Suatu
hari seorang Belanda berkereta dari Semarang menuju Jogjakarta. Siang hari ia
berangkat dari Semarang dan sorenya dia baru sampai di Ambarawa. Karena sudah
malam dan tidak ada kereta yang lanjut ke Jogja, maka ia memutuskan untuk
menginap di salah satu hotel di dekat Stasiun Willem I. Dari hotel tempat ia menginap,
ia bisa menikmati pemandangan indah berupa gunung Merbabu dan hamparan rawa
pening. Keesokan paginya, desing bunyi ketel uap dipanaskan. Lokomotif gerigi
siap membawa gerbong untuk menanjak menuju Bedono-Gemawang. Pria itu kemudian
berangkat lagi naik kereta api dan sampai di Jogja menjelang sore.
(catatan
pribadi seorang Belanda pada tahun 1900an)
Stasiun Ambarawa tampak dari depan |
Stasiun
Willem I merupakan salah satu saksi perkembangan Kereta Api di Indonesia.
Tersebut sejak tahun 1864, adalah L.A.J.W. Baron Sloet van de Beele yang
merupakan Gubernur Jenderal kala itu melakukan pencangkulan pertama proyek
pembangunan jalur kereta api dari Samarang menuju Tanggoeng. Stasiun awal itu
bernama Stasiun Samarang NIS yang kini bekas lokasinya ada di daerah Spoorland
daerah kampung Kemijen, dekat dengan Jalan Ronggowarsito, Semarang.
Bagian depan Depo Lokomotif Stasiun Ambarawa |
Setelah
tahun-tahun berlalu maka jaringan Kereta Api berlanjut hingga Voorstenlanden/
Solo dan Jogja. Ambarawa yang terkonsep sebagai pusat militer Belanda, akhirnya
dihubungkan dengan kota Semarang melalui jalur rel Tuntang-Bringin-Kedungjati. Dipastikan
Stasiun yang dahulu bernama Willem I itu dibangun pada 21 Mei 1873. Fungsi
utamanya adalah untuk melayani angkutan para tentara dari barak Benteng Willem
I menuju ke Semarang.
**
Awalnya
saya tidak begitu tertarik kala menerima ajakan beberapa teman saya untuk
mengunjungi Museum Kereta Api Ambarawa. Lha wong saya sudah dua kali kesana je.
Apalagi, tujuan utamanya adalah naik kereta wisata Ambarawa Tuntang. Lha saya
juga sudah pernah. Walau, memang sih waktu itu saya naiknya lori wisata gerbong
odong-odong dan loko mesin GranMax, kalau saya boleh menebak. Ditambah lagi,
tiket kereta wisatanya sekarang mahal sekali. Lima puluh ribu rupiah. Lima kali
lipat dari tiket lori wisata.
Tapi,
setelah melakukan berbagai kajian, pertapaan dan pertimbangan, ditambah lagi
situasi saya yang akhir-akhir ini memang kurang piknik, akhirnya saya iyakan
ajakan itu! Tepat pukul sembilan pagi beberapa waktu yang lalu, saya dan
Tika sudah sampai di Ambarawa dan bertemu teman-teman dari Magelang. Mereka
adalah Ryan, Anglir, Sa'i, Gusta, Yoga, Agam, Adhi Okta, Pak Thomas, dan
Willhozt. Begitu bertemu, sudah kuduga. Muka-muka mereka tampak gembira ria
karena setahu saya mereka jarang kesini. Bahkan Willhozt dengan polos mengaku
kalau belum pernah naik kereta. Lha to..
Setelah
membayar tiket masuk seharga sepuluh ribu rupiah per orang kami pun segera
menjumpai bangunan depo lokomotif. Ya, sekarang pintu masuknya sementara pindah
disana. Ada beberapa loko tampak terparkir. Semuanya loko tua. Sangat tua
bahkan. Apalagi yang seri B2502 dan B2503, mereka adalah lokomotif spesialis
rel bergerigi dengan penggerak mesin uap. Loko dengan pelengkap gerigi yang ada
di Ambarawa itu merupakan maestro legendaris yang hanya tersisa sedikit di
dunia. Seingat saya selain di Indonesia ada di Swis dan India. Dan di Indonesia
sendiri, selain di Ambarawa ada di Sawahlunto, Sumatera. Rail bergerigi
tersebut digunakan saat elevasi rel yang terlalu menanjak/menurun curam
sehingga dibutuhkan gerigi sebagai penahan agar loko tidak mlorot.
Lokomotif uap yang sedang dipanasi |
Museum
KA Ambarawa ini tampaknya sudah banyak berbenah. Taman-taman tertata cantik,
koleksi lokomotif yang dahulunya dipajang ditaman-taman, kini ditata sedemikian
rupa dengan urutan tertentu lengkap dengan pelindung atap. Cat-catnya juga
diperbarui. Sebuah turn table yang dahulu mangkrak, kini bisa digunakan lagi. Untuk
informasi, saat saya berkunjung kemarin, rute kereta wisata Ambarawa – Bedono
sementara ditutup karena akan ada penggantian bantalan rel. Jadi paket wisata
yang bisa kita coba adalah Kereta Wisata Ambarawa-Tuntang yang jalan setiap
hari Minggu dan Libur, dengan jam keberangkatan pukul 10.00, 12.00, dan 14.00.
