Minggu pagi ini tanggal 1 Juli 2012. Smash andalan saya pun
dengan gesit dan sangat irit berhasil mengantar saya ke Taman Badaan, Magelang.
Disana sudah ada mas Bagus, mas Danar, mas Ryan, dan mas Tony. Sementara jam
pada hape saya menunjukkan pukul 09.00, kami pun masih harus menunggu mbak Ida
dari Jogja dimana kali ini dia yang akan berperan sebagai penunjuk jalan.
Ya, hari ini kami hendak mengunjungi situs situs purbakala
yang ada di sekitaran Secang – Grabag. Setelah sekitar setengah jam menunggu,
akhirnya mbak Ida pun datang dengan mio merahnya. Setelah beberapa saat
mengobrol ringan dan penjelasan rute, kami pun berangkat.
Berbekal GPS milik mas Tony, tujuan pertama kami adalah
sebuah sendang/belik yang ada di sebuah tikungan pinggir jalan alternatif
Magelang – Secang. Terus terang saya kurang begitu paham dengan agenda jalan
jalan kali ini. Ternyata kami hendak mendatangi kawasan dengan peninggalan batu
batu candi/ benda purbakala yang terdaftar di veronik. Disana sudah ada
koordinat GPS yang bisa kami jadikan acuan untuk kami datangi. Kami pun turun
mengecek sebuah tempat ‘mandi’ umum ini. Lokasinya agak serem sih dengan
beberapa helai akar yang tumbuh dari atas. (lho)
Namun, ternyata kami salah sasaran. Kami masih harus menuju
ke arah selatan dan tibalah kami di sebuah kampung Setan, (ini memang namanya
Setan). Bertanya dengan seorang warga, akhirnya kami dapat melanjutkan
perjalanan setelah sebelumnya menitipkan motor di salah satu rumah warga. Kami
menyusuri jalan setapak dengan konstruksi tatanan batu tanpa undak undak, dan
sampai pada sebuah mata air yang disebut belik oleh warga sekitar.
Disitu, kami jumpai dua buah patung Nandi. Nandi ini adalah
seekor sapi yang menggambarkan kendaraan dari dewa Syiwa menurut kepercayaan
Hindu. Kondisi patung ini kurang begitu terawat, dan berdasar informasi dari
warga sekitar, sebetulnya dulu di situ banyak arca namun sudah pada hilang.
Kami juga sempat menjumpai sebuah batu besar dengan ukiran wayang. Namun,
sepertinya ukiran ini ukiran baru, bukan merupakan peninggalan sejarah.
Berdasarkan informasi dari seorang ibu yang kebetulan sedang
berada di belik tersebut, akhirnya kami dipersilahkan mengunjungi rumah Bapak
Kadus yang tidak lain adalah suami dari ibu yang tadi. Di dapur rumah ini ada
sebuah batu lumpang (batu dengan lobang ditengah) yang sebelumnya kami kira
sebuah Yoni. Namun, ternyata hanyalah batu lumpang biasa.
Dari situ, kami mengikuti koordinat GPS yang membawa kami ke
selatan ke daerah Sindas. Menurut informasi dari Veronik, tempat yang akan kami
datangi ini ada reruntuhan tujuh buah candi, dengan yang terbesar ukurannya
sekitar 5 meter persegi. Dengan bantuan Pak Jurori, tim jelajah berhasil
mencapai sebuah belik dengan jalan kaki. Namun ternyata belik tersebut tidak
ada apa apanya. Warga sekitar juga tidak pernah menemukan atau pernah mendengar
tentang candi atau arca di sekitar situ. GPS menyuruh kami untuk berjalan 100
meter ke selatan lagi. Namun, (entah karena apa) katanya salah arah, akhirnya
kamipun balik kanan dan pada tanjakan, kami menemukan sebuah konstruksi tatanan
batu bata.
Setelah sedikit mengorek tanah, kami membayangkan kami
sedang menemukan sebuah bagian dari sebuah candi batu bata. Hal yang sebenerna
mungkin terlalu berlebihan sih. Namun, cukup membuat penasaran juga. Hehehe..
harus di teliti lebih lanjut.
Hari mulai siang, kami pun menuju lokasi selanjutnya.
Kunjungan kami selanjutnya adalah di Candi Retno yang ada di Desa Candiretno
Kecamatan Secang. Sebuah reruntuhan candi dengan konstruksi batu bata berlokasi
di belakang rumah Pak Ruwadi yang sekaligus sebagai penjaga candi ini. Dengan
paduan tumbuhnya bunga aklasia, tempat ini sungguh menarik. Menurut hemat saya,
candi ini sudah rusak sekitar 90 persen. Bentuk asli dari candi ini masih belum
dapat diketahui secara pasti. Begitu juga dengan Yoni besar yang saat ini
ditempatkan di satu kompleks candi ini juga masih menjadi sebuah misteri.
