Monday, February 18, 2013

Pecinan Heritage Trail


Magelang, Minggu 17 Februari 2013!

Tidaaak. Ini sudah jam berapa? Ternyata saya hampir kesiangan dan telat ngikutin acara hari ini di Kota Magelang. Oke, jadi jam delapan pagi kurang seperempat saya berhasil merapat ke Kelenteng Liong Hok Bio, tepatnya pojok tenggara Alon Alon Magelang. Sana sini merah. Ternyata kaos saya merah juga! Tapi jangan heran karena ini sudah direncanakan sebelumnya. Kira kira tiga ribu puluh orang sudah memadati Kelenteng ini. Saya langsung mendaftar di Mbak Anglir dan menukar 10K idr dengan satu booklet dan.. dan sudah itu saja.

Pukul delapan acara dimulai. Pembukaan oleh Pak Gubernur Kota Toea, Mas Bagus Priyana (Agung Dragon). Wah, saya heran banget acara kali ini animonya gila sumpah! Biasanya kami cuman yaaa… katakanlah maksimal duapuluh, itu udah hebat banget, sedangkan ini sampe sekitar 40an! Keren sumpah
 
Oke langsung saja kita kupas satu satu acara Pecinan Heritage Trail bersama Komunitas Kota Toea Magelang ini ya!

#8 am. Kelenteng Liong Hok Bio

Kelenteng yang beberapa waktu lalu di rehab dan sekarang megah banget ini ternyata udah berumur sekitar 150 tahun. Tepatnya dibangun pada tahun 1864, begitu tutur ketua Yayasan Tri Dharma, Bapak Paul Chandra Wesi Aji. Halaman kelenteng ini sedang dibuat semacam tenda karena malamnya akan ada acara sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sambil duduk duduk di teras, kami mendengarkan cerita beliau yang menjelaskan tentang seputar Hari Raya Imlek. Jadi (kalau saya nggak salah tangkap), sebelum Imlek dimulai, maka catatan tentang kehidupan manusia akan dilaporkan kepada Tuhan. Sembari para dewa naik keatas, manusia yang ada dibumi membersihkan Kelenteng dan Patung patung sehingga nantinya saat para dewa turun dari langit, kondisi sudah bersih. Pak Paul Chandra juga menceritakan bahwasanya pada beberapa dekade lalu kerukunan antar umat beragama dan akulturasi budaya Jawa – Tionghoa khususnya di Magelang sudah terjalin dengan baik. Hal ini terbukti dengan pernah diadakannya Wayang Kulit 7 Hari 7 Malam nonstop di halaman kelenteng! *tepuk tangaaaan*
 
Kami juga dipersilahkan mengunjungi bagian dalam kelenteng ini. Ada tiga ruangan yang semuanya merupakan ruang sembahyang. Pada ruang utama, disitu ada patung dewa Ho Tek Tjen Sin yang merupakan dewa Bumi sebagai Dewa Tuan Rumah Kelenteng tersebut. Oh iya, di Kelenteng ini akan dijumpai lilin lilin yang menyala dari ukuran kecil sampai yang tingginya 2 meter dengan diameter seperti pohon kelapa. Menurut mas Cheng Cheng Po, lilin lilin dengan nama keluarga yang tertulis di batang lilin ini adalah doa dari keluarga yang dimaksud. Bahwa maknanya adalah dimana doa selalu terpancar selama lilin menyala. Jadi kalau mati tinggal dinyalakan lagi. Lilin yang paling gede bisa tahan setahun dan harganya bisa sampe jutaan rupiah!

Di Kelenteng ini kami dipandu oleh Bapak Edi Wijaya, Pengelola Kelenteng. Pada bagian ruangan sebelah kanan, akan dijumpai beberapa tempat sembahyang seperti Dewa Jenderal yang akan mengabulkan doa doa misal polisi, tentara, kemudian dewa uang untuk berdoa para pengusaha, dan dewa obat sebagai tempat berdoa memohon kesembuhan. Setelah berdoa, akan mendapatkan resep yang bisa dibeli di toko obat cina.
 
Tempat Ibadah Tri Dharma ini baru saya ketahui ternyata adalah tempat ibadah tiga umat sekaligus. Yaitu Kong Hu Chu berdoa kepada Nabi Kong Chu; Budha berdoa kepada sang Budha; dan pengikut ajaran Tao.
 
