Meskipun
hari masih pagi, baju saya sudah basah keringat. Minggu pagi ini, saya baru
saja turun dari sesaknya bis bumel ekonomi jurusan Semarang – Jogjakarta. Naik
dari Ambarawa, saya turun di Bedono, tepat di gang masuk menuju Stasiun Bedono.
Pagi ini saya hendak mengikuti salah satu kegiatan wisata sejarah
perkeretaapian yang diadakan oleh sebuah komunitas dari Magelang.
Bedono,
merupakan salah satu wilayah di ujung selatan Kabupaten Semarang. Lokasinya
berbatasan dengan Pringsurat, Kabupaten Temanggung dan juga Grabag, Kabupaten
Magelang.
Stasiun
Bedono adalah salah satu stasiun kuno yang hingga kini masih terawat. PT KAI
tampaknya memang serius dalam rangka memelihara bangunan-bangunan yang
bersejarah dan telah terdaftar sebagai Benda Cagar Budaya (BCB). Meskipun
kecil, stasiun ini memiliki fasilitas yang komplit diantaranya rumah dinas,
menara air untuk suplai air pada lokomotif uap, gudang, toilet terpisah, dan turn-table, tempat berputarnya
lokomotif.
Stasiun Bedono, sumber : jejakbocahilang.wordpress.com |
Emplasement
stasiun masih terbilang asli dengan tegel tahu kotak warna kuning yang didatangkan
langsung dari Belanda. Sementara itu ruang tunggu penumpang sangat lega dengan
beberapa kursi kayu panjang sebagai kursi tunggu.
Bagus
Priyana, koordinator panitia menyambut kami yang datang dari berbagai daerah
dalam kegiatan ini. Di selasar Stasiun Bedono, ia memaparkan sejarah singkat
dari jalur kereta yang melintas di Kabupaten Semarang tersebut.
“Jalur
ini dibangun pada akhir tahun 1800an untuk menghubungkan Ambarawa, dahulu
dikenal dengan nama Willem I dengan Yogyakarta via Magelang... “ buka Bagus
Priyana.
Operasional
jalur ini akhirnya terpaksa ditutup pada tahun 1971 imbas dari sepinya
penumpang dan menjamurnya angkutan transportasi lain seperti mobil pribadi dan
bus yang dianggap lebih efektif dan lebih cepat sampai.
**
Menyusuri Rel Kereta
Kurang
lebih pukul delapan pagi, kami yang kira-kira terdiri dari seratusan peserta
memulai trekking jalur dari Stasiun Bedono menuju Stasiun Ambarawa. Salah satu
keunikan dari jalur kereta api non-aktif ini merupakan adanya rel bergerigi
yang didesain untuk memungkinkan lokomotif menanjak ataupun menurun dengan
elevasi diatas 6 %. Di Indonesia sendiri, rel bergerigi hanya ada dua yaitu di
jalur Bedono – Ambarawa dan di Sawahlunto, Sumatera Barat.
Kami
menyusuri rel kereta ini bukan tanpa ijin karena panitia telah mengantongi ijin
tertulis dari PT KAI pusat dan malah salah satu dari peserta adalah merupakan
pegawai aktif di PT KAI. Adhitiya Hatmawan, namanya. Dalam bincang-bincang
kami, terungkap bahwa jalur kereta wisata yang selama ini melayani rute
Ambarawa – Bedono PP dengan kereta uap, sementara ditutup untuk pemeliharaan
jalur, sehingga kegiatan kami saat ini adalah sangat-sangat aman. Tanpa takut
tertabrak kereta lewat. Hehe..
Sebagian peserta trekking |
Panorama
yang hijau, perkebunan kopi, hamparan sawah dan pemandangan perbukitan menjadi
menu utama sepanjang perjalanan kami. Ditambah lagi kelak-kelok rel kereta api
ini sejenak membius kami mengingat kenangan akan kejayaan kereta api waktu itu.
Rel kereta api di samping jalan raya Magelang - Ambarawa. Sumber : jejakbocahilang.wordpress.com |
Dalam
sebuah surat kabar masa kolonial, misalnya, diceritakan seorang pengelana yang
sangat terpesona akan keindahan jalur kereta dari Ambarawa menuju Yogyakarta
yang saat itu harus ditempuh dalam waktu lebih dari setengah hari menggunakan
kereta uap. Diceritakan bahwa pemandangan saat itu sungguh sangat hijau dan
sedap dipandang mata.
