Rute dan Spot Kunjungan Djeladjah Tjandi |
Bagus Priyana, gubernur dan koordinator
Komunitas Kota Toea Magelang (KTM) pagi ini menyambut kami, para peserta
kegiatan Djeladjah Tjandi yang berjumlah sekitar 60-an orang di halaman Toko
Oleh-oleh Endang Jaya. Briefing kali ini agak istimewa dengan sebuah kejutan
berupa hadiah ulang tahun kepada Ryan Adhyatma dan Ekowati Lestari yang
sekitaran tanggal tersebut berulang tahun. Pagi ini Minggu 22 Juni 2014 kami
bersiap untuk mengikuti event spesial percandian.
Bagus Priyana memberikan briefing |
Para peserta berfoto sebelum berangkat |
Semua peserta menggunakan sepeda motor
dengan tanda khusus yang dipasang dibagian belakang. Sekitar setengah sembilan
pagi kami berangkat dari Mertoyudan melewati Jembatan Blondo dan masuk
perkampungan Pare hingga Mangunsari Sawangan. Memang sengaja rute kali ini di
desain tidak melalui jalan utama dengan alasan kenyamanan mengingat jalur utama
Blabak-Sawangan sedang diperbaiki.
Sesampainya di kawasan Tlatar, kami
mulai mengunjungi spot pertama. Candi Lumbung namanya. Secara administratif ada
di Dusun Tlatar Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan. Sebagai orang Magelang
saya merasa gagal karena baru ini saya tahu ada percandian di sekitar Tlatar.
-___- secara fisik bangunan dengan tinggi sekitar 7 meter ini menjulang dengan
konstruksi cukup lengkap. Seorang petugas kebersihan kemudian saya hampiri.
“Candi ini dulu ada di tepi Sungai Apu mas. Karena waktu itu sedang dilanda
banjir lahar dari Merapi, akhirnya Candi berangsur dipindah kesini” wow! Ini
informasi yang benar-benar baru saya ketahui. “Sekitar 3-4 tahunan yang lalu
mas” tutupnya menjelaskan kapan Candi ini berpindah.
Pak Narwan siang ini juga menyempatkan
berpidato dengan geguritan ciptaannya. “Wis Tumeko Titi Wancine” judul puisi
berbahasa jawa itu. Sembari berdiri di tangga candi, Pak Narwan membacakan
puisi itu dengan semangat. Kami pun trenyuh dibuatnya :)
Pak Narwan Sastra Kelana |
Oleh Indra Oktora, kami dipandu
berkeliling Candi ini. Dia yang juga pengurus Komunitas Watu Magelang,
menjelaskan secara detail arti-arti relief yang ada di sekujur tubuh candi.
Mengenai penamaan, kemungkinan berasal dari penyebutan masyarakat sekitar yang
menganggap candi ini sebagai lumbung padi/tempat menyimpan padi. Memang,
konstruksi dibagian tengah bawah, dijumpai semacam lubang sumur kebawah. “Hal
ini berkaitan dengan kepercayaan Hindu yang menganggap sumber air sebagai
tempat pemujaan kepada Dewa” papar Indra.
Indra Oktora |
Beberapa relief yang bisa ditemui adalah
motif burung kakaktua dan Ghana. Ghana ini merupakan makhluk kerdil penyangga
candi yang bisa kita temui dibeberapa sisi terutama di kaki candi. Ini sekaligus menjawab pertanyaan saya dalam ekspedisi saya ke Candi Tegowangi Kediri beberapa waktu lalu
Tidak sampai 1 kilometer dari tempat
semula, kami berpindah ke lokasi Candi Asu. Candi ini relatif lebih kecil
daripada Candi Lumbung. Suatu hal yang mengherankan kenapa candi ini dinamakan
Candi Asu. Satu versi yang saya tahu adalah bahwa disekitar candi ini dahulu
diketemukan sebuah patung Nandi/Sapi yang oleh penduduk sekitar dianggap
sebagai patung anjing (jawa : asu). Melihat sekilas bentuk candi, candi ini
terlihat minim relief. Anjar Nurhadi menjelaskan kepada saya selanjutnya bahwa
batu-batu tanpa relief tersebut adalah batu yang disusun menyesuaikan bentuk
aslinya tanpa dipahat sehingga hanya digunakan sebagai pendukung bentuk candi.
Istilahnya batu alusan alias bukan batu candi asli yang kemungkinan telah
hancur/belum ditemukan. Sedangkan relief yang masih bisa dijumpai sebagian
besar adalah relief sulur tumbuhan.
Beruntung, kami juga disambut oleh Pak
Ismanto. Seniman pahat batu lereng merapi ini menyambut kami dengan berorasi.
Pembawaannya yang humoris membuat saya berasa nonton Stand Up Comedy. Hehehe.
