Peserta berfoto bersama dengan latar belakang Water Toren |
Selayang Pandang
Sebagian masyarakat Magelang terkadang menyebutnya ‘kompor
raksaksa’. Memang, bangunan yang kini berwarna biru-putih yang berdiri di salah
satu sudut Alun-Alun Kota Magelang itu sekilas berbentuk mirip kompor minyak.
Sebagai landmark Kota Magelang, tentu saja bangunan itu memiliki nilai historis
yang sangat tinggi.
Adalah Herman Thomas Karsten, lahir 130 tahun yang lalu di
Amsterdam, tepatnya pada 22 April 1884 sang perancang dibalik gagahnya bangunan
menara air tersebut. Menjadi penasehat perencanaan kota telah ditekuninya sejak
1914 dimulai dari Kota Semarang. Ide-idenya sangat cemerlang dengan
menggabungkan nuansa Eropa dan Jawa. Bukan menaruh Eropa di Jawa.
Karirnya
semakin melesat seiring dengan dirampungkannya pembangunan gedung gedung
dan infrastruktur penting di beberapa kota antara lain di Malang, Madiun, Surakarta, hingga
Magelang. Sebut saja Pasar Johar Semarang dan Pasar Gedhe Solo yang merupakan sekelumit dari hasil prestasinya. Arsitek yang kemudian menikahi Soembinah, pada tahun 1921 itu
dikaruniai 4 orang anak. Menikahi wanita pribumi, semakin menambah kecintaan
Karsten pada Indonesia. Hingga tahun 1942 terakhir dia tertangkap oleh tentara
Jepang dan ditahan di Kamp Interniran Cimahi hingga meninggal di tempat
tersebut pada tahun 1945. Sesaat sebelum meninggal, dengan kondisinya yang
lemah, ia sempat meminta dokternya yang juga merupakan tahanan untuk menulis pesan
yang berbunyi “Indonesia bermoelialah, Indonesia bersatoelah”.
Herman Thomas Karsten, sumber |
**
Briefing oleh Pak Gubernur KTM, Bagus Priyana |
Kami, saya dan Tika bersama sekitar 70-an peserta dari Komunitas
Kota Toea Magelang (KTM), Minggu (27/4) kemarin berkesempatan mengikuti event
spesial bertajuk “Djeladjah 130 Tahoen Herman Thomas Karsten). Untung saja,
kami mendapatkan ijin akses untuk masuk ke bangunan kompor raksasa tersebut.
Menara air yang kini dikelola oleh PDAM Kota Magelang itu rupanya masih dapat
berfungsi dengan baik.
Beberapa pipa besar dengan diamater sekitar 30 centimeter
melintang diruangan bundar bagian bawah. Disekeliling, terlihat beberapa
ruangan yang kini tampaknya digunakan hanya sebagai gudang saja. Sementara itu,
sebuah lukisan tentang mata air Tuk Mas tertempel di salah satu dinding.
“Konstruksi atapnya terlihat bekas anyaman bambu, saya pastikan waktu itu
proses pengecorannya ditahan dengan kepang (anyaman bambu) yang ditahan dengan
batang-batang bambu dibawahnya. Karena saat itu memang belum ada tripleks” ujar
Bagus Priyana, koordinator KTM.
Kondisi dalam water toren yang dilengkapi dengan lobang-lobang sebagai ventilasi udara. |
Bagian tengah bangunan yang mulai beroperasi sejak Mei 1920 ini
terlihat seperti beton raksasa bulat dengan diamater 3 meter. Di salah satu
sisinya ada pintu untuk naik ke atas dengan menapaki anak tangga yang melingkar
spiral. Kebetulan, siang itu kami tidak diperkenankan untuk menaiki dengan
alasan keamanan. Sekilas terlihat di dua ruangan yang cukup sempit, ada semacam
lobang yang didalamnya tertanam pipa-pipa besar dengan sebuah alat pengontrol
tekanan air. Manometer namanya. Melihat merk-nya, manometer-manometer yang ada
di sini adalah buatan Eropa yang dari sejak pertama dioperasikan, hingga kini
belum pernah diganti sehingga masih sanggup untuk mendistribusikan air ke
masyarakat Kota Magelang.
