Thursday, July 23, 2015

Menjelajah Petilasan Diponegoro di Kulonprogo

Belajar sejarah bersama Komunitas Kota Toea Magelang (KTM) memang tidak ada habisnya. Meskipun sudah bertahun-tahun mengikuti acara-acaranya, masih saja terus ada acara-acara baru yang mengundang penasaran. Salah satu acara yang saya suka di KTM adalah Djeladjah. Seperti beberapa waktu lalu sesaat sebelum puasa Tahun 2015, KTM mengadakan jelajah Diponegoro seri #2. Perlu diketahui, pada tahun 2014, KTM juga pernah mengadakan jelajah dengan tema serupa dengan tujuan masih di kawasan Magelang. Selengkapnya bisa dibaca disini.
Peserta berfoto bersama di Patung Diponegoro alun-alun Magelang sebelum berangkat
Setahun kemudian, gelaran acara menapak tilas kehidupan sang pangeran kembali digelorakan. Tidak dekat, kali ini para peserta harus ekstra berkendara agak jauh karena akan mengunjungi tempat-tempat petilasan Diponegoro di kawasan Kulonprogo, Jogjakarta.

Kawasan Kulonprogo merupakan salah satu wilayah penting dalam sejarah Perang Jawa. Medan yang berupa perbukitan, membuatnya menjadi pilihan untuk bergerilya. Pangeran Diponegoro dan para laskarnya memanfaatkan kondisi geografis yang demikian untuk berperang dengan Belanda. Terbukti, dengan taktik perang gerilya itu, Belanda merasa sangat tertekan dan menghabiskan banyak uang untuk melayani perlawanan dengan pasukan Diponegoro. Bahkan, dalam berbagai naskah, diceritakan bahwa perang Jawa yang berlangsung sekitar lima tahun itu merupakan sebuah awal dari era perang modern dimana perang tidak hanya perang secara fisik, tetapi juga membutuhkan taktik serta strategi yang mumpuni. Saat itu selain perlawanan fisik, juga terjadi psywar alias perang urat syaraf. Juga pada waktu itu, fungsi agen-agen sudah berjalan optimal dalam menjalankan agitasi dan propaganda serta intelijen. (kedawan).

**

Setengah tujuh pagi, Minggu 14 Juni 2015, saya sudah merapat ke pojok alun-alun Magelang. Peserta saat ini seperti biasa tembus diangka lebih dari 100 orang. Pendaftaran dilayani oleh beberapa kawan dan uang 15 ribu dibarter dengan amunisi berupa arem-arem dan tempe goreng. Tidak lupa, materi.

Sedikit berbeda dengan biasanya, kali ini pembukaan acara dihadiri oleh salah satu pegiat sejarah yang datang jauh jauh dari Bekasi, namanya Pak Hari Sasono, beliau juga merupakan ketua Yayasan AHM untuk keselamatan berkendara. Selain membuka, pak Hari juga membagikan buku-buku tentang keselamatan berlalu lintas secara gratis.
Gub Bagus Priyana dan Hari Sasono

Begitu peserta dilepas, maka kamipun segera meluncur kearah luar kota. Sebagai penanda, maka pada begel motor kami dipasang sebuah tanda segitiga dengan logo dan tulisan KTM. Berhubung pagi itu bertepatan dengan acara nggowes bareng walikota Magelang, maka suasana tampak sedikit macet. Tapi tak apa laah..

Rute yang dilewati adalah melalui pertigaan Blondo menuju ke  Kota Mungkid. Dari Kota Mungkid, perjalanan dilanjutkan dengan menuju jalan alternatif Borobudur – Kalibawang. Hal ini dikarenakan ada perbaikan jembatan di jalur utama Mendut – Kalibawang. Pemandangan persawahan nan elok menemani kami selama perjalanan.

