Magelang, Minggu 17 Februari 2013!
Tidaaak. Ini sudah jam berapa? Ternyata
saya hampir kesiangan dan telat ngikutin acara hari ini di Kota Magelang. Oke,
jadi jam delapan pagi kurang seperempat saya berhasil merapat ke Kelenteng
Liong Hok Bio, tepatnya pojok tenggara Alon Alon Magelang. Sana sini merah.
Ternyata kaos saya merah juga! Tapi jangan heran karena ini sudah direncanakan
sebelumnya. Kira kira tiga ribu puluh orang sudah memadati Kelenteng
ini. Saya langsung mendaftar di Mbak Anglir dan menukar 10K idr dengan satu
booklet dan.. dan sudah itu saja.
Pukul delapan acara dimulai. Pembukaan
oleh Pak Gubernur Kota Toea, Mas Bagus Priyana (Agung Dragon). Wah, saya heran
banget acara kali ini animonya gila sumpah! Biasanya kami cuman yaaa…
katakanlah maksimal duapuluh, itu udah hebat banget, sedangkan ini sampe
sekitar 40an! Keren sumpah
Oke langsung saja kita kupas satu satu
acara Pecinan Heritage Trail bersama Komunitas Kota Toea Magelang ini ya!
#8 am. Kelenteng Liong Hok Bio
Kelenteng yang beberapa waktu lalu di
rehab dan sekarang megah banget ini ternyata udah berumur sekitar 150 tahun.
Tepatnya dibangun pada tahun 1864, begitu tutur ketua Yayasan Tri Dharma, Bapak
Paul Chandra Wesi Aji. Halaman kelenteng ini sedang dibuat semacam tenda karena
malamnya akan ada acara sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sambil duduk duduk di teras, kami
mendengarkan cerita beliau yang menjelaskan tentang seputar Hari Raya Imlek.
Jadi (kalau saya nggak salah tangkap), sebelum Imlek dimulai, maka catatan
tentang kehidupan manusia akan dilaporkan kepada Tuhan. Sembari para dewa naik
keatas, manusia yang ada dibumi membersihkan Kelenteng dan Patung patung
sehingga nantinya saat para dewa turun dari langit, kondisi sudah bersih. Pak
Paul Chandra juga menceritakan bahwasanya pada beberapa dekade lalu kerukunan
antar umat beragama dan akulturasi budaya Jawa – Tionghoa khususnya di Magelang
sudah terjalin dengan baik. Hal ini terbukti dengan pernah diadakannya Wayang
Kulit 7 Hari 7 Malam nonstop di halaman kelenteng! *tepuk tangaaaan*
Kami juga dipersilahkan mengunjungi
bagian dalam kelenteng ini. Ada tiga ruangan yang semuanya merupakan ruang
sembahyang. Pada ruang utama, disitu ada patung dewa Ho Tek Tjen Sin yang
merupakan dewa Bumi sebagai Dewa Tuan Rumah Kelenteng tersebut. Oh iya, di
Kelenteng ini akan dijumpai lilin lilin yang menyala dari ukuran kecil sampai
yang tingginya 2 meter dengan diameter seperti pohon kelapa. Menurut mas Cheng
Cheng Po, lilin lilin dengan nama keluarga yang tertulis di batang lilin ini
adalah doa dari keluarga yang dimaksud. Bahwa maknanya adalah dimana doa selalu
terpancar selama lilin menyala. Jadi kalau mati tinggal dinyalakan lagi. Lilin
yang paling gede bisa tahan setahun dan harganya bisa sampe jutaan rupiah!
Di Kelenteng ini kami dipandu oleh Bapak
Edi Wijaya, Pengelola Kelenteng. Pada bagian ruangan sebelah kanan, akan
dijumpai beberapa tempat sembahyang seperti Dewa Jenderal yang akan mengabulkan
doa doa misal polisi, tentara, kemudian dewa uang untuk berdoa para pengusaha,
dan dewa obat sebagai tempat berdoa memohon kesembuhan. Setelah berdoa, akan
mendapatkan resep yang bisa dibeli di toko obat cina.
Tempat Ibadah Tri Dharma ini baru saya
ketahui ternyata adalah tempat ibadah tiga umat sekaligus. Yaitu Kong Hu Chu
berdoa kepada Nabi Kong Chu; Budha berdoa kepada sang Budha; dan pengikut
ajaran Tao.
