Berdasarkan informasi dari Ryan dan Anglir, saya mengiyakan
tawaran mereka untuk menemani teman-teman dari Komunitas Blusukan Solo yang
akan mengadakan piknik ke Kota Toea Magelang! Sabtu itu (29/3/2014), kami
berhasil mengumpulkan tenaga sebanyak 5 personil yaitu Ryan, Anglir, saya, Mas
Novo dan Mas Heru serta ditambah tuan
rumah Tony Kusumahadi di kediaman dan tempat usahanya, Warung Voor de Tidar Jl
Gatot Subroto Magelang. Sembari makan gorengan dan minum-minum, kami mengadakan
diskusi untuk acara kami besok Minggu.
Sehari kemudian, saya bangun pagi pagi sekali dan karena kamar
mandi dirumah sedang tidak bersahabat, saya memutuskan untuk mandi pagi di Pom
Bensin Blabak. Setengah jam kemudian saya sampai di start point di rumah mas
Tony Kusumahadi. Tidak butuh waktu lama, akhirnya tim kali ini langsung
komplit. Sembari menunggu teman-teman dari Blusukan Solo, kami menikmati teh
dan mempersiapkan mental untuk mengguide mereka. :D
Tim : Novo, Anglir, Ryan, Ake Ru, dan Hamid |
Jam sepuluh pagi, kami bertolak ke alun-alun dengan menumpang
Suzuki Karimunnya mas Tony. Proses menunggu Blusukan Solo terasa sangat lama.
Seperti yang diberitakan sepanjang kontak kami, mereka berurusan dengan polisi
karena bis Mulyo Indah yang mereka sewa tidak ada embel-embel Pariwisata
sehingga kesulitan mengakses masuk Kota Magelang. Alhamdulillah, setelah
sekitar 1,25 jam menunggu dan kami juga sudah capek foto-foto bis putih dengan
corak biru merah itu datang juga.
Menunggu di Alun alun |
Amazing! Dengan bis besar itu, jumlah peserta heritage walk kali
ini fantastis! Bisa sampai sekitar 50-an orang. Kamipun dengan diwakili oleh
mbak Anglir langsung menyambut mereka setelah bersalaman dan membagi booklet.
Siang itu cuaca cukup terik. Untuk menyingkat waktu, kami langsung saja memulai
acara siang ini ;
Mb Anglir |
Water Toren
Ryan menjelaskan tentang keunikan water toren. Bangunan di pojok
alun-alun Magelang yang gagah ini memiliki system pengairan tanpa mesin tapi
menggunakan prinsip gravitasi. Mata airnya ada di daerah Bandongan dan Pucang,
Secang. Bangunan yang dibangun pada 1918 ini juga merupakan salah satu karya
terbaik dari Herman Thomas Karsten di Magelang selain kawasan Gladiool dan
kawasan Kwarasan. Hingga kini bangunan
tersebut masih berfungsi baik dan dikelola oleh PDAM Kota Magelang.
Ryan berceloteh tentang Water Toren |
Siang ini, kami tidak bisa memasuki Water Toren karena waktu dan
perijinan yang belum memungkinkan.
Regenthuis
Di seberang Balai Pelatihan Keuangan, masih dibawah Water Toren
kami kembali berhenti. Mas Novo gantian berceramah tentang Regenthuis yang kini
menjadi gedung Bapelkeu tersebut. Dikisahkan bahwa Regenthuis alias rumah dinas
sekaligus kantor Bupati Magelang itu sisa-sisanya kini sudah tidak ada sebagai
akibat dari clash Belanda tahun 1949. Pada waktu itu sebagaian besar bangunan rusak dan kemudian di renovasi menjadi Bapelkeu seiring dengan pemindahan ibukota Kabupaten Magelang ke Kota Mungkid. Menjawab pertanyaan dari seorang kawan
dari Blusukan Solo, saya juga sedikit bercerita menyinggung tentang pendirian
Negeri Magelang dikaitkan dengan prasasti Mantyasih.
GPIB
Dua puluh lima meteran dari lokasi regenthuis, kami sampai di
depan Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat. Dari seberang jalan, Nampak
Gereja ini sangat artistik. Di koleksi foto lama milik Komunitas Kota Toea
Magelang, Gereja ini sudah sering dipotret sejak akhir 1800-an dan awal 1900an.