Hingga tiba saatnya kami sampai di kawasan Kalibawang dan bertemu dengan Ki Roni Sodewo bersama beberapa pengikutnya. Ki Roni merupakan salah seorang keturunan Pangeran Diponegoro. Kali ini, ia bersama timnya akan memandu kami menapak tilasi tempat-tempat bersejarah di kawasan Kulonprogo. Sesuai dengan domisili beliau, Kulonprogo.
Makam Nyi Ageng Serang
Tujuan pertama kami adalah Makam Nyi Ageng Serang. Saya lupa-lupa ingat kalau beberapa waktu sebelumnya juga pernah berkunjung ke tempat serupa di Pati. Tapi setelah saya konfirmasi, yang di Pati ternyata Makam Nyi Ageng Ngerang. Nyi Ageng Serang sendiri merupakan salah seorang istri Raja Kraton Jogjakarta yang kala itu berpisah dengan sang Raja. Meski berpisah, namun kehidupan tetap berlangsung dengan baik. Pada waktu masa perang Jawa (Java Oorlog) sekitar 1825-1830, Nyi Ageng Serang merupakan salah satu pendukung Pangeran Diponegoro.
Ki Roni Sodewo memberikan penjelasan

Ia bersama para pengikutnya menjadikan wilayah Kalibawang, Kulonprogo dan sekitarnya sebagai wilayah pertahanan sekaligus lokasi pengaturan strategi. Dalam salah satu kisah disebutkan, bahwa ada hal unik yang dilakukan Nyi Ageng saat berkamuflase. Jaman dahulu tentu belum ada baju doreng, sehingga kamuflase yang dilakukan adalah dengan membekali prajuritnya dengan daun talas. Dengan daun talas tersebut, maka ketika ada pasukan musuh lewat, daun talas tersebut bisa digunakan sebagai tameng secara bergerombol sehingga seakan-akan mereka adalah sebuah kumpulan tanaman talas.

Nyi Ageng Serang sendiri, kini diangkat menjadi pahlawan nasional dan menjadi ikon Kabupaten Kulonprogo. Yang membuat saya mengangguk adalah ingat bahwa di salah satu pusat kota Wates, ada patung perempuan berkuda. Nah itu dia patung Nyi Ageng Serang. Tidak itu saja, wacana pemerintah DIY untuk membangun bandara, jika memang jadi dibangun di Kulonprogo, maka akan dinamai Bandara Nyi Ageng Serang.

**
Terletak tidak jauh dari perempatan Dekso, ada sebuah kompleks makam yang bangunannya runtuh kala gempa Jogja silam. Bangunan itu berukuran sekitar 6 x 15 meter persegi. Ada sekitar 100an nisan berupa batu kecil yang diletakkan secara berjejer. Seperti pada makam Belanda/Ereveld. “Ini adalah makam Laskar Bulkiyo. Pada waktu itu, mereka adalah pasukan Diponegoro yang gugur saat melawan Belanda disebuah sungai dekat sini. Mereka dimakamkan secara massal, dan batu-batu ini hanya untuk menandai tiap-tiap nama” begitu kira-kira penjelasan dari Ki Roni sesaat sebelum kami melakukan doa bersama dipimpin oleh seorang warga setempat.
Makam Laskar Bulkiyo
Di tempat inilah para pejuang Laskar Bulkiyo gugur

Kami selanjutnya memacu motor menuju kawasan Goa Sriti dan Goa Upas. Ada penunjuk jalan pada sisi jalan raya sehingga memudahkan pengunjung. Tapi, harus ingat. Perjalanan menuju goa ini sangat terjal. Bahkan motor matic, tidak dianjurkan dipakai untuk menaiki tanjakan. Salah seorang peserta bahkan terjatuh karena kurang konsentrasi. Untungnya, tidak terjadi sesuatu yang fatal.
Panorama sekitar Goa Upas, Goa Sriti

