Tidak terasa bus egrek-egrek jurusan
Semarang – Jogja yang saya tumpangi ini bisa juga menidurkan saya – tidur
terpaksa tepatnya. Saya sedikit gugup saat memasuki pukul tujuh pagi dan saya
baru memasuki kawasan Magelang, takut terlambat. Untung Ryan bisa menjemput
saya tepat waktu di Stasiun Kebonpolo dan mengantar saya ke Botton. Titik
lokasi kumpul kami.
Gub. Bagus Priyana |
Alfamart Jalan Pahlawan pagi itu
(Minggu, 28 September 2014) telah ramai oleh sekitar 50 peserta kegiatan yang
dimotori oleh Komunitas Kota Toea Magelang (KTM). “Ini adalah untuk ketiga
kalinya acara Djeladjah Spoor kita adakan setelah tahun 2012 lalu kita
mengadakan djeladjah Magelang – Parakan dengan sepeda motor, dan treking jalur
spoor Secang – Candi Umbul di tahun lalu” sambut Bagus Priyana, koordinator KTM
yang sering kami panggil dengan sebutan Gubernur saat acara pembukaan.
Pada event kali ini, masih menurut Pak
Gubernur, jumlah peserta membeludak, meski sudah dibatasi. Bahkan hingga malam
sebelumnya, masih saja ada sms pendaftaran yang masuk. Akhirnya pukul 07.45,
para peserta yang berjumlah 70 orang bersiap berangkat dengan menggunakan 6
angkot carteran. Peserta yang ikut, cukup membayar 25 ribu dan mendapatkan
amunisi berupa arem-arem, tempe goreng dan air mineral. Tidak lupa, satu
booklet sebagai pelengkap.
Cuaca hari itu cukup cerah hingga
sekitar empat puluh lima menit kemudian kami sudah berhasil menepi ke Stasiun
Bedono. Tujuan pertama kami sekaligus titik awal trekking ini rupanya sedang
proses renovasi. Ada beberapa pekerja yang sedang melakukan perbaikan di
dinding, atap, dan bantalan rel. Pak Jumadi menyambut kami, pegawai yang
bertugas menjaga stasiun. Beliau menerangkan sekilas tentang sejarah gedung
bergaya indische yang dibangun akhir
1800-an itu. Tidak banyak informasi yang bisa diperoleh karena minimnya sumber
yang valid. Secara kasat mata melihat pemugaran yang berlangsung, saya pribadi
menjadi sangat yakin akan kesungguhan pemerintah, dalam hal ini PT KAI untuk
menghidupkan rel-rel mati salah satunya jurusan Ambarawa – Magelang, yang
melewati Bedono ini.
Stasiun Bedono |
Selama lebih kurang 15 menit, para
peserta dipersilakan untuk bebas mengamati, memotret, dan bermain di lingkungan
stasiun. Ada sebuah alat pemutar loko yang bentuknya tampak seperti kolam
bundar dengan rel sejajar diatasnya. Tidak dinyana, alat tersebut masih
berfungsi baik. Beruntung, saya juga mendapat kesempatan untuk mengoperasikan turntable tersebut hingga berputar 360’
dengan dorongan minimal dua orang. Ya, sistem kerjanya memang manual. Selain
itu, ada beberapa fasilitas stasiun yang hingga kini masih berfungsi baik
seperti toilet, tandon air, dan selang pengisi air untuk lokomotif uap.
Setelah berfoto bersama, rombongan
langsung memulai acara inti. Perjalanan sejauh kira-kira 15 kilometer pun
dimulai. Pada kilometer awal, kami membelah perkampungan. Rel-rel disini tampak
masih terjaga. Jalurnya sebagian besar digunakan sebagai jalan kampung, dan
sebagian menggantung. Selanjutnya, medan agak menurun. Rel gerigi itu berada
disamping kiri kami dengan kondisi yang saya rasa cukup bagus.