#9.30 am
Setelah berjalan kaki melewati gang
sempit di Pecinan, kami memotong ke arah Juritan, tepatnya di Pasar Ngasem. Ya,
kami dijamu jajanan khas Magelang, apa itu? Its Dawet Magelangan! Satu mangkuk
dawet ini berisi cendol ketan, cincau, tape ketan, santan, dan roti. Nah lo,
pada penasaran kan? Jadi kalo ke magelang boleh deh dicoba. Harganya murah kok
nggak sampe limaribu ‘katanya’. Mas Ryan adalah salah satu pelanggan tetap
sejak jaman TK. Ini keren kawan! :D
Selain itu, di pasar ngasem ini juga
tersedia makanan makanan jajanan yang di daerah Magelang di beri istilah
Tenongan. Siji sing aku kaget! Satu yang saya kaget yaitu sepincuk blendo yaitu
jagung rebus yang sudah dipreteli dicampur dengan ampas parutan kelapa
dan kuah gula, harganya Cuma seribu! Ini kan lucu.. bahkan mas Cheng Cheng Po
bilang kalo dia juga samar nggak habis beli seribu dan akhirnya beli lima ratus
rupiah.:D
#10 am
Akhirnya setelah melewati Jl. Sriwijaya,
kami sampai di Gedung Bundar. Gedung ini memang tidak begitu terkait dengan
sejarah Tionghoa di Magelang. Namun, Vila peninggalan Belanda ini bentuknya
sangat unik dan khas. Yang paling menarik adalah disitu ada kaca jendela yang
tidak datar tapi melengkung, dan cara membuka jendela nya pun model sliding.
Slidingnya pun bukan sembarang sliding, tapi sliding sambil melingkar gitu.
Keren kan? Bisa di bayangkan waktu tahun itu belum ada teknologi komputer tapi
arsitekturnya sudah luar biasa! FYI, Vila bundar ini dahulunya dibuat untuk
peristirahatan yang mengambil view gunung Merapi Merbabu. Dan sekarang
pemiliknya adalah Oe Hong Djien yang juga beberapa waktu lalu membuka Museum
OHD di Jl. Jenggolo a.k.a Njenangan
#10.30 am
Tret tetettt… Dan akhirnya kami sampai di
Jl. Tarumanegara. Disini ada bangunan kuno yang khas banget. Saya beberapakali
lewat waktu itu tidak tahu sama sekali sejarahnya. Eh, ternyataa.. bangunan
yang sempat menjadi Sekolah Nasional Tiga Bahasa Bhakti Tunas Harapan ini
memiliki sejarah yang luar biasa. Jadi, pada waktu itu kisaran mendekati tahun
1900an, adalah Ko Kwat Ie, yang mendirikan home industri cerutu dengan karyawan
6 orang di bilangan Pecinan, dulu namanya Chinese Kampementstreet. Seiring
berjalannya waktu dan majunya usaha, maka pabrik cerutu Ko Kwat Ie dipindahkan
ke Jl. Prawirokoesoeman tahun 1900an, sekarang Tarumanegara itu. Dan karena
kemajuannya, bahkan total karyawan di pabrik ini pernah mencapai 3000 orang.
Kebayang banget gimana ramainya kawasan itu waktu itu. Saking kerennya Pabrik Cerutu ini bahkan pernah dikunjungi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Stakenbogh dan Susuhunan Pakubuwono X dari Keraton Surakarta. Dan hebatnya lagi, produknya juga dieksor ke Eropa karena pabrik ini merupakan salah satu yang memiliki lisensi internasional yang dikeluarkan dari Bremen, Jerman. Ck ck ck..
Sebagai informasi tambahan, sekarang
bangunan ini dimiliki oleh Bos Armada Grup, Wan King. Dan digunakan sebagai
tempat diklat dan sebagian untuk gudang PT Tunas Jaya Mekar Armada. Dan
perjanjian antara Wan King dan ahli waris Ko Kwat Ie, bahwa bangunan
utama/bangunan depan tidak akan dirubah bentuknya.
#11.00 am
Lalu, Ko Kwat Ie dulu tinggal dimana?
Berdasar obrolan saya sama Pak Gub, bahwa dimungkinkan bersamaan dengan
dibangunnya Pabrik Ko Kwat Ie di Prawirokoesoeman itu, dibangun pula rumah
tempat tinggal yang lokasinya hanya sekitar 100 meter dari situ. Bangunan tua
yang sangat terawat ini ada di Jl. Sriwijaya, tepatnya sebelah Yuki Photo.
Dekatnya Buk Selen.