Titik awal trekking kedua goa ini sama. Bedanya, Goa Upas menurun, dan Goa Sriti, menanjak. Motor diparkir disitu dan kami langsung menuju ke Goa Upas. Menuruni bukit kapur, serta membelah hutan jati, dengan jalan setapak yang belum di kondisikan adalah tantangan tersendiri. Kira-kira ya kami turun sekitar 700-800 meter. Sesampainya di bibir goa, kami harus bergantian per sepuluh orang untuk mendengarkan penjelasan dari Ki Roni. Jalan menuju ke mulut goa sangat sempit hanya bisa dilalui satu orang saja. Juga, banyak tanaman rerumputan yang akan merepotkan bila dilalui banyak orang. 
Trek menurun menuju Goa Upas
Suasan Goa Upas

Kondisi goa saat ini sudah rubuh.  Pada masa kejayaan goa ini, digunakan oleh Pangeran Diponegoro untuk bertapa/bermeditasi. Didepan goa, terdapat kolam yang kini sudah tidak berair lagi. Air itu berfungsi untuk minum dan juga berwudhu. Menurut Ki Roni, pada babad yang ditulis oleh Diponegoro, goa itu pada waktu dulu mampu menampung 3-4 orang. Sedangkan kini hanya tersisa sebagian saja karena runtuh mungkin karena proses alam. Sebagai informasi tambahan, goa ini baru beberapa waktu belakangan ditemukan. Sehingga jalur untuk menuju lokasi juga masih bersanding dengan semak belukar.

Sedangkan Goa Sriti, merupakan goa besar yang kini sudah dikembangkan oleh pemerintah setempat. Jalur trekking yang sudah tertata, juga beberapa fasilitas sudah disediakan seperti kursi tunggu, tong sampah, dan penunjuk. Goa Sriti merupakan goa dengan luas sekitar tiga kali lapangan basket. Cukup luas. Didalamnya ada stalagtit/stalagmit aktif yang memendarkan kristal hingga kini. Pada bagian dalam, ada salah satu tempat yang dipercaya sebagai tempat penobatan Pangeran Diponegoro. Kondisi bagian dalam goa, ada yang berlumpur. Dan salah satu lorong goa hingga kini masih misterius karena belum pernah ada yang berhasil menyusur hingga ujungnya.
Salah satu sisi Goa Sriti

**
Dari lokasi Goa Sriti, kami kemudian meluncur ke Dusun Beteng, Desa Sidoharjo Kecamatan Samigaluh. Perjalanannya lumayan jauh membutuhkan waktu kurang lebih sekitar setengah jam. Sesampainya di Beteng, kami disambut masyarakat setempat dengan sangat meriah. Tidak saya duga, sambutan meriah tersebut berupa disiapkannya tenda khusus, dengan beratus kursi, serta sambutan resmi dari Dukuh, hingga Kepala Desa setempat. Selain itu, juga disajikan aneka ragam makanan tradisional diantaranya geblek, rebus pisang, rebus kacang, gorengan, dan lain sebagainya. Alhamdulillah. Perut terasa lapar dan obatnya tersedia melimpah ruah.
Sambutan di Dusun Beteng
Amunisi tambahan dari Dusun Beteng

Selesai sambutan-sambutan resmi, kami kemudian memilih untuk menunaikan shalat jamak dhuhur dan ashar di musholla setempat. Baru kemudian, dari sana kami harus menyusur menuruni bukit untuk sampai pada sebuah lembah. Lokasi itu berupa hutan dan disebut dengan nama Alas Sidokampir. Rupa-rupanya, setelah susah payah menjejakkan kaki sekitar dua puluh menit, kami sampai dilokasi tujuan.

