Thursday, May 1, 2014

130 Tahun Mengenang Thomas Karsten, Menjelajah Karya-Karya Fenomenalnya di Magelang


Peserta berfoto bersama dengan latar belakang Water Toren
Selayang Pandang
Sebagian masyarakat Magelang terkadang menyebutnya ‘kompor raksaksa’. Memang, bangunan yang kini berwarna biru-putih yang berdiri di salah satu sudut Alun-Alun Kota Magelang itu sekilas berbentuk mirip kompor minyak. Sebagai landmark Kota Magelang, tentu saja bangunan itu memiliki nilai historis yang sangat tinggi.

Adalah Herman Thomas Karsten, lahir 130 tahun yang lalu di Amsterdam, tepatnya pada 22 April 1884 sang perancang dibalik gagahnya bangunan menara air tersebut. Menjadi penasehat perencanaan kota telah ditekuninya sejak 1914 dimulai dari Kota Semarang. Ide-idenya sangat cemerlang dengan menggabungkan nuansa Eropa dan Jawa. Bukan menaruh Eropa di Jawa. 
Herman Thomas Karsten, sumber
Karirnya semakin melesat seiring dengan dirampungkannya pembangunan gedung gedung dan infrastruktur penting di beberapa kota antara lain di Malang, Madiun, Surakarta, hingga Magelang.  Sebut saja Pasar Johar Semarang dan Pasar Gedhe Solo yang merupakan sekelumit dari hasil prestasinya. Arsitek yang kemudian menikahi Soembinah, pada tahun 1921 itu dikaruniai 4 orang anak. Menikahi wanita pribumi, semakin menambah kecintaan Karsten pada Indonesia. Hingga tahun 1942 terakhir dia tertangkap oleh tentara Jepang dan ditahan di Kamp Interniran Cimahi hingga meninggal di tempat tersebut pada tahun 1945. Sesaat sebelum meninggal, dengan kondisinya yang lemah, ia sempat meminta dokternya yang juga merupakan tahanan untuk menulis pesan yang berbunyi “Indonesia bermoelialah, Indonesia bersatoelah”.

**
Briefing oleh Pak Gubernur KTM, Bagus Priyana
Kami, saya dan Tika bersama sekitar 70-an peserta dari Komunitas Kota Toea Magelang (KTM), Minggu (27/4) kemarin berkesempatan mengikuti event spesial bertajuk “Djeladjah 130 Tahoen Herman Thomas Karsten). Untung saja, kami mendapatkan ijin akses untuk masuk ke bangunan kompor raksasa tersebut. Menara air yang kini dikelola oleh PDAM Kota Magelang itu rupanya masih dapat berfungsi dengan baik.

Beberapa pipa besar dengan diamater sekitar 30 centimeter melintang diruangan bundar bagian bawah. Disekeliling, terlihat beberapa ruangan yang kini tampaknya digunakan hanya sebagai gudang saja. Sementara itu, sebuah lukisan tentang mata air Tuk Mas tertempel di salah satu dinding. “Konstruksi atapnya terlihat bekas anyaman bambu, saya pastikan waktu itu proses pengecorannya ditahan dengan kepang (anyaman bambu) yang ditahan dengan batang-batang bambu dibawahnya. Karena saat itu memang belum ada tripleks” ujar Bagus Priyana, koordinator KTM. 
Kondisi dalam water toren yang dilengkapi dengan lobang-lobang sebagai ventilasi udara.