Manometer di Water Toren |
Water toren, nama asli bangunan ini merupakan salah
satu bangunan fenomenal di Magelang yang perancangannya diotaki oleh Karsten
dan dimulai pembangunannya pada 1916 dengan mengambil mata air dari Kalegen,
Bandongan. Uniknya, untuk mengalirkan air dari sumbernya tidak ada cara kerja
mesin sama sekali dengan menggunakan metode gravitasi karena mata air berada
lebih tinggi dari menara air. Dari awal, fungsi utama dari penampung air dengan
kapasasitas 1,750 juta liter air ini hingga sekarang tidak berubah. Hanya saja,
bagian bawah yang dahulu digunakan untuk kantor, sekarang hanya berfungsi
sebagai gudang dan ruang kendali saja.
Komposisi bangunan yang memiliki tinggi 21,2 meter ini menggunakan
bligon yang merupakan campuran dari semen merah, kerakal, batu gamping, dan
semen biasa. Bahkan dibeberapa bagian dalam, tampak konstruksi susunan bebatuan
layaknya fondasi untuk menopang pilar-pilar yang berjumlah 32 buah. Sungguh
karya yang monumental!
**
Berjarak sekitar 500 meter dari Alun-alun ke arah selatan, dengan
jalan kaki para peserta sampai di Monumen Tentara Pelajar, pintu masuk kawasan
Gladiool. Meneer Rifkhi, salah seorang member yang datang dari Surabaya tampak
berpidato dengan berapi-api di depan monumen. Saya kebetulan berada di belakang
dan tidak begitu jelas mendengar penjelasannya. “Di tempat ini dan disekitar Gereja
Kristen Jawa (GKJ) Bayeman serta sepanjang Jalan Bayeman, adalah tempat
dihadangnya pasukan patroli Belanda oleh para Tentara Pelajar. Mereka
menggunakan strategi hit and run dengan tujuan hanya mengganggu pasukan
Belanda. Ketika tentara Belanda mencari, mereka telah bersembunyi” demikian
penjelasan mas Meneer yang siang itu menggunakan topi dan seragam pejuang
berwarna hitam-hitam lengkap dengan tempat peluru yang diselipkan di pinggang
di sebelah depan kiri.
Mas Meneer Rifkhi van Jogjakarta |
Para pejuang yang dipimpin oleh Soetopo BI, lanjutnya, juga sempat
mengadakan operasi di tahun 1949 dengan tujuan melucuti senjata Algeemene
Politie di kawasan Kerkopan. Namun aksi mereka terpergok oleh tentara Belanda
sehingga terjadi duel. Tak ayal, Soetopo yang tidak siap menghadapi serangan,
menjadi sasaran tembak dan gugur di tempat. Jenazahnya sehari kemudian baru
dikebumikan oleh masyarakat setempat. Saya sendiri baru tahu kenapa jalan di
Kerkopan itu bernama Sutopo. Usut punya usut ternyata jawabannya saya dapatkan
hari ini berkat mas Meneer yang membawa juga buku sejarah tentang Perjuangan
Tentara Pelajar di Magelang.
**
Perumahan Gladiool kini menjadi perumahan elit dengan deretan
rumah-rumah mewah di sepanjang Jl. MT Haryono. Siapa sangka? Dahulunya tempat
ini merupakan salah satu target penataan pemukiman pada era 1930-an oleh
pemerintah Hindia Belanda. Program saat itu bernama penataan pemukiman Bayeman
Barat. Pekerjaan tersebut dimulai dengan pengeringan rawa dan pemindahan makam
Cina. Oleh Karsten, pemukiman tersebut dikonsep dengan pembagian
cluster-cluster.
Saat ini memang, kawasan Gladiool jelas telah berubah dari kawasan
aslinya. Namun, dengan memasuki beberapa gang seperti Gang Tresno dan Gang
Rahayu, kami masih bisa menemukan sisa-sisa perumahan ‘ala’ Karsten ini. Salah
satunya di pertigaan gang Penganti-anti. Dua buah rumah yang berhadapan itu
tampak simetris.