Trekking menurun menuju lembah Alas Sidokampir
Disana ada beberapa titik petilasan sang Pangeran diantaranya, batu bekas tempat semedi, batu bekas tempat beristirahat, monumen (kijing), dan juga batu tempat bekas shalat. Ditempat itu, kondisi lembab. Dingin dan suara gemiricik air menambah damai. Menurut penuturan warga setempat, pada malam-malam tertentu dibulan Muharaam/Suro dalam penanggalan Jawa, diadakan doa bersama untuk mengenang perjuangan Diponegoro. Sebuah kearifan lokal yang begitu arif dan begitu lokal dan patut untuk dilestarikan. :D
Batu bekas tempat istirahat Diponegoro (untuk telentang)
Batu bekas tempat shalat Diponegoro
Tapi kedamaian itu langsung sirna kala saya menyadari saya harus kembali ke atas untuk pulang. Tampaknya kondisi saya tidak begitu fit sehingga saya merasakan keringat dingin tanda-tanda orang masuk angin. Saya pun disemangati rekan saya, Gusta dengan kata-katanya “break is for the week!” hingga sampai diatas.

Sampai dilokasi tenda, kami disuguh dengan makan sore gratis. Tetapi tampaknya saya benar-benar sudah down. Akhirnya saya memilih memakan beberapa snack dan meminum air panas dan langsung istirahat. Alhamdulillah, saat acara penutupan yang dilengkapi dengan pembagian doorprice, saya berangsur sehat kembali.

**
Acara jelajah kali ini merupakan acara terlama yang saya ikuti bersama KTM. Terhitung sejak pukul 6,00 saya meninggalkan rumah, hingga pukul 16,30an acara baru selesai. Selesai acara, saya segera menggeber motor melewati jalan yang sama dengan pemandangan gelap dan suasana yang asing hingga Muntilan. Sampai rumah, pukul 18,20. Dan pukul 20,30 saya mengendarai motor lagi ke Ungaran. :’)


Penutupan di Dusun Beteng

10 comments:

  1. Sampe keringat dingin? Medan e abot tenan atau pas nggak fix badanmu, Mid? Break seminggu sik hahaha
    Nice share, jadi tahu beberapa spot petilasan Diponegoro di Kulonprogo ^^

    ReplyDelete
  2. @Halim_san : Hahaha.. pas kesel memang, jadi sampe masuk angin. Nek dewean pasti ora disambut warga :D

    ReplyDelete
  3. Dari beberapa tempat di atas, saya malah baru tahu ada tempat bernama Alas Sidokampir. Semoga kegiatan yg mengasyikkan ini kelak bisa singgah di makam sang pangeran di Makassar yah. :D

    ReplyDelete
  4. @Wihikan : Betul mas.. saya juga baru tahu :D amin semoga lain kali KTM traveling ke Makassar :D

    ReplyDelete
  5. Mirip di bukunya Pak Carey. :)

    ReplyDelete
  6. kpan ya ada acara sprti itu lg,,,,,,pengen ikut jew,,,

    ReplyDelete
  7. @Danang : gabung aja mas di Komunitas Kota Toea Magelang di facebook

    ReplyDelete
  8. Sebuah artikel yang menarik, namun ada sedikit yang harus diluruskan: Ratu Ageng, permaisuri Sultan HB I itu beda dengan Nyi Ageng Serang. Ratu Ageng atau sebutan lainnya adalah Rati Ageng Tegalredjo, adalah yang membawa Diponegoro kecil ke Puri Tegalredjo dan menjadi pengasuh serta pendidiknya. Saat Diponegoro berusia 18 tahun, Ratu Ageng wafat, terjatuh di pematang sawah. Sedangkan Nyi Ageng Serang adalah jagoan perempuan dari Desa Serang dekat Purwodadi-Sragen dan menjadi penasehat militer bagi Diponegoro, yang dimakamkan di Kalibawang, Desa Beku. Ini aja ralatnya. Coba cek masa hidup antara Ratu Ageng Tegalredjo dengan Nyi Ageng Serang, itu berbeda masa, walau ada saling beririsan... Bahkan konon, selendang sakti milik Nyi Ageng Serang adalah pemberian dari Ratu Ageng Teglredjo.. Wallahu alam bishawab. Mohon koreksi jika saya salah. Matur nuwun..

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...