Bagian tengah bangunan yang mulai beroperasi sejak Mei 1920 ini terlihat seperti beton raksasa bulat dengan diamater 3 meter. Di salah satu sisinya ada pintu untuk naik ke atas dengan menapaki anak tangga yang melingkar spiral. Kebetulan, siang itu kami tidak diperkenankan untuk menaiki dengan alasan keamanan. Sekilas terlihat di dua ruangan yang cukup sempit, ada semacam lobang yang didalamnya tertanam pipa-pipa besar dengan sebuah alat pengontrol tekanan air. Manometer namanya. Melihat merk-nya, manometer-manometer yang ada di sini adalah buatan Eropa yang dari sejak pertama dioperasikan, hingga kini belum pernah diganti sehingga masih sanggup untuk mendistribusikan air ke masyarakat Kota Magelang. 
Manometer di Water Toren

Water toren, nama asli bangunan ini merupakan salah satu bangunan fenomenal di Magelang yang perancangannya diotaki oleh Karsten dan dimulai pembangunannya pada 1916 dengan mengambil mata air dari Kalegen, Bandongan. Uniknya, untuk mengalirkan air dari sumbernya tidak ada cara kerja mesin sama sekali dengan menggunakan metode gravitasi karena mata air berada lebih tinggi dari menara air. Dari awal, fungsi utama dari penampung air dengan kapasasitas 1,750 juta liter air ini hingga sekarang tidak berubah. Hanya saja, bagian bawah yang dahulu digunakan untuk kantor, sekarang hanya berfungsi sebagai gudang dan ruang kendali saja.

Komposisi bangunan yang memiliki tinggi 21,2 meter ini menggunakan bligon yang merupakan campuran dari semen merah, kerakal, batu gamping, dan semen biasa. Bahkan dibeberapa bagian dalam, tampak konstruksi susunan bebatuan layaknya fondasi untuk menopang pilar-pilar yang berjumlah 32 buah. Sungguh karya yang monumental!

** 
Berjarak sekitar 500 meter dari Alun-alun ke arah selatan, dengan jalan kaki para peserta sampai di Monumen Tentara Pelajar, pintu masuk kawasan Gladiool. Meneer Rifkhi, salah seorang member yang datang dari Surabaya tampak berpidato dengan berapi-api di depan monumen. Saya kebetulan berada di belakang dan tidak begitu jelas mendengar penjelasannya. “Di tempat ini dan disekitar Gereja Kristen Jawa (GKJ) Bayeman serta sepanjang Jalan Bayeman, adalah tempat dihadangnya pasukan patroli Belanda oleh para Tentara Pelajar. Mereka menggunakan strategi hit and run dengan tujuan hanya mengganggu pasukan Belanda. Ketika tentara Belanda mencari, mereka telah bersembunyi” demikian penjelasan mas Meneer yang siang itu menggunakan topi dan seragam pejuang berwarna hitam-hitam lengkap dengan tempat peluru yang diselipkan di pinggang di sebelah depan kiri. 
Mas Meneer Rifkhi van Jogjakarta

Para pejuang yang dipimpin oleh Soetopo BI, lanjutnya, juga sempat mengadakan operasi di tahun 1949 dengan tujuan melucuti senjata Algeemene Politie di kawasan Kerkopan. Namun aksi mereka terpergok oleh tentara Belanda sehingga terjadi duel. Tak ayal, Soetopo yang tidak siap menghadapi serangan, menjadi sasaran tembak dan gugur di tempat. Jenazahnya sehari kemudian baru dikebumikan oleh masyarakat setempat. Saya sendiri baru tahu kenapa jalan di Kerkopan itu bernama Sutopo. Usut punya usut ternyata jawabannya saya dapatkan hari ini berkat mas Meneer yang membawa juga buku sejarah tentang Perjuangan Tentara Pelajar di Magelang.

**
Perumahan Gladiool kini menjadi perumahan elit dengan deretan rumah-rumah mewah di sepanjang Jl. MT Haryono. Siapa sangka? Dahulunya tempat ini merupakan salah satu target penataan pemukiman pada era 1930-an oleh pemerintah Hindia Belanda. Program saat itu bernama penataan pemukiman Bayeman Barat. Pekerjaan tersebut dimulai dengan pengeringan rawa dan pemindahan makam Cina. Oleh Karsten, pemukiman tersebut dikonsep dengan pembagian cluster-cluster. 