Jalur yang terancam ambles di daerah Klurahan, Jambu |
Namun
kini jalur ini merana karena lama tidak terpakai. Sepanjang perjalanan kami
hanya menjumpai beberapa penduduk lokal memanfaatkan jalur gerigi ini sebagai
jalur untuk lori sederhana yang berfungsi sebagai pengangkut rumput atau kayu. Beberapa
kali jalur ini bersinggungan dengan jalan raya Magelang – Semarang sehingga
pemandangannya sangat-sangat ciamik.
Seorang warga menggunakan lori |
Setengah
perjalanan, kami sampai di Stasiun Jambu. Stasiun / halte Jambu ini merupakan
stasiun kecil sebagai tempat pemberhentian rangkaian kereta dan pengubah posisi
lokomotif sebelum menanjak menuju Bedono, jika dari Ambarawa. Secara ringkas
jika lokomotif dari Ambarawa menarik gerbong, maka di Stasiun Bedono
konfigurasi diubah lokomotif menjadi berada paling belakang dan mendorong
gerbong. Hal ini diperlukan agar rangkaian kereta bisa menanjak melalui rel
gerigi dan supaya gerbong tidak melorot.
**
Menuju Ambarawa
Beruntung,
rasa lelah dan haus yang mendera bisa segera diobati di tempat peristirahatan
pertama ini karena panitia telah menyediakan kudapan ringan dan buah segar. Perjalananpun
dilanjutkan meskipun kaki sudah ingin beristirahat.
Sepanjang
rute Jambu hingga Ambarawa, rel-rel terlihat lebih jelas dibandingkan jalur
dari Bedono. Bantalan-bantalan dari kayu jati tampak banyak yang masih kokoh
meski sudah digunakan lebih dari satu abad. Begitu juga jembatan-jembatan kecil
yang melintas diatas sungai atau parit-parit kecil, masih sangat kokoh.
Salah satu jembatan di jalur Jambu - Ambarawa |
Dari
pengamatan saya, rel rel tersebut dibuat rata – rata pada tahun 1902 dan 1903
atas pesanan NIS (Nederlandsch Indische
Spoorweg Maatschappij), dan sebagian lagi pesanan S.S (Staats Spoorwegen). Malahan, salah satu yang tertua yang berhasil
saya temukan adalah tertanggal tahun 1894!
**
Etape
terakhir menuju Ambarawa merupakan tantangan tersendiri karena cuaca yang
sangat terik. Ditambah lagi, suasana pegunungan dan rimbunnya pepohonan mulai
jarang ditemui di jalur ini. Sebagian besar adalah perlintasan di persawahan
warga, yang darisana bisa kita lihat danau Rawa Pening di kejauhan.
Akhirnya
setelah hanya tiga setengah jam kami berjalan kaki, kami sampai di Stasiun
Ambarawa.
Salah satu sudut Museum KA Ambarawa |
Dahulu,
setelah beberapa tahun Semarang terhubung ke Jogja melalui Solo, maka di
Ambarawa yang dikonsep sebagai kota militer, juga dibangun stasiun besar
bernama Willem I yang fungsi utamanya untuk mobilitas militer baik menuju ke
Semarang maupun menuju Magelang. Bangunan apik yang kini kompleksnya menjadi
Museum Kereta Api Ambarawa tersebut tercatat dibangun pada tanggal 21 Mei 1873.
**
Kegiatan
trekking jalur kereta api bersejarah ini, bila dikemas dengan baik sebenarnya
berpotensi sebagai salah satu wisata minat khusus yang sangat menarik. Terlebih
lagi, hingga hari ini banyak orang yang tertarik dengan perkeretaapian
Indonesia dan tergabung dalam wadah Indonesian Railways Preservation Society
(IRPS). Selain itu, komunitas-komunitas sejarah juga banyak yang tertarik
dengan kegiatan seperti ini. Tidak dapat disangkal, di Kabupaten Semarang
bagian selatan ini memiliki daya tarik wisata olahraga trekking sekaligus
wisata heritage yang menunggu untuk diramaikan.
wah menarik banget nih tripnya..terima kasih yaaa artikelnya..
ReplyDeleteSama-sama. Komunitas yang mengadakan kegiatan ini memang selalu menarik kegiatannya. Saya sebagai penggembira saja jadi bisa ikut bergembira :D
DeleteBaru nyampe stasiun KA Ambarawa. Bedono belum. Asik ya bisa menyusuri jalur kereta api banyak hal menarik yang didapat sepanjang perjalanan.
ReplyDeleteIyap betul banget. Yang penting kalau mau trekking jangan sendirian. Hehehe
DeleteNice Post Admin.
ReplyDeletemakasih kunjungannyaa
Delete