#9.30 am

Setelah berjalan kaki melewati gang sempit di Pecinan, kami memotong ke arah Juritan, tepatnya di Pasar Ngasem. Ya, kami dijamu jajanan khas Magelang, apa itu? Its Dawet Magelangan! Satu mangkuk dawet ini berisi cendol ketan, cincau, tape ketan, santan, dan roti. Nah lo, pada penasaran kan? Jadi kalo ke magelang boleh deh dicoba. Harganya murah kok nggak sampe limaribu ‘katanya’. Mas Ryan adalah salah satu pelanggan tetap sejak jaman TK. Ini keren kawan! :D
 
Selain itu, di pasar ngasem ini juga tersedia makanan makanan jajanan yang di daerah Magelang di beri istilah Tenongan. Siji sing aku kaget! Satu yang saya kaget yaitu sepincuk blendo yaitu jagung rebus yang sudah dipreteli dicampur dengan ampas parutan kelapa dan kuah gula, harganya Cuma seribu! Ini kan lucu.. bahkan mas Cheng Cheng Po bilang kalo dia juga samar nggak habis beli seribu dan akhirnya beli lima ratus rupiah.:D

#10 am

Akhirnya setelah melewati Jl. Sriwijaya, kami sampai di Gedung Bundar. Gedung ini memang tidak begitu terkait dengan sejarah Tionghoa di Magelang. Namun, Vila peninggalan Belanda ini bentuknya sangat unik dan khas. Yang paling menarik adalah disitu ada kaca jendela yang tidak datar tapi melengkung, dan cara membuka jendela nya pun model sliding. Slidingnya pun bukan sembarang sliding, tapi sliding sambil melingkar gitu. Keren kan? Bisa di bayangkan waktu tahun itu belum ada teknologi komputer tapi arsitekturnya sudah luar biasa! FYI, Vila bundar ini dahulunya dibuat untuk peristirahatan yang mengambil view gunung Merapi Merbabu. Dan sekarang pemiliknya adalah Oe Hong Djien yang juga beberapa waktu lalu membuka Museum OHD di Jl. Jenggolo a.k.a Njenangan

#10.30 am


Tret tetettt… Dan akhirnya kami sampai di Jl. Tarumanegara. Disini ada bangunan kuno yang khas banget. Saya beberapakali lewat waktu itu tidak tahu sama sekali sejarahnya. Eh, ternyataa.. bangunan yang sempat menjadi Sekolah Nasional Tiga Bahasa Bhakti Tunas Harapan ini memiliki sejarah yang luar biasa. Jadi, pada waktu itu kisaran mendekati tahun 1900an, adalah Ko Kwat Ie, yang mendirikan home industri cerutu dengan karyawan 6 orang di bilangan Pecinan, dulu namanya Chinese Kampementstreet. Seiring berjalannya waktu dan majunya usaha, maka pabrik cerutu Ko Kwat Ie dipindahkan ke Jl. Prawirokoesoeman tahun 1900an, sekarang Tarumanegara itu. Dan karena kemajuannya, bahkan total karyawan di pabrik ini pernah mencapai 3000 orang. Kebayang banget gimana ramainya kawasan itu waktu itu. Saking kerennya Pabrik Cerutu ini bahkan pernah dikunjungi oleh Gubernur Jenderal  Hindia Belanda Tjarda van Stakenbogh dan Susuhunan Pakubuwono X dari Keraton Surakarta. Dan hebatnya lagi, produknya juga dieksor ke Eropa karena pabrik ini merupakan salah satu yang memiliki lisensi internasional yang dikeluarkan dari Bremen, Jerman. Ck ck ck..

Sebagai informasi tambahan, sekarang bangunan ini dimiliki oleh Bos Armada Grup, Wan King. Dan digunakan sebagai tempat diklat dan sebagian untuk gudang PT Tunas Jaya Mekar Armada. Dan perjanjian antara Wan King dan ahli waris Ko Kwat Ie, bahwa bangunan utama/bangunan depan tidak akan dirubah bentuknya.
 
#11.00 am

Lalu, Ko Kwat Ie dulu tinggal dimana? Berdasar obrolan saya sama Pak Gub, bahwa dimungkinkan bersamaan dengan dibangunnya Pabrik Ko Kwat Ie di Prawirokoesoeman itu, dibangun pula rumah tempat tinggal yang lokasinya hanya sekitar 100 meter dari situ. Bangunan tua yang sangat terawat ini ada di Jl. Sriwijaya, tepatnya sebelah Yuki Photo. Dekatnya Buk Selen.
 
