sementara itu saya memilih lemontea dan Tika memutuskan untuk minum jus tomat. Untuk informasi saja, steak di Waroeng Steak (WS) ini menyediakan model steak tepung (digulung pakai tepung) dan original (tanpa tepung) serta beberapa steak lain kayak chicken dan shrimp steak. Harganya, kisaran 15-30ribuan kok! 

Lama sekali pesanan kami datang. Padahal kami telah lapar. Saya sih pengen makan nasi dan kepikiran pesen nasi putih supaya makan steaknya jadi murtad alias keluar ajaran. :D oya, jadi di WS ini uniknya juga menyediakan nasi. Beberapa waktu sebelumnya saya biasa pesen steak + nasi dan itu mengenyangkan kawan! Hahaha :/ akhirnya barang duapuluh menit menunggu, pesanan kami datang! Yey! Oya, kalau makan steak saya sering inget adegan-adegan di film James Bond saat berkencan dengan wanita, dimana biasanya hanya memakan satu-dua potong kemudian mengusap pakai lap yang ditempel di dada, kemudian minum vodka martini + lemon. Shaked not stirred :D kemudian ditinggal begitu saja :D
 
Selain itu, saya juga ingat soal artikel tentang etika makan steak yang pernah saya baca. Saya memutuskan untuk makan steak dengan gaya Eropa. Hahaha. Jadi, sementara tangan kanan memotong-motong daging menggunakan pisau, tangan kiri yang memegang garpu dipakai untuk ngemplok. Cara ngemploknya pun harus benar yakni, dengan posisi garpu menghadap ke bawah (jika keatas dan menggunakan tangan kanan adalah style Amerika). Namun karena steak kali ini adalah steak tepung, jadi ada beberapa guguran tepung yang terpaksa susah diambil menggunakan garpu dengan style eropa ini hingga terpaksa menggunakan style saya sendiri :D alias asal ambil.

Double tenderloin yang saya pesan habis dalam waktu yang cukup singkat saja. Karena memang saya lapar sih. Rupanya, saya cukup kenyang. Untung saja saya tidak jadi pesan nasi. Huehehee.. akhirnya saya tutup kegiatan makan steak ini masih dengan style Eropa yaitu dengan menyandingkan pisau dan garpu berjejer dengan posisi garpu menghadap ke atas. Kemudian saya segera membayar Rp. 53,000,- untuk porsi makan kami tadi. Hebatnya lagi, kami adalah orang terakhir yang membayar dikasir karena memang kami pengunjung yang terakhir :D Okay, sekarang tempat makan di Ungaran sudah lebih bervariasi dan WS ini jadi alternatif kalau anda ingin menikmati steak dengan harga murah!

Credit :
Warong Steak & Shake
Jl. Diponegoro (seberang pegadaian)
Ungaran


Read More..

Tuesday, March 4, 2014

Jelajah Perjuangan Diponegoro

Minggu, 2 Maret 2014
Sebelumnya saya sempat sedikit nggak enak pikiran karena melihat mendung diatas langit sana. Pagi ini mendekati pukul delapan, saya dan Tika telah sampai di Gedung Bakorwil Kedu, Jl. Diponegoro Magelang untuk mengikuti even Jelajah Perjuangan Diponegoro. Tampaknya hal yang serupa dengan even Djeladjah Petjinan #2 bulan lalu kembali terulang. Ya, berpuluh motor terlihat sudah terparkir dan beberapa puluh peserta juga sudah hadir memadati halaman Museum BPK. Kami langsung menyamperi Pakdhe Wotok untuk melakukan registrasi. Dengan lima ribu rupiah saja, kami mendapatkan booklet seputar perjuangan P. Diponegoro dan free satu botol air mineral yang belum dikasihkan. Hehehe..

Beberapa peserta rupanya baru bergabung mengikuti even untuk pertama kali. Saya bahkan terus terang tidak sempat berkenalan dengan para anggota baru tersebut. Dengan topi model Jepang warna cokelat, rupanya mas Meneer Rifki van Djogjakarta juga menyempatkan bertandang kesini jauh-jauh dari Surabaya. Mas Tony yang dari Sukoharjo juga rela berhujan-hujanan – sepagi ini di Mertoyudan dan Pak Bambang Gunadi yang membawa serta beberapa anggota keluarganya juga tampak semangat  meski harus berangkat dari Temanggung. Satu lagi, Ki Roni Sodewo, tamu spesial kita kali ini berangkat langsung dari Wates Kulonprogo.

