Belajar sejarah bersama
Komunitas Kota Toea Magelang (KTM) memang tidak ada habisnya. Meskipun sudah
bertahun-tahun mengikuti acara-acaranya, masih saja terus ada acara-acara baru
yang mengundang penasaran. Salah satu acara yang saya suka di KTM adalah Djeladjah.
Seperti beberapa waktu lalu sesaat sebelum puasa Tahun 2015, KTM mengadakan
jelajah Diponegoro seri #2. Perlu diketahui, pada tahun 2014, KTM juga pernah
mengadakan jelajah dengan tema serupa dengan tujuan masih di kawasan Magelang. Selengkapnya
bisa dibaca disini.
Peserta berfoto bersama di Patung Diponegoro alun-alun Magelang sebelum berangkat |
Setahun kemudian, gelaran acara
menapak tilas kehidupan sang pangeran kembali digelorakan. Tidak dekat, kali
ini para peserta harus ekstra berkendara agak jauh karena akan mengunjungi
tempat-tempat petilasan Diponegoro di kawasan Kulonprogo, Jogjakarta.
Kawasan Kulonprogo merupakan
salah satu wilayah penting dalam sejarah Perang Jawa. Medan yang berupa
perbukitan, membuatnya menjadi pilihan untuk bergerilya. Pangeran Diponegoro
dan para laskarnya memanfaatkan kondisi geografis yang demikian untuk berperang
dengan Belanda. Terbukti, dengan taktik perang gerilya itu, Belanda merasa
sangat tertekan dan menghabiskan banyak uang untuk melayani perlawanan dengan
pasukan Diponegoro. Bahkan, dalam berbagai naskah, diceritakan bahwa perang
Jawa yang berlangsung sekitar lima tahun itu merupakan sebuah awal dari era
perang modern dimana perang tidak hanya perang secara fisik, tetapi juga
membutuhkan taktik serta strategi yang mumpuni. Saat itu selain perlawanan
fisik, juga terjadi psywar alias
perang urat syaraf. Juga pada waktu itu, fungsi agen-agen sudah berjalan optimal
dalam menjalankan agitasi dan propaganda serta intelijen. (kedawan).
**
Setengah tujuh pagi, Minggu 14
Juni 2015, saya sudah merapat ke pojok alun-alun Magelang. Peserta saat ini
seperti biasa tembus diangka lebih dari 100 orang. Pendaftaran dilayani oleh
beberapa kawan dan uang 15 ribu dibarter dengan amunisi berupa arem-arem dan
tempe goreng. Tidak lupa, materi.
Sedikit berbeda dengan
biasanya, kali ini pembukaan acara dihadiri oleh salah satu pegiat sejarah yang
datang jauh jauh dari Bekasi, namanya Pak Hari Sasono, beliau juga merupakan
ketua Yayasan AHM untuk keselamatan berkendara. Selain membuka, pak Hari juga
membagikan buku-buku tentang keselamatan berlalu lintas secara gratis.
Gub Bagus Priyana dan Hari Sasono |
Begitu peserta dilepas, maka
kamipun segera meluncur kearah luar kota. Sebagai penanda, maka pada begel
motor kami dipasang sebuah tanda segitiga dengan logo dan tulisan KTM. Berhubung
pagi itu bertepatan dengan acara nggowes bareng walikota Magelang, maka suasana
tampak sedikit macet. Tapi tak apa laah..
Rute yang dilewati adalah
melalui pertigaan Blondo menuju ke Kota
Mungkid. Dari Kota Mungkid, perjalanan dilanjutkan dengan menuju jalan
alternatif Borobudur – Kalibawang. Hal ini dikarenakan ada perbaikan jembatan
di jalur utama Mendut – Kalibawang. Pemandangan persawahan nan elok menemani
kami selama perjalanan.