Pak Thomas (topi koboi) berfoto dengan tema Thomas and Friends |
Stasiun
Ambarawa pada masanya merupakan salah satu stasiun besar yang secara fisik
bentuk bangunannya sama persis dengan Stasiun Kedungjati. Menurut Pak Tri, sang
Kepala Stasiun, bentuk dari stasiun merupakan penjabaran dari bentuk Naga,
yaitu dengan adanya kepala, badan dan ekor. Saat ini bagian yang disebut kepala
merupakan kantor stasiun sekaligus loket pembelian tiket. Bagian badan
digunakan sebagai ruang pamer museum dan bagian belakang adalah bekas gudang
atau toilet. Bangunan tersebut bergaya Eropa dengan bentuk fasad utama
kotak-kotak. Kompleks stasiun itu masih dilengkapi dengan atap baja berbentuk
lengkung dengan kekokohan yang tiada terkira. Saya sempat mengecek konstruksi paralon
saluran air ternyata terbuat dari baja. Jian, niat tenan le mbangun :D
Detil konstruksi stasiun |
Selain
memajang aneka koleksi loko kuno, juga terlihat beberapa gerbong tua yang sudah
diperbaiki. Salah satunya adalah gerbong yang berasal dari Kebonpolo Magelang.
Gerbong ini sekarang sudah ciamik, bersih dan rapi. Sementara itu dibelakangnya
ada sebuah gerbong yang bisa dibilang gerbong eksekutif dengan tempat duduk
terbatas dan ornamen yang cantik. Mungkin khusus pejabat :D. Dan satu lagi yang
unik adalah sebuah gerbong dengan susunan kayu acakadut. Bukan, bukan acak-acakan
tetapi rupa-rupanya tatanan kayu yang mencurigakan itu menurut diskusi dengan
Pak Thomas adalah bekas tempat kunci-kunci dan peralatan untuk perbaikan kereta
api. Ada bekas tempat kapak, bekas tempat cangkul, pisau dan segala macam
peralatan atau bahasa sekarangnya toolset.
Juga ada sebuah lemari yang mungkin digunakan untuk menyimpan barang-barang
yang riskan seperti oli, dan lain-lain.
Kondisi terkini gerbong 'Magelang' |
Gerbong peralatan |
Berada
di Museum Kereta Api, serasa membawa kita menerawang jaman kejayaan kereta api.
Di dalam ruang pamer, berbagai peralatan ditampilkan mulai dari mesin hitung,
peralatan stasiun, stampel, tongkat semboyan 40, dan lain sebagainya yang
kesemuanya kuno! Selain itu, saat ini museum dilengkapi dengan papan informasi
yang ditaruh memanjang di sebelah barat stasiun. Papan informasi tersebut
menjelaskan kepada pengunjung tentang perkembangan kereta api di Indonesia.
Papan informasi yang masih dalam tahap finishing |
Dan
satu hal yang unik adalah adanya dua bangunan berbahan kayu berada di selatan
stasiun. Mereka adalah bekas halte kuno salah satunya tertulis Cicayur. Halte
berukuran sekitar 16 meter persegi itu nampak seperti warung bakso dengan
sebuah loket sederhana. Saya pun bisa membayangkan jika beberapa halte yang
selama ini dicari-cari oleh para pemburu bekas-bekas sejarah kereta api banyak
yang tidak ditemukan sisa-sisa fisiknya. Ternyata bangunan-bangunan itu hanya
sesederhana kayu sehingga akan lapuk ditelan masa... atau juga hilang dicuri
orang.
Kebetulan
kami kehabisan tiket perjalanan kereta wisata pukul 10,00 dan pukul 12,00. Usut
punya usut hari itu sedang ada kunjungan dari Kantor BKKBN sehingga mereka
memenuhi kuota gerbong yang tersedia. Kami sebagai warga biasa pun akhirnya
harus mengalah dengan mendapat tiket pukul 14,00. Mas Yoga sang pemrakarsa
acara ini menjelaskan kepada saya bahwa saat ini sistem pertiketan adalah sama
dengan sistem tiket kereta reguler. Yaitu dientri per nama sesuai dengan
identitas dan dicetak sama dengan tiket kereta api biasanya.
**
Untuk
mengisi waktu sembari menunggu kami akhirnya memutuskan untuk makan siang
bersama di Warung Pak Eko dekat Lapangan Pangsar Sudirman. Dan setelah shalat
dhuhur, akhirnya pukul 14,00 kereta kami datang! Dua gerbong tua berwarna hijau
merupakan gerbong seri CR yang didatangkan dari Madura. Sementara penariknya
merupakan lokomotif diesel kuno dari Cepu berseri D30124 buatan KRUPP Jerman.
