Saturday, July 12, 2014

Djeladjah Tjandi, Mengenang Kejayaan Mataram Kuno di Magelang


Rute dan Spot Kunjungan Djeladjah Tjandi

Bagus Priyana, gubernur dan koordinator Komunitas Kota Toea Magelang (KTM) pagi ini menyambut kami, para peserta kegiatan Djeladjah Tjandi yang berjumlah sekitar 60-an orang di halaman Toko Oleh-oleh Endang Jaya. Briefing kali ini agak istimewa dengan sebuah kejutan berupa hadiah ulang tahun kepada Ryan Adhyatma dan Ekowati Lestari yang sekitaran tanggal tersebut berulang tahun. Pagi ini Minggu 22 Juni 2014 kami bersiap untuk mengikuti event spesial percandian.
Bagus Priyana memberikan briefing
Para peserta berfoto sebelum berangkat
Semua peserta menggunakan sepeda motor dengan tanda khusus yang dipasang dibagian belakang. Sekitar setengah sembilan pagi kami berangkat dari Mertoyudan melewati Jembatan Blondo dan masuk perkampungan Pare hingga Mangunsari Sawangan. Memang sengaja rute kali ini di desain tidak melalui jalan utama dengan alasan kenyamanan mengingat jalur utama Blabak-Sawangan sedang diperbaiki.
 
Sesampainya di kawasan Tlatar, kami mulai mengunjungi spot pertama. Candi Lumbung namanya. Secara administratif ada di Dusun Tlatar Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan. Sebagai orang Magelang saya merasa gagal karena baru ini saya tahu ada percandian di sekitar Tlatar. -___- secara fisik bangunan dengan tinggi sekitar 7 meter ini menjulang dengan konstruksi cukup lengkap. Seorang petugas kebersihan kemudian saya hampiri. “Candi ini dulu ada di tepi Sungai Apu mas. Karena waktu itu sedang dilanda banjir lahar dari Merapi, akhirnya Candi berangsur dipindah kesini” wow! Ini informasi yang benar-benar baru saya ketahui. “Sekitar 3-4 tahunan yang lalu mas” tutupnya menjelaskan kapan Candi ini berpindah.

Pak Narwan siang ini juga menyempatkan berpidato dengan geguritan ciptaannya. “Wis Tumeko Titi Wancine” judul puisi berbahasa jawa itu. Sembari berdiri di tangga candi, Pak Narwan membacakan puisi itu dengan semangat. Kami pun trenyuh dibuatnya :)
Pak Narwan Sastra Kelana

Oleh Indra Oktora, kami dipandu berkeliling Candi ini. Dia yang juga pengurus Komunitas Watu Magelang, menjelaskan secara detail arti-arti relief yang ada di sekujur tubuh candi. Mengenai penamaan, kemungkinan berasal dari penyebutan masyarakat sekitar yang menganggap candi ini sebagai lumbung padi/tempat menyimpan padi. Memang, konstruksi dibagian tengah bawah, dijumpai semacam lubang sumur kebawah. “Hal ini berkaitan dengan kepercayaan Hindu yang menganggap sumber air sebagai tempat pemujaan kepada Dewa” papar Indra.

Indra Oktora

Beberapa relief yang bisa ditemui adalah motif burung kakaktua dan Ghana. Ghana ini merupakan makhluk kerdil penyangga candi yang bisa kita temui dibeberapa sisi terutama di kaki candi. Ini sekaligus menjawab pertanyaan saya dalam ekspedisi saya ke Candi Tegowangi Kediri beberapa waktu lalu
 
Tidak sampai 1 kilometer dari tempat semula, kami berpindah ke lokasi Candi Asu. Candi ini relatif lebih kecil daripada Candi Lumbung. Suatu hal yang mengherankan kenapa candi ini dinamakan Candi Asu. Satu versi yang saya tahu adalah bahwa disekitar candi ini dahulu diketemukan sebuah patung Nandi/Sapi yang oleh penduduk sekitar dianggap sebagai patung anjing (jawa : asu). Melihat sekilas bentuk candi, candi ini terlihat minim relief. Anjar Nurhadi menjelaskan kepada saya selanjutnya bahwa batu-batu tanpa relief tersebut adalah batu yang disusun menyesuaikan bentuk aslinya tanpa dipahat sehingga hanya digunakan sebagai pendukung bentuk candi. Istilahnya batu alusan alias bukan batu candi asli yang kemungkinan telah hancur/belum ditemukan. Sedangkan relief yang masih bisa dijumpai sebagian besar adalah relief sulur tumbuhan.

