Monday, May 26, 2014

Kondangan ke Surabaya, Lamongan, Sidoarjo 16-18 Mei 2014



Jumat, 16 Mei 2014
Pukul setengah enam pagi, badan saya sudah tidak lagi kedingingan setelah menempuh perjalanan bersama smash dari Magelang setelah tadi malam saya mengikuti talk show bedah buku saya yang berjudul “Seboeah Rekam Djedjak Kota Toea Magelang” dalam acara Rembug Sejarah dalam gelaran Magelang Tempo Doeloe.

Sesaat saya rebahkan badan dikamar kost yang tidak berlangsung lama. Saya harus segera mandi dan berkemas untuk ke Surabaya! Yes!

Setelah mandi, sayapun segera melajukan smash yang mungkin masih capek untuk menuju kost Tika. Smash saya minta baik-baik tinggal di kostnya sementara kami tinggal pergi ke propinsi sebelah. Lepas setengah tujuh, kami setelah berjalan kaki sesaat, berhasil diantar oleh angkot merah ke Terminal Sisemut untuk kemudian menjadi penumpang pertama BRT Koridor II yang standby disana. Duduk di deretan kursi paling belakang adalah hal yang sangat menyenangkan. Karena posisinya ada diatas dan tidak sumpek saat keadaan berjubel.

Sumber : http://haysanta.blogspot.com/
BRT melaju cukup pelan membelah aktivitas kota lumpia Jumat pagi ini. Hingga pukul setengah sembilan, kami telah sampai di Terminal Terboyo. Terminal ini semrawut. Saya saja terus terang baru dua kali ini masuk. Kondisinya tidak jelas. Akhirnya setelah bertanya pada seorang kondektur, kami langsung memasuki bis Patas Indonesia warna merah. Lagi-lagi, kami penumpang pertama dan berhak untuk duduk di hot seat belakang sopir. Bis ini berbaju Scorpion X nya karoseri Tentrem. Dari interiornya, saya rasa bis ini masih baru dan sangat nyaman. Di depan kami ada sekat pembatas antara kabin penumpang dan ruang kendali yang juga smoking room.
Bis Patas Indonesia, parkir di  RM Rasa Utama

Setelah seperempat jam menunggu dan juga telah masuk beberapa penumpang, bis mulai berjalan meninggalkan Terboyo. Dasar memang terminal semrawut, penumpang banyak yang menunggu dan naik diluar terminal. I don’t like this! Mesin Hino yang cukup nyaman ini membawa kami ke timur. Belum lama perjalanan dimulai, setelah membayar tiket seharga 170.000 Rupiah untuk dua orang, saya titip pesan ke Tika yang sedang makan kacang bawang,

“Aku tak tidur dulu ya. Nanti kalau udah sampai Kudus, bangunin”.
Dia heran kenapa harus bangunin saat sampai Kudus? Saya pun menjelaskan bahwa sampai saat ini saya belum pernah lewat Pantura setelah Kudus ke arah timur dengan kondisi sadar alias tidak tidur. Dia pun mengangguk tanda mengiyakan.

Benar saja. Baru berapa meter setelah persetujuan itu, saya langsung terlelap. Wajar sih, badan saya masih capek setelah kemarin bolak balik Ungaran-Muntilan-Magelang-Muntilan-Ungaran. Fiuuh..

**
Tiba-tiba Tika membangunkan saya. Saya lihat diluar sana ada toko oleh-oleh Jenang Mubarok. “sampai mana ini?” “sudah sampai Kudus” ahh.. iya, perasaan baru sebentar saja saya merem, kayak naik awan kinton, tiba-tiba bis Indonesia sudah memasuki terminal Kudus. Tampak di sebelah sana, proses peninggian Jl. Agil Kusumadya yang selama ini hanya saya ikuti di koran :D

Tidak lama bis berhenti. Hanya menaikkan penumpang saja di agen untuk kemudian melibas Jalan Lingkar Kudus yang baru ini saya lewati dalam keadaan sadar. Bis mulai dipacu kencang dan sesaat saja, kami sudah sampai di Ngembal Square, perempatan arah ke Pati. Jalanan tidak begitu lebar. Toh juga kualitasnya juga tidak begitu halus. Beberapa kali bis harus tersendat karena ramainya jalan.

