Friday, October 10, 2014

Djeladjah Djaloer Spoor #3, Napak Tilas Kereta Bergerigi Bedono - Candi Umbul


Tidak terasa bus egrek-egrek jurusan Semarang – Jogja yang saya tumpangi ini bisa juga menidurkan saya – tidur terpaksa tepatnya. Saya sedikit gugup saat memasuki pukul tujuh pagi dan saya baru memasuki kawasan Magelang, takut terlambat. Untung Ryan bisa menjemput saya tepat waktu di Stasiun Kebonpolo dan mengantar saya ke Botton. Titik lokasi kumpul kami.
Gub. Bagus Priyana

Alfamart Jalan Pahlawan pagi itu (Minggu, 28 September 2014) telah ramai oleh sekitar 50 peserta kegiatan yang dimotori oleh Komunitas Kota Toea Magelang (KTM). “Ini adalah untuk ketiga kalinya acara Djeladjah Spoor kita adakan setelah tahun 2012 lalu kita mengadakan djeladjah Magelang – Parakan dengan sepeda motor, dan treking jalur spoor Secang – Candi Umbul di tahun lalu” sambut Bagus Priyana, koordinator KTM yang sering kami panggil dengan sebutan Gubernur saat acara pembukaan.

Pada event kali ini, masih menurut Pak Gubernur, jumlah peserta membeludak, meski sudah dibatasi. Bahkan hingga malam sebelumnya, masih saja ada sms pendaftaran yang masuk. Akhirnya pukul 07.45, para peserta yang berjumlah 70 orang bersiap berangkat dengan menggunakan 6 angkot carteran. Peserta yang ikut, cukup membayar 25 ribu dan mendapatkan amunisi berupa arem-arem, tempe goreng dan air mineral. Tidak lupa, satu booklet sebagai pelengkap.

Cuaca hari itu cukup cerah hingga sekitar empat puluh lima menit kemudian kami sudah berhasil menepi ke Stasiun Bedono. Tujuan pertama kami sekaligus titik awal trekking ini rupanya sedang proses renovasi. Ada beberapa pekerja yang sedang melakukan perbaikan di dinding, atap, dan bantalan rel. Pak Jumadi menyambut kami, pegawai yang bertugas menjaga stasiun. Beliau menerangkan sekilas tentang sejarah gedung bergaya indische yang dibangun akhir 1800-an itu. Tidak banyak informasi yang bisa diperoleh karena minimnya sumber yang valid. Secara kasat mata melihat pemugaran yang berlangsung, saya pribadi menjadi sangat yakin akan kesungguhan pemerintah, dalam hal ini PT KAI untuk menghidupkan rel-rel mati salah satunya jurusan Ambarawa – Magelang, yang melewati Bedono ini.



Stasiun Bedono
Selama lebih kurang 15 menit, para peserta dipersilakan untuk bebas mengamati, memotret, dan bermain di lingkungan stasiun. Ada sebuah alat pemutar loko yang bentuknya tampak seperti kolam bundar dengan rel sejajar diatasnya. Tidak dinyana, alat tersebut masih berfungsi baik. Beruntung, saya juga mendapat kesempatan untuk mengoperasikan turntable tersebut hingga berputar 360’ dengan dorongan minimal dua orang. Ya, sistem kerjanya memang manual. Selain itu, ada beberapa fasilitas stasiun yang hingga kini masih berfungsi baik seperti toilet, tandon air, dan selang pengisi air untuk lokomotif uap.

Setelah berfoto bersama, rombongan langsung memulai acara inti. Perjalanan sejauh kira-kira 15 kilometer pun dimulai. Pada kilometer awal, kami membelah perkampungan. Rel-rel disini tampak masih terjaga. Jalurnya sebagian besar digunakan sebagai jalan kampung, dan sebagian menggantung. Selanjutnya, medan agak menurun. Rel gerigi itu berada disamping kiri kami dengan kondisi yang saya rasa cukup bagus.



“Rel gerigi itu berfungsi sebagai penahan supaya kereta tidak melorot saat menanjak ataupun menurun” ujar mas Bagus. Pemandangan mulai menghijau. Kami terpisah dalam beberapa kelompok karena perbedaan kecepatan berjalan dan daya tahan. Selang berapa saat, lintasan kereta memasuki kawasan kebun kopi. Beruntunglah kami siang hari yang terik ini menjadi tidak terasa. Di beberapa lokasi, tampak belokan rel yang melengkung. Eksotis. Pikiran saya langsung terbayang kejayaan lokomotif uap bergerigi waktu itu. Dengan pemandangan yang luar biasa istimewa, meski dengan kecepatan loko yang hanya 10-30 Km per jam, tapi perjalanan pasti akan sangat indah dan romantis tentunya.
 
Ditengah perkebunan, kami jumpai sebuah jembatan antar kampung dengan konstruksi mirip talang air. Saya pun tidak bisa menyimpulkan apakah jembatan ini dibangun karena ada rel kereta dibawahnya, atau karena rel tidak digunakan sehingga digunakan untuk konstruksi jembatan.
 
Berdasarkan data stasiun yang dijelaskan oleh panitia, kami seharusnya menemui Stasiun/Halte Gemawang yang jika dilihat secara administratif berada di perbatasan Kabupaten Temanggung dan Semarang. Sial, yang kami temui bukan bekas stasiun. Justru peternakan ayam dengan panjang yang luar biasa. Dengan sangat terpaksa kami berlari-lari kecil untuk segera mengakhiri perjalanan diantara dua kandang ayam ini. Aromanya bikin muntah.
 
Syukurlah, akhirnya kami sampai pada rest-area pertama sesaat setelah lepas dari siksaan Stasiun Ayam. Saya yang belum sarapan akhirnya menyempatkan makan bekal yang dibawai pacar saya. :D. Di kilometer kelima ini para peserta beristirahat selama 15 menit.