 
Beruntung, kami juga disambut oleh Pak Ismanto. Seniman pahat batu lereng merapi ini menyambut kami dengan berorasi. Pembawaannya yang humoris membuat saya berasa nonton Stand Up Comedy. Hehehe. Pesan-pesan yang dia sampaikan antara lain bahwa dia mengapresiasi kegiatan-kegiatan KTM, kemudian Candi ini memberi inspirasi dan menguatkan toleransi antar umat beragama.
Pak Ismanto

Selanutnya kami harus berjibaku melalui perkebunan jati dan persawahan untuk sampai di Candi Pendem. Setelah menyelesaikan trek dengan jalan kaki barang 800 meter, sebuah candi tampak terpendam dicekungan tanah. Benar saja, bagian atas candi terlihat sejajar dengan tanah disekitarnya. Saya yakin-seyakinnya bahwa inilah alasan kenapa disebut dengan Candi Pendem. Suasana disini benar benar asri. Tanpa kebisingan, polusi, dan suasana hijaunya persawahan menambah krasan beristirahat disini. Dilihat dari bentuk candinya, terlihat bahwa bagian atas candi sepertinya telah hilang/rusak sehingga bentuk yang tersisa hanyalah bagian bawah candi saja. Satu yang belum digarap oleh pemerintah adalah membangun jalan akses ke tempat wisata ini.
Candi Pendem

Ketiga candi yang kami kunjungi di kawasan Tlatar diatas menurut penuturan Bagus Priyana berkaitan dengan pendharmaan Bathara Talingsingan. (mungkin) seorang tokoh penting pada masanya. Hingga hari ini, masih bisa dijumpai nama sungai Talingsingan disekitar tempat tersebut. Indra Oktora juga menjelaskan kepada saya perihal orientasi candi yang sama-sama membelakangi Gunung Merapi. Tampaknya, arah ini berkaitan dengan ibadah yang mana akan membuat orang yang masuk candi akan menghadap ke Gunung Merapi yang merupakan tempat tinggal para Dewa.

**
Air mineral ditangan saya semakin berkurang. Siang ini cuaca lumayan terik dan dehidrasi tidak tertahankan. Menjelang siang, kami menelusur jalur-jalur Kecamatan Dukun hingga masuk ke Kota Muntilan. Rombongan akhirnya sampai di Kawasan Salam untuk berkunjung ke Candi Losari.

Ditengah hamparan perkebunan salak, Halimah menyapa kami. Wanita berjilbab itu adalah petugas dari Badan Pelestari Cagar Budaya (BPCB) Jateng. Sebuah jalan kon-block selebar lima meteran telah dibangun membelah pepohonan salak menuju ke Candi.  Papan informasi, pos jaga, dan fasilitas ini terlihat belum lama dibangun. Masih kelihatan baru.
Halimah

Candi Losari tampak memprihatinkan. Kompleks percandian dengan satu candi induk dan tiga candi perwara ini terlihat tergenang air disebuah bekas galian tanah dengan kisaran kedalaman 5 meter. Padahal diatas candi telah dibangun atap dengan konstruksi baja ringan. “Kami telah membangun atap ini dengan harapan candi tidak akan kehujanan sehingga air tidak menggenang. Namun rupanya air tanah lebih deras dari yang kami perkirakan” ucap Halimah. Benar saja, candi induk yang terlihat masih belum direkonstruksi itu tampak setengahnya saja. Pun begitu dengan ketiga candi perwara lainnya.
 
Halimah menjelaskan bahwa tahun 2004 silam, Badri sang pemilik kebun sedang membuat parit hingga pekerjaannya tanpa sengaja menemukan batu-batuan candi yang dikumpulkan dirumahnya. Melihat banyaknya batuan candi yang ditemukan, akhirnya dilaporkan kepada pihak yang berwenang. Ekskavasi akhirnya dilakukan bertahap hingga sekitar tahun 2010. Salah satu candi perwara kabarnya ditemukan dalam kondisi yang prima. Eh, maksud saya dalam kondisi utuh. Mengenai jenis candi, perkiraan sementara candi ini adalah bangunan peribadatan agama Hindu yang dibangun sekitar abad 8-9 Masehi. Hal itu dilihat dari ukir-ukiran relief serta bentuk candi dengan kemuncak yang mengindikasikan corak candi Hindu. Satu yang menarik dipaparkan oleh Edi Purnomo, seorang peserta aktif di KTM. Dia memperlihatkan kepada saya bahwa lapisan tanah yang terlihat pada dinding galian terlihat tiga lapis. Hal ini menandakan bahwa para candi di sekitar Magelang ini umumnya pernah terpendam oleh letusan dahsyat Gunung Merapi sebanyak tiga kali.
Kondisi Candi Losari per Juni 2014

