Wednesday, January 10, 2018

Susahnya Mencari Masjid di Rembang



“Mbak, masjid dekat sini di mana ya? Mau jumatan nih”
Tanya saya kepada salah satu resepsionis Hotel Antika, Rembang beberapa waktu lalu.
“Wah kalau dekat sini nggak tahu, mas. Palingan ya masjid agung alun-alun mas”
“Yah lumayan jauh ya”

Siang itu, hari jumat pukul dua belas siang kurang sedikit dalam rangka klinong-klinong. Saya baru saja check in di hotel tersebut dan sekarang bingung mau cari masjid dimana. Melalui aplikasi google map, memang tidak ditemukan masjid yang terdekat bisa dijangkau dengan jalan kaki.

Brum.. Akhirnya saya kemudikan mobil membelah jalanan sepi yang panas dan berdebu. Kawasan dekat hotel ini mayoritas di dominasi bangunan-bangunan tua berarsitektur tiongkok. Pelan-pelan saya kemudikan mobil sembari melihat-lihat barangkali ada orang mau pergi ke masjid.

Seorang laki-laki berbaju putih kemudian saya lihat tengah bersepeda berlawanan arah dengan saya. Saya tak bisa terlalu gesit. Harus sedikit ekstra memutar karena jalanan sempit, kemudian mengejar bapak tersebut. Agak jauh juga ternyata dan terlihat ia masuk ke sebuah gang. Dari mulut gang tersebut, tidak terlihat adanya kubah masjid atau menara, menandakan bahwa masjid masih jauh dari jalan raya.

Pencarian saya lanjutkan di tengah suasana hati yang kurang nyaman. Kemrungsung. Sepanjang jalan, saya tidak menemukan banyak orang. Rata-rata rumah disana tertutup. Mau bertanya juga bingung bertanya dengan siapa. Hingga akhirnya saya putuskan untuk merangsek sedikit masuk ke kota.

Di Jalan Ahmad Yani, tampak seorang pejalan kaki bersarung yang sudah dapat dipastikan hendak berangkat ke masjid. Ia terlihat menyelinap melalui sebuah gang sempit antara ruko kosong dan pemukiman warga.

Saya tepikan corolla parkir di depan ruko tersebut dan karena pelatarannya terlalu miring, saya ganjel bannya menggunakan paving block yang terlepas.

Sudah pukul dua belas lebih lima menit, menurut jam saya.

Gang sempit tersebut tidak mengindikasikan adanya masjid terdekat. Tidak ada suara adzan, khotib berkhutbah, ataupun suara keramaian lainnya. Sedangkan bapak bersarung tadi telah lenyap, entah kemana.
**
Dua orang lelaki tampak duduk-duduk dan mengobrol santai di teras sebuah rumah kemudian saya hampiri.

“Pak, apa benar gang ini bisa menuju masjid?”
“oh ya bisa mas. Tapi agak jauh. Ini gang kecil ini nanti belok kiri terus lurus saja sampai habis. Nanti ketemu pasar, nah masjidnya ada di belakang pasar”
“Makasih pak”

Saya mempercepat langkah kaki, khawatir jika terlambat mengikuti salah satu kewajiban ini.

Sekitar tiga ratus meter berjalan, akhirnya saya sampai di mulut gang yang ternyata tembus ke Pasar Kota Rembang. Bagian belakang pasar ini (maaf) kumuh sekali. Di siang bolong yang gersang, para penjual berdesakan di los-los yang kecil. Permukaan lantainya masih tanah. Barang jualannya tertata tidak rapi dialasi karung-karung bagor. Sebagian besar yang saya lihat siang itu antara lain aneka pisang dan singkong serta ubi-ubian.

“Pak, masjid masih jauh?”
Tanya saya kepada seorang laki-laki berkeringat yang dari posturnya kemungkinan adalah seorang preman pasar.
“Oh itu mas, sampean ikuti aja orang-orang ini menuju masjid. Masjidnya ada di sebelah belakang pasar ini”

Rupanya saya termasuk beruntung. Karena masih banyak jamaah yang masih berjalan kaki menuju masjid sebagaimana saya.

Alhamdulillah.

Dengan badan yang penuh keringat, akhirnya saya sampai di masjid besar belakang pasar. Gang masuknya hanya cukup dilalui dua orang saja. Sedangkan lajur yang mepet tembok tampak digunakan sebagai parkiran motor.

Saya basuh muka dan berwudhu dengan penuh semangat. Air yang menyegarkan raga. Jiwa yang haus merindukan Tuhan akhirnya bisa tenang menjumpai masjid ini – setelah perjuangan yang tidak mudah.


**
Meski siang semakin terik, saya merasa sangat-sangat lega. Hati dan pikiran plong setelah shalat jumat.

Kembali saya melalui bagian belakang pasar yang kurang tertata rapi ini. Terlihat toko-toko dan kios di sekitarnya tampak kusam berdebu.

“apakah enak makan di tempat seperti ini?” batin saya dalam hati.

Tampak seorang pemilik warung terlihat memunguti sampah plastik di salah satu kiosnya. Dan tanpa dosa sejurus kemudian ia melempar sampah tersebut ke jalan raya.

Miris!

Sebegitukah kekumuhan tempat ini telah menjadi tradisi? Ataukah memang kesadaran akan kebersihan dan keindahan masih kurang?

**
Akhirnya, setelah sampai kembali ke tempat parkir corolla setelah berjalan kaki lagi kurang lebih empat ratus meter.
 

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...