Menjelang pukul 08,30 acara dibuka dengan briefing singkat oleh Gubernur KTM, Bagus Priyana. “saya mengucapkan terimakasih kepada kawan kawan yang hari ini dapat bergabung di even ini. Ini diluar perkiraan saya karena saya hanya mencetak 45 booklet padahal yang datang hingga saat ini mendekati 60-an, jadi mohon maaf apabila ada yang belum mendapatkan copy booklet” ujarnya. 
Briefing oleh Gubernur KTM
Bagus kemudian mempersilahkan Ki Roni Sodewo untuk memberikan sedikit sambutan. Untuk informasi, Ki Roni Sodewo ini merupakan turunan ke -7 dari Pangeran Diponegoro yang kini bertimpat tinggal di Wates. Keinginan beliau untuk menelusuri rekam jejak perjuangan Diponegoro menginspirasi Komunitas Kota Toea Magelang (KTM) sehingga terselenggaralah even kali ini. Beliau juga mengaku sangat mengpresiasi acara ini dan berterimakasih untuk partisipasi dari semua anggota yang terlibat.
Pemberian kenang-kenangan kepada Ki Roni Sodewo

Titik kunjungan kami yang pertama adalah Museum Diponegoro. Sebagai orang Magelang saya merasa gagal karena hingga diusia saya kali ini saya baru ini mengunjungi museum yang menempati satu ruang kecil di sayap kiri Gedung Eks. Karesidenan Kedu itu. Sekitar 15 menit sebelum kami memasuki museum, sebuah performance art dipertontonkan oleh seniman Magelang, mas Eka Pradhaning. Saya terus terang bertanya-tanya apakah maksudnya. Sebuah tarian dengan kedua tangan memegang lidi yang dibakar (lupa namanya), dan melangkah di jalur bunga di halaman gedung hingga ke tangga depan. Tapi selama saya mengamati yang dipentaskan olehnya, nampaknya inti pertunjukan tersebut adalah apresiasi dan pesan dari P. Diponegoro bahwa meskipun raganya kini telah tiada, namun semangat juangnya akan terus selalu ada. Begitu kira kira . ;) 
Special Performance Art by Mas Eka Pradhaning

Pak Joko, Pengurus Museum Diponegoro
Kami disambut oleh Pak Joko, pengurus Museum. Suaranya yang keras, mampu menjangkau semua peserta dan penjelasannya diikuti antusias oleh para peserta. Beliau menjelaskan tentang sepak terjang P Diponegoro hingga akhirnya di jebak oleh pihak Belanda di ruang yang kni dijadikan untuk museum tersebut. Mengingat ruang museum yang kecil, maka kunjungan  peserta dimohon untuk bergantian. Pak Joko juga mengatakan bahwa mulai tahun 2014-2015 akan diadakan peningkatan fasilitas museum dengan membangun sarana pendukung seperti replika makam dan ruang tahanan P. Diponegoro di samping gedung utama Karesidenan. 

Akhirnya kami pun berkesempatan masuk ke Museum. Ada satu set meja kursi dari kayu jati yang digunakan saat perundingan dengan Jenderal de Kock. Satu kursi yang dirawat diruang kaca, adalah tempat duduk P Diponegoro dengan bekas guratan kuku di bawah handle kanan kursi. Sementara, dibelakangnya ada sebuah jubah asli milik sang Pangeran yang ternyata sangat besar. Melihat ukuran jubahnya, diperkirakan tinggi P Diponegoro sekitar 200cm. Di sampingnya tersimpan tanpa pengawet, sebuah kitab Taqrib. Menurut penjelasan Pak Joko, kitab Taqrib ini berisi tentang strategi perang yang dipelajari oleh P Diponegoro. “kitab ini berasal dari Kyai di Pondok Mlangi Sleman Yogyakarta” paparya.
 
Sebuah dipan kecil, yang lebih sering disebut dengan balai-balai, terbuat alasnya dari gilar bambu, merupakan bekas tempat shalat P Diponegoro yang didatangkan dari Gombong Kebumen. Selain koleksi diatas, ada beberapa lukisan dan cerita tentang P Diponegoro.
para peserta befoto bersama di depan Gedung Eks. Karesidenan Kedu

Rombongan motor kali ini siap-siap berangkat ke arah Salaman dengan melewati jembatan Progo, Bandongan-Salam Kanci-Tempuran- Salaman. Mas Bagus sebelumnya menceritakan bahwa selama rombongan P Diponegoro menunggu kedatangan jenderal de Kock dari Batavia, mereka dibuatkan kemah sementara di bantaran suangai Progo. Lokasi ini sudah susah dideteksi, namun besar kemungkinan merupakan sebuah pulau sungai ataupun pinggiran sungai yang kini dapat dilihat langsung dari Jembatan Progo dengan menengok ke kanan.