Terasa memang, Kabupaten Kudus yang luasannya merupakan kabupaten terkecil se Jawa Tengah ini hanya sesaat saja. Kami langsung memasuki Kabupaten Pati dengan slogannya PATI BUMI MINA TANI. 
Sepanjang perjalanan, suasana biasa saja hingga akhirnya bis memasuki Kota Pati. Kondektur menawarkan tempat turun yaitu “Pati Puri.. Pati Purii!” saya tunggu-tunggu maksud tempat itu apa. Owalah ternyata Puri Plaza, merupakan sebuah kawasan ruko yang biasa dipakai sebagai tempat naik-turun penumpang bis. Disitu, seorang penumpang turun, dan seorang penumpang naik.
Puri Plasa Pati

Sesaat sebelum meninggalkan kota Pati, bis melewati sebuah bangunan besar yang akhirnya saya ketahui merupakan sebuah Supermarket yang Ada dimana-mana alias Ada Swalayan :D. akhirnya perjalanan kembali dilanjutkan dengan suasana kabupaten hingga masuk ke perbatasan Rembang.
ADA Pati dengan latar depan Patung (?)

Selamat Datang Kabupaten Rembang dengan slogannya Bangkit. Saya tidak begitu ingat ada apa saja di Rembang. Seingat saya hanya, bis melewati dalam kota, melewati depan Kantor Bupati yang berdekatan dengan Gedung DPRD, dan juga alun-alun yang sedang dalam proses pengembangan. Ohiya, sebelumnya saya juga ingat bis ini melewati gerbang sebuah tempat wisata Dampo Awang Beach. Empat tahun yang lalu saya ingat pernah terima proyek disitu dan tidak kesampaian karena proyek akhirnya gagal.


Alun-alun Rembang


Kemudian kami sampailah di Kota Lasem. Beberapa teman blog saya pernah membahas tentang hal-hal menarik di Lasem. Seperti historinya, keunikannya, dan lain sebagainnya yang sempat mereka tuangkan dalam sebuah “E Book Lasem”. Memang, berdasarkan pantauan saya, terlihat beberapa ornamen rumah kuno dan suasana yang sangat khas di Lasem ini. Usut-usut ingatan, saya jadi ingat bahwa Lasem ini merupakan salah satu kota tertua di Jawa. Tidak heran, waktu itu Lasem jadi jujugan teman-teman traveler. ;)
 
Keluar dari Kota Lasem, suasana tambah semarak karena saya baru ini bisa melihat pemandangan laut lepas tepat di sebelah kiri bis. Ya, di kiri, tampak laut jawa yang mencokelat. Bukan membiru loh! Hehehe. Sementara, di sebelah kanan kami berdiri dengan gagah benteng alam pegunungan. (Kendeng kah itu?) . saya tidak berhenti memotret dari dalam bis meski hasilnya tidak maksimal. Akhirnya, saat keluar kota Lasem dan masuk ke Jawa Timur, terlihatlah sebuah tulisan selamat jalan Rembang , Sea Front City. Cie ciee..



Pegunungan Kendeng ?
 
Hufft, siang itu kira kira sudah sekitar pukul setengah satu. Terlihat di sepanjang jalan yang kami lalui, banyak orang yang keluar dari menjalankan ibadah shalat jumat. Saya? Saya hari ini absen shalat jumat karena sedang menjadi musafir. Semoga dimaafkan. Amiin :). Sepanjang Kabupaten Tuban, suasana masih cukup terasa sama dengan apa yang saya temui di sepanjang Rembang. Jalanan yang cukup mulus, dengan panorama laut lepas. What a beautiful road :D

Tepat pukul satu siang, kami sampai di Tuban. Di tempat makan yang pernah saya samperi juga waktu pertama saya pulang dari Surabaya. Rasa Utama, namanya. Merupakan rekanan dari bis Indonesia dan Jaya Utama. Menunya, siang itu kami memilih makan nasi rames + telor asin. Lainnya, bisa pilih soto atau rawon. Setengah jam berlalu, kami segera kembali ke bis dan melanjutkan perjalanan.

Masuk Kota Tuban, saya merasa kota ini cukup lumayan ramai. Dengan beberapa spot yang cantik seperti alun-alun, sepanjang jalan di pinggir pantai, rest area, dan lainnya lupa. Tidak terasa, bis mulai memasuki Lamongan. Di Babat, masuk seorang penjual Wingko Babat. Saya ambil satu bungkus wingko yang masih anget berisi 20 biji. Cukup sepuluh ribu saja. Rasanya, enak untuk yang jarang makan kayak saya :D.

Jalan di Kota Tuban yang menatap Laut Jawa

Ornamen Asmaul Husna di salah satu ruas jalan

Rest area megah yang sepi

Masih di Tuban

Alun-alun Tuban

Ruas jalan yang rapi di timur alun-alun Tubans
 
Di Lamongan sendiri, saya cukupingat tata letak kotanya karena pernah membelah kota itu bersama Kereta Api. Bedanya, waktu itu lewat belakang, dan sekarang lewat depan rumah. Lamongan juga memiliki Lamongan Plaza dengan tenant nya Ramayana dan KFC. Cukup mencolok kehadirannya ditengah kota. Logo kota yaitu patung Lele+Buaya (betul tidak?) juga kelewatan saya potret. Hadeuh..
Suasana Pertigaan Babat

Lamongan Plaza

Kantor Bapermasdes Kab Lamongan. Kok bisa guede gini ya?