Saat ini memang, kawasan Gladiool jelas telah berubah dari kawasan aslinya. Namun, dengan memasuki beberapa gang seperti Gang Tresno dan Gang Rahayu, kami masih bisa menemukan sisa-sisa perumahan ‘ala’ Karsten ini. Salah satunya di pertigaan gang Penganti-anti. Dua buah rumah yang berhadapan itu tampak simetris. 
Satu dari dua rumah simetris di Gang Penganti-anti
Rumah dengan model kecil itu selain menjamin tersedianya ventilasi juga dilengkapi dengan unsur kaca dibagian timur. Bagus menjelaskan bahwa memang salah satu gaya Karsten, sirkulasi udara dan pencahayaan adalah salah satu yang diunggulkan dalam karya-karyanya. Tidak heran, paduan Karsten yang berhasil mengkonsep perumahan yang ramah lingkungan itu juga dilengkapi dengan halaman depan/samping yang bisa ditanami pepohonan ataupun bunga. 
Salah satu tipe rumah yang masih asli di perumahan Gladiool

Darisitu, kami bergerak pelan mengamati deretan rumah-rumah eksotis tersebut. Ternyata, model pucuk atap rumah-rumah ini berbeda-beda seiring dengan model rumahnya. Ada yang berbentuk ujung tombak, persegi panjang, berbentuk seperti yoni, dan lain lain. Saya rasa, ini berkaitan dengan pembagian blok-blok perumahan tersebut.  Setiap blok memiliki ukuran dan fasilitas yang berbeda-beda begitu juga dengan puncaknya sebagai penanda blok yang berbeda. 
Gladiool merupakan kawasan dengan kontur miring sehingga dalam gang-gang antar blok dibangun juga tangga penghubung antar beda ketinggian. Salah satunya ini.

**
Pada periode tahun 1930an, penataan pemukiman di Magelang termasuk buruk. Bahkan sempat terjadi banjir. Ungkapan mencengangkan tersebut keluar dari mulut Dr. Wahyu Utami saat memandu kami memasuki kawasan Kwarasan. Akibatnya, sambungnya, juga terjadi wabah penyakit karena adanya perumahan kumuh. Akhirnya pemerintah kota dengan dibantu oleh arsitek Thomas Karsten memulai program penataan kampung kumuh untuk disulap menjadi pemukiman sehat.

Sembari berlalu menuju lapangan Kwarasan, mbak Wahyu, sapaan akrabnya, melanjutkan cerita tentang konsep penataan kawasan yang dulunya dikenal dengan istilah Ngupasan/Kedjoeron tersebut. “Lapangan ini dikonsep seperti alun-alun pada sebuah kota kecil. Di sisi sebelah utara, dipastikan merupakan sebuah rumah utama yang seolah-olah ditata sebagai rumah bupati” ungkapnya. Penataan kawasan ini memang, sangat memperhatikan konsep alam. Bagaimana membuat pemukiman yang sehat secara fisik dan menyehatkan jiwa juga tentunya. Hingga kini dapat dilihat, ada tiga tipe rumah yang ada di kampung ini. Tipe besar, adalah yang berada di kontur paling tinggi. Bisa menghadap ke kawasan bawahnya, dan juga bisa menghadap ke panorama gunung Sumbing. Dibawahnya, adalah tipe sedang yang lokasinya lebih rendah. Sedangkan, rumah-rumah kecil yang ada di dalam gang adalah tipe kecil dengan akses gang-gang menuju ke lapangan utama. Satu yang sangat diperhatikan oleh Karsten adalah lahan depan ataupun samping rumah yang dimanfaatkan sebagai taman. 

Mbak Wahyu, membawa megaphone
Salah satu rumah tipe kecil yang bentuknya masih asli, dilengkapi dengan halaman depan dan samping
Kebetulan juga, kami beruntung dapat berkunjung ke salah satu rumah yang sayangnya sudah tidak dalam bentuk aslinya. Di rumah bercorak orange itulah Pak Budhi tinggal, putra dari Alm. Soewito. Pensiunan PNS itu saat ini sehari-hari mengajar di Unsiq Wonosobo dan juga Untidar Magelang. Ayahnya, Alm. Soewito merupakan pejuang kemerdekaan yang memiliki jiwa seni yang tinggi. “dahulu ada banyak sekali koleksi lukisan ayah saya. Barangkali ada seratusan, namun sekarang sudah habis dibagi-bagi dan tinggal dua saja yang masih saya simpan” paparnya sesaat setelah kami para peserta memasuki bagian ruang tamu dan disambut kudapan makanan ringan. Lebih lanjut beliau menjelaskan tentang dua lukisan berukuran sekitar 1x2 meter di dinding ruang tamunya. Yang satu bercerita tentang Perang Diponegoro, dan satunya merupakan suasana perang di sekitar Jl. A. Yani Magelang. 