Bentuknya luar biasa bertahan dan tidak pernah ada perubahan. Beberapa
fasilitas seperti kursi jemaat, kursi majelis dan tangga masih dalam bentuk
aslinya. “dahulu didalam ada Orgel, sebuah alat music semacam orjen dengan
pipa-pipa besar. Sayangnya sekarang sudah tidak ada” sambung Ryan.
Societeit, Roxy
Theater dan Hotel Loze
Sampai depan Gardena, kami kembali berhenti dan giliran saya
bercerita tentang masa kejayaan bioskop di Magelang khususnya tentang Roxy
Theater. Pada masanya bioskop ini adalah bioskop elit yang ada di Magelang
selain Alhambra Theater di Jordanlaan. Kegiatan hiburan di Kota Magelang saat
itu sudah canggih dengan adanya societeit di sebelah timur laut alun-alun,
bioskop serta hotel di timur alun-alun. Membayangkan saja sudah terasa syahdu.
:D :D sementara itu, Hotel yang dibangun oleh Th ID Loze kini tidak berbentuk.
Hanya satu yang tersisa yaitu kolam renangyang kini entah masih ada fisiknya
atau tidak. Penamaan kampong di sekitar situpun nampaknya karena ada Hotel Loze
ini sehingga sampai sekarang bernama Losmenan. Pada jamannya, iklan Hotel Loze
ini sangat sporadis dengan embel-embel view gunung-gunung. Wajar saja hotel ini
memiliki reputasi yang sangat bagus karena juga dilengkapi dengan kolam renang.
Pada awal tahun 1900an, hotel ini dapat dikontak di nomor telepon 6.
Tugu Aniem
dan Kelenteng Liong Hok Bio
Banyak orang salah menebak bahwa tugu di depan kelenteng Liong Hok
Bio itu adalah tugu nol kilometer Magelang. Bukan! Sekali lagi bukan dan salah.
Yang ada bukan tugu tapi hanya patok kuning kecil disebelahnya. Sedangkan tugu
yang dulu pernah dilengkapi dengan jam tersebut adalah tugu peringatan masuknya
listrik di Magelang yaitu pada Maret 1924. Mas Tony Kusumahadi bercerita
puanjang lebar tentang system kelistrikan umumnya di Jogja dan Jawa Tengah.
Beliau memaparkan juga tentang PLTA Jelok yang kini masuk secara administrative
di Tuntang Kabupaten Semarang yang menjadi pasokan utama listrik sejak jaman
Belanda. Selain itu, gardu pengoperasian di Magelang dipercaya ada di
Kebonpolo.
Lepas dari Tugu Aniem, Ryan kembali bercerita saat kami sudah
memasuki halaman Kelenteng Liong Hok Bio. Dia menceritakan sekilas tentang
kelenteng yang dibangun pada 1860-an tersebut. Satu yang unik yaitu cerita
tentang pembangunan Tugu Aniem tepat di depan gerbang kelenteng yang dipercaya
pihak Belanda sebagai penutup pintu rejeki bagi komunitas Tionghoa. :D
Bah Ting Lok
dan Dawet Ngasem
Mengitari alun-alun ternyata sudah cukup melelahkan. Dengan
sedikit lelah dan kepanasan kami memotong Jalan Pemuda dan saya sedikit
bercerita tentang Bioskop Kresna milik Bah Ting Lok. Rumah mewah dibelakangnya
dengan teras super luas dengan gaya indisce-jawa itu juga tidak luput dari
perhatian kami. Ya, rumah itu dahulunya merupakan kediaman Bah Ting Lok yang
juga mempunyai Opelet yang diparkir di sebelah timur rumahnya. :)
Eks. Bioskop Kresna |
Mas Tony menambahkan bahwa Jalan Kawatan tempat kami singgah ini
berawal dari banyaknya kawat yang melintang. Diperkirakan bahwa dahulu kantor
pos dan telegraf menjadi satu dan bentangan kawat-kawat telegraf waktu itu
menyesaki jalan ini sehingga lama kelamaan disebut dengan Jalan Kawatan.
Setelah kami berjalan menyusuri gang-gang kecil disebuah titik
keramaian pasar tepat di samping kali manggis, telah menunggu kami seorang ibu
diantara penjual lainnya. Ya, this is our first check point, bro! kami akan
merasakan segarnya dawet Magelangan free hari ini. Yaa, benar saja, dawet
dengan harga regular 2,000 rupiaah itu memiliki macam-macam campuran seperti
cendol, tape, cenil putih, hingga roti. Rasanya, jangan ditanya. Dijamin
maknyus! Apalagi siang begini dengan komposisi es batu yang sedikit dilebihkan.