Ahh.. akhirnya sampai di Kecamatan Deket, Lamongan. Saya message pesanan rental motor saya karena sesaat lagi, pastilah kami masuk ke Kabupaten Gresik dan bis bakal masuk tol. Oke, betul saja. 
 
Bis lalu masuk tol dan perjalanan lancar jaya hingga masuk pintu tol Kebomas. Aduh, rupanya arah sebaliknya tersendat ada sekitar 10 km karena ada perbaikan jembatan. 


Masjid Al Akbar Surabaya
Saya tidak tahu saat akhirnya bis ini keluar dari tol dan menurunkan penumpang di daerah Pasar Turi. Tau begitu, saya pasti bakal milih turun sini biar dekat dengan rentalan motor. Ternyata juga, setelah menurunkan penumpang, bis memutar dan kembali masuk tol untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Terminal Bungurasih a.k.a Purabaya. Sayangnya, pintu keluar tol sangatlah macet. Ada sekitar 20 menit kami menunggu giliran untuk keluar.

Alhamdulillah, pukul lima sore kurang seperempat, kami berhasil merapat ke Terminal Bungurasih dan bertemu dengan mas Rental Motor. :D yes! Motor Beat merah ini kami tukar dengan KTP + uang tunai 500 ribu. Langsung kami geber ke SPBU karena bensin sudah mau habis. Surabayaaaaa! Tika terlihat begitu terpana dan merasakan nostalgianya selama 4 tahun di kota itu yang telah ditinggalkan selama tujuh bulan. Kami merangsek menyelinap truk-truk besar di sepanjang jalan Sepanjang. Sembari waktu berangsur malam, kami sampai juga di Unesa Surabaya.

Malam ini, kami makan penyetan di Gang 5. Sebuah warung makan penyet yang sudah tiga kali ini saya datangi. Penyetnya murah dan kenyang. Lauknya juga macam-macam. Akhirnyaaa.. tapi, sebuah problem datang ketika kami tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Lamongan. Bagaimana tidak, untuk sampai di tempat Septi – seperti yang kami rencanakan sebelumnya – kami harus melewati hamparan hutan jati, dan juga bulak bulak panjang yang pastinya sepi. Kami kesorean sampai di Surabaya. Kami pun seketika menjadi gembel yang tidak tahu harus tidur dimana. Telepon homestay langganan saya, tetapi penuh. Sehingga diputuskan untuk menginap semalam di penginapan dekat terminal Bungurasih 100 ribu saya semalam.

Badan terasa capek sekali dan panasnya Surabaya mulai terasa. Hembusan kipas dinding yang tersetel maksimal rupanya belum bisa mengalahkan panasnya kota ini. Huffft.. akhirnya mau tidak mau, kami pun segera tidur.
**
Hari Kedua Sabtu 17 Mei 2014
Jam setengah lima pagi, kami bangun dan mandi. Berita buruk menyambut. Diluar sana terpantau hujan lebat! Apalah iniiii… sedianya kami berniat berangkat jam 5 dari sini untuk meluncur ke Lamongan. Tapi sudahlah, kami telat sampai satu jam sembari menunggu hujan agak reda.

Pagi ini, jalanan becek dan gerimis cukup deras. Sepanjang kawasan Sepanjang (:D) hujan cukup deras, sepatu dan kaos kaki saya agak basah, tapi semangat tak pernah pudar. Saya menjadi agak bad mood. Sampai di Kawasan Wiyung, tampak di langit barat sebuah pelangi cantik terhampar. Subhanallah. Its beautiful moment ;) saya pun menjadi ngantuk (apa hubungannyaaaaa?!) iya, saya pagi ini masi terasa ngantuk.. dari Menganti, Tika gantian menjadi sopir dan saya dibelakang tidur. Zzz … melek-melek, sampai daerah Cerme, Gresik. Wow! Tika melibas jalanan-jalanan sempit dan handlingnya halus sehingga saya bisa tidur lelap. Hahaha :D

Wah, tidak bisa dibiarkan! Sampai di pertigaan besar dengan tugu ditengahnya, saya mampir ke Indomaret untuk membeli kopi Nescafe Black. Ngantuk sih hilang, tapi tetep aja saya di belakang. Bedanya, saya mulai aktif menjeprat jepret. Yey! Sepanjang perjalanan, saya temui banyak danau/embung di tengah sawah. Selain itu, di daerah situ, meski tempatnya terlihat pinggiran, namun masjid masjid berdiri dengan megah.