Danar, Ida, Bagus, Ryan, Hamid dan Tony |
Tidak jauh dari Candi Retno, kami diantar oleh anak pak
Ruwadi menuju ke sebuah makam desa dimana disitu tergeletak sebuah Yoni dalam
posisi terbalik. Entah apa maksudnya saya juga masih bingung. Namun melihat
beberapa potong batu candi yang tertata untuk beberapa pondasi rumah sekitar, kemungkinan
memang dahulu disini ada sebuah candi yang sampai sekarang tidak bisa dideteksi
keberadaanya.
Masih di kawasan Candiretno, kami juga dipaksa berhadapan
langsung dengan sinar matahari yang panas ‘hanya’ untuk menemui sebuah Yoni
yang teronggok tak terurus disebuah petak sawah. Dalam hati saya mulai bertanya
tanya “kenapa harus Yoni terus, kenapa harus tersebar dimana mana?”
Lokasi selanjutnya, kami menuju kampung Bengkung untuk
melihat beberapa potong batu candi yang kini digunakan sebagai pondasi untuk
menopang tanah pohon rambutan, disitu juga ada sebuah batu berbentuk setengah
lingkaran yang kemungkinan adalah puncak dari sebuah candi.
Hari semakin siang, dan mungkin beberapa dari kami sudah
mulai bosan dengan penemuan yang “itu itu saja”, akhirnya kami menuju ke
kampung Tidaran. Eh, vulgar banget. Sebuah Yoni teronggok di depan sebuah
rumah! Dan juga masih ada satu lagi di belakang rumah tersebut. Wah makin
penasaran aja saya dibuatnya. Berdasar diskusi kami, kemungkinan Yoni ini
maksudnya adalah untuk sarana peribadatan pada waktu itu, dan kemungkinan lain
karena Yoni adalah lambang kesuburan, mungkin benda ini digunakan saat ritual
dalam rangka panen.
Kamipun mendapat kesempatan bertemu dengan Bu Warni yang
tinggal di rumah seberang jalan Yoni tersebut. Berikut ini adalah cuplikan dari
wawancara tim ekspedisi dengan bu Warni (sedikit penyesuaian tanpa mengubah
inti pembicaraan)
T : Ibuk, ada cerita apa tentang yoni ini?
J : Jadi di Yoni tersebut ada bagian yang menggambarkan
kepala, badan, dan ekor, dan itu tersebar sebar lokasinya.
T : Lalu ada cerita apa lagi buk?
J : Kalau dulu, ada cerita tentang ular yang besarnya se
pohon kelapa sering nyebrang jalan depan rumah ini.
T : Lalu, kalau ibuk sendiri tinggal disini tenang?
J : Ya tenang saja. Dari dulu sudah disini.
T : Mengenai rumah ini, ada cerita apa buk?
J : Dulu sempat ada tim dari pemerintah yang datang untuk
mengecek kondisi rumah saya. Katanya dibawah rumah saya ini ada semacam (candi)
istana yang terpendam. Kemudian saya ditawari kalau suatu saat di adakan
penggalian, saya ditawari untuk dibangunkan rumah ditempat lain dan menjadi
tenaga kebersihan. Saya bilang mau saja…
T : Kapan itu buk?
J : Ya… sudah sekitar 7 tahun yang lalu
(saya ngakak juga dengernya)
T : Pernah mimpi apa gitu buk?
J : mimpi sih ada , mimpi tentang pengantin yang memakai
baju dan aksesoris khas keraton gitu.
Ya, itulah sepotong perbincangan kami dengan Bu Warni. Walau
terkesan mengada ada, namun cerita tersebut cukup menarik untuk diikuti.
Hehehe..
Oke, tujuan kami selanjutnya adalah mengunjungi Prasasti
TukMas. Kami mengambil rute sampai di pertigaan pucang dan belok kanan. Dari
situ kami masih harus menyusuri jalan aspal hingga sampai di sebuah rumah yang
rupanya merupakan rumah bapak penjaga kawasan Tukmas tersebut.
Saya tidak begitu ingat hingga akhirnya kami tiba di sebuah
lembah dengan pemandangan yang indah. Cantik sekali. Di pojok sana terhampar
sebuah lereng dengan puncaknya beberapa pohon cemara. Di perjalanan kami juga
menjumpai beberapa pasang anak muda pacaran yang memakai seragam pramuka
(judulnya kamuflase)
Ya, inilah Bangunan Penangkap Air Kalimas. Entah status
kepemilikan milik siapa, karena tertulis milik Departemen Pekerjaan Umum, dan
tertulis selain Pegawai PDAM Kota Magelang dilarang masuk.