Kami disambut dengan sangat ramah oleh Om
Rudi (84th) yang merupakan pewaris Ko Kwat Ie generasi yang ketiga. Disinilah
Om Rudi tinggal bersama istrinya yang asli dari Klaten, satu anak perempuan,
dan satu ajudannya. Om Rudi menunggu kami semua dapat kursi sehingga kami bisa
duduk disalah satu bagian dalam sayap kiri rumah tua ini. Ternyata Om Rudi yang
akrab disapa Eyang ini memiliki selera humor yang tinggi dan membuat kami
tertawa dan kadang kadang merasa takut untuk menjawab pertanyaan. Takut salah,
dan itu disalahkan sama Eyang. Ehehehehe..
Dalam kesempatan ini Eyang yang menguasai
banyak bahasa diantaranya Belanda, Jerman, Prancis, Jowo Ngoko, Jowo Kromo,
Kromo Inggil ini lebih banyak memberi petuah petuah seputar kehidupan. Dan
sedikit menyinggung tentang pabrik ceruti legendaris Ko Kwat Ie, beliau
menuturkan bahwa pada saat jam makan siang, penjual yang berjejer sepanjang Jl.
Tarumanegara yang sekitar 300-400 meter itu diserbu oleh para pegawai. “Ngasi
koyo semut” sambung pria yang menyukai bahasa Jawa ini.
#11.45 am
Setelah menempuh jalan kaki melewati Jl.
Medang, peserta heritage trail akhirnya
harus sedikit menahan lapar karena masih ada satu kunjungan lagi. Menyusuri
gang gang sempit kawasan Tengkon, akhirnya kami sampai di Jl. Daha No. 36
Di sinilah tempat tinggal Om Andi yang
siang ini menyambut kami dengan sangat hangat. Rentetan kursi telah disediakan
yang jumlahnya sekitar 35 sehingga ada beberapa peserta yang harus lesehan. Oke
tapi tak mengapa.
Om Andi yang mengenakan jubah Shanghai
warna hitam dan topi seperti di drama drama mandarin itu memulai cerita dengan
kisah datangnya komunitas Tionghoa di Mageleang. Berawal dari kedatangan 3 buah
kapal dari negeri Tiongkok, berlabuh di Batavia, karena pada tahun 1740, ada
kebijakan dari Pemerintah Hindia Belanda yang tidak mengijinkan imigran dari
negeri Tiongkok kecuali memiliki ijin kerja resmi, maka banyak warga Tionghoa
yang di deportasi ke Ceylon dan Semenanjung Harapan.
Kebijakan ini tentu membuat resah
komunitas Tionghoa yang sebenarnya datang untuk berdagang dan bekerjasama
dengan masyarakat pribumi di Jawa karena di Tiongkok pada waktu itu untuk
mencari uang susah. Akhirnya beberapa diantaranya ada yang meminta perlindungan
kepada Susuhunan Kraton Surakarta. Dan beberapa diantaranya lagi mengembara
sampai di Desa Klangkang Djono daerah Kutoarjo dengan membawa serta Twa Pek
Kong - Ho Tek Tjen Sin, dewa bumi. Di Kutoarjo, komunitas tionghoa ini hidup
damai dengan masyarakat pribumi. Kehidupan sehari hari diisi dengan bekerja
membuat terasi, bakso, mie, dan bihun. Pada era perang Diponegoro – Java Oorlog
(1825-1830) Desa Klengkeng Djono ini tidak luput dari kerusuhan. Akhirnya
pimpinan tionghoa memutuskan untuk bergerak ke arah timur laut. Mereka
menakhlukkan bukit perbatasan Magelang – Purworejo (Yang saat ini daerah Bener
– Purwoyoso, Salaman) yang waktu itu masih berupa hutan belantara hingga
akhirnya sampai di Magelang.
Sampai di Magelang, komunitas ini memilih
tinggal di Kawasan Tengkon. Sebelum adanya kelenteng, komunitas ini juga
mengadakan ritual keagamaan – budaya yang dilaksanakan dengan arak arakan
sepanjang jalan Daha. Maka dari itu, jalan Daha ini dulunya dikenal dengan nama
Ngarakan. (skip skip) Dengan bantuan seorang Letnan Be Tjok Lok yang diangkat
letnan oleh Belanda karena jasanya dalam membantu perang, maka Be Tjok Lok
akhirnya mewakafkan tanah di tenggara alon alon untuk dibangun Kelenteng. Twa
Pek Kong yang disimpan di Tengkon pun akhirnya dipindah ke Kelenteng yang
akhirnya diberi nama Liong Hok Bio itu.