Kecepatan Tika mencapai 140 Km/jam
Tempat-tempat yang kami lalui adalah Benjeng, Balongpanggang dan Mantup. Sempat bertanya beberapa kali perihal tempat yang bernama Mantup ini. Owalah, ternyata adalah nama Kecamatan di perbatasan Gresik Lamongan. 






Suasana Kota Kecamatan Balongpanggang


Begitu masuk Mantup, kabupaten Lamongan, jalan mulai tidak datar. Ada sedikit seni naik turun. Dominasi sawah dan embung juga terganti oleh beberapa hutan jati. Masuk kota Mantup, kami belokkan beat merah ke kiri, dan kemudian mengambil arah ke kanan ke Ngimbang sesuai petunjuknya Septi. Di tempat-tempat di pinggir jalan, sudah terlihat nama jalannya adalah Jl Raya Sambeng. Wah, berarti kami sudah hampir sampai nih!


Suasana kota kecamatan Mantup

Beat Merah yang kami sewa
Ngoook. Kami belokkan motor ke sebuah musholla untuk ganti baju. Ya, tema kami saat ini kondangan jadi kami beristirahat sekalian ganti baju kira-kira 20 menit. Motor kembali melaju dan saya saat ini mengambil kendali motor dengan berada di depan. Bensin terasa mengkhawatirkan sehingga saat sampai di Sambeng, saya ampirkan motor ke penjual bensin eceran. Ternyata tidak jauh, 2 menit setelah membeli bensin, kami sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa. Aduh! Sampai di rumah Septi! Alhamdulillaaaah..

Okay, Septi ini temen kost satu kamarnya Tika saat kuliah dulu. Dan hari ini Septi menikah sementara kami masih sibuk pacaran :D apa apaan?!  Mereka pun berpelukan dengan emosional dan saya, tentu saya  tidak berpelukan dengan emosional sama pengantin laki-lakinya. :D. sejenak mereka kangen-kangenan sebelum acara ijab kabul dimulai. Barang satu jam kami menunggu, acara sakral itu digelar dan akhirnya.. Selamatttt atas pernikahannya :)




**

Di hari yang sama ini, Atun, teman Tika yang tinggal di Krian Sidoarjo juga melangsungkan resepsi pernikahannya. Untuk itu, setelah dirasa cukup, kami segera berpamitan dengan Septi dan mas Endra untuk kemudian kembali ke Surabaya yang akan kami tempuh dua jam perjalanan. Motor beat saya isikan bensin di SPBU Balongpanggang sembari makan snack, kemudian kami menyempatkan makan rawon balungan di bilangan Cerme Gresik.







 


Adzan dhuhur menyambut kami saat sampai kembali ke Lidah Wetan Surabaya. Tika mandi di kostnya. Lebih tepatnya mantan kost. Sementara saya bersih-bersih dan shalat di Musholla Al Ikhlas. Setelahnya saya menunggu Tika hingga ketiduran di teras kosnya. Berdasarkan rencana, kami sekarang harus ke Pakowon Trade Center (PTC) untuk sekedar mencari kado. Kadonya sudah kami tentukan yaitu sesuatu yang kami dapatkan di Matahari Dept Store sehingga menghemat waktu.
 Setengah tiga sore, setelah membungkus kado, kami segera bergerak meluncur ke Krian. Tika yang lebih hafal rutenya. Supaya lebih enak, kami melalui jalan tembus daerah Driyorejo. Dan salah satu adegannya adalah “nambang”. Aktivitas yang baru pertama ini saya jalani. :D jadi motor naik ke perahu, perahu itu dikemudikan oleh operator yang meniti tambang agar perahu sampai pada tepian ujung satunya. Kemudian, motor langsung dapat melanjutkan perjalanan. Sensasinya, yeerr yeeer,. Biasa aja :D Bayarnya, cukup 1000 rupiah saja. Murah kan!
 