“Rel gerigi itu berfungsi sebagai
penahan supaya kereta tidak melorot saat menanjak ataupun menurun” ujar mas
Bagus. Pemandangan mulai menghijau. Kami terpisah dalam beberapa kelompok
karena perbedaan kecepatan berjalan dan daya tahan. Selang berapa saat,
lintasan kereta memasuki kawasan kebun kopi. Beruntunglah kami siang hari yang
terik ini menjadi tidak terasa. Di beberapa lokasi, tampak belokan rel yang
melengkung. Eksotis. Pikiran saya langsung terbayang kejayaan lokomotif uap
bergerigi waktu itu. Dengan pemandangan yang luar biasa istimewa, meski dengan
kecepatan loko yang hanya 10-30 Km per jam, tapi perjalanan pasti akan sangat
indah dan romantis tentunya.
Ditengah perkebunan, kami jumpai sebuah
jembatan antar kampung dengan konstruksi mirip talang air. Saya pun tidak bisa
menyimpulkan apakah jembatan ini dibangun karena ada rel kereta dibawahnya,
atau karena rel tidak digunakan sehingga digunakan untuk konstruksi jembatan.
Berdasarkan data stasiun yang dijelaskan
oleh panitia, kami seharusnya menemui Stasiun/Halte Gemawang yang jika dilihat
secara administratif berada di perbatasan Kabupaten Temanggung dan Semarang. Sial,
yang kami temui bukan bekas stasiun. Justru peternakan ayam dengan panjang yang
luar biasa. Dengan sangat terpaksa kami berlari-lari kecil untuk segera
mengakhiri perjalanan diantara dua kandang ayam ini. Aromanya bikin muntah.
Syukurlah, akhirnya kami sampai pada
rest-area pertama sesaat setelah lepas dari siksaan Stasiun Ayam. Saya yang
belum sarapan akhirnya menyempatkan makan bekal yang dibawai pacar saya. :D. Di
kilometer kelima ini para peserta beristirahat selama 15 menit.
***
Perjalanan dilanjutkan dengan menyusur
bekas rel kereta yang ada tepat di sebelah kiri Jl. Raya Semarang – Magelang
tepatnya di kawasan Pingit. Sebuah jembatan dengan konstruksi underbeam kami
temui dalam kondisi yang cukup baik. Kini digunakan sebagai tempat menjemur
pakaian oleh warga sekitar. Selepas melewati RM Sarangan yang diperkirakan
disekitarnya –lah bekas Stasiun Kalitelon, tim kembali masuk ke hutan.
Rel bergerigi tampaknya sudah berakhir.
Hanya digunakan dari Jambu hingga Gemawang saja. Belum lama kami menjamah hutan
dengan kondisi rel yang sebagian besar terpendam itu, tampak rel melintang
tergantung didepan kami. “Tanahnya sudah longsor” ucap salah satu peserta. Disinilah
insiden saya terjadi. Saya jatuh dan untungnya setelah jatuh masih bisa
tertawa. Menertawakan diri sendiri sekaligus malu.
Medan yang kami lalui bisa dibilang
cukup asri. Hamparan pemandangan dikiri kanan kami sungguh mempesona. Dibeberapa
titik kami melihat beberapa patok baru yang dipasang oleh PT KAI untuk
inventarisir tanah-tanah disekitaran rel. Hingga tanpa terasa kami sudah
mengayuh perjalanan hingga 5 kilomter lagi dan sampailah kami di Eks. Stasiun
Grabag Merbabu.
Eks. Stasiun Grabag Merbabu |
Sebuah gedung berwarna putih kekuningan,
dengan lobang ventilasi khas stasiun, dan bekas tegel ‘tahu’ emplasement
berdiri tegak dengan penambahan ruangan di kiri kanan. Rupanya saat ini gedung
tersebut difungsikan sebagai sekolah. Tampak sebuah pohon akasia dengan paduan
warna merah membuat suasana siang yang gersang ini sedikit terpoles.
