Sepulang
berenang, saya memarkir kendaraan di depan salah satu penjual srabi di daerah
Ngampin, pagi itu. Sepanjang jalan raya Ngampin, Ambarawa memang sudah terkenal
sebagai sentra srabi. Jika dalam bayangan kami sebelumnya srabi disini seperti
halnya srabi Solo, itu ternyata salah.
Kios-kios penjual Srabi Ngampin. Sumber http://jengjeng.matriphe.com |
Sepagi
itu, para penjual srabi tampaknya masih banyak yang bersiap-siap menata
dagangan dan tentu saja mulai memasak srabi. Masing-masing memiliki satu warung
dengan bentuk seperti kios gasebo dan penjualnya duduk menangkring diatas
papan, sembari menghadapi tungku.
Bahan
bakar yang digunakan untuk memasak srabi ini masih tradisional, menggunakan
potongan-potongan kayu sehingga srabi yang dihasilkan memiliki citarasa yang
asli dan original.
Dengan
ramah, mbak penjual mempersilakan kami untuk duduk di papan tersebut – yang
memang dipergunakan sebagai tempat makan. Modelnya lesehan, namun tempatnya
lebih tinggi dari jalan raya.
“Satu
porsi berapa, mbak?”
“Satu
biji seribu, monggo mau berapa terserah, mas”
Akhirnya
saya pesan dua porsi yang satu porsinya masing-masing diisi lima serabi. Dari
kelima srabi tersebut adalah campuran antara srabi cokelat, srabi hijau dan
srabi putih alias original.
Pagi
yang masih segar ini, nampaknya belum banyak srabi yang sudah siap. Sembari
beristirahat kami pun berkesempatan melihat sang penjual meracik langsung
mencetak srabi pada tungku dan wajan tanah liat. Tidak lama, akhirnya srabi
kami pun tersaji. Srabi Ngampin, berbeda dengan srabi Solo yang manis, di sini
srabinya tawar. Untuk melengkapinya, srabi yang telah disiapkan di mangkuk,
diguyur dengan kuah santan bumbu jahe. Manis, sedap, dan hangat.
Srabi Ngampin, sumber : semarangcoret.com |
Tidak
butuh waktu lama, saya yang belum sarapan segera melibas seporsi srabi yang
enak tersebut. Bahkan anak saya Dayu, juga terlihat sangat menikmati. Rasa
srabinya gurih, tingkat kemanisan kuahnya pas. Sungguh paduan dan racikan
maestro yang bisa menghasilkan srabi senikmat ini.
Catatan
: Untuk menikmati srabi Ngampin, jangan lewat Jalan Lingkar Ambarawa.
**
Pecel Keong Muncul
Hari
Jumat sore, tampaknya wisata Pemandian Muncul begitu ramai. Jalan Raya Salatiga
– Ambarawa didepannya pun tak kalah ramai oleh lalu lalang penduduk dan wara –
wiri kendaraan bermotor. Saya menepikan motor saya tepat di seberang pemandian
air alami tersebut.
Ada
warung yang penuh sesak oleh pengunjung. Parkirannya pun terpantau ramai baik
itu kendaraan roda empat, maupun jejeran sepeda motor yang terpakir rapi.
Warung yang terlihat sederhana itu bernama Mbak Toen yang konon sudah tersohor
di blantika perkulineran daerah sini.
Bagian
depan warung tertulis “Warung Mbak Toen” berbahan busa yang sudah kelihatan
usang. Sementara itu ada beberapa toples klasik khas wadah kerupuk warna hijau
tertata rapi di bagian depan. Ada kripik wader, peyek ikan cempli/petol, ada
kripik bayam, keripik belut, dan masih banyak lagi. Semua merupakan kudapan
khas dari daerah Muncul, Banyubiru sini.
Warung Mbak Toen tampak depan |
“Pecel
keong satu, ya buk”
Saya
menyapa salah satu karyawan warung makan tersebut setelah melihat-lihat kondisi
warung yang cukup sesak, ramai. Di mejanya bahkan tertata kranjang-kranjang
berisi aneka keripik dan kerupuk yang membuat meja terkesan tambah sempit.
“Mau
disini atau lesehan, mas? Jika lesehan silakan menulis di kertas saja”
jawabnya.
Sontak
saya lalu diberikan kertas dan langsung menuju lokasi lesehan yang berada
persis di sebelah warung. Lesehannya luas dan sangat lega. Suhu udara di daerah
sini juga tidak panas. Tetapi rimbun dan semilir sehingga menambah lapar saja.
“Jangan
lupa ditulis nama, ya!” tambah mbaknya.
Menu
spesial di sini yang kerap dicari orang adalah pecel keong. Keong yang dimasak
adalah jenis keong emas yang biasa ditemui di persawahan berair dan dianggap
hama oleh para petani.
Setalah
menunggu barang sesaat, pesanan kami akhirnya datang. Satu porsi pecel keong
untuk saya, dan satu porsi pecel mujair pesanan Tika, istri saya. Model pecel
disini seperti halnya kebanyakan pecel ala Jawa Tengah yaitu nasi dengan
rebusan sayur, ditambah sedikit mie goreng, kemudian diguyur dengan saus kacang
sedap yang bercitarasa manis. Campuran keongnya sendiri dioseng dengan bumbu
jahe sehingga tidak amis. Rasanya sedikit kenyal dan citarasanya sangat pas
disantap dengan nasi hangat. Untuk lebih menyemarakkan suasana, saya juga pesan
satu ons keripik wader. Wader merupakan salah satu jenis air tawar yang mudah
dijumpai di sungai-sungai atau persawahan di perdesaan. Bila digoreng tepung crispy, maka jadilah ia teman makan
sebagai pengganti kerupuk yang rasanya sungguh lezat.
Pecel keong dan ketan kolak, kenikmatan haqiqi |
Sementara
itu, ikan mujair goreng yang dipesan istri saya juga tidak kalah maknyus.
Proses penggorengan yang garing dan pemberian bumbu yang nendang menjadi salah
satu faktornya. Tidak heran, rasa bumbunya meresap hingga bagian dalam ikan.
Adapun
satu menu pamungkas yang tidak lupa saya pesan adalah es ketan kolak. Dari
namanya, sebenarnya saya sudah terbayang seperti apa bentuknya. Benar saja,
semangkuk ketan kolak ini berisi kolak pisang yang ditambah sebongkah ketan. Akhirnya
kuah kolak ini sukses menggelontor tenggorokan setelah mencicipi pecel keong
enak khas Muncul Banyubiru ini.
waah.. srabi saya sangat suka :)
ReplyDeleteSama, saya juga suka. Entah itu srabi Ngampin ataupun Srabi Solo. Enaak
Deletemenggiurkan sekaliii wajib dicoba iniii
ReplyDeleteHukumnya fardhu ain, mbak. :D
Delete