Setelah nimbang, kami masih harus melewati pinggiran sungai besar dan sampailah kami di Krian! Macete rak umum. Dengan muka yang kucel, kami sampai di rumah Atun. Langsung kami salami Atun dan Takash yang siang itu menjadi pengantin. Langsung saja kami diarahkan ke meja makan minum :D
Selamat ya kawaan :)

Sebelum berpamitan, Tika rupanya terlibat obrolan kangen-kangenan dan serius sama Atun sehingga saya harus menunggu sekitar 10 menit. Tak mengapa lah. :) cukup sekitar 45 menit kami berada disana, kami harus pamit dan kembali ke Surabaya lagi. Pukul lima sore, saya mampir di Driyorejo untuk menunaikan shalat ashar dan kemudian melanjutkan perjalanan.
Nambang lagi :D

Badan rasanya capek-capek, dan menjelang maghrib ini kami harus cus ke Terminal Purabaya untuk kembali ke Semarang. Beat saya isi bensin tujuh ribu rupiah saja biar tidak terlalu banyak :D sampai di Terminal Bungurasih pukul 6,45 , kami segera mengembalian motor beat merah yang sudah saya konfirmasi siang tadi. Harga sewanya ditambah over time dua jam sebesar 10 ribu.

Sebelum pulang, saya sempatkan mandi di parkiran terminal. Ahhhh.. mandi adalah aktivitas yang paling menyenangkan di Surabaya saat panas seperti ini. Kira kira pukul setengah delapan, lagi lagi kembali kami dapat hot seat saat bis Patas Jaya Utama berwarna biru tengah bersiap berangkat ke Semarang. Perjalanan pulang ini saya isi dengan tidur karena badan yang terasa sangat capek.

Sumber : https://expertofsomething.wordpress.com/
Pukul sebelas malam, kami beristirahat di tempat makan yang sama. Saya memilih untuk makan rawon sementara Tika tetap berpegang teguh pada menunya ; nasi +telor asin :p. selepas makan, saya berkesempatan menikmati aksi pak Sopir dengan lihainya menyalib truk-truk bahkan bis lain di sepanjang Tuban. Bis biru mesin Hino ini dibungkus dengan body Galaxy EXL nya Tentrem. Interiornya saya rasa tidak jauh beda dengan Scorpion series. Rasa mesinnya juga sama. Akhirnya saya ketiduran lagii dan begitu bangun, sudah sampai di terminal Terboyo.
 **
Hari Ketiga Minggu 18 Mei 2014
Bis Trisakti jurusan Jogja sepagi ini jam tiga kurang seperempat sudah standby. Kami segera memasuki bis ekonomi tersebut. Nahas. Kami salah pilih karena di belakang kami ada Royal Safari dan Sumber Grup yang bisa berangkat lebih dulu. Saya menyesal semenyesal menyesalnya. Ditambah lagi, ngetemnya di Terboyo, Tri Sakti ini sampai 40 menit. Menjengkelkan :/

Akhirnya bis melaju juga memasuki tol. Saya kembali tidur dan terbangun saat bis kembali ngetem di Sukun. Kami bersiap untuk turun dan ganti bis karena kecewa bis berhenti terlalu lama. Baru mengangkat tas, niat langsung saya urungkan karena sopir masuk dan bis kembali melanjutkan perjalanan.

Alhamdulillah, pukul setengah lima pagi, kami sampai di Ungaran dengan selamat :). Entah mengapa saat sampai di kost Tika, hal yang saya lakukan adalah mencuci piring dan wajan. Hahaha. Kemudian segera berpamitan dan pulang ke kost saya untuk kemudian shalat subuh dan tidur sepanjang harii..


Credits :
Setia Abadi Rental Motor dan Mobil
+62 857 333 11117
+62 31 707 11117


 
Read More..

Thursday, May 1, 2014

130 Tahun Mengenang Thomas Karsten, Menjelajah Karya-Karya Fenomenalnya di Magelang


Peserta berfoto bersama dengan latar belakang Water Toren
Selayang Pandang
Sebagian masyarakat Magelang terkadang menyebutnya ‘kompor raksaksa’. Memang, bangunan yang kini berwarna biru-putih yang berdiri di salah satu sudut Alun-Alun Kota Magelang itu sekilas berbentuk mirip kompor minyak. Sebagai landmark Kota Magelang, tentu saja bangunan itu memiliki nilai historis yang sangat tinggi.

Adalah Herman Thomas Karsten, lahir 130 tahun yang lalu di Amsterdam, tepatnya pada 22 April 1884 sang perancang dibalik gagahnya bangunan menara air tersebut. Menjadi penasehat perencanaan kota telah ditekuninya sejak 1914 dimulai dari Kota Semarang. Ide-idenya sangat cemerlang dengan menggabungkan nuansa Eropa dan Jawa. Bukan menaruh Eropa di Jawa. 
Herman Thomas Karsten, sumber
Karirnya semakin melesat seiring dengan dirampungkannya pembangunan gedung gedung dan infrastruktur penting di beberapa kota antara lain di Malang, Madiun, Surakarta, hingga Magelang.  Sebut saja Pasar Johar Semarang dan Pasar Gedhe Solo yang merupakan sekelumit dari hasil prestasinya. Arsitek yang kemudian menikahi Soembinah, pada tahun 1921 itu dikaruniai 4 orang anak. Menikahi wanita pribumi, semakin menambah kecintaan Karsten pada Indonesia. Hingga tahun 1942 terakhir dia tertangkap oleh tentara Jepang dan ditahan di Kamp Interniran Cimahi hingga meninggal di tempat tersebut pada tahun 1945. Sesaat sebelum meninggal, dengan kondisinya yang lemah, ia sempat meminta dokternya yang juga merupakan tahanan untuk menulis pesan yang berbunyi “Indonesia bermoelialah, Indonesia bersatoelah”.