Lokomotif Diesel Hidrolik D30124 |
Tiiiit..
bunyi sirine kereta api yang memekakkan telinga dinyalakan dan kereta kami
segera berangkat. Jukjukjukjuk.. suara lokomotif terdengar jelas dengan
kecepatan sekitar 30-40 km per jam. Kami yang duduk dibangku belakang merasa
terkesima dengan suasana loko yang begitu jadul. Ohiya, pernah nonton film
Tjokroaminoto? Dalam film itu tampil beberapa adegan yang mengambil setting di
sekitaran Ambarawa dan Tuntang. Yaitu adegan perjalanan menggunakan kereta
kuno, dan adegan menyanyi lagu Belanda didepan sebuah bangunan yang mana
bangunan itu merupakan Stasiun Tuntang. Nah, hal itulah yang saya alami saat
berjalan bersama kereta wisata ini. Dalam sekejap saya langsung merasa mirip
seperti Reza Rahadian. #eh
Pemandangan Rawa Pening |
Berada
didalam gerbong CR, benar-benar merasa kembali ke masa lalu. Saya pun teringat
dengan kisah seorang Belanda yang saya tulis pada paragraf pembuka tadi.
Suasana gerbong ini unik. Gerbong kayu dengan tempat duduk dari kayu pula. Untuk menutup jendela masih menggunakan sistem
mekanik kayu. Kala jendela terbuka, mata dihadapkan pada pemandangan cantik
persawahan dan luasnya Rawa Pening. Kereta melaju tidak terlalu cepat. Dan
beberapa kali terasa saat roda gerbong menginjak sambungan rel sehingga menghasilkan
irama unik. Jek jek.. jek jek.. jek jek.. tiiiit..
Bagian dalam gerbong CR |
Setengah
jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Stasiun Tuntang. Stasiun ini berdasar
pantauan saya sudah berbenah sejak tahun 2011 menyusul adanya berita rencana
reaktivasi jalur kereta Kedungjati – Ambarawa. Menurut informasi yang saya
dapatkan pula, bahwa pada tahun ini sedang diadakan pemasangan kembali lajur
rel sepanjang Tuntang-Kedungjati. Informasi ini tertempel pada papan pengumuman
yang memajang berita studi analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang
dikeluarkan oleh Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah.
Stasiun Tuntang tampak depan |
Emplasement Stasiun Tuntang |
Sejenak
sang loko kepala kuning meninggalkan gerbong untuk memutar. Mungkin sekitar
lima menit. Para pengunjung tidak bisa berlama-lama berada di Stasiun Tuntang
karena begitu lokomotif dan gerbong tersambung kembali, maka kereta akan segera
berangkat kembali ke Stasiun Ambarawa.
**
Program
pemerintah untuk merevitalisasi Museum Kereta Api Ambarawa patut kita
apresiasi. Langkah ini juga dalam rangka reaktivasi jalur kereta api Kedungjati
– Ambarawa dan akan berlanjut hingga Magelang – Jogja nantinya. Saat ini
suasana klasik tempat wisata masih dapat kita jumpai di Museum KA Ambarawa,
bukan tidak mungkin jika suatu saat nanti stasiun ini kembali melayani trayek
reguler maka akan semakin populer tapi disatu sisi juga akan membutuhkan
perawatan yang lebih ekstra. Pembangunan beberapa bagian pelengkap di kompleks
stasiun secara umum sudah baik, tetapi ada beberapa titik yang terlihat kurang
selaras. Antara lain bangunan didekat parkiran yang gaya bangunannya mengambil
bentuk modern sehingga jika ditinjau dari sisi keselarasan dengan bangunan BCB,
maka tidak akan selaras. Lain halnya dengan musholla yang sedikit mengadopsi
motif batu-bata sehingga kesan selarasnya timbul.
Selain
itu, perlu disediakan lebih banyak tempat sampah terutama pada bagian koleksi
lokomotif. Karena berdasar pantauan saya, ada banyak sampah yang sengaja
dibuang oleh orang-orang tolol kedalam lobang-lobang di lokomotif tersebut.
Informasi :
1) Kereta api wisata Ambarawa - Bedono/ Ambarawa - Tuntang PP berkapasitas dua gerbong dengan 80 penumpang
2) Kereta api wisata Ambarawa - Bedono bisa dipesan dengan 10 juta rupiah per dua gerbong
3) Pesanlah tiket sesegera mungkin jika ingin menikmati kereta wisata Ambarawa - Tuntang supaya tidak kehabisan
4) Tetap jaga kebersihan dan jangan corat-coret di obyek wisata
Foto lainnya
Salah satu lokomotif uap yang masih beroperasi |
Piknik ala 90an dengan camilan 90an (gulai ayam, choco, cokelat jago, sempe, dll :D) |
Yes, we love Ambarawa! |
Berfoto bersama fasad stasiun :D |
Rel Ambarawa - Tuntang dengan latar belakang jauh Jalan Lingkar Ambarawa |
Pemandangan sawah di tepi Rawa Pening |
No comments:
Post a Comment