Thursday, December 21, 2017

Meminang Corolla Demi Menandingi Pak Lurah

Hutan Penggaron 2016


Intro : artikel ini sedianya saya kirimkan ke rubrik otomojok tetapi karena belum rejekinya, maka saya posting disini saja..

Charade merah keluaran akhir tahun 70-an milik pak lurah akhirnya dipensiunkan. Mobil yang bodynya diberi sticker mirip mobil nascar tersebut akhirnya harus rela tergantikan oleh kehadiran si mobil baru. Sebuah sedan dari pabrikan Honda yang keren pada masanya, Civic Wonder yang lima tahun lebih muda.

Tidak lama kemudian, terbersit pikiran untuk menyaingi pak lurah. Sebenarnya bukan itu maksud saya, tapi tempo hari itu saya benar-benar merasa sudah butuh kendaraan. Anak saya sudah lahir. Masak iya, harus saya ajak naik motor Semarang – Ngawi PP. Kalaupun bisa ngebis, tapi repot juga bawaannya. Harus bawa baju-baju ganti, bak mandi, dan tentu mamahnya bayi. Kalau cuma bawa mamahnya tapi bayinya ditinggal, sih mending ngebis aja.

Setelah menyepi dan bertapa di pucuk gunung halimun, akhirnya saya mantapkan sebuah pilihan untuk membeli tandingan si Civic. Sebagaimana kita ketahui bersama, sejak Civic di lahirkan, ia terus disaingi dan dibayangi oleh pabrikan Toyota yang bernama Corolla. Sama-sama mengusung model sedan, mobil ini adalah sedan kelas menengah yang tercatat sangat laris di pasaran – bahkan hingga kini.

Pak Lurah bukan sembarang lurah. Di samping menjadi bos di kantor saya, ia juga gemar mengotak-atik mesin mobil. Tidak hanya mesinnya, ding. Wong bodynya aja ia betulin sendiri. Bemper plastik ia ganti bemper plat besi, kemudian cat pun ia cat sendiri. Knalpot Civicnya pun tak luput dari tangan kreatif pak lurah. Dibikin ngebrong ala racing. Jadi kedengeran jika ada suara knalpot ngebrong, berarti pak lurah sudah hampir sampai kantor, atau jika pak lurah sudah kondur, pasti kedengeran bleyerannya. Jian syahdu tenan..
Corolla dan Civic di kantor saya
Meski usianya sudah mendekati 6 dekade, tetapi jiwa pak lurah jelas masih muda. Lha wong teman saya aja melihat gaya rambutnya, memanggil pak lurah dengan panggilan tukang kendang, kok. Pantas memang ia jika disandingkan dengan Cak Met, pemain kendang sekaligus bos New Pallapa itu. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya ruang karaoke yang ada di kantor saya. Yang merancang dan yang menggunakan ya pak lurah, dan sesekali saya.

Corolla saya lahir tahun 86 alias tiga tahun lebih muda dari saya. Ia tahu saja jika saya tidak memiliki mas atau mbak kandung. Jadi ia saya anggap sebagai mas saya sendiri. Awal kehadirannya di tengah kehidupan saya, ia mengajarkan saya bagaimana mengemudikan mobil yang steering by power alias dengan kekuatan tangan. Pertama memarkir di depan rumah, ia memaksa saya keringetan karena selama 15 menit, saya belum bisa memarkir dengan cantik. Mencong kiri, mencong kanan, nubruk pot tetangga dan lain sebagainya.

Begitupun awal-awal bersamanya, ia pernah tertarik untuk mencium bokong bis Semarang – Solo.

“Grooook”
Mungkin ia memang sudah menyatu dengan jiwa saya yang suka akan keindahan bokong wanita..

Akhirnya monyongnya lecet lecet parah. Ah yowes ben, wong mobil murah kok. Hanya 20 juta belinya.

20 Juta itu ya duit. Tepatnya duit utang.

**
Suatu pagi di Pati
Selama hampir tiga tahun memiliki Corolla, saya tidak lantas selaras dengan pola pikir Pak Lurah. Saya termasuk orang yang tidak suka aneh-aneh. Corollanya saya diamkan aja apa adanya. Yang penting penak ditumpaki. Lak yo ngono..

Suatu hari di perjalanan dari Ngawi menuju Semarang, AC nya mati. Panas sekali pemirsa. Setelah itu dilanjutkan lagi dengan menyalanya indikator aki sebagai tanda bahwa pengisian akinya tidak jalan. Sebagai ahli IT, saya lalu menepi, mematikan mesin mobil, lalu menyalakan lagi. Seperti merestart komputer, Corolla pun hidup kembali normal. Tapi tidak lama. Ternyata kerusakan ada di carbon brush alternator yang sudah aus, minta ganti. Murah kok hanya 50 ribu saja.

Suatu hari yang lain, saya menginjak lubang yang cukup dalam di hutan Mantingan. Di sana tiba-tiba suara mesin mobil menjadi ngebrong. Mirip lah sama suara knalpot Civicnya pak lurah. Saya menepi, membuka kap mobil, mengendap-endap melihat bagian bawah mesin, dan akhirnya saya sadar kalau saya tidak mudeng tentang mesin mobil. Mampirlah saya di sebuah bengkel di Sragentina sana. Tetapi toh sama saja. Ia tidak tahu darimana suara aneh berasal, mungkin ia mengira saya memang sengaja membuat knalpot ngebrong.

Owalah ternyata penyebabnya adalah knalpot saya ambrol. Bolong. Ini saya ketahui saat sampai rumah dan mobil saya cuci. Yo pantes aja suaranya garang. Keesokan harinya saya bawa ke kantor untuk saya pamerkan sebagai tandingan suara mesin mobil pak Lurah. Ia pun tertawa saja, alih alih memberi uang saya untuk ganti knalpot.

Yang terbaru ini, Corolla saya sangat-sangat boros. Perjalanan Ungaran Semarang PP yang hanya sekitar 60 Km butuh pertalite 100 ribu. Ternyata, penyebabnya adalah platina yang sudah jelek. Sudah tidak bisa di stel lagi. Harus ganti, harganya lima ribu lebih mahal dari carbon brush yang tadi.

Selain itu, perawatan Corolla saya tidaklah repot repot amat. Paling ganti olie 4000 Km sekali, tune up sekitar 2000 Km sekali. Dengan begitu, kami sekeluarga sudah bisa jalan-jalan kemana ingin pergi. Eh ada satu lagi, ding. Yaitu kalau mobil saya parkir, akinya selalu saya lepas karena ada kelistrikan yang konslet. Kalau tidak dilepas, baru dua hari mobil diam aki sudah ngadat minta disetrum. Kok ndak dibenerin? Ra duwe duit je..

Begitulah suka duka menandingi pak lurah. Daripada beli Nmax hayoo, harganya paling murah 24 juta tapi kepanasan dan kehujanan. Ha mbok mending beli Corolla, masih turah 4 juta, tur di sawang wes ndhemes..

2 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...