**
Briefing oleh Pak Gubernur KTM, Bagus Priyana
Kami, saya dan Tika bersama sekitar 70-an peserta dari Komunitas Kota Toea Magelang (KTM), Minggu (27/4) kemarin berkesempatan mengikuti event spesial bertajuk “Djeladjah 130 Tahoen Herman Thomas Karsten). Untung saja, kami mendapatkan ijin akses untuk masuk ke bangunan kompor raksasa tersebut. Menara air yang kini dikelola oleh PDAM Kota Magelang itu rupanya masih dapat berfungsi dengan baik.

Beberapa pipa besar dengan diamater sekitar 30 centimeter melintang diruangan bundar bagian bawah. Disekeliling, terlihat beberapa ruangan yang kini tampaknya digunakan hanya sebagai gudang saja. Sementara itu, sebuah lukisan tentang mata air Tuk Mas tertempel di salah satu dinding. “Konstruksi atapnya terlihat bekas anyaman bambu, saya pastikan waktu itu proses pengecorannya ditahan dengan kepang (anyaman bambu) yang ditahan dengan batang-batang bambu dibawahnya. Karena saat itu memang belum ada tripleks” ujar Bagus Priyana, koordinator KTM. 
Kondisi dalam water toren yang dilengkapi dengan lobang-lobang sebagai ventilasi udara.

Bagian tengah bangunan yang mulai beroperasi sejak Mei 1920 ini terlihat seperti beton raksasa bulat dengan diamater 3 meter. Di salah satu sisinya ada pintu untuk naik ke atas dengan menapaki anak tangga yang melingkar spiral. Kebetulan, siang itu kami tidak diperkenankan untuk menaiki dengan alasan keamanan. Sekilas terlihat di dua ruangan yang cukup sempit, ada semacam lobang yang didalamnya tertanam pipa-pipa besar dengan sebuah alat pengontrol tekanan air. Manometer namanya. Melihat merk-nya, manometer-manometer yang ada di sini adalah buatan Eropa yang dari sejak pertama dioperasikan, hingga kini belum pernah diganti sehingga masih sanggup untuk mendistribusikan air ke masyarakat Kota Magelang. 
Manometer di Water Toren

Water toren, nama asli bangunan ini merupakan salah satu bangunan fenomenal di Magelang yang perancangannya diotaki oleh Karsten dan dimulai pembangunannya pada 1916 dengan mengambil mata air dari Kalegen, Bandongan. Uniknya, untuk mengalirkan air dari sumbernya tidak ada cara kerja mesin sama sekali dengan menggunakan metode gravitasi karena mata air berada lebih tinggi dari menara air. Dari awal, fungsi utama dari penampung air dengan kapasasitas 1,750 juta liter air ini hingga sekarang tidak berubah. Hanya saja, bagian bawah yang dahulu digunakan untuk kantor, sekarang hanya berfungsi sebagai gudang dan ruang kendali saja.

Komposisi bangunan yang memiliki tinggi 21,2 meter ini menggunakan bligon yang merupakan campuran dari semen merah, kerakal, batu gamping, dan semen biasa. Bahkan dibeberapa bagian dalam, tampak konstruksi susunan bebatuan layaknya fondasi untuk menopang pilar-pilar yang berjumlah 32 buah. Sungguh karya yang monumental!

** 
Berjarak sekitar 500 meter dari Alun-alun ke arah selatan, dengan jalan kaki para peserta sampai di Monumen Tentara Pelajar, pintu masuk kawasan Gladiool. Meneer Rifkhi, salah seorang member yang datang dari Surabaya tampak berpidato dengan berapi-api di depan monumen. Saya kebetulan berada di belakang dan tidak begitu jelas mendengar penjelasannya. “Di tempat ini dan disekitar Gereja Kristen Jawa (GKJ) Bayeman serta sepanjang Jalan Bayeman, adalah tempat dihadangnya pasukan patroli Belanda oleh para Tentara Pelajar. Mereka menggunakan strategi hit and run dengan tujuan hanya mengganggu pasukan Belanda. Ketika tentara Belanda mencari, mereka telah bersembunyi” demikian penjelasan mas Meneer yang siang itu menggunakan topi dan seragam pejuang berwarna hitam-hitam lengkap dengan tempat peluru yang diselipkan di pinggang di sebelah depan kiri. 
Mas Meneer Rifkhi van Jogjakarta