Hingga tiba saatnya kami sampai
di kawasan Kalibawang dan bertemu dengan Ki Roni Sodewo bersama beberapa
pengikutnya. Ki Roni merupakan salah seorang keturunan Pangeran Diponegoro. Kali
ini, ia bersama timnya akan memandu kami menapak tilasi tempat-tempat
bersejarah di kawasan Kulonprogo. Sesuai dengan domisili beliau, Kulonprogo.
Makam Nyi Ageng Serang |
Tujuan pertama kami adalah
Makam Nyi Ageng Serang. Saya lupa-lupa ingat kalau beberapa waktu sebelumnya
juga pernah berkunjung ke tempat serupa di Pati. Tapi setelah saya konfirmasi,
yang di Pati ternyata Makam Nyi Ageng Ngerang. Nyi Ageng Serang sendiri merupakan
salah seorang istri Raja Kraton Jogjakarta yang kala itu berpisah dengan sang
Raja. Meski berpisah, namun kehidupan tetap berlangsung dengan baik. Pada waktu
masa perang Jawa (Java Oorlog) sekitar 1825-1830, Nyi Ageng Serang merupakan
salah satu pendukung Pangeran Diponegoro.
Ki Roni Sodewo memberikan penjelasan |
Ia bersama para pengikutnya
menjadikan wilayah Kalibawang, Kulonprogo dan sekitarnya sebagai wilayah
pertahanan sekaligus lokasi pengaturan strategi. Dalam salah satu kisah
disebutkan, bahwa ada hal unik yang dilakukan Nyi Ageng saat berkamuflase. Jaman
dahulu tentu belum ada baju doreng, sehingga kamuflase yang dilakukan adalah
dengan membekali prajuritnya dengan daun talas. Dengan daun talas tersebut,
maka ketika ada pasukan musuh lewat, daun talas tersebut bisa digunakan sebagai
tameng secara bergerombol sehingga seakan-akan mereka adalah sebuah kumpulan
tanaman talas.
Nyi Ageng Serang sendiri, kini
diangkat menjadi pahlawan nasional dan menjadi ikon Kabupaten Kulonprogo. Yang
membuat saya mengangguk adalah ingat bahwa di salah satu pusat kota Wates, ada
patung perempuan berkuda. Nah itu dia patung Nyi Ageng Serang. Tidak itu saja,
wacana pemerintah DIY untuk membangun bandara, jika memang jadi dibangun di
Kulonprogo, maka akan dinamai Bandara Nyi Ageng Serang.
**
Terletak tidak jauh dari
perempatan Dekso, ada sebuah kompleks makam yang bangunannya runtuh kala gempa Jogja
silam. Bangunan itu berukuran sekitar 6 x 15 meter persegi. Ada sekitar 100an
nisan berupa batu kecil yang diletakkan secara berjejer. Seperti pada makam
Belanda/Ereveld. “Ini adalah makam Laskar Bulkiyo. Pada waktu itu, mereka
adalah pasukan Diponegoro yang gugur saat melawan Belanda disebuah sungai dekat
sini. Mereka dimakamkan secara massal, dan batu-batu ini hanya untuk menandai
tiap-tiap nama” begitu kira-kira penjelasan dari Ki Roni sesaat sebelum kami
melakukan doa bersama dipimpin oleh seorang warga setempat.
Makam Laskar Bulkiyo |
Di tempat inilah para pejuang Laskar Bulkiyo gugur |
Kami selanjutnya memacu motor
menuju kawasan Goa Sriti dan Goa Upas. Ada penunjuk jalan pada sisi jalan raya
sehingga memudahkan pengunjung. Tapi, harus ingat. Perjalanan menuju goa ini
sangat terjal. Bahkan motor matic, tidak dianjurkan dipakai untuk menaiki
tanjakan. Salah seorang peserta bahkan terjatuh karena kurang konsentrasi. Untungnya,
tidak terjadi sesuatu yang fatal.