Kami disambut dengan sangat ramah oleh Om Rudi (84th) yang merupakan pewaris Ko Kwat Ie generasi yang ketiga. Disinilah Om Rudi tinggal bersama istrinya yang asli dari Klaten, satu anak perempuan, dan satu ajudannya. Om Rudi menunggu kami semua dapat kursi sehingga kami bisa duduk disalah satu bagian dalam sayap kiri rumah tua ini. Ternyata Om Rudi yang akrab disapa Eyang ini memiliki selera humor yang tinggi dan membuat kami tertawa dan kadang kadang merasa takut untuk menjawab pertanyaan. Takut salah, dan itu disalahkan sama Eyang. Ehehehehe..

Dalam kesempatan ini Eyang yang menguasai banyak bahasa diantaranya Belanda, Jerman, Prancis, Jowo Ngoko, Jowo Kromo, Kromo Inggil ini lebih banyak memberi petuah petuah seputar kehidupan. Dan sedikit menyinggung tentang pabrik ceruti legendaris Ko Kwat Ie, beliau menuturkan bahwa pada saat jam makan siang, penjual yang berjejer sepanjang Jl. Tarumanegara yang sekitar 300-400 meter itu diserbu oleh para pegawai. “Ngasi koyo semut” sambung pria yang menyukai bahasa Jawa ini.

#11.45 am

Setelah menempuh jalan kaki melewati Jl. Medang, peserta  heritage trail akhirnya harus sedikit menahan lapar karena masih ada satu kunjungan lagi. Menyusuri gang gang sempit kawasan Tengkon, akhirnya kami sampai di Jl. Daha No. 36

Di sinilah tempat tinggal Om Andi yang siang ini menyambut kami dengan sangat hangat. Rentetan kursi telah disediakan yang jumlahnya sekitar 35 sehingga ada beberapa peserta yang harus lesehan. Oke tapi tak mengapa.

Om Andi yang mengenakan jubah Shanghai warna hitam dan topi seperti di drama drama mandarin itu memulai cerita dengan kisah datangnya komunitas Tionghoa di Mageleang. Berawal dari kedatangan 3 buah kapal dari negeri Tiongkok, berlabuh di Batavia, karena pada tahun 1740, ada kebijakan dari Pemerintah Hindia Belanda yang tidak mengijinkan imigran dari negeri Tiongkok kecuali memiliki ijin kerja resmi, maka banyak warga Tionghoa yang di deportasi ke Ceylon dan Semenanjung Harapan.

Kebijakan ini tentu membuat resah komunitas Tionghoa yang sebenarnya datang untuk berdagang dan bekerjasama dengan masyarakat pribumi di Jawa karena di Tiongkok pada waktu itu untuk mencari uang susah. Akhirnya beberapa diantaranya ada yang meminta perlindungan kepada Susuhunan Kraton Surakarta. Dan beberapa diantaranya lagi mengembara sampai di Desa Klangkang Djono daerah Kutoarjo dengan membawa serta Twa Pek Kong - Ho Tek Tjen Sin, dewa bumi. Di Kutoarjo, komunitas tionghoa ini hidup damai dengan masyarakat pribumi. Kehidupan sehari hari diisi dengan bekerja membuat terasi, bakso, mie, dan bihun. Pada era perang Diponegoro – Java Oorlog (1825-1830) Desa Klengkeng Djono ini tidak luput dari kerusuhan. Akhirnya pimpinan tionghoa memutuskan untuk bergerak ke arah timur laut. Mereka menakhlukkan bukit perbatasan Magelang – Purworejo (Yang saat ini daerah Bener – Purwoyoso, Salaman) yang waktu itu masih berupa hutan belantara hingga akhirnya sampai di Magelang.

Sampai di Magelang, komunitas ini memilih tinggal di Kawasan Tengkon. Sebelum adanya kelenteng, komunitas ini juga mengadakan ritual keagamaan – budaya yang dilaksanakan dengan arak arakan sepanjang jalan Daha. Maka dari itu, jalan Daha ini dulunya dikenal dengan nama Ngarakan. (skip skip) Dengan bantuan seorang Letnan Be Tjok Lok yang diangkat letnan oleh Belanda karena jasanya dalam membantu perang, maka Be Tjok Lok akhirnya mewakafkan tanah di tenggara alon alon untuk dibangun Kelenteng. Twa Pek Kong yang disimpan di Tengkon pun akhirnya dipindah ke Kelenteng yang akhirnya diberi nama Liong Hok Bio itu.