Beberapa kawan kami yang datang dari
Magelang menggunakan sepeda motor datang untuk memberi dukungan moral. Eh
maksud saya untuk membawakan beberapa amunisi berupa makanan dan air mineral.
Jenang grontol, dibungkus dengan kertas minyak dan koran, dan diikat
menggunakan karet gelang. Makanan manis berbahan jagung dan tepung beras ini
terasa sangat nikmat. Saya saja habis dua.
Beranjak dari Stasiun Grabag Merbabu,
kami melintasi perkampungan dengan suasana yang sedikit membosankan. Selain
karena cuaca panas, juga karena sudah lelah. Rute yang kami lalui pun sudah tak
seindah dulu. Kini kami harus berjuang berpanas-panas ditengah hamparan sawah
dengan debu kemarau yang beterbangan. Ada beberapa jembatan yang bisa kami
temui, semuanya kini digunakan sebagai akses mobilitas warga setempat dengan
memanfaatkan rel yang ditata sekaligus dibeton. Lebarnya juga kiranya cukup
untuk dilalui mobil kecil. Untuk menghibur suasana yang membosankan, saya
mengobrol dengan beberapa kawan, salah satunya Halim Santoso yang datang
jauh-jauh dari Solo untuk mengikuti acara ini.
Sebuah bekas jembatan kereta api |
Alhamdulillah, meskipun capek, kami
akhirnya sampai di titik akhir trekking kami. Seperti trekking kami tahun lalu,
kami mengambil finish di pemandian Candi Umbul Kecamatan Grabag. Saya
menyempatkan sholat dhuhur karena waktu sudah menunjukkan lepas pukul satu
siang. Selanjutnya saya bersama beberapa kawan nyemplung untuk kungkum
sekaligus mandi. Saya sih hanya sebentar saja. Hanya 15 menitan. Sesudahnya
saya menemani pak Narwan makan siang soto dikantin yang berada didalam kompleks
pemandian.
Pukul tiga sore, acara ditutup didepan
Pemandian Candi Umbul dengan berdoa bersama. Angkot-angkot yang sedari tadi
menunggu kami, kini membawa kami kembali ke Magelang. Sore itu, setelah
berpamitan dengan Pak Gub, saya segera menuju ke Terminal Tidar dan ngebis
kembali ke Ungaran.
Daftar link :
1) Djeladjah Djaloer Spoor Magelang - Parakan
2) Trekking Djaloer Spoor Secang - Candi Umbul
3) Blusukan Jalur Sepur Bedono - Candi Umbul (oleh Prima Utama)
Saya, Halim Santoso dan Arif Setiawan |
Daftar link :
1) Djeladjah Djaloer Spoor Magelang - Parakan
2) Trekking Djaloer Spoor Secang - Candi Umbul
3) Blusukan Jalur Sepur Bedono - Candi Umbul (oleh Prima Utama)
Hmmm... boleh ini masuk alternatif rute blusukan saya. Saya juga berharap suatu saat nanti jalur Jogja - Magelang kembali aktif supaya bangunan-bangunan terbengkalai ini kembali hidup....
ReplyDelete@Mawi Wijna :
ReplyDeleteTerimakasih kunjungan dan komentarnya.. Silakan bisa digunakan sebagai referensi ;)
Wew.. Asyik ya trakkingnya..
ReplyDeleteBelum lagi itu, yg bikin kagum, jembatan rel yg jd jemuran ibu2. Bentuknya bagus..
@Ria : Betul mbak. Emang asik. Ayuk trekking lagi besok September. Hehehe
ReplyDeleteSemoga Perkeretaapian Indonesia Jaya Kembali. Meskipun hanya sebatas wisata sejarah agar peninggalan-peninggalan sejarah tetap dapat bercerita.
ReplyDeleteSemoga Perkeretaapian Indonesia Jaya Kembali. Meskipun hanya sebatas wisata sejarah agar peninggalan-peninggalan sejarah tetap dapat bercerita.
ReplyDeleteAminnn
Delete