Pukul 10,30 rombongan sampai di Kamal, Menoreh Kecamatan Salaman. Kami memasuki kompleks MTs. Pangeran Diponegoro. Sekolah yang berada berdampingan dengan Ponpes Nurul Falah ini memiliki sebuah bangunan monumental di tengahnya. Ya, sebuah masjid yang bernama Langgar Agung. 
Langgar Agung
“tempat ini dahulu menurut cerita turun-temurun dari mbah-mbah kami, merupakan petilasan tempat mujahadah rombongan P Diponegoro. Dahulunya merupakan sebuah batu hingga pada tahun 1964 dibangun atas prakarsa Gubernur dan Bupati waktu itu. Pembangunan sempat terhenti saat meletus G 30 September dan dilanjutkan hingga selesai pada tahun 1967”. Begitu ungkap Pak Muhaiminul Hakim, yang saat ini merupakan pengurus Yayasan Langgar Agung Pahlawan Nasional Pangeran (PNP) Diponegoro. 
Pak Muhaiminul Hakim
Tidak banyak cerita yang bisa diungkap tentang keberadaan masjid ini karena sumber yang valid saat ini masih belum dapat ditemukan. Termasuk sebuah Alqur’an tulisan tangan yang masih menurut cerita turun temurun, merupakan peninggalan dari Pangeran Diponegoro. Alqur’an berukuran sekitar 25x35 cm tersebut kini disimpan oleh pengurus Ponpes. Tidak ada tulisan/tulisan disebuah sisi nampaknya sudah sangat kabur dan tidak bisa dibaca lagi untuk mengungkap kapan mushaf Alqur’an itu ditulis, termasuk siapa penulisnya. Pada surat pembuka, nampak hiasan motif warna dengan sangat detail dengan tinta emas. Subhanallah luar biasa.
Al Quran peninggalan P Diponegoro

 Kunjungan selanjutnya, tidak ada kaitan dengan Pangeran Diponegoro. Ya, tidak jauh dari Langgar Agung, kami dapat mengunjungi sebuah bangunan peninggalan era kolonial. Plengkung Pitu namanya. Merupakan sebuah sistem saluran air yang melewati atas sungai. Dapat dibilang sungai mengalir diatas sungai. Karena saking panjangnya, jumlah lengkung dibawahnya berjumlah tujuh. Sementara diatas saluran air, ditutup dengan beton. Dengan lebar kurang lebih 1,25 meter saluran ini juga berfungsi sebagai jembatan yang bisa dilalui oleh pejalan kaki maupun kendaraan roda dua. Tempat ini luar biasa cantik. Dengan hamparan sawah yang menghijau dan bukit menoreh di belakang sana, serta gemercik air dibawah, membuat suasana menjadi syahdu. Hehehe. 
Suasana romantis di Plengkung Pitu

Waktu semakin siang ketika beberapa diantara kami termasuk saya, merupakan rombongan yang tertinggal untuk mengunjungi tempat selanjutnya. Dengan medan yang sedikit ekstrim, dengan tanjakan dan beberapa jalan yang rusak, sekitar 10 kilometer dari lokasi Plengkung Pitu, kami menuju ke Goa Lawa. Mendekati lokasi utama, kami disambut dengan sebuah tugu tinggi dan sebuah pabrik. PT Margola, sebagaimana tertulis disebuah papan setelah pintu masuk. Ternyata tempat ini sekarang digunakan sebagai tempat tambang batu marmer. 
Bukit tempat Goa Lawa berada
Merupakan keberuntungan, kami diperbolehkan masuk ke lokasi tambang untuk melihat lebih dekat sosok Goa Lawa itu. Berjalan kaki dengan pemandangan yang luar biasa indah, sekitar 400 meter dari kantor Pabrik disebuah bukit terjal, tampak lobang mengaga. 
Goa Lawa, sebuah lobang di atas bukit
“Itulah Goa Lawa. Sebelum tahun 2000, goa itu dapat dikunjugi. Termasuk saya juga pernah main kesitu. Dimensinya sekitar 2x2 meter luasan lebar dan tinggi goa. Untuk kedalaman goa, belum bisa diprediksi. Sementara lantai goa tertutup lumpur yang cukup dalam” Penjelasan singkat oleh Pak Narwan Sastra Kelana, yang merupakan member KTM spesial daerah Salaman :D
 