Panorama sekitar Goa Upas, Goa Sriti |
Titik awal trekking kedua goa
ini sama. Bedanya, Goa Upas menurun, dan Goa Sriti, menanjak. Motor diparkir
disitu dan kami langsung menuju ke Goa Upas. Menuruni bukit kapur, serta membelah
hutan jati, dengan jalan setapak yang belum di kondisikan adalah tantangan
tersendiri. Kira-kira ya kami turun sekitar 700-800 meter. Sesampainya di bibir
goa, kami harus bergantian per sepuluh orang untuk mendengarkan penjelasan dari
Ki Roni. Jalan menuju ke mulut goa sangat sempit hanya bisa dilalui satu orang saja. Juga, banyak tanaman rerumputan yang akan merepotkan bila dilalui banyak orang.
Trek menurun menuju Goa Upas |
Suasan Goa Upas |
Kondisi goa saat ini sudah
rubuh. Pada masa kejayaan goa ini,
digunakan oleh Pangeran Diponegoro untuk bertapa/bermeditasi. Didepan goa,
terdapat kolam yang kini sudah tidak berair lagi. Air itu berfungsi untuk minum
dan juga berwudhu. Menurut Ki Roni, pada babad yang ditulis oleh Diponegoro,
goa itu pada waktu dulu mampu menampung 3-4 orang. Sedangkan kini hanya tersisa
sebagian saja karena runtuh mungkin karena proses alam. Sebagai informasi
tambahan, goa ini baru beberapa waktu belakangan ditemukan. Sehingga jalur
untuk menuju lokasi juga masih bersanding dengan semak belukar.
Sedangkan Goa Sriti, merupakan
goa besar yang kini sudah dikembangkan oleh pemerintah setempat. Jalur trekking
yang sudah tertata, juga beberapa fasilitas sudah disediakan seperti kursi
tunggu, tong sampah, dan penunjuk. Goa Sriti merupakan goa dengan luas sekitar
tiga kali lapangan basket. Cukup luas. Didalamnya ada stalagtit/stalagmit aktif
yang memendarkan kristal hingga kini. Pada bagian dalam, ada salah satu tempat
yang dipercaya sebagai tempat penobatan Pangeran Diponegoro. Kondisi bagian
dalam goa, ada yang berlumpur. Dan salah satu lorong goa hingga kini masih
misterius karena belum pernah ada yang berhasil menyusur hingga ujungnya.
Salah satu sisi Goa Sriti |
**
Dari lokasi Goa Sriti, kami
kemudian meluncur ke Dusun Beteng, Desa Sidoharjo Kecamatan Samigaluh. Perjalanannya lumayan
jauh membutuhkan waktu kurang lebih sekitar setengah jam. Sesampainya di
Beteng, kami disambut masyarakat setempat dengan sangat meriah. Tidak saya
duga, sambutan meriah tersebut berupa disiapkannya tenda khusus, dengan beratus
kursi, serta sambutan resmi dari Dukuh, hingga Kepala Desa setempat. Selain itu,
juga disajikan aneka ragam makanan tradisional diantaranya geblek, rebus
pisang, rebus kacang, gorengan, dan lain sebagainya. Alhamdulillah. Perut terasa
lapar dan obatnya tersedia melimpah ruah.
Sambutan di Dusun Beteng |
Amunisi tambahan dari Dusun Beteng |
Selesai sambutan-sambutan
resmi, kami kemudian memilih untuk menunaikan shalat jamak dhuhur dan ashar di
musholla setempat. Baru kemudian, dari sana kami harus menyusur menuruni bukit
untuk sampai pada sebuah lembah. Lokasi itu berupa hutan dan disebut dengan
nama Alas Sidokampir. Rupa-rupanya, setelah susah payah menjejakkan kaki
sekitar dua puluh menit, kami sampai dilokasi tujuan.