Satu cerita menarik dari Om Andi adalah pada saat itu Belanda mengetahui seluk beluk tentang tionghoa ini dari kitab kitab fengshui sehingga takut akan kemajuan warga Tionghoa yang rajin beribadah di kelenteng, akhirnya Belanda memtuskan untuk menutup pintu rejeki kelenteng dengan mebangun Tugu Aniem tepat di depan pintu masuk kelenteng. Tujuannya tentu saja supaya doa orang orang ini susah terkabul, rejeki susah, dan hingga pada akhirnya Indonesia tidak merdeka merdeka. Hehehe..

#Sekilas tentang Barongsai
 
Barongsai itu makhluk apa? Om Andi menceritakan detail tentang barongsai ini. Jadi naga (Liong) dan barong sai ini adalah makhluk yang dulu benar benar pernah ada. Bukan mitos. Jadi ceritanya ada makhluk semacam singa yang ingin menjadi makhluk yang baik. Kemudian dia bertapa. Datanglah seekor burung yang bertanya kepada singa itu.

“Hai singa, kamu lagi ngapain?”
“aku lagi bertapa. Aku ingin menjadi makhluk baik yang berguna bagi orang orang”
“oh, kalau gitu aku ikutt”
Akhirnya burung itu duduk di kepala sang singa..
Tidak hanya itu sesaat kemudian datang siput yang akhirnya juga ikut bertapa dan menemmpel pada sisi kanan dan kiri kepala singa.

Oh, jadi ternyat bentuk kepala barongsai itu sejarahnya seperti itu ya? Saya terus terang agak geli juga denger cerita ini. Hehehe..

Makhluk inipun akhirnya setelah bertapa lalu berjalan jalan di perkampungan dengan ritme kaki kombinasi dari 3-4 kaki. Dalam bahasa tionghoa, ini bisa di artikan Sam-Si. Sehingga orang orang menyebut makhluk yang susah disebut namanya ini dengan Samsi yang akhirnya diabadikan sebagai warisan kesenian dari rakyat tionghoa. Dan hingga sampai saat ini karena akulturasi kebudayaan dengan budaya Jawa Samsi disebut dengan nama Barongsai karena bentuknya yang mirip barongan di Jawa.

Selain itu, kami juga mendapatkan sedikit pengetahuan tentang bagaimana membuat barongsai dan memainkan musik pengiring tari barongsai. Jadi Om Andi ini, sampai sekarang adalah satu satunya perajin barongsai di Magelang. Luar biasanya lagi, beliau juga pelatih salah satu grup barongsai dan juga seorang pecinta kesenian tidak hanya kesenian tionghoa saja, tapi juga kesenian jawa seperti jathilan dan topeng ireng atau dayakan.
 

Karena waktu yang sudah berangsur siang, kami pun berpamitan dengan Om Andi dan berjalan kembali menuju Kelenteng. Acara Pecinan Heritage Trail pun akhirnya ditutup di tugu penutup pintu rejeki dengen doa bersama.


Nb : Terimakasih sumbangan foto oleh mas Ryan 'Corleone' Adhyatma dan Pak Widoyoko Magelang

7 comments:

  1. Nyesel kemaren gak jadi ikut, gak punya baju merah :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, iya nih mas Ikhsan nggak ikut. Pasti lagi repot momong ya :D udah bisa apa anaknya?

      Delete
  2. acaranya Kota Toea kmrn ya mas.?mas aku minta CP njenengan, barangkali aku lg di Magelang butuh informasi

    ReplyDelete
  3. @rumputilalang ..

    iya itu acara ktm kemaren.

    ini no hape saya 085641446652

    ReplyDelete
  4. nambah pengetahuan dan wawasan sejarah....mantep!

    ReplyDelete
  5. bagus artikelnya, lengkap infonya, makasih ya jd tambah wawasan, tdk semua wrga asli mgl tahu ttg sejarah mgl termasuk saya, 20 th di mgl sejak lahir, udah 2 tahun ini sdg merantau di sulawesi tengah..jd kangen rumah

    ReplyDelete
  6. @Sang Nanang : Iya bos.. makasih kunjungannya

    @Sylvie : Iya, saya juga kalo nggak ikut ini juga nggak bakalan tau mbak.. makasih kunjungannya ya. ditunggu oleh2nya kalo pulang :D

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...