Langsung mengecharge tenaga kami. :D
Setelah semua peserta heritage walk terpuaskan dahaganya, kami
kembali memacu langkah kaki untuk kembali ke kawasan Alun-alun.
MOSVIA dan
Masjid Agung Magelang
Berada di sebelah selatan alun-alun, itulah kantor Polisi Resor
Magelang Kota. Dilihat dari gaya bangunannya, jelas sekali bangunan itu adalah
peninggalan Belanda. Mas Tony menjelaskan bahwa bangunan itu dahulu merupakan
sekolah pamong praja/pegawai pemerintahan dari unsure pribumi yang bernama
MOSVIA, disingkat dari Middlebare Opeiding School Voor Inlandhsche Ambtenaren.
Lebih jauh mas Tony bercerita tentang asal-usul sekolah OSVIA yang juga membuka
cabang-cabangnya di Blitar dan Probolinggo.
Mas Tony bercerita tentang Mosvia |
Kunjungan seputar alun-alun kami diakhiri dengan sedikit cerita
tentang Masjid Agung Magelang. Masjid yang berawal dari mushola itu dipercaya
sudah ada sebelum adanya Pemerintahan Bupati Magelang yang dipugar pertamakali
pada kisaran tahun 1870-an oleh Danoekoesoemo. Bupati Magelang yang ketiga pada
era Hindia Belanda. Satu yang unik dari masjid ini adalah pada waktu air belum
mengalir sampai Kota Magelang, untuk wudhu maka para jamaah harus rela berjalan
ke sungai Progo yang jaraknya sekitar 1 km dari masjid.
Museum
Diponegoro
Pukul duabelas siang lebih sedikit, tim KTM bersama rombongan
Blusukan Solo berada dalam satu bis untuk menuju ke eks Kantor Residen
Magelang. Sepanjang jalan, kami sebagai tour guide menjelaskan tentang
kawasan-kawasan yang dilalui. Tiga menit, kami telah sampai. Kompleks
perkantoran ini sekarang digunakan sebagai kantor Bakorwil Kedu Surakarta.
Berhubung sudah masuk waktu ISHO tanpa MA, kami segera mengambil air wudhu dan
sholat di masjid kompleks Bakorwil sembari menuggu konfirmasi dari pengelola
Museum Diponegoro.
Museum ini berada di salah satu ruang tempat dilangsungkannya
perundingan dan penjebakan antara Pangeran Diponegoro dan Pemerintah Hindia
Belanda yang diwakili oleh Jenderal de Kock. Selesai sholat, kamipun segera
berduyun-duyun menuju kesana. Koleksi museum antara lain adalah meja kursi
perundingan, balai-balai, kitab taqrib, jubah Pangeran Diponegoro, dan beberapa
lukisan. Beberapa diantara kami sibuk foto-foto di spot-spot cantik depan
Karesidenan. Memang, siang ini pemandangan begitu ambooi. Terlihat dengan gagah
di barat sana Gunung Sumbing ditemani perbukitan Giyanti. Gazebo cantik di
pojok taman menambah lengkap suasana siang ini. Kami sebagai tim pemandu pun tidak
mau ketinggalan >D
Es Krim Bie
Sing Hoo
Puas berfoto-foto, kami segera melanjutkan perjalanan. Perjalanan
bis kali ini melewati daerah Pahlawan-Tuguran dan memutar kembali ke Poncol.
Sepanjang perjalanan sesekali mas Novo bukannya memberi cerita kepada para
peserta, namun malah memandu pak sopir untuk belok kanan/kiri. x_x piss mas
Novo! :D tapi ada beberapa cerita menarik dari Mas Novo seputar penyebutan kampung-kampung di kawasan Pahlawan seperti kampung Botton Kopen yang dahulunya merupakan kebun kopi, kebon dalem/kebun raja, kebon polo, dan lain-lain. Selain itu, Mas Novo juga menceritakan tentang tiga bangunan plengkung yang istimewa di Magelang. Bangunan tersebut adalah sebuah viaduk dari saluran air di atasnya.
“sepanjang jalan di sebelah kanan kita adalah sebuah saluran air
yang dikenal dengan nama boog kotta leiding” buka saya dengan percaya diri saat
bis berjalan ke selatan di Jl A. Yani Menowo. Saya bercerita tentang
pembangunan dan fungsi dari boog kotta tersebut diantaranya sebagai
penggelontor limbah rumah tangga dan pemadam kebakaran alternatif.