Pesan-pesan yang dia sampaikan antara lain bahwa dia mengapresiasi
kegiatan-kegiatan KTM, kemudian Candi ini memberi inspirasi dan menguatkan
toleransi antar umat beragama.
Pak Ismanto |
Selanutnya kami harus berjibaku melalui
perkebunan jati dan persawahan untuk sampai di Candi Pendem. Setelah
menyelesaikan trek dengan jalan kaki barang 800 meter, sebuah candi tampak
terpendam dicekungan tanah. Benar saja, bagian atas candi terlihat sejajar
dengan tanah disekitarnya. Saya yakin-seyakinnya bahwa inilah alasan kenapa
disebut dengan Candi Pendem. Suasana disini benar benar asri. Tanpa kebisingan,
polusi, dan suasana hijaunya persawahan menambah krasan beristirahat disini.
Dilihat dari bentuk candinya, terlihat bahwa bagian atas candi sepertinya telah
hilang/rusak sehingga bentuk yang tersisa hanyalah bagian bawah candi saja.
Satu yang belum digarap oleh pemerintah adalah membangun jalan akses ke tempat
wisata ini.
Candi Pendem |
Ketiga candi yang kami kunjungi di
kawasan Tlatar diatas menurut penuturan Bagus Priyana berkaitan dengan
pendharmaan Bathara Talingsingan. (mungkin) seorang tokoh penting pada masanya.
Hingga hari ini, masih bisa dijumpai nama sungai Talingsingan disekitar tempat
tersebut. Indra Oktora juga menjelaskan kepada saya perihal orientasi candi
yang sama-sama membelakangi Gunung Merapi. Tampaknya, arah ini berkaitan dengan
ibadah yang mana akan membuat orang yang masuk candi akan menghadap ke Gunung
Merapi yang merupakan tempat tinggal para Dewa.
**
Air mineral ditangan saya semakin
berkurang. Siang ini cuaca lumayan terik dan dehidrasi tidak tertahankan.
Menjelang siang, kami menelusur jalur-jalur Kecamatan Dukun hingga masuk ke
Kota Muntilan. Rombongan akhirnya sampai di Kawasan Salam untuk berkunjung ke
Candi Losari.
Ditengah hamparan perkebunan salak,
Halimah menyapa kami. Wanita berjilbab itu adalah petugas dari Badan Pelestari
Cagar Budaya (BPCB) Jateng. Sebuah jalan kon-block selebar lima meteran telah
dibangun membelah pepohonan salak menuju ke Candi. Papan informasi, pos jaga, dan fasilitas ini
terlihat belum lama dibangun. Masih kelihatan baru.
Halimah |
Candi Losari tampak memprihatinkan.
Kompleks percandian dengan satu candi induk dan tiga candi perwara ini terlihat
tergenang air disebuah bekas galian tanah dengan kisaran kedalaman 5 meter.
Padahal diatas candi telah dibangun atap dengan konstruksi baja ringan. “Kami
telah membangun atap ini dengan harapan candi tidak akan kehujanan sehingga air
tidak menggenang. Namun rupanya air tanah lebih deras dari yang kami
perkirakan” ucap Halimah. Benar saja, candi induk yang terlihat masih belum
direkonstruksi itu tampak setengahnya saja. Pun begitu dengan ketiga candi
perwara lainnya.
Halimah menjelaskan bahwa tahun 2004
silam, Badri sang pemilik kebun sedang membuat parit hingga pekerjaannya tanpa
sengaja menemukan batu-batuan candi yang dikumpulkan dirumahnya. Melihat
banyaknya batuan candi yang ditemukan, akhirnya dilaporkan kepada pihak yang
berwenang. Ekskavasi akhirnya dilakukan bertahap hingga sekitar tahun 2010.
Salah satu candi perwara kabarnya ditemukan dalam kondisi yang prima. Eh,
maksud saya dalam kondisi utuh. Mengenai jenis candi, perkiraan sementara candi
ini adalah bangunan peribadatan agama Hindu yang dibangun sekitar abad 8-9
Masehi. Hal itu dilihat dari ukir-ukiran relief serta bentuk candi dengan
kemuncak yang mengindikasikan corak candi Hindu. Satu yang menarik dipaparkan oleh Edi Purnomo, seorang peserta aktif di KTM. Dia memperlihatkan kepada saya bahwa lapisan tanah yang terlihat pada dinding galian terlihat tiga lapis. Hal ini menandakan bahwa para candi di sekitar Magelang ini umumnya pernah terpendam oleh letusan dahsyat Gunung Merapi sebanyak tiga kali.