Satu cerita menarik dari Om Andi adalah
pada saat itu Belanda mengetahui seluk beluk tentang tionghoa ini dari kitab
kitab fengshui sehingga takut akan kemajuan warga Tionghoa yang rajin beribadah
di kelenteng, akhirnya Belanda memtuskan untuk menutup pintu rejeki kelenteng
dengan mebangun Tugu Aniem tepat di depan pintu masuk kelenteng. Tujuannya
tentu saja supaya doa orang orang ini susah terkabul, rejeki susah, dan hingga
pada akhirnya Indonesia tidak merdeka merdeka. Hehehe..
#Sekilas tentang Barongsai
Barongsai itu makhluk apa? Om Andi
menceritakan detail tentang barongsai ini. Jadi naga (Liong) dan barong sai ini
adalah makhluk yang dulu benar benar pernah ada. Bukan mitos. Jadi ceritanya
ada makhluk semacam singa yang ingin menjadi makhluk yang baik. Kemudian dia
bertapa. Datanglah seekor burung yang bertanya kepada singa itu.
“Hai singa, kamu lagi ngapain?”
“aku lagi bertapa. Aku ingin menjadi
makhluk baik yang berguna bagi orang orang”
“oh, kalau gitu aku ikutt”
Akhirnya burung itu duduk di kepala sang
singa..
Tidak hanya itu sesaat kemudian datang
siput yang akhirnya juga ikut bertapa dan menemmpel pada sisi kanan dan kiri
kepala singa.
Oh, jadi ternyat bentuk kepala barongsai
itu sejarahnya seperti itu ya? Saya terus terang agak geli juga denger cerita
ini. Hehehe..
Makhluk inipun akhirnya setelah bertapa
lalu berjalan jalan di perkampungan dengan ritme kaki kombinasi dari 3-4 kaki.
Dalam bahasa tionghoa, ini bisa di artikan Sam-Si. Sehingga orang orang menyebut
makhluk yang susah disebut namanya ini dengan Samsi yang akhirnya diabadikan
sebagai warisan kesenian dari rakyat tionghoa. Dan hingga sampai saat ini
karena akulturasi kebudayaan dengan budaya Jawa Samsi disebut dengan nama
Barongsai karena bentuknya yang mirip barongan di Jawa.
Selain itu, kami juga mendapatkan sedikit
pengetahuan tentang bagaimana membuat barongsai dan memainkan musik pengiring
tari barongsai. Jadi Om Andi ini, sampai sekarang adalah satu satunya perajin
barongsai di Magelang. Luar biasanya lagi, beliau juga pelatih salah satu grup
barongsai dan juga seorang pecinta kesenian tidak hanya kesenian tionghoa saja,
tapi juga kesenian jawa seperti jathilan dan topeng ireng atau dayakan.
Karena waktu yang sudah berangsur siang,
kami pun berpamitan dengan Om Andi dan berjalan kembali menuju Kelenteng. Acara
Pecinan Heritage Trail pun akhirnya ditutup di tugu penutup pintu rejeki dengen
doa bersama.
Nb : Terimakasih sumbangan foto oleh mas Ryan 'Corleone' Adhyatma dan Pak Widoyoko Magelang
Nb : Terimakasih sumbangan foto oleh mas Ryan 'Corleone' Adhyatma dan Pak Widoyoko Magelang
Nyesel kemaren gak jadi ikut, gak punya baju merah :D
ReplyDeleteWah, iya nih mas Ikhsan nggak ikut. Pasti lagi repot momong ya :D udah bisa apa anaknya?
Deleteacaranya Kota Toea kmrn ya mas.?mas aku minta CP njenengan, barangkali aku lg di Magelang butuh informasi
ReplyDelete@rumputilalang ..
ReplyDeleteiya itu acara ktm kemaren.
ini no hape saya 085641446652
nambah pengetahuan dan wawasan sejarah....mantep!
ReplyDeletebagus artikelnya, lengkap infonya, makasih ya jd tambah wawasan, tdk semua wrga asli mgl tahu ttg sejarah mgl termasuk saya, 20 th di mgl sejak lahir, udah 2 tahun ini sdg merantau di sulawesi tengah..jd kangen rumah
ReplyDelete@Sang Nanang : Iya bos.. makasih kunjungannya
ReplyDelete@Sylvie : Iya, saya juga kalo nggak ikut ini juga nggak bakalan tau mbak.. makasih kunjungannya ya. ditunggu oleh2nya kalo pulang :D