Ah, kami ingin segera menuju ke atas untuk melihat prasasti
yang disebut sebut prasasti tertua di pulau Jawa ini. Setelah berusaha menaiki
anak tangga, akhirnya sampai juga kami di bagian atas dimana prasasti ini
berada. Sebuah batu teronggok dalam pagar besi dan terlindungi atap, kurang
lebih bergambar teratai, bangunan, dan roda. Di bawahnya ada tulisan dengan
huruf pallawa dan berbahasa sanskerta.
Saya tidak begitu hafal teks terjemahannya, namun kurang
lebih sebagai berikut : “Bermula dari Teratai yang gemerlap, muncullah mata
air, air yang suci seperti air dari sungai Gangga”
Yah, intinya mungkin prasasti tersebut dibuat setelah pada
waktu dulu peradaban menemukan mata air ini. Airnya jernih dan segar. Dan
mengikuti peradaban Hindu waktu itu, air di sini diibaratkan seperti air sungai
Gangga yang ada di India.
Mbak Ida dan Muhammad Syabani (anake penjaga kawasan penangkap air) |
Berada di atas sini, suasana begitu damai, sejuk dan suara
gemercik air semakin menambah kerasan. Rasanya kami tidak ingin pulang. Tapi..
Kami masih harus menggenjot energi kami untuk mengunjungi daerah Kayupuring,
Grabag.
Rutenya gampang, tinggal mengikuti trek alternatif Pucang –
Grabag, lalu desa Kayupuring ini terletak di pinggir jalan Secang – Grabag.
Disitu, kami menemukan dua buah (lagi lagi) Yoni di depan rumah seorang
penduduk. Satu buah kondisi baik, satu buak kondisi seperti terkepras. Entah
apa maksudnya.
Dan menurut informasi dari bapak tersebut, kami bisa menemukan
dua buah lagi di dekat Madrasah tidak jauh dari situ. Tidak kami sia siakan,
kami segera menuju TKP dan menemukan satu buah Yoni yang ada di pinggir rumah.
Dan satu lagi, setelah sulit ditemukan, akhirnya kami menemukan Yoni paling
spesial di pinggir sebuah Pos Ronda. Kenapa spesial? Karena pada salah satu
bagian Yoni ini, dimana biasanya adalah bentuk kepala kura kura, atau tanpa
bentuk, ini berbentuk seperti seorang manusia bersayap (atau berkelebet) yang
mengendarai (mungkin)seekor kura kura. (aneh ya, udah terbang, masih aja naik
kura kura) dan di bagian atas, ada sebuah ukiran Kolo (sebuah muka makhluk yang
dalam mitologi jawa dikenal dengan buto)
Ngantuk saya sedikit terobati dengan penemuan ini. Setelah
puas, kamipun menuju kembali ke Pucang. Siang ini kami makan siang bersama sama
bakso – mie ayam Alay yang ada di kawasan Pucang. Di traktir sama Mas Tony.
Hehe.. Thanks bung! Setelah makan siang, kami menuju sebuah makam masih di
kawasan Pucang. Sebuah kebun bambu yang ‘rungkut’ dan banyak nyamuk, kami tidak
berhasil menemukan sebuah benda mencurigakan. Namun kami malah ‘tersasar’
disebuah makam dan menemukan batu bata berukuran besar yang menurut kami adalah
batu bata dari jaman dahulu. Kebenarannya masih perlu dikaji lebih lanjut
.
.
Oalaah.. ternyata di dalam sebuah kawasan yang dipasangi
kawat berduri, kami akhirnya berhasil menemukan Yoni lagi dengan posisi
terguling. Kasian sekali ya.. beberapa bagian tanah disitu sepertinya pernah di
gali. Namun mungkin tidak menemukan apa apa sehingga ditinggal begitu saja.
Yah, itulah akhir dari ekspedisi kami dan kami segera pulang
ke Magelang untuk menutup acara di Alfamart punyanya Pak Gub. Hahaha..
Kesimpulan :
1.
Mungkin kawasan Secang – Grabag pada waktu itu
merupakan kawasan Hindu yang cukup maju. Kepercayaan berkembang pesat.
2.
Beberapa Yoni kemungkinan adalah sarana
peribadatan.
3.
Kemungkinan kegunaan Yoni yang merupakan lambang
kesuburan adalah sebagai sarana upacara adat pada saat panen.
4.
Konstruksi bata pada Candi Retno, masih belum
bisa diteliti.
5.
Belum ada hal yang bisa menjelaskan tentang
kenapa ada candi dengan konstruksi batu bata sementara ditempat sekitar tidak
ditemukan.
6.
Kemungkinan pasangan Yoni yaitu Lingga, mungkin
sekali sudah pada dicuri/ diambil karena bentuknya yang mundah diambil. Malah
mungkin dipake sebagai gulungan jamu.