Selain itu, Pak Budhi juga menyambut baik kegiatan komunitas untuk lebih mengungkap sejarah kota sendiri khususnya dalam menjaga bangunan-bangunan bersejarah. Saat ditanyakan oleh Mbak Wahyu tentang arsitektur rumah, beliau mengatakan bahwa yang saat ini menjadi ruang tamu, dahulunya merupakan taman terbuka.  
Foto bersama Pak Budhi (batik merah) di depan kediamannya

**  
Pintu masuk Bunker/Goa Jepang
Sebuah bunker yang merana itu berada di salah satu sudut kampung Kwarasan. Dengan pintu masuk berukuran sekitar 200x75 cm, ruangan gelap yang kerap disebut Goa Jepang itu memaksa saya untuk penasaran memasukinya. Berbekal senter di hape, saya pun menyelinap kedalam. Baru beberapa langkah saya masuk, didalamnya ada sebuah lobi dengan beberapa ruang yang mengelilinginya. Saya hitung jumlahnya ada 5 ruangan. Sementara itu, diatas langit-langit lobi, tampak sebuah lobang menganga keatas yang saya ketahui kemudian adalah bekas ventilasi. Berdasarkan info yang saya dapatkan, bunker ini hingga saat ini belum diketahui dibangun oleh siapa. Tapi besar kemungkinan, pembangunannya bersamaan dengan proyek pemerintah kota yang saat itu ditangani oleh Lucht Bescherming Diens (Dinas Perlindungan Udara) untuk membangun bunker-bunker dibeberapa titik sebagai antisipasi bahaya bencana alam seperti gunung meletus dan juga berjaga-jaga akan adanya perang dengan Jepang yang saat itu sudah mulai diendus oleh pemerintah Belanda.

**
Pukul satu siang, acara Djeladjah Thomas Karsten pun di tutup. Penutupan kali ini terasa istimewa, luar biasa, bombastis, spektakuler dan fantastis karena dilengkapi dengan makan bersama kuliner KTM. Apalagi kalau bukan Megono mbak Ayu Kusuma Dewi? Ya, kami mengucapkan terimakasih juga kepada mba Diah Vita yang telah menyiapkan tempat sebagai final point kami siang itu dan berhasil mengecharge tenaga dengan menyantap megono lengkap dengan teman-temannya seperti gereh layur, tempe/tahu bacem, keripik gendar, dan kontolir alias keripik singkong. Tidak ketinggalan juga, kudapan KTM tersaji di depan mata antara lain kue pukis dan nogosari. 
Final Point, Megono  by Mbak Ayu Kusuma Dewi

Terimakasih!

Credits :
Booklet : Djeladjah 130 Herman Thomas Karsten, Kota Toea Magelang, 2014
Pictures : Widoyoko Magelang

3 comments:

  1. kue pukis po kue putu ayu yo mas hamid

    ReplyDelete
  2. Gelaaaa pisan nggak ikut acara ini... Goa Jepangnya lumayan nih kalau dibuat jadi objek wisata Magelang hehehe. Suk antar ke sana ya bro *ngarep* ^^

    ReplyDelete
  3. @Diana : Eh aku lihat pukis. Kalo ada yg lihat putu, saya kebetulan nggak lihat :D

    @Halim San : Wah iya dongs. Pasti gelo karena nggak ikut makan megono kan? wkwkwk ..
    Yuk ke Magelang, saya antar ke Goa Jepang

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...