Satu dari dua rumah simetris di Gang Penganti-anti |
Rumah dengan model kecil itu selain menjamin tersedianya
ventilasi juga dilengkapi dengan unsur kaca dibagian timur. Bagus menjelaskan
bahwa memang salah satu gaya Karsten, sirkulasi udara dan pencahayaan adalah
salah satu yang diunggulkan dalam karya-karyanya. Tidak heran, paduan Karsten
yang berhasil mengkonsep perumahan yang ramah lingkungan itu juga dilengkapi
dengan halaman depan/samping yang bisa ditanami pepohonan ataupun bunga.
Salah satu tipe rumah yang masih asli di perumahan Gladiool |
Darisitu, kami bergerak pelan mengamati deretan rumah-rumah
eksotis tersebut. Ternyata, model pucuk atap rumah-rumah ini berbeda-beda
seiring dengan model rumahnya. Ada yang berbentuk ujung tombak, persegi
panjang, berbentuk seperti yoni, dan lain lain. Saya rasa, ini berkaitan dengan
pembagian blok-blok perumahan tersebut.
Setiap blok memiliki ukuran dan fasilitas yang berbeda-beda begitu juga
dengan puncaknya sebagai penanda blok yang berbeda.
Gladiool merupakan kawasan dengan kontur miring sehingga dalam gang-gang antar blok dibangun juga tangga penghubung antar beda ketinggian. Salah satunya ini. |
**
Pada periode tahun 1930an, penataan pemukiman di Magelang termasuk
buruk. Bahkan sempat terjadi banjir. Ungkapan mencengangkan tersebut keluar
dari mulut Dr. Wahyu Utami saat memandu kami memasuki kawasan Kwarasan.
Akibatnya, sambungnya, juga terjadi wabah penyakit karena adanya perumahan
kumuh. Akhirnya pemerintah kota dengan dibantu oleh arsitek Thomas Karsten
memulai program penataan kampung kumuh untuk disulap menjadi pemukiman sehat.
Sembari berlalu menuju lapangan Kwarasan, mbak Wahyu, sapaan
akrabnya, melanjutkan cerita tentang konsep penataan kawasan yang dulunya
dikenal dengan istilah Ngupasan/Kedjoeron tersebut. “Lapangan ini dikonsep
seperti alun-alun pada sebuah kota kecil. Di sisi sebelah utara, dipastikan
merupakan sebuah rumah utama yang seolah-olah ditata sebagai rumah bupati”
ungkapnya. Penataan kawasan ini memang, sangat memperhatikan konsep alam.
Bagaimana membuat pemukiman yang sehat secara fisik dan menyehatkan jiwa juga
tentunya. Hingga kini dapat dilihat, ada tiga tipe rumah yang ada di kampung
ini. Tipe besar, adalah yang berada di kontur paling tinggi. Bisa menghadap ke
kawasan bawahnya, dan juga bisa menghadap ke panorama gunung Sumbing.
Dibawahnya, adalah tipe sedang yang lokasinya lebih rendah. Sedangkan,
rumah-rumah kecil yang ada di dalam gang adalah tipe kecil dengan akses
gang-gang menuju ke lapangan utama. Satu yang sangat diperhatikan oleh Karsten
adalah lahan depan ataupun samping rumah yang dimanfaatkan sebagai taman.
Mbak Wahyu, membawa megaphone |
Salah satu rumah tipe kecil yang bentuknya masih asli, dilengkapi dengan halaman depan dan samping |
Kebetulan juga, kami beruntung dapat berkunjung ke salah satu
rumah yang sayangnya sudah tidak dalam bentuk aslinya. Di rumah bercorak orange itulah Pak
Budhi tinggal, putra dari Alm. Soewito. Pensiunan PNS itu saat ini sehari-hari
mengajar di Unsiq Wonosobo dan juga Untidar Magelang. Ayahnya, Alm. Soewito
merupakan pejuang kemerdekaan yang memiliki jiwa seni yang tinggi. “dahulu ada
banyak sekali koleksi lukisan ayah saya. Barangkali ada seratusan, namun
sekarang sudah habis dibagi-bagi dan tinggal dua saja yang masih saya simpan”
paparnya sesaat setelah kami para peserta memasuki bagian ruang tamu dan
disambut kudapan makanan ringan. Lebih lanjut beliau menjelaskan tentang dua
lukisan berukuran sekitar 1x2 meter di dinding ruang tamunya. Yang satu
bercerita tentang Perang Diponegoro, dan satunya merupakan suasana perang di
sekitar Jl. A. Yani Magelang.