Kondisi Candi Losari per Juni 2014 |
Djeladjah Tjandi kali ini benar-benar
tidak mengenal lelah. Kami sampai di kawasan Bukit Canggal/Bukit Wukir dan
memarkir motor dipelataran rumah warga untuk kemudian melakukan pendakian
bukit. Sekitar 15 menit kami berjalan kaki menanjak hingga kaki terasa
pegal-pegal. Akhirnya semua terbayar. Sebuah tempat lapang diatas bukit ini
memiliki kompleks percandian yang selama ini kita kenal dengan nama Candi
Gunung Wukir.
Pendakian bukit Canggal |
Setidaknya ada tiga candi perwara dengan
konstruksi 30-40 persen utuh. Salah satunya berisi Patung Nandi. Sedangkan pada
candi induk, sebuah yoni besar tampak gagah sebagai titik utama peribadatan.
Lingganya kini sudah tidak ada. Prasasti Canggal yang bertarikh 732 Masehi
ditemukan ditempat ini. Dalam prasasti itu diceritakan tentang Raja Sanjaya
yang gagah berani mengalahkan musuh-musuhnya. Dengan kharismanya dan sebagai
simbol atas prestasinya, Sanjaya kemudian membangun sebuah lingga di atas bukit
Kunjarakunja. Pikiran saya langsung tertuju ke masa lalu dimana Sanjaya, Raja
pertama Mataram Kuno dahulu membangun tempat ini sekitar 1300 tahun yang lalu!
Amazing!
Salah satu candi perwara yang kondisinya paling baik |
Dengan demikian, saya langsung menjadi
bangga atas Magelang yang menyimpan sejarah luar biasa. Bukti bukti ilmiah ini
semakin meyakinkan bahwa Magelang dahulunya pernah menjadi pusat kerajaan yang
sangat termasyhur tersebut.
Hari semakin sore, kami mesti
menyelesaikan satu kunjungan terakhir. Di selatan Kota Muntilan, kami bisa
jumpai Candi Ngawen. Dari penampakannya, candi ini terlihat paling eksotis,
paling besar, dan paling indah daripada candi-candi yang telah kami kunjungi.
Namun satu yang membedakan. Candi terakhir ini bercorak candi Budha. Tiga candi
induk dengan dua candi perwara terlihat dalam kondisi cukup rusak. Hanya satu
candi yang terlihat masih utuh. Direlung candi terlihat patung Sang Buddha
bersila dalam posisi Ratnasambawa. Indra Oktora kemudian juga menjelaskan
tentang relief Ghana yang jumlahnya banyak mengitari menyangga atap candi. Luar
biasa istimewa!
Candi Ngawen |
Candi Ngawen ini memang jarang
terekspose. Dalam literatur-literatur kuno, kemungkinan candi ini diistilahkan
dengan Venuvana alias hutan bambu. Candi ini digunakan sebagai tempat ibadah
pemeluk Buddha bersama dengan Candi Mendut, Pawon dan Borobudur.
Akhirnya, sekitar pukul tiga sore
jelajah kami ditutup. Saya kemudian menyimpulkan bahwa Magelang dengan
keindahannya, kesejukannya, keistimewaan geografisnya, ternyata memiliki banyak
peninggalan percandian. Candi Buddha dan Hindu berdamping-dampingan menandakan
toleransi umat beragama waktu itu terbina sangat baik. Bisa dibayangkan, Mataram
Kuno saat itu hidup damai, rukun dan rakyatnya sejahtera sebelum akhirnya harus luluh lantak akibat meletusnya Gunung Merapi pada sekitar tahun 1006 Masehi. :)
Credits :
1) Candi Lumbung : Dusun Tlatar, Desa Krogowanan Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang
2) Candi Asu : Dusun Candi Pos, Desa Sengi, Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang
3) Candi Pendem : Desa Sengi, Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang
4) Candi Losari : Dusun/Desa Losari, Kecamatan Salam Kabupaten Magelang
5) Candu Gunungwukir : Dusun Canggal Desa Kadiluwih Kecamatan Salam Kabupaten Magelang
6) Candi Ngawen : Desa Ngawen, Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang
Baca juga Laporan dari Ryan Adhyatma disini : Jelajah Candi, Lumbung - Asu - Pendem - Losari - Gunungwukir - Ngawen
dulu saya cari Candi Lumbung ko gak ketemu, malah pernah lihat candi di pinggir sungai
ReplyDelete@rumput ilalang : Candi Lumbung itu yang dulu dipinggir sungai itu mas. Sekarang udah dipindah ke Tlatar. :)
ReplyDeleteDi Bandung ada Komunitas Aleut, di Jakarta ada Historia, dan kerennya ada KTM di Magelang.
ReplyDeleteKalau patung sapinya masih ada di Candi Asu ga?
Komunitas Aleut saya blm pernah denger. Kalau Historia sering :D
ReplyDeleteCandi Asu, untuk patung sapi/nandi nya sudah dipindahkan jadi udah nggak ada di sekitaran candi untuk menghindari pencurian..