Mohon saran dan masukannya.. :D
benar2 ekspedisi purbakala :)
ReplyDeletega ada maem2nya mas hamid?
@ Dek Lina : Heheheh, iya asiik to? ada maem bakso kui, tapi ora di potrek je,,,
ReplyDeletemantap...joos tenan petualangane
ReplyDeletebtw, benarkah ibukota kerajaan Syailendra itu di Tukmas?(banyak diungkap di buku dongeng)
@ Sang Nanang : Waduh, kalau tentang itu saya mlh blm tahu je.. coba saya juga ta belajar2 dl.. hehe.. terimakasih
ReplyDeletedi daerah cetokan..candiretno,sebelah KUD, dulu tahun 1987 pernah ada bapak-bapak menemukan arca EMAS kurang lebih seberat 25 KG!..konon sampai sekarang masih ada yang berburu emas tersebut tetapi tidak pernah ada yang mendapatkan hasil lagi.
ReplyDelete@ Pak Raden : What??? 25 Kg? bayangkan aja 1 gram emas 300.000, 1 kilo emas berarti 300.000.000, di kali 25, 7.500.000.000 berati tujuh setengah milyar. Hehehe, belum nilai historisnya pasti lebih mahal ..
ReplyDeletekok saya baru denger ya?
waah jane di foto og mas, bakso krikil badaan :p
ReplyDeletejumlahnya ada sekitar 50 biji.. aku pernah ngitung, hehe
@ Dek Lina : Hehehehe, itu nggak beli bakso krikil og dik, itu tu beli bakso di Pucang, namanya bakso ALAY. (sumpah, nggak bohong!!!) kalo bakso krikil udah pernah beberapa kali sih, tapi nggak sempet ngetung.. yowes kapan kapan ayo kita kesana :D hahahah
ReplyDeletebakso alay ho'o mas? hahaa aku belum pernah nyoba tuh :p
ReplyDeleteok oke sekalian ngajak mas iyan yaa.. :)
@Lina : Yup, diatur kapan waktu sama sama senggang :D
ReplyDeletemas hamid salam kenal. mbok dicari hubungannya expedisi secang- selogriyo dan dsktrnya, saya yakin ada korelasinya dengan penelusuran mas hamid, btw, kalo di kab magelang ada juga chandimulyo dekat rumah pakdhe saya. B E R A P O!!!
ReplyDelete@atas : okeee... terimakasih atas sarannya.. candinya dimana ya> lokasi tepatnya
ReplyDeletechandi selogriyo dari magelang -bandongan-kembangkuning(kira2- 3Km sebelum windusari. , nanti naik ke kampung sebelah kiri jalan pavingblok 3 kiloan di punggung bukit.umurnya beberapa tahun sebelum borobdr., ,kira2 mataram kuno lah.corak candi hindu spt dieng dan gedung songo. B E R A P O . origin sy mgl tinggal di pekanbaru
ReplyDelete@Atas : terimakasih informasinya.. segera saya koordinasikan dengan teman2 komunitas kota toea..
ReplyDeletesebelumnya salam kenal dari saya,untuk infonya saya kira kurang lengkap lokasi tepatnya. tidak ada di desa mana kelurahan mana...jadi membingungkan orang yang ingin belajar menelusuri peninggalan sejarah...mohon di lengkapi sebuah info,kalo jelas semakin bnyak yg suka dan mengunjungi.atau memang maaf penulis yang ttidak mau berbagi info dan sengaja disuruh cari sendiri,,,kalo cari sendiri untuk apa di posting,kalau sekedar mau pamer hasil blusukannya,..terimaksih
ReplyDelete@ Max Trist :
ReplyDeleteSelama saya berkunjung, saya memang tidak paham daerah administratifnya. Tapi setidaknya sudah ada sedikit nama kampung yang saya ulas. Itulah serunya blusukan. Kalau mau nyari, sambil berusaha tanya orang-orang :D
Ekspedisi yang luar biasa... antara Secang - Grabag banyak banget "yoni" nya... lha terus "lingga" nya kemana ya...? jaman dahulu kala ternyata masyarakat seputar sini sangat religius.
ReplyDeletebetul mas. Saya aja sebelumnya nggak nyangka.. :) Lingganya udah pada hilang (banyak dicuri + dimanfaatkan biasanya untuk glenteran jamu)
Deletelurus dikit di kantor kecamatan grabag ada bbrpa situs dsitu. kalo ga salah ada 2 yoni,gentong batu, sama batu bntuk untuk tumbuk padi di tengah lapangan kcamatannya
ReplyDeleteMas..di dusun plumbon grabag pas saya lewat samping makam kayaknya ada situsnya jg loh...
ReplyDelete