“Mbak, masjid dekat sini di mana ya?
Mau jumatan nih”
Tanya
saya kepada salah satu resepsionis Hotel Antika, Rembang beberapa waktu lalu.
“Wah kalau dekat sini nggak tahu, mas.
Palingan ya masjid agung alun-alun mas”
“Yah lumayan jauh ya”
Siang
itu, hari jumat pukul dua belas siang kurang sedikit dalam rangka klinong-klinong. Saya baru saja check in
di hotel tersebut dan sekarang bingung mau cari masjid dimana. Melalui aplikasi
google map, memang tidak ditemukan masjid yang terdekat bisa dijangkau dengan
jalan kaki.
Brum..
Akhirnya saya kemudikan mobil membelah jalanan sepi yang panas dan berdebu.
Kawasan dekat hotel ini mayoritas di dominasi bangunan-bangunan tua
berarsitektur tiongkok. Pelan-pelan saya kemudikan mobil sembari melihat-lihat
barangkali ada orang mau pergi ke masjid.
Seorang
laki-laki berbaju putih kemudian saya lihat tengah bersepeda berlawanan arah
dengan saya. Saya tak bisa terlalu gesit. Harus sedikit ekstra memutar karena
jalanan sempit, kemudian mengejar bapak tersebut. Agak jauh juga ternyata dan
terlihat ia masuk ke sebuah gang. Dari mulut gang tersebut, tidak terlihat
adanya kubah masjid atau menara, menandakan bahwa masjid masih jauh dari jalan
raya.
Pencarian
saya lanjutkan di tengah suasana hati yang kurang nyaman. Kemrungsung.
Sepanjang jalan, saya tidak menemukan banyak orang. Rata-rata rumah disana
tertutup. Mau bertanya juga bingung bertanya dengan siapa. Hingga akhirnya saya
putuskan untuk merangsek sedikit masuk ke kota.
Di Jalan
Ahmad Yani, tampak seorang pejalan kaki bersarung yang sudah dapat dipastikan
hendak berangkat ke masjid. Ia terlihat menyelinap melalui sebuah gang sempit
antara ruko kosong dan pemukiman warga.
Saya
tepikan corolla parkir di depan ruko tersebut dan karena pelatarannya terlalu
miring, saya ganjel bannya menggunakan paving block yang terlepas.
Sudah pukul
dua belas lebih lima menit, menurut jam saya.
Gang sempit
tersebut tidak mengindikasikan adanya masjid terdekat. Tidak ada suara adzan,
khotib berkhutbah, ataupun suara keramaian lainnya. Sedangkan bapak bersarung
tadi telah lenyap, entah kemana.
**
Dua orang
lelaki tampak duduk-duduk dan mengobrol santai di teras sebuah rumah kemudian
saya hampiri.
“Pak, apa benar gang ini bisa menuju
masjid?”
“oh ya bisa mas. Tapi agak jauh. Ini
gang kecil ini nanti belok kiri terus lurus saja sampai habis. Nanti ketemu
pasar, nah masjidnya ada di belakang pasar”
“Makasih pak”
Saya
mempercepat langkah kaki, khawatir jika terlambat mengikuti salah satu kewajiban
ini.
Sekitar
tiga ratus meter berjalan, akhirnya saya sampai di mulut gang yang ternyata
tembus ke Pasar Kota Rembang. Bagian belakang pasar ini (maaf) kumuh sekali. Di
siang bolong yang gersang, para penjual berdesakan di los-los yang kecil. Permukaan
lantainya masih tanah. Barang jualannya tertata tidak rapi dialasi
karung-karung bagor. Sebagian besar yang saya lihat siang itu antara lain aneka
pisang dan singkong serta ubi-ubian.
“Pak, masjid masih jauh?”
Tanya
saya kepada seorang laki-laki berkeringat yang dari posturnya kemungkinan
adalah seorang preman pasar.
“Oh itu mas, sampean ikuti aja
orang-orang ini menuju masjid. Masjidnya ada di sebelah belakang pasar ini”
Rupanya
saya termasuk beruntung. Karena masih banyak jamaah yang masih berjalan kaki menuju
masjid sebagaimana saya.
Alhamdulillah.
Dengan
badan yang penuh keringat, akhirnya saya sampai di masjid besar belakang pasar.
Gang masuknya hanya cukup dilalui dua orang saja. Sedangkan lajur yang mepet
tembok tampak digunakan sebagai parkiran motor.
Saya basuh
muka dan berwudhu dengan penuh semangat. Air yang menyegarkan raga. Jiwa yang
haus merindukan Tuhan akhirnya bisa tenang menjumpai masjid ini – setelah perjuangan
yang tidak mudah.
**
Meski siang
semakin terik, saya merasa sangat-sangat lega. Hati dan pikiran plong setelah
shalat jumat.
Kembali
saya melalui bagian belakang pasar yang kurang tertata rapi ini. Terlihat toko-toko
dan kios di sekitarnya tampak kusam berdebu.
“apakah
enak makan di tempat seperti ini?” batin saya dalam hati.
Tampak
seorang pemilik warung terlihat memunguti sampah plastik di salah satu kiosnya.
Dan tanpa dosa sejurus kemudian ia melempar sampah tersebut ke jalan raya.
Miris!
Sebegitukah
kekumuhan tempat ini telah menjadi tradisi? Ataukah memang kesadaran akan
kebersihan dan keindahan masih kurang?
**
Akhirnya,
setelah sampai kembali ke tempat parkir corolla setelah berjalan kaki lagi
kurang lebih empat ratus meter.
No comments:
Post a Comment