Para pejuang yang dipimpin oleh Soetopo BI, lanjutnya, juga sempat mengadakan operasi di tahun 1949 dengan tujuan melucuti senjata Algeemene Politie di kawasan Kerkopan. Namun aksi mereka terpergok oleh tentara Belanda sehingga terjadi duel. Tak ayal, Soetopo yang tidak siap menghadapi serangan, menjadi sasaran tembak dan gugur di tempat. Jenazahnya sehari kemudian baru dikebumikan oleh masyarakat setempat. Saya sendiri baru tahu kenapa jalan di Kerkopan itu bernama Sutopo. Usut punya usut ternyata jawabannya saya dapatkan hari ini berkat mas Meneer yang membawa juga buku sejarah tentang Perjuangan Tentara Pelajar di Magelang.

**
Perumahan Gladiool kini menjadi perumahan elit dengan deretan rumah-rumah mewah di sepanjang Jl. MT Haryono. Siapa sangka? Dahulunya tempat ini merupakan salah satu target penataan pemukiman pada era 1930-an oleh pemerintah Hindia Belanda. Program saat itu bernama penataan pemukiman Bayeman Barat. Pekerjaan tersebut dimulai dengan pengeringan rawa dan pemindahan makam Cina. Oleh Karsten, pemukiman tersebut dikonsep dengan pembagian cluster-cluster. 

Saat ini memang, kawasan Gladiool jelas telah berubah dari kawasan aslinya. Namun, dengan memasuki beberapa gang seperti Gang Tresno dan Gang Rahayu, kami masih bisa menemukan sisa-sisa perumahan ‘ala’ Karsten ini. Salah satunya di pertigaan gang Penganti-anti. Dua buah rumah yang berhadapan itu tampak simetris. 
Satu dari dua rumah simetris di Gang Penganti-anti
Rumah dengan model kecil itu selain menjamin tersedianya ventilasi juga dilengkapi dengan unsur kaca dibagian timur. Bagus menjelaskan bahwa memang salah satu gaya Karsten, sirkulasi udara dan pencahayaan adalah salah satu yang diunggulkan dalam karya-karyanya. Tidak heran, paduan Karsten yang berhasil mengkonsep perumahan yang ramah lingkungan itu juga dilengkapi dengan halaman depan/samping yang bisa ditanami pepohonan ataupun bunga. 
Salah satu tipe rumah yang masih asli di perumahan Gladiool

Darisitu, kami bergerak pelan mengamati deretan rumah-rumah eksotis tersebut. Ternyata, model pucuk atap rumah-rumah ini berbeda-beda seiring dengan model rumahnya. Ada yang berbentuk ujung tombak, persegi panjang, berbentuk seperti yoni, dan lain lain. Saya rasa, ini berkaitan dengan pembagian blok-blok perumahan tersebut.  Setiap blok memiliki ukuran dan fasilitas yang berbeda-beda begitu juga dengan puncaknya sebagai penanda blok yang berbeda. 
Gladiool merupakan kawasan dengan kontur miring sehingga dalam gang-gang antar blok dibangun juga tangga penghubung antar beda ketinggian. Salah satunya ini.

**
Pada periode tahun 1930an, penataan pemukiman di Magelang termasuk buruk. Bahkan sempat terjadi banjir. Ungkapan mencengangkan tersebut keluar dari mulut Dr. Wahyu Utami saat memandu kami memasuki kawasan Kwarasan. Akibatnya, sambungnya, juga terjadi wabah penyakit karena adanya perumahan kumuh. Akhirnya pemerintah kota dengan dibantu oleh arsitek Thomas Karsten memulai program penataan kampung kumuh untuk disulap menjadi pemukiman sehat.