Lebih jauh Pak Narwan menjelaskan bahwa tempat ini dahulunya  merupakan tempat beristirahat Laskar Diponegoro setelah dari Bagelen Purworejo dan menaklukkan bukit menoreh. Mengenai penamaan, memang karena dahulu goa itu merupakan sarang kelelawar. Saat ini, kelelawar itu sudah tidak terlihat lagi, terganti dengan beberapa ekor banyak yang ternyata ingon-ingon milik Pabrik atau warga sekitar. Hehehe.. “mengingat kondisi goa berada di kawasan tambang dan juga bukit sangat terjal, maka pengunjung dilarang mendekati ataupun masuk ke dalam goa, selain telah memiliki ijin khusus” tutup Pak Narwan.

Beberapa diantara kami sepertinya sudah lapar. Terlihat sekali muka-muka kelaparan yang paling jelas sepertinya muka saya. :D terbayang nasi Megono buatan mbak Ayu Kusuma Dewi yang sedari tadipagi terdiam di mobil Kijang biru. Namun bayangan itu harus dipendam lagi karena kami masih harus berjibaku dengan tanjakan tanjakan yang lebih ekstrim untuk menuju lokasi selanjutnya. Motor kami terhenti disebuah kampung, Kalipucung namanya. Sangat dekat dengan puncak bukit menoreh. Setelah bejalan kaki sejenak, kami sampai di kediaman Pak Haryono, yang sedang tidak berada dirumah. Sebagai gantinya, kami disambut oleh kerabatnya yang bernama Pak Suradi. Mengingat keterbatasan tempat, banyak diantara kami memilih untuk berdiri disekitar halaman rumah.

Pak Narwan menjelaskan bahwa penduduk kampung ini, keluarga Pak Haryono merupakan keturunan ke – 5 dari prajurit Diponegoro. Berdasarkan cerita, saat itu Pangeran Diponegoro meninggalkan dua prajurit. Mereka diberi amanah berupa ikat kepala dan jubah. Kedua prajurit itu bernama Kyai Saleh Aji dan Demang Kyai Sampir. Sebegitu amanahnya sang Demang, jubah titipan P Diponegoro tidak berani dipakainya. Hanya disampirkan saja di pundak sehingga beliau dijuluki Kyai Sampir. Makam mereka kini masih ada di kampung ini dan mereka lah sesepuh dan cikal bakal kampung ini.

Tidak lama kemudian, sebuah kotak dibawa ke ruang tamu. Jeprat-jepret langsung saat kotak itu dibuka. Ikat kepala yang terbuat dari salah satu bagian pohon kelapa, dan sebuah jubah yang sudah rusak lengkap dengan gesper/sabuknya. Peninggalan itu meski terkesan kurang terawat, namun selalu dijaga oleh para keturunannya. Pada era Presiden Soekarno, barang-barang berharga itu hendak dimuseumkan di Jakarta, namun anehnya mobil yang hendak membawa seketika mati semua sehingga mereka mengurungkan niat untuk membawanya.
 
Mereka, para ahli waris dari Kyai Saleh Aji maupun Demang Kyai Sampir mengatakan bahwa sampai kapanpun barang itu akan disimpan hingga rusak dimakan usia karena itu adalah amanah turun temurun.

Pukul dua siang, kami dengan berjalan kaki sejenak, sampai di sebuah hutan disebuah lereng pinggir kampung. Tempat itu ditandai dengan dua pohon beringin kembar ukuran besar. Sekelilingnya nampak pagar yang sudah ambrol. Ditempat ini, adalah titik tempat pemberian ikat kepala dan jubah dari Pangeran Diponegoro kepada dua prajuritnya yang ditinggal di kampung tersebut. Dahulu sebagai tanda ada pohon Wadang yang tingginya mencapi tujuh puluhan meter dan sudah rubuh sehingga diganti dengan pohon beringin.
 
Akhirnya, acara Jelajah Perjuangan Diponegoro kali ini harus ditutup di tempat tersebut. Sebuah acara yang sangat emosional, menguras energi, dan bensin juga memaksa kami makan siang lebih banyak dari biasanya. Untungnya, saat perjalanan pulang, sebagian dari kami sempat menikmati nasi megono buatan Mba Ayu. Sebuah nasi campur sayur dan parutan kelapa, dipadu dengan ikan asin, dan dimakan dipincuk daun pisang, melengkapi acara penutupan even kali ini.

Pak Widoyoko dan istri, fotografer KTM paling handal, big thanks ;)
Read More..
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...