Tidak lama kemudian, kami sampai di Toko Mahkota! Yes! Inilah
saat-saat yang saya tunggu. Maakaan es krriiiiim. Toko itu tampak seperti rumah
biasa dengan menggelar dagangan seadanya. Pak Joni, pemilik toko memang sengaja
tidak membuat dekorasi/ornament yang memperlihatkan sebagai toko es krim.
Beliau lebih konsen ke usaha paket dan roti yang digelutinya. Namun jangan
salah, es krim legendaries yang bernama Bie Sing Hoo ini sampai sekarang masih
tetap berproduksi kok! Es krim ini menurut penuturan istri Pak Joni, hampir
sama dengan es krim tentrem di Solo. Dengan mempertahankan kualitas dan rasa,
hingga kini es krim ini masih menjadi klangenan untuk beberapa warga Magelang.
Beruntung sekali, siang itu kami juga bias menikmati eskrim yang biasanya
berbentuk slice itu namun dalam kemasan cup. Sembari melihat-lihat interior
rumah yang tampak masih asli, kami juga dijamu dengan beberapa potong kue di
toko yang sudah ada sejak era kemerdekaan tersebut.
Makam Van
der Steur
Tidak terasa, waktu beranjak semakin sore. Bis berhasil merapat
parkir tepat di depan Gapura Kerkhoff, Jalan Ikhlas Magelang. Kami segera
menyeberang dan memasuki salah satu pintu kios dipusat pertokoan tersebut.
Rupanya tanpa diduga, disitu masih ada beberapa makam yang tidak ikut
dipindahkan saat ada pemindahan besar-besaran dari Jl Ikhlas ke Giriloyo tahun
80-an lalu. Satu kompleks makam tersebut adalah makam Van der Steur, istri dan
beberapa murid-muridnya. Ryan menjelaskan tentang sosok Van der Steur dimana
beliau merupakan seorang yang sangat berjasa dalam urusan sosial di Magelang saat
itu. Oranje Nassau, adalah panti asuhannya yang berada di sebelah Kompleks
Karesidenan Magelang. Hingga kini status pengelolaan makam tersebut masih
dikelola oleh yayasan dari Belanda. Dan sampai sekarang, beberapa keturunannya
atau muridnya masih acapkali berziarah.
Waktu semakin sore, perut semakin lapar. Kami segera kembali ke
bis dan menuju ke final point kita. Yaaa! Makaan di Voor de Tidar. Agenda
makan-makan kali ini kami akan dijamu dengan Sup Senerek, sebuah kuliner khas
Magelang. Selama perjalanan di sekitar Artos, bus mengalami kemacetan karena bangjo yang sangat ramai. Sembari menikmati macet, kami mendengarkan kisah-kisah amazing dari Mas Novo tentang Gunung Tidar yang saat itu tepat berada di sebelah kanan kami. Salah satu yang menarik adalah perkiraan akan adanya struktur batuan/candi yang terpendam di bukit Tidar yang hingga kini belum diketahui kebenarannya.
Akhirnya setelah bis beberapa kali gagal parkir, akhirnya dapat juga tempat parkir di area militer Akmil Magelang. Sembari menunggu persiapan sup senerek, saya terpaksa meninggalkan acara karena harus segera bertolak ke Ungaran tepat saat jam tangan saya menunjukkan pukul lima sore.
Akhirnya setelah bis beberapa kali gagal parkir, akhirnya dapat juga tempat parkir di area militer Akmil Magelang. Sembari menunggu persiapan sup senerek, saya terpaksa meninggalkan acara karena harus segera bertolak ke Ungaran tepat saat jam tangan saya menunjukkan pukul lima sore.
more pics :
Tim ditambah kekuatan oleh mas Mameth Hidayat yang menyusul kemudian :D |
Oke, demikianlah yang dapat saya sampaikan dalam kesempatan ini setelah sekian lama vakum dari dunia perbloggingan karena sibuk dalam dunia per pileg-an . Terimakasih kepada teman-teman dari Komunitas Blusukan Solo. Semoga lain waktu kita bisa berkunjung balik ke Solo dan atau bertemu kembali di lain kesempatan. Salam History and Heritage.
Credit :
Komunitas Blusukan Solo bisa dihubungi di twitter @blusukansolo / Phone : 081228220326
Beberapa foto diambil dari facebook mas Ake Ru. Terimakasih :)
No comments:
Post a Comment