Sembari berlalu menuju lapangan Kwarasan, mbak Wahyu, sapaan akrabnya, melanjutkan cerita tentang konsep penataan kawasan yang dulunya dikenal dengan istilah Ngupasan/Kedjoeron tersebut. “Lapangan ini dikonsep seperti alun-alun pada sebuah kota kecil. Di sisi sebelah utara, dipastikan merupakan sebuah rumah utama yang seolah-olah ditata sebagai rumah bupati” ungkapnya. Penataan kawasan ini memang, sangat memperhatikan konsep alam. Bagaimana membuat pemukiman yang sehat secara fisik dan menyehatkan jiwa juga tentunya. Hingga kini dapat dilihat, ada tiga tipe rumah yang ada di kampung ini. Tipe besar, adalah yang berada di kontur paling tinggi. Bisa menghadap ke kawasan bawahnya, dan juga bisa menghadap ke panorama gunung Sumbing. Dibawahnya, adalah tipe sedang yang lokasinya lebih rendah. Sedangkan, rumah-rumah kecil yang ada di dalam gang adalah tipe kecil dengan akses gang-gang menuju ke lapangan utama. Satu yang sangat diperhatikan oleh Karsten adalah lahan depan ataupun samping rumah yang dimanfaatkan sebagai taman. 

Mbak Wahyu, membawa megaphone
Salah satu rumah tipe kecil yang bentuknya masih asli, dilengkapi dengan halaman depan dan samping
Kebetulan juga, kami beruntung dapat berkunjung ke salah satu rumah yang sayangnya sudah tidak dalam bentuk aslinya. Di rumah bercorak orange itulah Pak Budhi tinggal, putra dari Alm. Soewito. Pensiunan PNS itu saat ini sehari-hari mengajar di Unsiq Wonosobo dan juga Untidar Magelang. Ayahnya, Alm. Soewito merupakan pejuang kemerdekaan yang memiliki jiwa seni yang tinggi. “dahulu ada banyak sekali koleksi lukisan ayah saya. Barangkali ada seratusan, namun sekarang sudah habis dibagi-bagi dan tinggal dua saja yang masih saya simpan” paparnya sesaat setelah kami para peserta memasuki bagian ruang tamu dan disambut kudapan makanan ringan. Lebih lanjut beliau menjelaskan tentang dua lukisan berukuran sekitar 1x2 meter di dinding ruang tamunya. Yang satu bercerita tentang Perang Diponegoro, dan satunya merupakan suasana perang di sekitar Jl. A. Yani Magelang. 

Selain itu, Pak Budhi juga menyambut baik kegiatan komunitas untuk lebih mengungkap sejarah kota sendiri khususnya dalam menjaga bangunan-bangunan bersejarah. Saat ditanyakan oleh Mbak Wahyu tentang arsitektur rumah, beliau mengatakan bahwa yang saat ini menjadi ruang tamu, dahulunya merupakan taman terbuka.  
Foto bersama Pak Budhi (batik merah) di depan kediamannya

**  
Pintu masuk Bunker/Goa Jepang
Sebuah bunker yang merana itu berada di salah satu sudut kampung Kwarasan. Dengan pintu masuk berukuran sekitar 200x75 cm, ruangan gelap yang kerap disebut Goa Jepang itu memaksa saya untuk penasaran memasukinya. Berbekal senter di hape, saya pun menyelinap kedalam. Baru beberapa langkah saya masuk, didalamnya ada sebuah lobi dengan beberapa ruang yang mengelilinginya. Saya hitung jumlahnya ada 5 ruangan. Sementara itu, diatas langit-langit lobi, tampak sebuah lobang menganga keatas yang saya ketahui kemudian adalah bekas ventilasi. Berdasarkan info yang saya dapatkan, bunker ini hingga saat ini belum diketahui dibangun oleh siapa. Tapi besar kemungkinan, pembangunannya bersamaan dengan proyek pemerintah kota yang saat itu ditangani oleh Lucht Bescherming Diens (Dinas Perlindungan Udara) untuk membangun bunker-bunker dibeberapa titik sebagai antisipasi bahaya bencana alam seperti gunung meletus dan juga berjaga-jaga akan adanya perang dengan Jepang yang saat itu sudah mulai diendus oleh pemerintah Belanda.

**
Pukul satu siang, acara Djeladjah Thomas Karsten pun di tutup. Penutupan kali ini terasa istimewa, luar biasa, bombastis, spektakuler dan fantastis karena dilengkapi dengan makan bersama kuliner KTM. Apalagi kalau bukan Megono mbak Ayu Kusuma Dewi? Ya, kami mengucapkan terimakasih juga kepada mba Diah Vita yang telah menyiapkan tempat sebagai final point kami siang itu dan berhasil mengecharge tenaga dengan menyantap megono lengkap dengan teman-temannya seperti gereh layur, tempe/tahu bacem, keripik gendar, dan kontolir alias keripik singkong. Tidak ketinggalan juga, kudapan KTM tersaji di depan mata antara lain kue pukis dan nogosari. 
Final Point, Megono  by Mbak Ayu Kusuma Dewi

Terimakasih!

Credits :
Booklet : Djeladjah 130 Herman Thomas Karsten, Kota Toea Magelang, 2014
Pictures : Widoyoko Magelang
Read More..
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...