Djeladjah Tjandi kali ini benar-benar tidak mengenal lelah. Kami sampai di kawasan Bukit Canggal/Bukit Wukir dan memarkir motor dipelataran rumah warga untuk kemudian melakukan pendakian bukit. Sekitar 15 menit kami berjalan kaki menanjak hingga kaki terasa pegal-pegal. Akhirnya semua terbayar. Sebuah tempat lapang diatas bukit ini memiliki kompleks percandian yang selama ini kita kenal dengan nama Candi Gunung Wukir.
Pendakian bukit Canggal
Setidaknya ada tiga candi perwara dengan konstruksi 30-40 persen utuh. Salah satunya berisi Patung Nandi. Sedangkan pada candi induk, sebuah yoni besar tampak gagah sebagai titik utama peribadatan. Lingganya kini sudah tidak ada. Prasasti Canggal yang bertarikh 732 Masehi ditemukan ditempat ini. Dalam prasasti itu diceritakan tentang Raja Sanjaya yang gagah berani mengalahkan musuh-musuhnya. Dengan kharismanya dan sebagai simbol atas prestasinya, Sanjaya kemudian membangun sebuah lingga di atas bukit Kunjarakunja. Pikiran saya langsung tertuju ke masa lalu dimana Sanjaya, Raja pertama Mataram Kuno dahulu membangun tempat ini sekitar 1300 tahun yang lalu! Amazing!
 

Salah satu candi perwara yang kondisinya paling baik
Dengan demikian, saya langsung menjadi bangga atas Magelang yang menyimpan sejarah luar biasa. Bukti bukti ilmiah ini semakin meyakinkan bahwa Magelang dahulunya pernah menjadi pusat kerajaan yang sangat termasyhur tersebut.

Hari semakin sore, kami mesti menyelesaikan satu kunjungan terakhir. Di selatan Kota Muntilan, kami bisa jumpai Candi Ngawen. Dari penampakannya, candi ini terlihat paling eksotis, paling besar, dan paling indah daripada candi-candi yang telah kami kunjungi. Namun satu yang membedakan. Candi terakhir ini bercorak candi Budha. Tiga candi induk dengan dua candi perwara terlihat dalam kondisi cukup rusak. Hanya satu candi yang terlihat masih utuh. Direlung candi terlihat patung Sang Buddha bersila dalam posisi Ratnasambawa. Indra Oktora kemudian juga menjelaskan tentang relief Ghana yang jumlahnya banyak mengitari menyangga atap candi. Luar biasa istimewa!
Candi Ngawen
 
Candi Ngawen ini memang jarang terekspose. Dalam literatur-literatur kuno, kemungkinan candi ini diistilahkan dengan Venuvana alias hutan bambu. Candi ini digunakan sebagai tempat ibadah pemeluk Buddha bersama dengan Candi Mendut, Pawon dan Borobudur.

Akhirnya, sekitar pukul tiga sore jelajah kami ditutup. Saya kemudian menyimpulkan bahwa Magelang dengan keindahannya, kesejukannya, keistimewaan geografisnya, ternyata memiliki banyak peninggalan percandian. Candi Buddha dan Hindu berdamping-dampingan menandakan toleransi umat beragama waktu itu terbina sangat baik. Bisa dibayangkan, Mataram Kuno saat itu hidup damai, rukun dan rakyatnya sejahtera sebelum akhirnya harus luluh lantak akibat meletusnya Gunung Merapi pada sekitar tahun 1006 Masehi. :)


Credits :
1) Candi Lumbung : Dusun Tlatar, Desa Krogowanan Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang
2) Candi Asu : Dusun Candi Pos, Desa Sengi, Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang
3) Candi Pendem : Desa Sengi, Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang
4) Candi Losari : Dusun/Desa Losari, Kecamatan Salam Kabupaten Magelang
5) Candu Gunungwukir : Dusun Canggal Desa Kadiluwih Kecamatan Salam Kabupaten Magelang
6) Candi Ngawen : Desa Ngawen, Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang


Baca juga Laporan dari Ryan Adhyatma disini : Jelajah Candi, Lumbung - Asu - Pendem - Losari - Gunungwukir - Ngawen

4 comments:

  1. dulu saya cari Candi Lumbung ko gak ketemu, malah pernah lihat candi di pinggir sungai

    ReplyDelete
  2. @rumput ilalang : Candi Lumbung itu yang dulu dipinggir sungai itu mas. Sekarang udah dipindah ke Tlatar. :)

    ReplyDelete
  3. Di Bandung ada Komunitas Aleut, di Jakarta ada Historia, dan kerennya ada KTM di Magelang.
    Kalau patung sapinya masih ada di Candi Asu ga?

    ReplyDelete
  4. Komunitas Aleut saya blm pernah denger. Kalau Historia sering :D
    Candi Asu, untuk patung sapi/nandi nya sudah dipindahkan jadi udah nggak ada di sekitaran candi untuk menghindari pencurian..

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...