***
Perjalanan dilanjutkan dengan menyusur bekas rel kereta yang ada tepat di sebelah kiri Jl. Raya Semarang – Magelang tepatnya di kawasan Pingit. Sebuah jembatan dengan konstruksi underbeam kami temui dalam kondisi yang cukup baik. Kini digunakan sebagai tempat menjemur pakaian oleh warga sekitar. Selepas melewati RM Sarangan yang diperkirakan disekitarnya –lah bekas Stasiun Kalitelon, tim kembali masuk ke hutan.
 
Rel bergerigi tampaknya sudah berakhir. Hanya digunakan dari Jambu hingga Gemawang saja. Belum lama kami menjamah hutan dengan kondisi rel yang sebagian besar terpendam itu, tampak rel melintang tergantung didepan kami. “Tanahnya sudah longsor” ucap salah satu peserta. Disinilah insiden saya terjadi. Saya jatuh dan untungnya setelah jatuh masih bisa tertawa. Menertawakan diri sendiri sekaligus malu.

Medan yang kami lalui bisa dibilang cukup asri. Hamparan pemandangan dikiri kanan kami sungguh mempesona. Dibeberapa titik kami melihat beberapa patok baru yang dipasang oleh PT KAI untuk inventarisir tanah-tanah disekitaran rel. Hingga tanpa terasa kami sudah mengayuh perjalanan hingga 5 kilomter lagi dan sampailah kami di Eks. Stasiun Grabag Merbabu.
Eks. Stasiun Grabag Merbabu

Sebuah gedung berwarna putih kekuningan, dengan lobang ventilasi khas stasiun, dan bekas tegel ‘tahu’ emplasement berdiri tegak dengan penambahan ruangan di kiri kanan. Rupanya saat ini gedung tersebut difungsikan sebagai sekolah. Tampak sebuah pohon akasia dengan paduan warna merah membuat suasana siang yang gersang ini sedikit terpoles.

Beberapa kawan kami yang datang dari Magelang menggunakan sepeda motor datang untuk memberi dukungan moral. Eh maksud saya untuk membawakan beberapa amunisi berupa makanan dan air mineral. Jenang grontol, dibungkus dengan kertas minyak dan koran, dan diikat menggunakan karet gelang. Makanan manis berbahan jagung dan tepung beras ini terasa sangat nikmat. Saya saja habis dua.

Beranjak dari Stasiun Grabag Merbabu, kami melintasi perkampungan dengan suasana yang sedikit membosankan. Selain karena cuaca panas, juga karena sudah lelah. Rute yang kami lalui pun sudah tak seindah dulu. Kini kami harus berjuang berpanas-panas ditengah hamparan sawah dengan debu kemarau yang beterbangan. Ada beberapa jembatan yang bisa kami temui, semuanya kini digunakan sebagai akses mobilitas warga setempat dengan memanfaatkan rel yang ditata sekaligus dibeton. Lebarnya juga kiranya cukup untuk dilalui mobil kecil. Untuk menghibur suasana yang membosankan, saya mengobrol dengan beberapa kawan, salah satunya Halim Santoso yang datang jauh-jauh dari Solo untuk mengikuti acara ini.
Sebuah bekas jembatan kereta api
 
Alhamdulillah, meskipun capek, kami akhirnya sampai di titik akhir trekking kami. Seperti trekking kami tahun lalu, kami mengambil finish di pemandian Candi Umbul Kecamatan Grabag. Saya menyempatkan sholat dhuhur karena waktu sudah menunjukkan lepas pukul satu siang. Selanjutnya saya bersama beberapa kawan nyemplung untuk kungkum sekaligus mandi. Saya sih hanya sebentar saja. Hanya 15 menitan. Sesudahnya saya menemani pak Narwan makan siang soto dikantin yang berada didalam kompleks pemandian.
 
Pukul tiga sore, acara ditutup didepan Pemandian Candi Umbul dengan berdoa bersama. Angkot-angkot yang sedari tadi menunggu kami, kini membawa kami kembali ke Magelang. Sore itu, setelah berpamitan dengan Pak Gub, saya segera menuju ke Terminal Tidar dan ngebis kembali ke Ungaran.

Saya, Halim Santoso dan Arif Setiawan

Daftar link :
1) Djeladjah Djaloer Spoor Magelang - Parakan
2) Trekking Djaloer Spoor Secang - Candi Umbul
3) Blusukan Jalur Sepur Bedono - Candi Umbul (oleh Prima Utama)


7 comments:

  1. Hmmm... boleh ini masuk alternatif rute blusukan saya. Saya juga berharap suatu saat nanti jalur Jogja - Magelang kembali aktif supaya bangunan-bangunan terbengkalai ini kembali hidup....

    ReplyDelete
  2. @Mawi Wijna :

    Terimakasih kunjungan dan komentarnya.. Silakan bisa digunakan sebagai referensi ;)

    ReplyDelete
  3. Wew.. Asyik ya trakkingnya..
    Belum lagi itu, yg bikin kagum, jembatan rel yg jd jemuran ibu2. Bentuknya bagus..

    ReplyDelete
  4. @Ria : Betul mbak. Emang asik. Ayuk trekking lagi besok September. Hehehe

    ReplyDelete
  5. Semoga Perkeretaapian Indonesia Jaya Kembali. Meskipun hanya sebatas wisata sejarah agar peninggalan-peninggalan sejarah tetap dapat bercerita.

    ReplyDelete
  6. Semoga Perkeretaapian Indonesia Jaya Kembali. Meskipun hanya sebatas wisata sejarah agar peninggalan-peninggalan sejarah tetap dapat bercerita.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...