Trekking menurun menuju lembah Alas Sidokampir |
Disana ada beberapa titik
petilasan sang Pangeran diantaranya, batu bekas tempat semedi, batu bekas
tempat beristirahat, monumen (kijing), dan juga batu tempat bekas shalat. Ditempat
itu, kondisi lembab. Dingin dan suara gemiricik air menambah damai. Menurut penuturan
warga setempat, pada malam-malam tertentu dibulan Muharaam/Suro dalam
penanggalan Jawa, diadakan doa bersama untuk mengenang perjuangan Diponegoro. Sebuah
kearifan lokal yang begitu arif dan begitu lokal dan patut untuk dilestarikan.
:D
Batu bekas tempat shalat Diponegoro |
Sampai dilokasi tenda, kami
disuguh dengan makan sore gratis. Tetapi tampaknya saya benar-benar sudah down.
Akhirnya saya memilih memakan beberapa snack dan meminum air panas dan langsung
istirahat. Alhamdulillah, saat acara penutupan yang dilengkapi dengan pembagian
doorprice, saya berangsur sehat kembali.
**
Acara jelajah kali ini
merupakan acara terlama yang saya ikuti bersama KTM. Terhitung sejak pukul 6,00
saya meninggalkan rumah, hingga pukul 16,30an acara baru selesai. Selesai
acara, saya segera menggeber motor melewati jalan yang sama dengan pemandangan
gelap dan suasana yang asing hingga Muntilan. Sampai rumah, pukul 18,20. Dan pukul
20,30 saya mengendarai motor lagi ke Ungaran. :’)
Penutupan di Dusun Beteng |
Sampe keringat dingin? Medan e abot tenan atau pas nggak fix badanmu, Mid? Break seminggu sik hahaha
ReplyDeleteNice share, jadi tahu beberapa spot petilasan Diponegoro di Kulonprogo ^^
@Halim_san : Hahaha.. pas kesel memang, jadi sampe masuk angin. Nek dewean pasti ora disambut warga :D
ReplyDeleteDari beberapa tempat di atas, saya malah baru tahu ada tempat bernama Alas Sidokampir. Semoga kegiatan yg mengasyikkan ini kelak bisa singgah di makam sang pangeran di Makassar yah. :D
ReplyDelete@Wihikan : Betul mas.. saya juga baru tahu :D amin semoga lain kali KTM traveling ke Makassar :D
ReplyDeleteMirip di bukunya Pak Carey. :)
ReplyDeleteEfenerr : Betul mas..
ReplyDeletekpan ya ada acara sprti itu lg,,,,,,pengen ikut jew,,,
ReplyDelete@Danang : gabung aja mas di Komunitas Kota Toea Magelang di facebook
ReplyDeleteSebuah artikel yang menarik, namun ada sedikit yang harus diluruskan: Ratu Ageng, permaisuri Sultan HB I itu beda dengan Nyi Ageng Serang. Ratu Ageng atau sebutan lainnya adalah Rati Ageng Tegalredjo, adalah yang membawa Diponegoro kecil ke Puri Tegalredjo dan menjadi pengasuh serta pendidiknya. Saat Diponegoro berusia 18 tahun, Ratu Ageng wafat, terjatuh di pematang sawah. Sedangkan Nyi Ageng Serang adalah jagoan perempuan dari Desa Serang dekat Purwodadi-Sragen dan menjadi penasehat militer bagi Diponegoro, yang dimakamkan di Kalibawang, Desa Beku. Ini aja ralatnya. Coba cek masa hidup antara Ratu Ageng Tegalredjo dengan Nyi Ageng Serang, itu berbeda masa, walau ada saling beririsan... Bahkan konon, selendang sakti milik Nyi Ageng Serang adalah pemberian dari Ratu Ageng Teglredjo.. Wallahu alam bishawab. Mohon koreksi jika saya salah. Matur nuwun..
ReplyDeleteMaturnuwun sanget atas koreksinya
Delete