Selain itu, Pak Budhi juga menyambut baik kegiatan komunitas untuk
lebih mengungkap sejarah kota sendiri khususnya dalam menjaga bangunan-bangunan
bersejarah. Saat ditanyakan oleh Mbak Wahyu tentang arsitektur rumah, beliau
mengatakan bahwa yang saat ini menjadi ruang tamu, dahulunya merupakan taman
terbuka.
Foto bersama Pak Budhi (batik merah) di depan kediamannya |
**
Pintu masuk Bunker/Goa Jepang |
Sebuah bunker yang merana itu berada di salah satu sudut kampung
Kwarasan. Dengan pintu masuk berukuran sekitar 200x75 cm, ruangan gelap yang kerap disebut Goa Jepang itu
memaksa saya untuk penasaran memasukinya. Berbekal senter di hape, saya pun
menyelinap kedalam. Baru beberapa langkah saya masuk, didalamnya ada sebuah
lobi dengan beberapa ruang yang mengelilinginya. Saya hitung jumlahnya ada 5
ruangan. Sementara itu, diatas langit-langit lobi, tampak sebuah lobang
menganga keatas yang saya ketahui kemudian adalah bekas ventilasi. Berdasarkan
info yang saya dapatkan, bunker ini hingga saat ini belum diketahui dibangun
oleh siapa. Tapi besar kemungkinan, pembangunannya bersamaan dengan proyek
pemerintah kota yang saat itu ditangani oleh Lucht Bescherming Diens (Dinas
Perlindungan Udara) untuk membangun bunker-bunker dibeberapa titik sebagai antisipasi
bahaya bencana alam seperti gunung meletus dan juga berjaga-jaga akan adanya
perang dengan Jepang yang saat itu sudah mulai diendus oleh pemerintah Belanda.
**
Pukul satu siang, acara Djeladjah Thomas Karsten pun di tutup.
Penutupan kali ini terasa istimewa, luar biasa, bombastis, spektakuler dan
fantastis karena dilengkapi dengan makan bersama kuliner KTM. Apalagi kalau
bukan Megono mbak Ayu Kusuma Dewi? Ya, kami mengucapkan terimakasih juga kepada
mba Diah Vita yang telah menyiapkan tempat sebagai final point kami siang itu
dan berhasil mengecharge tenaga dengan menyantap megono lengkap dengan
teman-temannya seperti gereh layur, tempe/tahu bacem, keripik gendar, dan
kontolir alias keripik singkong. Tidak ketinggalan juga, kudapan KTM tersaji di
depan mata antara lain kue pukis dan nogosari.
Final Point, Megono by Mbak Ayu Kusuma Dewi |
Terimakasih!
Credits :
Booklet : Djeladjah 130 Herman Thomas Karsten, Kota Toea Magelang, 2014
Pictures : Widoyoko Magelang
kue pukis po kue putu ayu yo mas hamid
ReplyDeleteGelaaaa pisan nggak ikut acara ini... Goa Jepangnya lumayan nih kalau dibuat jadi objek wisata Magelang hehehe. Suk antar ke sana ya bro *ngarep* ^^
ReplyDelete@Diana : Eh aku lihat pukis. Kalo ada yg lihat putu, saya kebetulan nggak lihat :D
ReplyDelete@Halim San : Wah iya dongs. Pasti gelo karena nggak ikut makan megono kan? wkwkwk ..
Yuk ke Magelang, saya antar ke Goa Jepang